Mataku nanar melihat sosok wanita tua yang tak lain adalah Mbah Darsih. Sedang apa wanita ini ada di hutan?
"Cepat pergi!" Sentaknya padaku yang masih tertegun. Membuat aku langsung tersadar dan mengedarkan pandangan menatap sosok-sosok berwajah pucat yang kini telah menyadari bahwa aku telah lepas dari ikatan.Tanpa membuang waktu, aku langsung mengambil inisiatif untuk berlari, saat akan membawa serta Mbah Darsih, sialnya satu sosok berwajah pucat sudah lebih dulu menarik Mbah Darsih."Mbaaah!" Aku berteriak sembari hendak berlari menuju Mbah Darsih yang kini tengah terombang-ambing di antara makhluk-makhluk aneh itu."Jangan kemari! Cepat pergi, selamatkan diri!"Tentu aku tak rela meninggalkan wanita tua yang telah menolongku itu dengan para makhluk mengerikan.Tanpa banyak berpikir, aku langsung menerjang ke arah Mbah Darsih, namun mendadak langkahku tertahan saat di hadapan tiba-tiba muncul makhluk tinggi hitam yang kemariJantung serasa merosot hingga ke ujung kaki saat melihat tatapan Kak Airin yang seolah ingin melahapku hidup-hidup. Ia benar-benar bukan Kak Airin yang kukenal. Tanpa menggubris perkataan Kak Airin, Ayah menariknya secara paksa keluar dari kamarku. Walau Kak Airin sempat memberontak, tapi Ayah membisikkan sesuatu yang entah apa, yang membuat ia akhirnya menurut."Sebenarnya ada apa dengan Kak Airin, Bu?" Tanyaku setelah Ayah dan Kak Airin berlalu.Ibu menghela napas berat lalu duduk di atas ranjangku dengan lemas."Entahlah, Nak. Sejak beberapa bulan ini kakakmu itu kelakuannya begitu. Bahkan sering kesurupan."Aku terperanjat demi mendengar penjelasan Ibu. Manik matanya seolah menunjukkan beban yang begitu berat saat memberi tahuku."Kenapa tak coba diruqyah, Bu?""Sudah, Sat. Tapi ya tetap saja begitu. Tak ada perubahan."Aku mengernyit heran mendengar jawaban Ibu. Harusnya mereka jangan menyerah walaupun bel
Kunci motor yang kupegang jatuh begitu saja demi mendengar pengumuman dari Masjid. Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi. Tapi menilik dari situasi kemarin, memang sangat tipis harapan untuk Mbah Darsih selamat."Bu ... Mbah Darsih meninggal, Bu," desisku dengan air mata yang tak lagi dapat dibendung."Lalu?"Aku terperangah melihat respon Ibu yang masa bodoh dengan kabar kematian Mbah Darsih."Kok Ibu begitu sih tanggapannya?""Ck! Semenjak kematian anaknya itu, Ibu gak suka dengan wanita itu."Kutatap wajah wanita yang telah melahirkanku itu dengan penuh keheranan."Memang apa masalahnya dengan kematian anaknya, Bu? Harusnya Ibu simpati pada Mbah Darsih yang sudah renta, tapi tak lagi punya siapapun." Aku mulai terbawa emosi melihat sikap arogan Ibu.Ibu berubah. Benar-benar berubah. Dulu Ibu bukan orang yang seperti ini. Ia orang yang penuh dengan kasih sayang. Bukan hanya pada keluarganya, tapi juga pada orang lain.Tapi melihat respon Ibu yang seperti ini pada Mbah Darsih, aku sad
Lamunanku terpecah saat mendengar suara Pak Muhsin mengajakku untuk menyolatkan jenazah Mbah DarsihSegera kualihkan perhatian dari lelaki tua bernama Mbah Sedan itu, dan kembali fokus untuk melaksanakan sholat jenazah.Sepertinya lelaki tua itu memang memiliki kekuatan tak biasa. Sampai bisa bertelepati denganku. Eh, tapi bukannya Mbah Darsih juga bisa bertelepati denganku kemarin?Ah, sudahlah. Mungkin memang orang-orang tua zaman dulu punya kekuatan istimewa seperti itu. Aku tak mau terlalu ambil pusing.Aku beranjak masuk ke dalam rumah, dan ikut di deretan orang yang akan melaksanakan sholat jenazah. Tak banyak yang ingin menyolatkan Mbah Darsih. Apalagi saat mereka membaui aroma ruangan yang penuh dengan bau busuk berasal dari jenazah Mbah Darsih.Di tengah-tengah kekhusyukan sholat, indera penciumanku membaui aroma daging gosong yang entah dari mana. Sepertinya bukan hanya aku yang mencium aroma itu, karena dari ekor mata nampak para jama'ah lain terlihat gelisah juga.Setelah
Mataku terus mengedar mencari keberadaan Pak Muhsin, namun jangankan sosoknya, bayangannya pun tak lagi nampak.Aku berdecak karena kesal mereka tak setia kawan meninggalkanku sendirian di tempat seram seperti ini. Di saat hari menjelang Maghrib pula. Ah, aku jadi merasa dejavu.Baru akan melangkah keluar dari pemakaman, aku terkesiap kala ada sebuah tangan dingin mencengkeram kakiku.Tubuhku membeku seketika, membayangkan sudah pasti bukan manusia yang melakukan hal itu."Astaghfirullah ... Astaghfirullah ...!" Aku terus beristighfar dan berdoa dengan kaki yang kuhentak-hentakkan agar cengkraman dari demit itu terlepas.Aku terus melakukan hal seperti itu dengan mata terpejam, tak sanggup lagi rasanya untuk membuka mata dan melihat penampakan apa yang ada di bawah kakiku.Tak berapa lama kemudian, usahaku berhasil. Cengkraman di pergelangan kaki tadi tak lagi kurasakan. Cepat-cepat aku membuka mata, namun ...."Aaaaaa .
Beberapa saat kemudian, pandanganku kembali normal. Tak lagi kudapati sosok mengerikan Kak Airin, malah kini aku dibuat terheran-heran kala melihat keadaan sekeliling rumah. Interior dalam rumah benar-benar berbeda dengan beberapa saat lalu. Kenapa tiba-tiba bisa begini?Atensiku pada ruangan pecah saat mendengar suara perdebatan Ibu dan Ayah dari kamar mereka. Gegas aku berlari untuk melihat apa yang terjadi.Sampai di depan kamar, ternyata pintu kamar tak tertutup rapat hingga aku dapat melihat jelas ke dalam. Di mana Ibu tengah menangis sembari marah-marah pada Ayah."Bu ...." Aku memanggil Ibu karena tak tega melihat ia yang menangis pilu.Namun anehnya lagi, Ibu dan Ayah seolah tak mendengar panggilanku dan tak menyadari keberadaanku."Ini semua gara-gara Ayah! Kalau saja Ayah tak mengajak Sutar ikut serta, mungkin keadaan kita sekarang masih tenang-tenang saja!" Sentak Ibu di antara isak tangisnya."Maaf, Bu. Ayah memang sa
"Ternyata kau datang juga," desis sosok tua yang waktu itu memperkenalkan diri sebagai Mbah Sedan.Ayah masih terus duduk bersimpuh di hadapannya dengan kepala tertunduk seolah begitu takut untuk menatap matanya."Iya, Mbah.""Apa kau yakin tak akan menyesal dengan keputusanmu ini?"Ayah diam tak menyahut pertanyaan Mbah Sedan. Aku tahu, kini batinnya tengah berperang hebat, antara menyelamatkan diri dan keluarga atau merelakan darah dagingnya."Kalau kau tak yakin, lebih baik kau bawa kembali putrimu itu.""Tidak, Mbah. Saya yakin, seyakin-yakinnya!" Sahut Ayah cepat."Baiklah kalau begitu. Tapi ngomong-ngomong, kau membawa siapa bersamamu?"Jantungku mencelos saat tatapan Mbah Sedan beralih padaku sembari tersenyum miring. Secepat kilat aku berbalik badan hendak melarikan diri. Tak kusangka Mbah Sedan bisa melihat sukmaku yang kini sedang berkelana. Tapi wajar saja, ia kan makhluk halus juga.
Seolah sengaja mengelak dariku, Ayah cepat-cepat keluar dari kamar, untuk melihat keadaan di luar. Terlihat sebelum ia benar-benar keluar ia menata ekspresi wajahnya sesedih mungkin. Ibu pun kembali menangis tergugu di depan jasad Kak Airin. Benar-benar patut diacungi jempol akting kedua orang tuaku itu.Aku yang merasa benar-benar kecewa memilih masuk ke kamarku, hendak menjernihkan pikiran. Kira-kira bagaimana aku akan bersikap pada kedua orang tuaku setelah ini? Rasa sedih karena meninggalnya Kak Airin lebih terkalahkan oleh rasa kecewa pada Ayah dan Ibu.Beberapa saat aku di kamar, terdengar riuh beberapa orang masuk ke dalam rumah. Mungkin Ayah sudah memberitahukan perihal Kak Airin. Yang masih jadi pertanyaanku kini, kalau memang Kak Airin sudah mereka tumbalkan kenapa sekarang ia masih ada bersama kami? Atau itu hanya jasadnya saja? Ah, entahlah ....Teka-teki di keluargaku masih benar-benar terlihat rumit dan belum sepenuhnya te
Mendengar teriakan histeris dari orang-orang yang ada di belakang, secepat kilat aku berlari ke sana. Namun ternyata area belakang dan depan pintu dapur sudah dipenuhi oleh para pelayat yang lain hingga untuk melihat keadaan di belakang aku pun tak bisa."Itu beneran Karin masih hidup? Tapi kenapa raut wajahnya begitu?" Para pelayat perempuan yang ada di depanku terdengar saling berbisik."Iya. Seperti bukan Karin, Mbak.""Ehem!" Aku berdehem sengaja memberi kode kepada kedua orang itu bahwa ada aku di belakangnya. Mereka lantas terdiam saat menoleh dan melihatku."Eh, Satria ... Mau lewat ya? Silahkan lewat sini." Seperti merasa tak enak, mereka langsung memberi jalan hingga aku bisa lewat dan keluar dari pintu dapur.Hampir saja aku terjungkal ke belakang saat mataku bersirobok dengan Kak Airin yang kini tengah terduduk di tanah dengan dililit kain jarik. Wajahnya begitu pucat dengan mata melotot tajam menatapi setiap orang. Y