Share

Tumbal Darah Perawan dan Misteri Desa Kanibal
Tumbal Darah Perawan dan Misteri Desa Kanibal
Penulis: Susi

Bab 1

#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBAL

bagian 1

Desember kala itu, kami menyusuri sebuah Desa terpencil untuk melakukan penelitian tentang Adat dan Budaya masyarakat Indonesia.

Kami ingin membuat sebuah film Dokumenter, mengenai kekentalan Budaya Indonesia yang masih terjaga. Apalagi diera Modern seperti ini, jarang sekali anak muda yang masih mengenal Budaya daerahnya sendiri.

Dan Desa Kerta adalah tujuan utama kami, Desa yang terletak dipedalaman hutan yang dibelah oleh hulu sungai ini menyimpan beberapa misteri yang akan menyambut kami. Bermodal nekat kami akhirnya berangkat. Beranggotakan lima orang. Jeremi, Lisa, Kinara, Tias dan saya sendiri Arjuna.

"Hati-hati le kalo keDesa terpencil jaga sikap kalian, jangan sampai menyinggung para tetua disana." ujar ibu sambil membereskan beberapa perlengkapan ku.

"Arjuna akan ingat itu bu, Arjuna dan teman-teman akan jaga sikap selama disana." Selang beberapa saat terdengar klakson mobil Tias. "Arjuna berangkat dulu bu, ibu jaga kesehatan jangan mikirin yang macem-macem. Arjuna gak mau ibu sampai sakit lagi." Segera kuraih tangan ibu dan mencium punggung tangannya.

"Justru kamu yang ibu khawatirkan, ingat pesan ibu." Ibu mengantarkan sampai diteras.

Tias turun dari mobilnya "Tante kami berangkat dulu," ujarnya sambil mencium tangan ibu.

Ibu hanya tersenyum dan melambai kearah kami. Perjalanan yang akan kami tempuh selama 6 Jam. "Gue cek dibeberapa situs Desa ini masih belum ada yang menjelajahi nya. Gue yakin film kita ini pasti akan banyak dapat apresiasi." ujar sang kutu buku Lisa.

"Gue mohon dengan lu semua, nanti kalo kita udah sampai disana, tolong jaga sikap. Terlebih lu Jeremi, ya gue gak mau nantinya satu orang bikin ulah yang lain akan kena Tulah." Aku memberikan pengarahan kepada para sahabat ku.

"Jun emangnya mereka mau apa Desa mereka dipublikasikan? Bukan kenapa-kenapa, pasalnya ini Desa pelosok banget pasti anti dengan yang namanya alat modern. Nanti mereka menduga kita bakal nyakitin mereka lagi." gumam Jeremi.

"Udah gue siapin semua peralatannya, kita gak bakalan bawa Camera besar. Kita bakal bawa Camera kecil yang bakal kita sembunyikan. Jangan sampai Camera ini keliatan oleh mereka."

Mereka semua mengangguk dan kami mulai menyusun strategi. Jeremi adalah seseorang yang ahli dalam IT, kebiasaan buruknya dia sangat suka berkata kasar. Jeremi bertubuh gempal dan berkulit sawo matang. Diantara team ini Jeremilah yang paling sering aku ingatkan. Agar nanti dia lebih menjaga sikapnya.

Setelah perjalanan yang melelahkan, kami akhirnya sampai dipos pertama. Mobil tidak bisa masuk kesana. Kami harus naik ojek, awalnya beberapa tukang ojek menolak jika harus menuju Desa Kerta. Ketika aku bertanya apa alasannya mereka seolah bungkam. Kami memberikan uang sebesar Rp. 100.000- kepada tiap-tiap satu ojek. Uang sebesar itu tentu sangat lumayan banyak. Mereka akhirnya mau mengantarkan kami.

"Kenapa kalian nekat mau ke Desa itu?" tanya pak Heri ojek yang aku tumpangi.

"Ingin menjelajah saja pak," jawabku singkat.

"Hati-hati saja jangan sampai kedatangan kalian membuat lelembut disana marah."

"Lelembut maksud Bapak?" Aku mengernyitkan dahi mencoba mencerna pernyataan pak Heri barusan.

"Bukan apa-apa yang penting kalian jaga sikap saja." ujarnya sambil terus mengendarai sepeda motor tua tersebut.

Setelah melewati perjalanan kurang lebih 30 menit, kami berhenti disebuah Dermaga yang sudah tidak terawat sama sekali. Sebuah perahu masih bertengger disana. Sebut saja namanya pak Pepeng, dia yang akan membantu kami untuk menyebrang Sungai.

Karena Jeremi bertubuh gempal, Jeremi lah yang pertama kali dia bawa untuk menyebrang. 

Tentunya kami harus menunggu lagi selama 10 menit, dan Pak Pepeng akhirnya kembali untuk menjemput kami.

"Jangan membuang sampah disana dan jangan mengumpat. Saya sudah mengingatkan teman kalian. Tetapi dia tidak mau mendengarkan. Jika kalian ingin selamat jaga sikap kalian selama disana." ujar pak Pepeng dengan nada datar.

Kami hanya terdiam, ya mau bagaimana lagi itulah sifat Jeremi. Pak Pepeng mengalami kebutaan, disalah satu matanya dan sebuah parutan didekat kening menambah kesan sangarnya. Kami akhirnya sampai dipinggir Dermaga sungai. Pak Pepeng juga bukan tipe orang yang banyak bicara.

"Pak seminggu lagi kembali kesini ya pak, jemput kami kembali." Pak Pepeng mengangguk dan segera berlalu pergi.

"Gila sangar banget tu Bapak-bapak, asli merinding gue kalo natap wajahnya." ujar Kinara sambil terus berjalan.

Karena hari sudah beranjak sore kami segera mempercepat langkah, takut kemalaman didalam hutan. Namun apa dikata, Jeremi sudah tidak kuat lagi untuk meneruskan perjalanan terpaksa kami harus memasang tenda. Aku dan Kinara mulai mencari beberapa ranting pohon sebagai pematik api. Jeremi dan Tias bertugas mendirikan tenda. Lisa bertugas untuk memasak makanan.

"Pamit mbah pamit," ujarku sambil terus memungut ranting yang mulai kering. Sekilas aku merasa sedang diperhatikan dari kejauhan. Ketika aku melihat sekeliling, tidak ada orang lain hanya aku dan Kinara saja.

"Jun udah cukup ni yuk balik ketenda udah mau senja." Kami segera meninggalkan tempat memungut ranting tersebut.

Tenda telah didirikan dan api telah dihidupkan, kami tinggal menunggu masakan Lisa mateng. 

Setelah selesai makan beberapa teman terlap ditenda mereka. Aku terbangun karena dengkuran Jeremi. Aku segera keluar dari tenda, semilir angin malam menerpa tubuhku. Seorang gadis datang menghampiri ku dengan membawa obor.

"Belum tidur mas?" sapanya lembut.

Aku menggeleng "Kamu siapa?"

"Nama saya Tria saya anak kepala Suku disini. Saya baru pulang dari Kota, karena kemaleman apa boleh saya menginap ditenda kalian?"

"Boleh, kebetulan saya juga mau keDesa kamu. Kami ingin mempelajari Adat disana."

Tria tersenyum "Boleh saja."

Malam itu kami bicara banyak hal, Tria adalah gadis dengan wajahnya pucat. Rambutnya disanggul sangat rapi. Dia sangat bersahaja namun ada satu keanehan, pakaiannya seperti zaman dahulu bukan seperti pakaian gadis zaman sekarang. Memakai pakaian khas gadis Desa dan aroma tubuhnya adalah bunga melati.

Keesokan paginya aku tidak mendapati Tria berada ditenda. "Mungkin gadis itu telah pergi. Tapi kenapa dia tidak barengan dengan kami?" gumamku dalam hati.

Air yang jernih dan suara kicau burung menyambut kami dipagi hari. Kinara dan Tias mandi terlebih dahulu. Lisa sedang sibuk memasak sarapan pagi.

"Mandi dulu Lisa, urusan masak biar gue dengan Jeremi."

"Gak enak merepotkan kalian, udah biasa aja lagi." Kinara dan Tias kembali mereka melemparkan handuk kepada Lisa. Dan Lisa bersiap-siap untuk mandi.

Setelah berganti pakaian Kinara dan Tias kembali keperapian. "Dari tadi gue gak liat Jeremi kemana tu anak?" tanya Tias sambil mengaduk nasi.

Dan aku juga menyadari jika Jeremi sudah tidak bersama kami lagi. Tidak berapa lama terdengar suara jeritan Lisa. Kami segera berlari ke sumber suara.

"Lu ngintip gue mandikan, ngaku gak?" Lisa memukuli Jeremi.

"Ada apa ini Lisa?" tanyaku kepada Lisa. Walaupun keadaan saat itu sedang kacau namun mataku tidak bisa berhenti menatap tubuh Lisa. Lisa adalah gadis kutu buku dan sangat cupu, namun upik abu ini sekarang menjelma menjadi Cinderella dalam balutan kemben basah. Kemben tersebut mencetak tubuh mungilnya. Tentu saja hasrat lelakiku langsung tertantang.

Seketika aku tersentak "Astagfirullah hal'azim," aku segera membuang pandangan.

"Ra kasih Lisa handuk, asli gue gak bisa liat yang begituan entar gue khilaf sama seperti Jeremi lagi."

"Dasar cowok dimana-mana sama aje. Gak bisa liat yang bening langsung matanya jelalatan." Kinara menggelengkan kepala dan segera membalut tubuh Lisa dengan handuk. Mereka segera meninggalkan kami berdua disungai.

Jeremi yang hendak pergi segera aku tahan. "Udah berapa kali gue bilang jaga sikap, kalo tadi lu sampai merekam dia mandi lu bakalan gue pukul habis-habisan."

"Apa gue gak salah denger lu mau mukulin gue? Oo gue tau sekarang, ya gue tau lu sukakan dengan Lisa?"

Aku mencengkram baju Jeremi "Sekali lagi lu gangguin dia lu berurusan dengan gue." Aku segera meninggalkannya dibibir sungai.

"Dasar munafik !!" ujar Jeremi sambil melemparkan kerikil kedalam sungai.

Dalam perjalanan menuju Desa Kerta kami tidak banyak bicara. Bahkan saling mengacuhkan satu sama lain. Tanganku terus menggenggam tangan Lisa. Bukan karena aku menyukainya, aku telah berjanji dengan tante Ira untuk melindungi Lisa dari siapapun yang mencoba untuk menyakitinya. Itulah mengapa aku membuat perhitungan dengan Jeremi.

Setibanya disana kami disambut baik oleh Kepala Suku. Beliau menghidangkan makanan dan minuman. Ada satu minuman yang rasanya seperti basi, aku berusaha meneguknya untuk menghormati sang tuan rumah.

Namun tidak demikian dengan Jeremi, "Minuman basi dipake untuk nyambut tamu? Gak salah pak, kita jauh-jauh kesini bukan untuk dihidangkan minuman basi kayak gini !!"

"Jeremi!!!" Aku menghardiknya atas kelakuannya yang tidak sopan tersebut. Kami bahkan sempat terlibat cekcok.

"Maafkan atas kelakuan teman saya pak." ujar Tias sambil tertunduk.

"Tidak apa-apa nak, mungkin dia kelelahan maklum perjalanan kesini sangat jauh." ucap pak Baki sambil tersenyum penuh arti.

Selama disana kami berbaur dengan para warga. Kami juga merekam hal tersebut secara diam-diam. Mulai dari tradisi menikah sampai pemakaman jenazah. Aku berkenalan dengan beberapa anak kepala Suku namun aku tidak menjumpai Tria disana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status