#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBAL
BAGIAN LIMA
Pak Ruli segera menghampiri mereka. Matanya membulat sempurna "Bukannya kamu bilang kamu puasa?"
"Pak tadi Rinta habis nyuci buah di sungai belakang. Jadi Rinta lansung ke sini. Kak Lisa cuma megang saja. Liat gak ada bekas gigitannya." Rinta menunjukkan semua buah tersebut, buah-buah itu masih utuh tanpa ada daging yang terkoyak.
Pak Ruli segera meninggalkan mereka. "Dek apa kamu tau kemana perginya Jeremi?"
Rinta seolah terdiam dan menggelengkan kepalanya.Aku menemui kepala suku untuk meminta bantuan, tentang hilangnya Jeremi. Beliau berkata beberapa penduduk melihat Jeremi telah pulang dulu. "Ada beberapa penduduk melihat Jeremi menyusuri sungai. Saat ditanya dia berkata dia mau pulang ke kota, ada sesuatu yang mendesak. Dia menitipkan ini kepada bapak untuk kalian semua."
Sepucuk surat mendarat di tanganku. Isinya permintaan maaf Jeremi, karena telah pulang duluan tanpa memberitahu kami semua. "Anak itu selalu bersikap sesuka hati. Ya sudah pak saya permisi dulu, saya akan memberitahu yang lain. Agar mereka tidak cemas lagi." Sebelum aku meninggalkan rumah kepala suku, pandangan ku tertuju dengan sebuah kulit yang masih berdarah. Diantara darah yang mulai mengering, samar-samar aku melihat sebuah tato. Aku merasa tidak asing dengan tato tersebut.
"Ada apa nak?" tanya kepala suku sambil mendekat.
"Ah tidak apa-apa pak saya permisi dulu." Aku segera meninggalkan rumahnya.
Aku sampaikan apa yang dikatakan kepala Suku mengenai pulangnya Jeremi kepada Tias, Lisa dan Kinara. "Bisa-bisanya tu anak pergi tanpa ngomong dulu dengan kita, minimal pamit kek ini main nyelonong aja." ujar Kinara dengan raut wajah kesal.
"Yang penting sekarang kita udah tau, jika Jeremi benar-benar pulang ke kota. Mudah-mudahan tu anak, sampe dengan selamat." Timpal Lisa sambil menatap hamparan ilalang di kebun pak Ruli.
"Juna lu tau dari mana jika Jeremi benar-benar pulang? Secara semua barang-barang dia ada di sini. Cuma satu yang gak ada handycam. Jeremi pulang dengan tangan kosong itu gak mungkin. Lu semua udah tau lah sipat dia gimana. Dengan badan segede gaban gitu berani lewatin sungai seorang diri. Itu mustahil guys." gumam Tias sambil mengunyah permen karetnya.
Aku segera memberikan, sepucuk surat tersebut kepada mereka. "Sa coba lu baca," Tias menyodorkan surat tersebut kepada Lisa.
Lisa membaca bait tiap bait kalimat yang tertulis di selembar kertas. "Jun ini bukan tulisan Jeremi, aku hapal banget gimana tulisan dia. Walaupun dia agak brandalan dari kita semua. Tulisan dia paling bagus. Bahkan bu Ira aja mengakuinya."
Kami saling berpandangan satu sama lain. "Emangnya lu dapat dari mana ni surat?" Kinara bertanya penuh selidik.
"Dari rumah kepala suku, ada satu keanehan juga di rumah itu gue ngeliat kulit dengan tato yang sepertinya gue pernah liat."
Lisa mencari sesuatu di dalam tasnya "Ngapain lu grasak grusuk?" tanya Tias.
"Aku baru ingat handycam itu terhubung dengan ponsel aku. Jika kita bisa menemukan handycam tersebut, kita bisa melacak dimana keberadaan dia. Untuk sekarang, jangan buat seolah-olah kita mencurigai penduduk di sini." Kami semua akhirnya menyetujui saran dari Lisa.
"Masalah tato emang tatonya gambar apa?" tanya Lisa kembali.
Aku menjelaskan gambar tato tersebut dan seketika mereka spontan menyebutkan satu nama "Jeremi."
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBAGIAN ENAM"Usstttt, jangan sampe suara kita memancing mereka." Aku berusaha mengingatkan teman-teman ku.Tias dan Kinara seketika memuntahkan kembali, daging yang mereka santap tadi pagi. Begitupula dengan ku."Juna sekarang kita harus bagaimana? Kalo beneran Jeremi mati diDesa ini, kenapa kita tidak bisa menemukan jenazahnya? Atau jangan-jangan Desa ini.......... " Tias berbicara tanpa jeda dan wajahnya pucat pasi.Lisa spontan menutup bibir sahabatnya tersebut "Ussst jangan keras-keras, mulai sekarang kita harus waspada. Jika pak Ruli atau istrinya menawarkan makanan berbahan daging, jangan sampai kalian semua ikut makan. Bisa saja itu daging Jeremi. Bukannya saya berpikiran buruk, hanya saja mendengar cerita Juna barusan itu sudah cukup menjadi bukti yang kuat. Ra coba kamu cek dulu, bekal kita kira-kira cukup gak untuk tiga hari ke depan?""Bentar gue cek dulu," Kinara segera b
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBAGIAN TUJUHKami berpencar, Tias dan Kinara berlari ke arah Selatan sementara aku dan Rinta ke Utara dan Timur. Aku bersembunyi di bawah pohon besar, sambil memegang busur panah. Jujur saja, aku belum pernah menggunakan benda tersebut. Aku hanya ingat ketika almarhum bapak mengajari dan itu sudah lama sekali. Samar-samar dari balik pohon, aku mendengar langkah kaki yang kian mendekat. Jantung ku berdetak kencang."Kita cari di tempat lain saja, lagian sasaran kita adalah ke dua gadis tersebut," ujar salah satu di antara mereka. Mereka berbalik arah dan setelah di rasa cukup jauh, barulah aku keluar.Baru saja hendak menarik nafas lega, karena terbebas dari kejaran mereka. Bahuku di pegang oleh seseorang. Tubuh ku gemetar, aku memberanikan diri membalikkan badan. "Pak Pepeng!!"Pak Pepeng mengangguk, dan ia membawa ku pergi dari pohon besar tersebut. Sepanjang perjalanan, kami hanya terdiam membi
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN DESA KANIBALBAGIAN DELAPANPak Pepeng segera mengambil busur panah, dia memberi kode agar aku membuka pintu tersebut. Aku membuka pintu dengan tangan gemetar. "Kinara," aku terperanjat seketika. Pak Pepeng segera menurunkan busur panahnya."Juna," Kinara segera memelukku sambil menangis terisak."Masuk dulu nak," ucap Pak Pepeng.Kinara masuk dengan langkah gontai, "Ki, Tias mana?" Aku tidak melihat Kinara bersama Tias."Tias...Tias....""Tias kenapa Ki?" Aku sangat panik saat itu."Dia di tangkap Juna, Tias di tangkap. Kakinya mengalami luka robek, dia terkena lemparan tombak mereka. Tias minta gue untuk berlari menyelamatkan diri. Maafin gue Juna, seharusnya gue gak ninggalin Tias di sana." Kinara menangis sesegukan.Aku dan Pak Pepeng saling berpandangan satu sama lain. Tubuh ku seakan lemas tak berdaya, aku segera ke belakang gubuk tersebut. Memandang awan dalam kegelapan malam,
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBAL BAGIAN SEMBILAN Pak Pepeng melemparkan bambu kuning runcing, kearah makhluk tersebut. "Juna apa yang kamu tunggu, ayo lari !!" Beliau menarik tanganku dan aku seketika langsung tersadar. Kami segera berlari bersama, menembus gelapnya hutan. Malam itu adalah malam mencekam untuk kami. Setelah tiba di tepi sungai, Pak Pepeng mengambil perahunya. Kami segera meninggalkan Desa tersebut. Aku hanya bisa terdiam, wajah ku pucat. Badan ku gemetar dan tubuh ku panas. Setelah sampai di Dermaga, kami segera turun dari sampan tersebut. Pandangan ku kosong saat itu. Kinara dan Pak Pepeng menuntun ku. Aku segera di kompres oleh Kinara, saat kami telah tiba di rumah beliau. "Juna badan lu panas banget." Pandangan ku samar-samar, seketika aku melihat Jeremi berada di antara kami. Dia tersenyum kepada ku, "Jeremi." Kinara segera menoleh, "Istighfar Juna, sadar Jeremi udah gak ada lagi." Kinara mulai menang
BAGIAN SEMBILANPak Pepeng melemparkan bambu kuning runcing, kearah makhluk tersebut. "Juna apa yang kamu tunggu, ayo lari !!"Beliau menarik tanganku dan aku seketika langsung tersadar. Kami segera berlari bersama, menembus gelapnya hutan. Malam itu adalah malam mencekam untuk kami. Setelah tiba di tepi sungai, Pak Pepeng mengambil perahunya. Kami segera meninggalkan Desa tersebut. Aku hanya bisa terdiam, wajah ku pucat. Badan ku gemetar dan tubuh ku panas.Setelah sampai di Dermaga, kami segera turun dari sampan tersebut. Pandangan ku kosong saat itu. Kinara dan Pak Pepeng menuntun ku. Aku segera di kompres oleh Kinara, saat kami telah tiba di rumah beliau. "Juna badan lu panas banget."
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBAGIAN SEPULUHKinara, hanya bisa memejamkan matanya. Dia tidak sanggup melihat adegan sadis tersebut. Istri Pak Ruli, pingsan seketika. Tubuh Pak Ruli, segera di kuliti oleh beberapa orang yang mengenakan jubah hitam. Mereka mempertontonkan, hal mengerikan tersebut, di hadapan semua penduduk. Bau anyir darah menyeruak, bersatu padu dengan bau busuk dari luka menganga Rinta. Beberapa lalat hijau, terlihat mengerumuni luka tersebut.Perut ku mulai mual, aku berusaha menahan agar tidak muntah. Wajah, dan jubah yang aku kenakan juga tak luput dari bau amis tersebut. Rinta masih bernafas, dia tidak menyadari kehadiran kami di sana. Tubuhnya pucat, nafasnya tersengal menahan kesakitan. Kepala suku, mengambil darah yang tertampung di dalam bejana tersebut. Beberapa darah, kelihatan telah menggumpal.Dia duduk di sebuah lingkaran, yang di penuhi beberapa lilin. Membaca beberapa mantera, dan memulai beber
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBAGIAN 11Nafas Sukma memburu, Tria segera berlari kearah penduduk. "Kalo kalian berani menyentuh adik saya, anak panah ini akan menancap di daging kalian." Matanya menatap tajam, dengan beberapa penduduk.Mereka mundur perlahan bergitu pula dengan anak buah Kepala Suku. Tidak ada yang berani, untuk mendekati. Adya Seta, perlahan mendekati kedua buah hatinya. Dia membawa sebilah pedang, yang mengeluarkan bunyi nyaring. Saat menghantam bebatuan, dasar goa. "Mundur Ayah, atau... ""Atau apa? Kamu akan membunuh Ayah mu sendiri? Ayo, silahkan bunuh saya." Adya Seta mendekat, dia mengarahkan anak panah tersebut ke jantungnya sendiri.Tangan Tria gemetar, dia bingung apa yang harus dia lakukan. "Kalian semua ambil Sukma, sekarang!!" Suaranya menggema di dalam goa."Baik Tuan," mereka segera membawa Sukma. Tria, hanya bisa terdiam, dan terjatuh ke tanah seketika. Semua yang dia lakukan, hanya sia-sia b
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBAGIAN 12Pak Pepeng, menengahi pertengkaran sengit di antara kami, "Jangan gegabah Juna, apa yang di katakan oleh Kinara ada benarnya. Saya juga tau, bagaimana rasanya kehilangan. Tidak ada, yang bisa di sesali semua sudah terjadi. Kalian harus segera meninggalkan Desa ini. Sebelum semuanya terlambat."Aku hanya tertunduk lemas, tidak ada daya dan upaya lagi. "Saya hanya ingin memakamkan dia, secara layak Pak." hanya kalimat itu, yang terus keluar dari bibir ku. Rasa bersalah yang sering menghantui.Lisa mendatangi kami, dengan wajah cemas. "Tias muntah darah," ujarnya dengan tangis sesegukan.Kami segera menghampiri Tias, wajahnya pucat. Darah membanjiri lantai rumah panggung tersebut. Diantara bercak darah, aku seperti melihat benda kemilau hidup dan menggeliat. "Apa kalian meminum atau memakan apa yang mereka berikan?" tanya Pak Pepeng kepada Lisa.Lisa mengangguk, "Hanya Tias yang mengonsumsi, saya sudah berulang kali mencegah. Untuk