Bab 1
Malam itu, bulan purnama menggantung di langit, terlalu besar dan terlalu terang. Cahayanya memantul pada jendela-jendela rumah keluarga Wiratmaja, menembus tirai, seakan mencari sesuatu. Angin dingin membawa aroma anyir yang menyengat, bercampur dengan bau kayu tua dari rumah yang sudah berdiri selama tiga generasi. Lila terbangun dengan dada yang terasa sesak. Dadanya naik-turun, napasnya terputus-putus. Ia baru saja bermimpi buruk, tapi detailnya menghilang begitu cepat, meninggalkan rasa takut yang membekas di tubuhnya. Perlahan, ia menoleh ke ranjang kecil di sampingnya. "Arga?" bisiknya dengan suara parau. Ranjang bayi itu kosong. Selimut yang biasanya membungkus tubuh kecil anaknya terjatuh ke lantai, basah oleh cairan berwarna gelap yang menetes perlahan. Aroma anyir kembali menusuk hidungnya, membuat perutnya mual. Sebelum ia sempat berteriak, suara itu datang. Tangisan bayi, pelan dan parau, seperti berasal dari tenggorokan yang hampir robek. Tangisan itu tidak datang dari kamar, tapi dari bawah, dari arah gudang tua di belakang rumah. “Bima!” Lila mengguncang suaminya, yang terbangun dengan mata setengah tertutup. “Arga... dia hilang. Aku mendengar sesuatu.” Bima terdiam sejenak, tubuhnya kaku. Ia mendengar tangisan itu juga. Suara yang menggema lembut, namun penuh kepedihan, memanggil-manggil. “Gudang...” gumam Bima, hampir tidak terdengar. Gudang tua itu sudah bertahun-tahun tak tersentuh, terkunci sejak kakek mereka meninggal. Tapi malam ini, pintunya tampak terbuka sedikit, seperti sedang menunggu mereka masuk. Lila menggenggam lengan Bima erat, mencoba menguatkan diri. Mereka berjalan menuju pintu belakang, setiap langkah terasa berat, seperti ada sesuatu yang menahan tubuh mereka. Suara tangisan itu semakin jelas, bercampur dengan bisikan-bisikan lirih yang menyayat telinga. “Dia milik kami... janji harus ditepati...” Lila berhenti di depan pintu gudang. Suaranya bergetar saat ia berbisik, “Bima, kita jangan masuk. Ada yang salah...” Namun, sebelum mereka sempat berbalik, pintu gudang berderit terbuka sendiri. Angin dingin menyapu wajah mereka, membawa serta aroma tanah basah dan darah. Di dalam, bayangan-bayangan bergerak liar di sudut gelap, menciptakan bentuk-bentuk yang tak bisa didefinisikan. Dan di tengah gudang itu, ada sosok kecil. Arga duduk di lantai, tubuhnya terbungkus cahaya bulan yang menyorot dari lubang di atap. Tapi ada yang salah. Tangannya yang mungil terulur ke arah mereka, sementara di belakangnya, bayangan hitam besar berdiri, tak bergerak, tak bernapas, hanya menatap mereka dengan mata kosong yang bersinar merah. “Tumbal,” suara itu menggema, tak berasal dari mulut siapapun. “Kau tak bisa lari.” Lila duduk di lantai, tubuhnya menggigil memeluk selimut basah yang masih meneteskan darah. Bima mondar-mandir di ruang tamu, mencoba berpikir jernih meski pikirannya terus dihantui suara-suara dari gudang. “Kita harus melakukan sesuatu,” kata Lila dengan suara gemetar. “Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Arga... Arga masih di sana.” “Tapi bagaimana? Apa yang kita hadapi ini bukan... manusia,” jawab Bima, frustrasi. “Apa kau dengar suara itu? Mereka tahu segalanya tentang kita, Lila. Mereka tahu kelemahan kita.” Lila terdiam, pikirannya melayang pada cerita-cerita aneh yang pernah ia dengar dari para tetua desa. Tentang keluarga Wiratmaja yang, meski selalu kaya raya, membawa kematian bagi keturunannya. Tentang suara-suara di malam purnama dan bayi-bayi yang hilang tanpa jejak. Ia selalu menganggap itu hanya legenda, sampai sekarang. “Ada seseorang,” kata Lila akhirnya. “Pak Surya. Dia yang pernah menceritakan hal ini padaku dulu. Dia bilang kutukan ini nyata.” Pak Surya adalah tetua desa yang tinggal di ujung kampung, dikenal sebagai penjaga rahasia keluarga-keluarga lama. Bima awalnya enggan, tapi akhirnya menyerah pada desakan Lila. Rumah Pak Surya Di dalam rumah Pak Surya, bayangan dari lampu minyak menari-nari di dinding, menciptakan bentuk-bentuk aneh yang seakan bergerak sendiri. Udara di ruangan itu terasa berat, hampir sulit untuk bernapas. Lila memegang erat selimut berdarah yang ia bawa, tangannya gemetar tak terkendali. Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah Pak Surya yang terlihat lebih tua dari usianya. Mata tuanya langsung menatap selimut di tangan Lila. “Kalian sudah terlambat,” katanya datar. “Tolong, Pak,” kata Lila memohon. “Kami harus menyelamatkan anak kami. Kami harus tahu cara menghentikan ini.” Pak Surya menghela napas panjang sebelum mempersilakan mereka masuk. Di dalam, ruangan itu dipenuhi aroma dupa yang menyengat. Di meja kayu, ada sebuah kitab tua dengan halaman yang terlihat rapuh. “Ini bukan hal baru,” kata Pak Surya, tangannya menunjuk kitab itu. “Kakek buyut kalian, Wiratmaja, membuat perjanjian dengan sesuatu yang seharusnya tidak disentuh manusia. Kekayaan dan kejayaan yang kalian nikmati datang dengan harga yang harus dibayar setiap purnama sempurna.” “Kenapa bayi?” Lila hampir tidak bisa mengendalikan emosinya. “Kenapa mereka mengambil yang tak berdosa?” “Karena darah bayi adalah yang paling murni,” jawab Pak Surya tanpa ragu. “Semakin tua tumbal, semakin lemah kekuatannya. Dan jika kalian menolak... mereka akan datang untuk seluruh keluarga kalian.” Bima mengepalkan tangannya. “Pasti ada cara untuk menghentikannya. Ritual atau apa pun itu.” Pak Surya terdiam lama sebelum akhirnya berbicara. “Ada. Tapi harganya mungkin lebih besar dari yang kalian bayangkan.” “Kalian tidak mengerti,” suara Pak Surya serak, nyaris seperti bisikan. “Kutukan ini tidak hanya menuntut darah. Ia menciptakan ikatan. Semakin dekat kalian dengan kebenaran, semakin dalam ia mencengkeram kalian.” Sebelum Bima bisa bertanya lebih jauh, pintu di belakang mereka berderit pelan, seperti ada seseorang yang mendorongnya. Lila menoleh cepat, tapi tidak ada apa-apa. Hanya kegelapan di luar, gelap yang terasa lebih pekat daripada biasanya. “Pak Surya, apa itu?” Bima bertanya dengan suara rendah, tubuhnya tegang. Pak Surya menatap pintu itu dengan ekspresi muram. “Mereka tahu kalian di sini. Semakin lama kita berbicara, semakin dekat mereka.” Suara langkah terdengar dari luar, perlahan, seperti seseorang berjalan di atas tanah berbatu. Langkah itu semakin mendekat, diiringi suara napas berat, seperti makhluk yang kehabisan udara. “Kita harus pergi,” bisik Lila, hampir menangis. “Belum,” Pak Surya berkata tegas. Ia membuka kitab tua di atas meja, jarinya menunjuk sebuah halaman yang penuh simbol aneh dan gambar yang menyerupai bayangan-bayangan di gudang. “Ini adalah satu-satunya cara. Kalian harus mencari tempat di mana perjanjian pertama dibuat. Kakek buyut kalian meninggalkan tanda, sebuah lingkaran yang terbuat dari darah. Di sana, kalian bisa memutuskan kutukan ini.” Sebelum ia sempat menjelaskan lebih jauh, lampu minyak tiba-tiba padam. Ruangan itu tenggelam dalam kegelapan total, hanya diterangi sedikit oleh cahaya bulan dari celah-celah jendela. Lila mencengkeram lengan Bima. “Apa yang terjadi?!” Kemudian, suara itu datang. Tangisan bayi, tapi kali ini lebih menyerupai jeritan. Jeritan itu bergema di seluruh ruangan, seakan datang dari setiap sudut. “Dia milik kami...” suara dalam itu menggema, penuh kebencian. Lila berteriak saat melihat sesuatu di sudut ruangan, bayangan besar, sama seperti yang ia lihat di gudang, kini berdiri diam, menatap mereka dengan mata merah menyala. Bayangan itu tak bergerak, tapi kehadirannya begitu kuat hingga udara di sekelilingnya terasa membeku. Pak Surya dengan cepat mencabut pisau kecil dari balik jubahnya, menggoreskan garis di telapak tangannya. Darah segar menetes ke lantai kayu. “Kalian harus pergi sekarang! Lingkaran ini akan menahan mereka sementara waktu.” “Bagaimana dengan Anda?” tanya Bima panik. “Jangan pikirkan aku. Kalau kalian ingin menyelamatkan anak kalian, temukan lingkaran darah itu sebelum purnama berikutnya.” Bayangan itu mulai bergerak, mendekat perlahan. Dengan langkah berat, Lila dan Bima lari keluar dari rumah, tapi suara jeritan terus mengikuti mereka. Di luar, bulan purnama terlihat lebih besar, memancarkan cahaya merah seperti darah. Di kejauhan, mereka mendengar suara langkah yang mengikuti bukan satu, tapi banyak, seperti seluruh desa mengejar mereka.Di ruang tamu yang sunyi, Arga dan Anandia duduk berhadapan. Wajah Anandia tegang, sementara Arga menatapnya dengan sabar, menunggu penjelasan yang sudah lama ia tunggu."Arga," Anandia memulai, suaranya bergetar. "Aku harus memberitahumu sesuatu yang mungkin akan mengubah cara pandangmu terhadapku."Arga menyandarkan punggungnya, mencoba membuat Anandia merasa lebih nyaman. "Katakan saja, Anandia. Aku di sini untuk mendengar, apa pun itu."Anandia menarik napas panjang. "Keluargaku... mereka bukan keluarga biasa. Kami memiliki hubungan dengan sesuatu yang gelap, sesuatu yang tidak bisa aku hindari."Arga mengerutkan kening. "Hubungan dengan sesuatu yang gelap? Maksudmu apa?"Anandia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. "Dulu, sebelum aku lahir, keluargaku terlibat dalam sebuah ritual gaib. Ritual itu melibatkan leluhurmu, Arga."Arga tertegun. "Leluhurku? Apa hubungan keluargamu dengan kutukan itu?"Anandia men
Pagi itu, Arga kembali ke rumah dengan perasaan penuh pertanyaan. Percakapan dengan Anandia kemarin masih terngiang-ngiang di benaknya. Namun, saat ia hendak memasuki rumah, Anandia muncul di gerbang, seolah telah menunggunya."Anandia?" Arga menatapnya heran. "Kenapa kamu di sini?""Aku harus bicara, Arga. Ini soal keluargaku. Aku harus menjelaskannya sekarang," kata Anandia dengan nada serius.Arga ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia membuka pintu dan mengajak Anandia duduk di ruang tamu. Lila dan Bima tidak ada di rumah, jadi tempat itu cukup tenang untuk percakapan mereka."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Arga sambil menyilangkan tangan di dada.Anandia menatap ke arah jendela, matanya penuh kenangan pahit. "Dua tahun lalu, aku kehilangan keluargaku dalam sebuah kejadian yang tidak pernah bisa aku lupakan. Mereka dibunuh... oleh sesuatu yang bukan manusia."Arga terkejut. "Apa maksudmu, bukan manusia?"Anandia menghela napas panjang. "Sesuatu yang datang dari dunia ga
Suasana kelas yang semula riuh mendadak sunyi saat seorang gadis baru memasuki ruangan. Guru wali kelas tersenyum sambil memperkenalkan."Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Perkenalkan dirimu, ya."Gadis itu maju ke depan kelas dengan langkah tenang. Rambut hitamnya tergerai rapi, dan matanya memancarkan keteguhan yang aneh."Halo, semuanya. Nama saya Anandia, saya baru pindah dari kota. Senang bisa bergabung di sini." Suaranya lembut tetapi penuh keyakinan.Bisik-bisik mulai terdengar di antara para siswa."Anandia cantik banget, ya," ujar salah satu siswa perempuan."Kayaknya dia tipe cewek pintar," timpal yang lain.Sheila yang duduk di sudut kelas memperhatikan dengan tatapan tak suka. Ia memelototi Anandia seolah langsung menganggapnya ancaman.---Saat Jam Istirahat.Anandia berjalan keluar kelas, mencari tempat untuk duduk sendiri. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat Arga di taman. Ia mendekat dengan ragu, lalu berkata, "Boleh duduk di sini?"Arga, yang seda
Hari itu, suasana kelas tampak lebih ramai dari biasanya. Guru wali kelas baru saja mengumumkan adanya kompetisi akademik tingkat provinsi, dan Arga, seperti biasa, langsung ditunjuk sebagai perwakilan sekolah. Namun, suasana berubah tegang saat nama lain disebutkan."Sebagai perwakilan kedua, kami memilih Farel," kata wali kelas dengan senyum.Semua murid mulai berbisik-bisik. Farel adalah salah satu siswa yang dikenal pintar, tapi sering terlihat iri dengan prestasi Arga. Wajah Farel tampak puas, tapi ada kilatan tantangan di matanya saat ia menatap Arga.Saat kelas usai, Farel menghampiri Arga yang sedang duduk di pojokan, membaca buku."Jadi, kita akan jadi tim, ya?" Farel membuka percakapan dengan nada sinis.Arga mengangkat wajahnya sekilas, lalu kembali fokus pada bukunya. "Tim? Kalau kau serius, mungkin," jawabnya datar.Farel terkekeh kecil. "Jangan terlalu percaya diri, Arga. Kau mungkin juara di sekolah, tapi ini tingkat provinsi. Aku hanya ingin memastikan kau nggak memper
Di SMA tempat Arga bersekolah, ketampanan, kepintaran, dan kepribadian misteriusnya membuat banyak siswi terpesona. Namun, ada satu siswi yang terobsesi melebihi yang lain, Sheila Ia bukan hanya sekadar menyukai Arga, tapi yakin bahwa Arga adalah takdirnya.Pagi itu, suasana di kelas Arga ramai seperti biasa. Arga duduk di bangku belakang, fokus mengerjakan soal tambahan yang diberikan gurunya. Di sudut lain, Sheila mengamati Arga dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Sheila, ngapain bengong? Lagi-lagi liatin Arga, ya?" sindir Siska, teman sebangkunya.Sheila tersenyum kecil. "Dia itu... beda. Kamu nggak ngerti."Siska memutar bola matanya. "Beda apanya? Dia cuma cowok dingin yang nggak pernah peduli sama siapa pun.""Itu karena dia belum kenal aku," balas Sheila yakin.Hari itu, di jam istirahat, Sheila membawa sekotak bekal yang dibuatnya sendiri. Ia berjalan ke arah meja Arga di kantin, di mana Arga sedang membaca buku s
Sekolah SMA tempat Arga belajar adalah salah satu sekolah paling bergengsi di kota. Gedungnya megah, dikelilingi taman luas dengan pepohonan rindang. Namun, suasana sekolah itu selalu menjadi saksi dari kehadiran seorang murid yang misterius dan penuh daya tarik, Arga.Arga adalah pemuda yang dikenal dengan sikap dingin dan cueknya. Ia jarang berbicara dengan teman-teman sekelasnya kecuali saat diperlukan. Namun, justru sikap inilah yang membuatnya begitu dikagumi."Arga itu keren banget, ya. Diam-diam bikin penasaran," bisik seorang siswi kepada temannya saat Arga melintas di lorong sekolah."Dia nggak cuma ganteng, tapi juga pinter banget. Nilai akademiknya selalu nomor satu, belum lagi dia jago basket. Idola banget deh!" sahut yang lain.Dalam berbagai kompetisi, nama Arga selalu muncul. Ia unggul di akademik, menjuarai olimpiade fisika tingkat nasional, dan juga merupakan kapten tim basket sekolah. Ketika Arga bermain di lapangan, tribun selalu dipenuhi sorakan siswa-siswi yang me