Share

2

Penulis: Airyline
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-28 12:53:10

Bab 2

Langkah kaki mereka berpacu di jalan setapak yang gelap, diterangi hanya oleh sinar merah bulan purnama. Di belakang mereka, suara langkah-langkah berat terus mengikuti, disertai jeritan bayi yang melengking menusuk telinga. Suara itu tidak berkurang, meski mereka sudah jauh meninggalkan rumah Pak Surya.

“Bima, mereka semakin dekat!” Lila hampir tersandung, napasnya tersengal-sengal.

“Terus lari! Jangan lihat ke belakang!” Bima menggenggam tangan Lila erat, memaksanya untuk tetap bergerak. Tapi ia sendiri mulai merasakan dingin yang tidak wajar menjalar ke tulang-tulangnya.

Di tengah jalan, angin berembus kencang, membawa bisikan lirih yang semakin jelas:

“Janji... tak bisa dilanggar... darah harus dibayar...”

Mereka akhirnya tiba di tepi desa, di sebuah persimpangan yang bercabang ke hutan lebat. Lila terhenti, menatap jalan setapak yang kini hanya berupa bayangan hitam pekat di antara pepohonan tinggi.

“Kita harus ke mana?” tanyanya panik.

Bima mengeluarkan kertas tua yang diberikan oleh Pak Surya sebelum mereka pergi. Gambar lingkaran dengan simbol-simbol aneh tergores di sana, bersama sebuah kalimat: "Di tempat akar pertama tertanam, di sana perjanjian ditulis."

“Tempat akar pertama...” gumam Bima. “Mungkin pohon tua di ujung hutan ini. Kakek sering menyebutnya sebagai tempat asal keluarga kita.”

“Pohon itu? Pohon yang katanya tidak pernah mati, meski ditebang?” Lila teringat cerita lama tentang pohon raksasa yang disebut warga desa sebagai "Pohon Leluhur."

Belum sempat mereka memutuskan, suara langkah-langkah itu semakin mendekat. Dari balik kegelapan, bayangan-bayangan mulai muncul, satu demi satu. Mereka tidak berbentuk manusia sepenuhnya, terlihat seperti makhluk tinggi dengan tubuh yang menggeliat, seolah bayangan itu hidup sendiri. Mata mereka bersinar merah, seperti mata makhluk yang mereka lihat di gudang.

“Kita tidak punya waktu. Ke pohon itu sekarang!” Bima menarik Lila dan berlari ke dalam hutan.

Di Dalam Hutan

Hutan itu terasa seperti tempat lain, jauh dari dunia nyata. Udara dingin menusuk, dan setiap langkah mereka memecahkan ranting-ranting kering yang terdengar terlalu keras. Suara dari bayangan-bayangan itu terus mendekat, disertai suara tangisan bayi yang semakin menggema.

Lila mulai mendengar sesuatu yang lain, bisikan di telinganya, pelan tapi sangat jelas.

“Kembalikan dia pada kami... atau kalian akan kehilangan semuanya...”

Ia berhenti mendadak, membuat Bima menoleh dengan cemas. “Kenapa berhenti?”

“Aku... aku merasa mereka ada di mana-mana. Mereka tidak hanya mengejar kita... mereka ada di sini.”

Bima menatap sekeliling, dan baru menyadari bahwa hutan itu semakin gelap, meski bulan masih bersinar di atas. Pepohonan di sekitar mereka tampak bergerak, bayangannya membesar seolah ingin menangkap mereka.

Kemudian, mereka melihatnya, Pohon Leluhur. Pohon itu besar, lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan. Kulitnya hitam, penuh dengan goresan simbol-simbol aneh yang terlihat seperti luka. Di bawah akar-akar raksasanya, tanah tampak merah gelap, seolah berlumuran darah yang sudah mengering.

Di tengah lingkaran akar itu, mereka melihat sesuatu yang membuat darah mereka membeku. Bayi mereka, Arga, terbaring di sana. Matanya terbuka, tapi wajahnya kosong, tanpa ekspresi. Di sekelilingnya, bayangan-bayangan itu bergerak mendekat, membentuk lingkaran.

“Arga!” Lila berlari mendekat, tapi Bima menahannya.

“Jangan! Ini jebakan!”

Bayangan-bayangan itu mulai berbicara bersamaan, suara mereka seperti ribuan suara tumpang tindih.

“Janji harus ditepati. Satu tumbal... atau seluruh keluarga kalian akan jatuh.”

Bima menatap Lila dengan putus asa. Mereka harus membuat pilihan: menyerahkan Arga untuk menyelamatkan keluarga mereka, atau melawan sesuatu yang tidak mereka pahami.

Di saat itu, suara dari dalam kepala mereka terdengar lebih jelas:

“Ada cara untuk memutuskan ini... tapi kalian harus menyerahkan jiwa kalian sendiri.”

“Jiwa kami...?” Lila bertanya dengan suara bergetar, matanya terus tertuju pada tubuh kecil Arga yang terbaring di tengah lingkaran akar.

“Kehidupan untuk kehidupan. Jiwa untuk memutus rantai darah. Itu harga yang harus kalian bayar.” Suara itu menggema, datang dari bayangan-bayangan yang terus mendekat.

Bima memegang tangan Lila erat. “Tidak ada jaminan mereka akan berhenti, Lila. Jika kita menyerahkan Arga, mereka bisa saja terus menuntut lebih.”

“Tapi... kalau kita melawan mereka, bagaimana kalau kita kehilangan segalanya? Aku tidak sanggup, Bima.” Air mata Lila mengalir deras.

Di tengah kepanikan mereka, pohon besar itu mulai bergerak. Akar-akar di bawahnya bergeser, menciptakan suara seperti tulang patah. Dari dalam tanah, sesuatu mulai muncul sebuah peti kayu tua, terukir simbol-simbol serupa dengan yang ada di kulit pohon.

“Buka peti itu,” kata suara dari bayangan, tajam dan dingin. “Di dalamnya, kalian akan menemukan jawaban. Tapi ingat, setiap pilihan ada harganya.”

Bima mendekati peti dengan hati-hati, tangan gemetar saat ia menyentuh permukaannya yang kasar. Lila memegang lengannya. “Bima, jangan. Ini bisa jebakan.”

“Kita tidak punya pilihan, Lila.” Dengan satu tarikan napas panjang, Bima membuka peti itu.

Di dalamnya ada sebuah pisau ritual dengan gagang yang terbuat dari tulang, serta sebuah buku yang halaman-halamannya sudah usang. Di halaman pertama, tertulis dengan tinta merah tua: "Hanya darah keluarga yang bisa memutus perjanjian ini."

“Apa maksudnya?” Lila berbisik.

Bima membaca lebih jauh, suaranya serak saat menjelaskan. “Kita bisa memutus kutukan ini dengan satu pengorbanan terakhir darah dari garis keturunan langsung keluarga kita. Bukan Arga, tapi... aku, atau kamu.”

Kata-kata itu seperti pukulan keras di dada mereka. Lila mundur beberapa langkah, gemetar. “Tidak... ini tidak mungkin.”

“Pilihlah,” suara bayangan semakin mendesak. “Atau kalian semua akan kami ambil.”

Tiba-tiba, jeritan Arga terdengar. Tubuh kecilnya melengkung seperti sedang kesakitan, dan lingkaran akar di sekelilingnya mulai menyala dengan cahaya merah menyilaukan. Lila berlari mendekat, tapi sebuah akar besar muncul dari tanah, menghentikannya.

“Lila, aku akan melakukannya,” kata Bima dengan suara tegas. “Aku yang akan memutus ini. Aku yang akan menyerahkan diri.”

“Tidak!” Lila menjerit, mencengkeram lengannya. “Kamu tidak bisa meninggalkan kami. Aku tidak bisa hidup tanpamu!”

“Tapi aku tidak bisa membiarkan Arga mati, Lila. Dia tidak pantas menerima ini.” Bima mengangkat pisau ritual itu, matanya penuh tekad.

Sebelum ia sempat melakukan apa pun, bayangan-bayangan itu mulai menyerang. Suara tawa mengerikan memenuhi udara, dan akar-akar pohon mulai bergerak liar, mencoba meraih mereka.

“Bima, cepat!” Lila berteriak, menahan satu akar yang hampir menyambar Arga.

Bima berdiri di tengah lingkaran, pisau di tangannya berkilauan dalam cahaya merah. Tapi sebelum ia bisa menghunuskannya ke tubuhnya sendiri, suara lain terdengar—suara yang jauh lebih dalam dan berkuasa.

“Cukup.”

Bayangan-bayangan itu berhenti bergerak, dan akar-akar kembali ke tanah. Dari batang pohon besar itu, sosok seorang pria tua dengan jubah hitam muncul, wajahnya tidak sepenuhnya terlihat.

“Kalian punya keberanian besar, tetapi kebodohan kalian juga tak terukur. Aku adalah saksi pertama perjanjian ini, dan aku akan memberi kalian satu kesempatan terakhir.”

Sosok itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba lingkaran akar di bawah Arga terangkat, membawa bayi itu ke udara. “Pilih: serahkan jiwa kalian, atau jalani hidup selamanya dalam bayang-bayang ketakutan.”

Lila dan Bima saling menatap, ketakutan dan cinta bercampur dalam tatapan mereka. Apa yang harus mereka pilih?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tumbal Purnama    28

    Di ruang tamu yang sunyi, Arga dan Anandia duduk berhadapan. Wajah Anandia tegang, sementara Arga menatapnya dengan sabar, menunggu penjelasan yang sudah lama ia tunggu."Arga," Anandia memulai, suaranya bergetar. "Aku harus memberitahumu sesuatu yang mungkin akan mengubah cara pandangmu terhadapku."Arga menyandarkan punggungnya, mencoba membuat Anandia merasa lebih nyaman. "Katakan saja, Anandia. Aku di sini untuk mendengar, apa pun itu."Anandia menarik napas panjang. "Keluargaku... mereka bukan keluarga biasa. Kami memiliki hubungan dengan sesuatu yang gelap, sesuatu yang tidak bisa aku hindari."Arga mengerutkan kening. "Hubungan dengan sesuatu yang gelap? Maksudmu apa?"Anandia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. "Dulu, sebelum aku lahir, keluargaku terlibat dalam sebuah ritual gaib. Ritual itu melibatkan leluhurmu, Arga."Arga tertegun. "Leluhurku? Apa hubungan keluargamu dengan kutukan itu?"Anandia men

  • Tumbal Purnama    27

    Pagi itu, Arga kembali ke rumah dengan perasaan penuh pertanyaan. Percakapan dengan Anandia kemarin masih terngiang-ngiang di benaknya. Namun, saat ia hendak memasuki rumah, Anandia muncul di gerbang, seolah telah menunggunya."Anandia?" Arga menatapnya heran. "Kenapa kamu di sini?""Aku harus bicara, Arga. Ini soal keluargaku. Aku harus menjelaskannya sekarang," kata Anandia dengan nada serius.Arga ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia membuka pintu dan mengajak Anandia duduk di ruang tamu. Lila dan Bima tidak ada di rumah, jadi tempat itu cukup tenang untuk percakapan mereka."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Arga sambil menyilangkan tangan di dada.Anandia menatap ke arah jendela, matanya penuh kenangan pahit. "Dua tahun lalu, aku kehilangan keluargaku dalam sebuah kejadian yang tidak pernah bisa aku lupakan. Mereka dibunuh... oleh sesuatu yang bukan manusia."Arga terkejut. "Apa maksudmu, bukan manusia?"Anandia menghela napas panjang. "Sesuatu yang datang dari dunia ga

  • Tumbal Purnama    26

    Suasana kelas yang semula riuh mendadak sunyi saat seorang gadis baru memasuki ruangan. Guru wali kelas tersenyum sambil memperkenalkan."Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Perkenalkan dirimu, ya."Gadis itu maju ke depan kelas dengan langkah tenang. Rambut hitamnya tergerai rapi, dan matanya memancarkan keteguhan yang aneh."Halo, semuanya. Nama saya Anandia, saya baru pindah dari kota. Senang bisa bergabung di sini." Suaranya lembut tetapi penuh keyakinan.Bisik-bisik mulai terdengar di antara para siswa."Anandia cantik banget, ya," ujar salah satu siswa perempuan."Kayaknya dia tipe cewek pintar," timpal yang lain.Sheila yang duduk di sudut kelas memperhatikan dengan tatapan tak suka. Ia memelototi Anandia seolah langsung menganggapnya ancaman.---Saat Jam Istirahat.Anandia berjalan keluar kelas, mencari tempat untuk duduk sendiri. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat Arga di taman. Ia mendekat dengan ragu, lalu berkata, "Boleh duduk di sini?"Arga, yang seda

  • Tumbal Purnama    25

    Hari itu, suasana kelas tampak lebih ramai dari biasanya. Guru wali kelas baru saja mengumumkan adanya kompetisi akademik tingkat provinsi, dan Arga, seperti biasa, langsung ditunjuk sebagai perwakilan sekolah. Namun, suasana berubah tegang saat nama lain disebutkan."Sebagai perwakilan kedua, kami memilih Farel," kata wali kelas dengan senyum.Semua murid mulai berbisik-bisik. Farel adalah salah satu siswa yang dikenal pintar, tapi sering terlihat iri dengan prestasi Arga. Wajah Farel tampak puas, tapi ada kilatan tantangan di matanya saat ia menatap Arga.Saat kelas usai, Farel menghampiri Arga yang sedang duduk di pojokan, membaca buku."Jadi, kita akan jadi tim, ya?" Farel membuka percakapan dengan nada sinis.Arga mengangkat wajahnya sekilas, lalu kembali fokus pada bukunya. "Tim? Kalau kau serius, mungkin," jawabnya datar.Farel terkekeh kecil. "Jangan terlalu percaya diri, Arga. Kau mungkin juara di sekolah, tapi ini tingkat provinsi. Aku hanya ingin memastikan kau nggak memper

  • Tumbal Purnama    24

    Di SMA tempat Arga bersekolah, ketampanan, kepintaran, dan kepribadian misteriusnya membuat banyak siswi terpesona. Namun, ada satu siswi yang terobsesi melebihi yang lain,  Sheila Ia bukan hanya sekadar menyukai Arga, tapi yakin bahwa Arga adalah takdirnya.Pagi itu, suasana di kelas Arga ramai seperti biasa. Arga duduk di bangku belakang, fokus mengerjakan soal tambahan yang diberikan gurunya. Di sudut lain, Sheila mengamati Arga dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Sheila, ngapain bengong? Lagi-lagi liatin Arga, ya?" sindir Siska, teman sebangkunya.Sheila tersenyum kecil. "Dia itu... beda. Kamu nggak ngerti."Siska memutar bola matanya. "Beda apanya? Dia cuma cowok dingin yang nggak pernah peduli sama siapa pun.""Itu karena dia belum kenal aku," balas Sheila yakin.Hari itu, di jam istirahat, Sheila membawa sekotak bekal yang dibuatnya sendiri. Ia berjalan ke arah meja Arga di kantin, di mana Arga sedang membaca buku s

  • Tumbal Purnama    23

    Sekolah SMA tempat Arga belajar adalah salah satu sekolah paling bergengsi di kota. Gedungnya megah, dikelilingi taman luas dengan pepohonan rindang. Namun, suasana sekolah itu selalu menjadi saksi dari kehadiran seorang murid yang misterius dan penuh daya tarik, Arga.Arga adalah pemuda yang dikenal dengan sikap dingin dan cueknya. Ia jarang berbicara dengan teman-teman sekelasnya kecuali saat diperlukan. Namun, justru sikap inilah yang membuatnya begitu dikagumi."Arga itu keren banget, ya. Diam-diam bikin penasaran," bisik seorang siswi kepada temannya saat Arga melintas di lorong sekolah."Dia nggak cuma ganteng, tapi juga pinter banget. Nilai akademiknya selalu nomor satu, belum lagi dia jago basket. Idola banget deh!" sahut yang lain.Dalam berbagai kompetisi, nama Arga selalu muncul. Ia unggul di akademik, menjuarai olimpiade fisika tingkat nasional, dan juga merupakan kapten tim basket sekolah. Ketika Arga bermain di lapangan, tribun selalu dipenuhi sorakan siswa-siswi yang me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status