Share

Bab 4

Nadira hanya tersenyum tipis secara terpaksa, lalu menarik tangan Ghea sembari berbisik pelan.

"Lo yakin dia orangnya?" tanya Nadira pelan. Bagaimanapun, wanita satu ini tidak ingin menyinggung perasaan pria yang saat ini ada di hadapannya.

"Gue gak tahu kenapa kayak gini orangnya, kata temanku sih ganteng," sahut Ghea kebingungan, dia juga mulai melihat penampilan pria yang terlihat cupu.

"Lo gimana sih, kalau kayak gini mah ... mending gue gak usah datang saja ke acara. Bisa-bisa gue ditertawakan Ghe," ucap Nadira sembari membayangkan apa yang akan terjadi jika datang bersama pria itu.

"Terus, enaknya bagaimana ini?" tanya Ghea meminta pendapat sahabatnya.

"Gue gak mau ikut-ikutan, lebih baik gue pulang." Nadira kesal, hingga pergi begitu saja meninggalkan Ghea yang mulai mengajak ngobrol pria itu lagi.

"Maaf, ya. Teman gue gak setuju, mending pulang saja." Ghea berbicara tanpa basa-basi, lalu mengejar Nadira yang sudah berjalan jauh darinya.

Wanita cantik yang sudah siap datang ke pernikahan mantannya melangkahkan kaki dengan cepat, hingga kakinya tersandung dan terjatuh. Sebuah uluran tangan ada di hadapannya, Nadira langsung memperhatikan tangan yang terulur tersebut. Dia tidak ingin kalau pria culun itu mengejarnya. Wanita cantik berlesung pipi melihat wajah pria itu sekilas, lalu memilih untuk berdiri sendiri tanpa harus meraih tangan yang terulur ingin membantunya.

"Lo gapapa?" tanya pria yang memiliki suara sedikit serak.

"Gue gapapa," sahut Nadira pelan.

Selanjutnya, Ghea berdiri di belakang Nadira.

"Lo gapapa 'kan, Nad?" tanya Ghea khawatir.

"Gue gapapa, kita pulang saja yuk!" ajak Nadira karena tidak mungkin dia tetap datang ke pernikahan tanpa pasangan.

"Kok pulang? Gak jadi ke pernikahannya?" tanya pria berkulit putih membuat Nadira dan Ghea kaget.

"Aku yang akan menjadi tunangan pura-pura," jelas pria tampan tersebut.

Senyuman di bibir Ghea kini mengembang, ternyata wanita itu tidak salah meminta bantuan.

"Terus pria yang di sana, siapa?" tanya Nadira bingung.

"Oh, dia orang suruhanku. Soalnya tadi aku masih sakit perut, jadi memintanya untuk menunggu. Dia gak menjelaskan apa pun?" tanya pria yang belum diketahui namanya tersebut.

Nadira menyenggol sikut Ghea, seolah sedang bertanya-tanya.

"Gue gak tanya apa pun, soalnya gue juga mengira dia orangnya." Ghea berbisik untuk memperjelas semuanya.

"Jadi berangkat sekarang 'kan?" tanya pria berwajah tampan itu.

"Iya." Nadira menjawab singkat.

Kunci mobil Nadira diberikan pada Ghea, sedangkan wanita itu akan menaiki mobil pria yang saat ini akan menjadi tunangan pura-pura. Tidak banyak yang mereka obrolkan, sebab wanita berlesung pipi masih sungkan mau berbicara dengan pria yang terlihat lebih dewasa darinya. Bahkan cara bicaranya pun aku, kamu. Sedangkan Nadira sudah terbiasa berbicara lo, gue dengan sahabatnya.

"Jadi lo ditinggal nikah oleh tunanganmu?" tanya pria tampan menghilangkan keheningan.

Nadira mengangguk pelan, ada rasa malu dalam hatinya. Namun, wanita itu tidak bisa mengungkapkannya.

"Yang sabar ya, pasti nanti kamu mendapatkan pria yang lebih baik darinya." Pria itu justru mendo'akan. Nadira kira, pria tampan itu akan menertawakan kesedihannya. Ternyata, memberikan semangat lewat do'anya.

"Aamiin, terima kasih do'anya." Hanya itu yang bisa Nadira ucapkan.

Kemudian, wanita itu memberikan sebuah cincin pada pria itu untuk dikenakan.

"Meskipun kita pura-pura tunangan, lo eh maksudnya kamu tidak boleh pegang tanganku atau berbuat hal yang membuatku tidak nyaman." Nadira menegaskan ucapannya karena tidak ingin pria itu melampaui batas.

"Siap! Apa ada syarat yang lain lagi?" ujar pria itu memberikan senyuman.

"Oya, kita belum kenalan. Siapa namamu?" tanya Nadira karena tidak mungkin wanita itu tidak tahu nama pria yang telah menjadi tunangannya walaupun cuma pura-pura saja.

"Hendra." Pria itu menjawab singkat. Dia tidak akan menanyakan nama Nadira karena sudah tahu dari sahabatnya yang merupakan teman dekat Ghea.

"Baik," ucap Nadira singkat.

Wanita berlesung pipi itu mulai mengingat-ingat lagi wajah pria tampan tersebut. Namun, dia tidak memiliki keberanian untuk memandang dan bertanya dalam hati kecilnya sendiri.

"Mungkin hanya mirip saja." Nadira bermonolog. Namun, masih terdengar oleh pria itu.

"Apanya yang mirip? Mirip siapa?" cecarnya.

"Enggak, aku lagi ngomong sendiri. Gak ngomong sama kamu," kilah Nadira gugup.

Sesampainya di acara resepsi pernikahan Abian, hati Nadira mendadak kacau. Dia tidak tahu harus bagaimana agar terlihat elegan di hadapan mantan tunangan yang tidak tahu diri itu. Bahkan, hanya sekedar mengekspresikan wajah bahagia saja wanita itu masih perlu waktu.

"Kamu baik-baik saja 'kan?" tanya pria yang saat ini masih ada di samping Nadira.

"Gue baik-baik saja. Tapi ...," jawab Nadira ragu.

"Kamu gak usah khawatir, aku akan mempermainkan sandiwara ini dengan baik." Hendra berusaha untuk memberikan keyakinan pada Nadira bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi.

"Enggak, bukan itu. Gue ... aku hanya takut kalau ketahuan." Nadira mengeluarkan napas secara perlahan.

"Kamu tenang saja, serahkan semua padaku." Pria itu terus meyakinkan wanita cantik itu.

Mereka berdua akhirnya turun, melangkahkan kaki secara bersama serta berdampingan. Meskipun tanpa berpegangan tangan, tapi kehadiran mereka justru menjadi sorotan. Terlebih mempelai pasangan yang sedang ada di pelaminan. Abian merasa sakit hati melihat Nadira datang bersama pria yang lebih tampan darinya. Pun Vera yang saat ini malah merasa tersaingi oleh teman masa kecil yang selalu membuat hatinya iri.

Nadira dan Hendra memilih untuk makan terlebih dulu sebelum ke atas pelaminan untuk mengambil foto bersama pasangan suami-isteri yang terlihat bahagia.

"Pria itu yang sudah menyakitimu?" tanya Hendra pelan.

Nadira menganggukkan kepala.

"Aku kira tampan, ternyata ...," gumam Hendra, tapi masih terdengar oleh Nadira.

"Lo ngomong apa?" tanya Nadira untuk memastikan lagi.

"Gak ada." Hendra berkilah.

Mereka mulai menyantap setiap hidangan makanan yang sudah disediakan. Selesainya, mereka akhirnya naik ke pelaminan untuk berfoto. Mumpung di pelaminan sepi, tidak ada tamu undangan yang datang untuk berfoto dengan pengantin.

"Wah, jadi pria ini pacarmu?" tanya Vera ketus.

"Aku tunangannya," sahut Hendra saat melihat Nadira kebingungan.

"Gue kira lo tidak akan move on dari Abian, ternyata segampang itu kamu menggantikannya. Tidak salah Abian lebih memilihku dibandingkan wanita murahan sepertimu," hina Vera menyeringai.

Kalau saja bukan di tempat umum, sudah pasti Nadira akan mencincang mulut Vera. Namun, wanita itu masih sadar kalau hari ini dia hanya menjadi tamu undangan saja.

"Jangan berbicara sembarangan. Menurutku Nadira adalah bidadari yang harus diperjuangkan. Setidaknya dia tidak sepertimu yang suka mengambil tunangan orang lain. Bukankah kamu yang lebih murah?" cetus Hendra santai. Jelas saja Vera naik pitam, hampir saja tangannya menyentuh pria yang datang bersama Nadira. Beruntung Abian berhasil mencegah tangan istrinya.

Nadira akhirnya mengajak Hendra turun sebelum terjadi keributan yang tidak diinginkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status