Keesokan siangnya, lounge kaca di lantai tengah menjadi panggung sopan santun yang terasa terlalu licin. Dimas datang dengan senyum yang sudah dilatih—hangat secukupnya, tidak menantang, tetapi juga tidak sungguh-sungguh. “CSR lintas perusahaan akan menenangkan pasar,” katanya sambil menaruh tablet di meja. “Varuna dan Mahendra, proyek air bersih. Kau pimpin komunikasi, aku bawa sponsor internasional. Kita potong kebisingan dengan cerita baik.”Nada bicaranya seperti musik lift: tidak salah, tetapi menyelinap. Naya menegakkan bahu. “Kedengarannya bagus di atas kertas.”“Tidak hanya di kertas,” Dimas menekankan. “Di pasar.” Ia menyodorkan tablet. “NDA standar, agar kita bisa bertukar angka sensitif tanpa bikin legal sakit kepala.”Kata “standar” adalah kata yang paling mencurigakan di dunia dokumen. Naya membaca halaman demi halaman. Di bagian kedua, ada baris yang membuatnya mendongak. Penerimaan dengan membuka dokumen—artinya, begitu tautan diklik, pihakn
Ruang rapat kecil di sisi utara gedung menjadi markas dadakan. Jam menunjukkan lewat pukul sembilan malam ketika Naya datang membawa termos teh dan logbook. “Kita kerja secukupnya, bukan berlebihan,” katanya, menatap satu-satu: Sinta untuk komunikasi, Daru untuk forensik internal, Daus teknisi jaringan yang jarang bicara, Riri analis data yang telaten, dan seorang tamu: Inez Hanafiah, analis forensik lepas dengan reputasi bersih.Inez menyalami singkat, ransel hitam masih di punggung. “Saya sudah tanda tangan NDA,” ujarnya. “Target awal?”“Printer lantai direksi,” jawab Daru. “Dugaan memo palsu dicetak dari sana. Ada queue aneh lewat guest net.”“Printer itu komputer yang kebetulan meludah kertas,” canda Inez ringan. “Kalau seseorang menaruh implant, ia bisa memotret apa pun yang lewat.”Mereka sepakat memulai dengan pemindaian pasif. Daus memetakan alamat IP; Daru memantau ARP table; Riri menarik syslog ke layar besar. Semua dilakukan tanpa menyentuh konfigurasi, agar pelaku tidak cur
Pagi dimulai dengan ruang rapat HR yang penuh kertas dan ketegangan yang ditata rapi. Laila memimpin sesi seperti konduktor orkestra: gerak tangan tenang, suara empatik, tetapi kalimatnya tegas. “Kita pasang firewall hubungan. Bukan menghukum orang, melainkan melindungi keputusan kerja,” ujarnya. Ia menatap satu per satu: Naya, Arga, Legal, dan perwakilan PR.Dokumen setebal beberapa belas halaman dibagikan. Intinya dijelaskan dalam bahasa yang bisa dipahami semua orang. Pertama, pembatasan akses data keuangan sensitif: siapa pun yang berpotensi memiliki konflik kepentingan tidak lagi bisa melihat laporan tertentu kecuali lewat permintaan resmi dengan alasan tugas. Kedua, rotasi approver untuk anggaran kampanye: pengajuan tidak boleh berhenti di jalur yang sama dua kali berturut-turut. Ketiga, recusal: Arga mundur dari penilaian langsung terhadap kinerja Naya; evaluasi pindah ke Laila dan direktur PR. Keempat, semua rapat berdua di kantor dicatat lokasinya dan, bila memungkinkan, berla
Berita ciuman balkon merayap ke setiap layar: portal bisnis, akun gosip, grup keluarga, sampai newsletter investor yang biasanya kaku. Sebagian orang menulis panjang tentang “chemistry yang tak terencana”, sebagian lagi menertawakan “PR yang kebablasan”. Kata kunci naik turun seperti lift. Di war room, grafik sentimen memperlihatkan dua warna yang saling mengejar: hijau dukungan, merah sinisme. Di komentar karyawan internal, nada lebih hangat, tetapi tetap hati-hati: mereka ingin perusahaan fokus bekerja, bukan jadi bahan acara gosip.Sore itu, dewan menggelar rapat darurat. Ruangan panel kayu terisi penuh. Ada yang bicara tentang risiko reputasi, ada yang mengingatkan tanggung jawab hukum, ada pula yang langsung menuding tanpa menyebut nama. “Hubungan personal di pucuk organisasi membuka celah,” kata seorang direktur independen. “Kita harus memberi sinyal tata kelola.”Ketua dewan mengetuk pena ke meja. “Sinyal, ya. Bukan hukuman massal.” Lalu ia menoleh pada Arga. “Apa garis besarmu?
Kadang malam-malam panjang memberikan hadiah yang tidak direncanakan. Standing ovation, honeypot yang menggigit umpan, tripod dan booster yang ditemukan—tiga simpul yang untuk sesaat mengencangkan jala di tangan tim. Aku tahu ini bukan akhir; tapi manusia butuh menambatkan lelah pada sesuatu yang terasa seperti menang.Sekitar pukul sebelas, war room perlahan kosong. Sinta menyuruh staf pulang bergiliran. Daru tetap, tapi matanya separuh tertutup di balik kacamata; aku memerintahkannya tidur dua jam di sofa. Naya berdiri di ambang pintu, planner menempel di dada seperti baju zirah. “Postmortem singkat, besok pagi,” katanya. “Malam ini, izinkan aku memelihara sisa suara.”“Kau sudah memelihara lebih dari suara,” balasku. “Kau memelihara narasi.”Ia tersenyum—bukan yang dibuat untuk kamera. “Narasi hanya pinjaman dari fakta.”Kami berjalan ke balkon—kebiasaan buruk yang lahir dari terlalu banyak jam kerja di lantai 43. Angin malam membawa sisa hujan. Kota memantul, bokeh kuning seperti s
Aku selalu percaya kamera paling berbahaya bukan yang menghadap, tapi yang memantul. Balkon lantai 43 menatap kaca gedung seberang; di permukaan itu, gambar kami menjadi lukisan yang bisa dipotong siapa saja. Kalau foto “ciuman” bisa lahir dari situ, berarti ada sudut di dalam kantor yang searah dengan pantulan.Aku berjalan mengikuti garis pantulan seolah mengikuti bayangan jam matahari. Karpet koridor mengunyah langkah. Dari balkon, garis itu menumbuk sebuah ruang rapat kecil—ruang tanpa nama yang biasa dipakai staf menelpon klien. Pintunya setengah terbuka, lampunya redup.Di dalam, meja melar dan empat kursi. Di sudut jendela, aku melihat bekas perekat bulat—seperti jejak kaki alat kecil. Aku berlutut; dari sudut itu, balkon terlihat miring cantik di pantulan kaca gedung sebelah. Kalau seseorang menaruh kamera di sini, frame-nya akan menangkap kami tanpa terlihat sebagai line of sight langsung.Sinta muncul di pintu, dua pengawal di belakang. “Kau sendiri?”“Sekarang tidak.” Aku me