Tak tahan lapar, akhirnya kuputuskan menuju meja makan, kemudian mulai membuka tudung saji tanpa menghiraukan hadirnya Marissa.
Dengan tenang dan diam kuambil piring lalu menyendokkan nasi ke piring, Namun tiba-tiba tangan Marissa mencekalku.
"Sini, Sayang, biar aku ambilin, aku 'kan harus belajar melayani calon suamiku," ucapnya sambil meraih piring dari tanganku yang malah kutepis.
"Tak usah aku bisa sendiri! Calon suami? Ingat ya, sampai kapan pun aku tak 'kan sudi menikah denganmu!" Kupandang dia dengan sorotan tajam, beranjak duduk di kursi ujung menjauh darinya kemudian makan dengan lahapnya.
"Sialan! Awas saja Dio, kamu boleh sombong sekarang, tapi lihat saja nanti, kamu akan jadi milikku dan setelah itu akan kubalas perbuatanmu ini," gumam Marissa yang masih bisa terdengar tanpa kuhiraukan.
Selesai makan aku menonton tv, setelah bosan kuputuskan menuju kamar untuk tidur saja, tapi saat sampai di depan pintu kepalaku terasa sangat berat dan pusing sekali, tiba-tiba Marissa merangkul mengajakku masuk kamar.
Awalnya hendak kutolak, berhubung kepala sudah sangat nyeri akhirnya hanya bisa pasrah menerima bantuannya.
Setelah sampai tempat tidur kupandangi Marissa hendak mengucapkan terima kasih karena telah menolongku. Namun, entah kenapa lama-lama bayangan wajahnya trelihat buram dan kabur. Berulang kali kukucek mata untuk memastikan, hingga aku terlonjak kaget sekaligus merasa bahagia saat melihat ternyata Ria, istrikulah yang berada di depanku.
Segera kupeluk dia, merasa lega dan berniat meminta maaf atas sifat dinginku selama ini. Namun, kemudian semua terasa gelap padahal aku sedang menginginkan tubuhnya.
~~~
Entah sudah berapa lama tertidur, akhirnya aku bangun dengan kepala terasa berat lalu menggeliat, lalu sedikit terkejut melihat tubuhku hanya terbungkus selimut saja. Belum lagi tanganku tanpa sengaja menyenggol tubuh seseorang yang reflek membuatku langsung menoleh siapa yang sedang tidur disampingku. Karena seingatku tadi belum sempat melakukan apa-apa.
Seperti disambar petir di siang bolong, aku terkejut bukan main saat melihat bukan Ria, melainkan Marissa yang tengah tidur di sampingku juga tanpa benang sehelai pun, membuatku tak percaya semua ini. Kuusap-usap mataku untuk memastikan bahwa sedang tidak bermimpi, tapi semua ini memang benar nyata.
Saat belum hilang rasa keterkejutanku, tiba-tiba ... pintu kamar terbuka. Ria masuk dengan kedua tangan menutup mulut, sepertinya terlihat sangat syock setelah melihatku tengah duduk tanpa mengenakan pakaian, apalagi juga ada Marissa yang masih tertidur pulas dengan tubuh hanya tertutup selimut yang sama.
"Teganya kamu berbuat seperti ini, Mas!" teriak Ria dengan suara yang bergetar disertai tangisan.
"Maaf, Ria, aku juga bingung dengan semua ini. Aku bisa jelaskan semuanya!" Segera kutarik selimut kemudian melilitkan ke pinggang tanpa menghiraukan tubuh Marissa yang terbuka tanpa penutup apa-apa.
"Kamu jahat, Mas! Kamu tega!" Ria berusaha mengemasi pakaiannya dan pakaian Dhea, lalu memasukkannya ke dalam tas ransel yang cukup besar.
"Tunggu, Ria, ijinkan aku menjelaskan semuanya!" Kuraih tangan kurus istriku itu agar dia mau berhenti memasukkan baju-baju itu.
"Cukup, Mas, aku sudah nggak kuat lagi. Biarkan aku perg!" Ria berlalu meninggalkanku lalu membanting pintu kamar dengan kasar.
"Sial! Harusnya aku tak memakai selimut sialan ini! Susah, kan, mau ngejar!"
Secepat kilat kupakai pakaianku yang berserakan di lantai, lalu berusaha mengejarnya. Namun, saat sampai di depan pintu rumah, ibu menarik tanganku dan melarang mengejar Ria dan Dhea yang telah pergi meninggalkan rumah ini.
"Sudahlah Dio, jangan mengejar ataupun mencari istrimu lagi, biarkan mereka pergi!Harusnya sudah sejak dulu mereka angkat kaki dari sini, untuk apa mempertahankan istri yang berkhianat sampai punya anak sama selingkuhannya seperti dia!" ucap ibu ketus sambil menarik tanganku agar masuk kembali ke dalam rumah.
"Tapi, Bu, malam-malam begini mereka pergi ke mana? Ria juga tak punya saudara di kota ini," ucapku gusar lalu mengkuti langkah kaki ibuku.
"Biar saja, itu urusan mereka! Biar Ria juga merasakan bagaimana rasa sakitnya diselingkuhi balik!" ketus ibu.
"Tapi, Bu, Dio itu gak selingkuh sama Marissa! Dio tadi cuma ...." Kugantungkan kata-kataku setelah teringat apa yang tadi telah terjadi.
"Oh, bodohnya aku, hingga tak sadar dengan apa yang terjadi padaku!" rutukku
Kuraup wajah dengan kasar, lalu meremas-remas rambut kepala. Berrniat hendak pergi untuk mencari Ria dan Dhea kembali.
Saat baru melangkahkan kakiku tiba-tiba ....
"Tunggu Dio, jangan pergi! Kamu harus bertanggung jawab atas semua perbuatan yang kamu lakukan padaku!" teriak Marissa yang baru saja muncul dari dalam kamar dan sudah memakai pakaiannya kembali.
"Tapi, aku tidak merasa melakukan apa-apa padamu! Kamu kenapa bisa tidur di sampingku seperti itu, hah?" bentakku kasar padanya.
Aku merasa duniaku runtuh, perasaan kalut berkecamuk dipikiranku. Lebih tepatnya frustasi.
"Tidak melakukan apa-apa katamu? Kamu telah menodai aku, Dio! Aku yang berniat menolongmu saat kamu akan pingsan malah menjadi korban kebuasanmu. Kamu memaksaku melakukan hal itu!" isaknya lalu berjalan merangkul ibuku seakan-akan meminta perlindungan.
"Apa? Tidak! Aku tidak mungkin melakukan itu! Ria istriku saja sudah lama tak kusentuh untuk apa aku melampiaskannya padamu!" elakku tak percaya sambil menggelengkan kepala.
"Tapi, itu kenyataannya Dio. Meskipun aku sangat ingin menjadi istrimu, tapi aku tidak mau berbuat seperti itu sebelum kita sah menikah. Malah kamu terus memaksaku di saat aku tak berdaya!" Marrisa menangis sedikit meraung membuatku semakin kalut.
"Aku tak mau tahu, pokoknya kamu harus menikahiku! Aku sudah ternoda olehmu dan aku takut jika nanti sampai hamil bagaimana nasibku? Aku tak ingin anakku tanpa ayah!" teriaknya lagi.
"Benar Dio, camu harus menikahi Marissa dan ceraikanlah Ria secepatnya!" desak ibuku membenarkan ucapan Marissa.
Aku mendengus kasar, lalu pergi dari rumah berusaha untuk mencari keberadaan Ria juga Dhea tanpa mempedulikan ucapan mereka.
Beberapa waktu hingga sudah lelah aku berkeliling, berusaha membelah jalanan malam yang sepi juga dingin dengan mobil secepatnya. Namun, masih tak kudapati dimana keberadaan mereka.
"Kalian pergi kemana? Ini sudah malam. Maafkan aku Ria, aku begitu bodoh," gumamku lalu memukul stir mobil dengan geram.
Walau terlihat membenci sebenarnya aku sangat menyayangi kalian, hingga takut kalian pergi dari hidupku. Aku bingung harus mempercayai ucapan ibu atau ucapanmu.
Itulah sebabnya hingga kini kupilih berdiam diri sambil mencari bukti bahwa semua yang diucapkan ibu itu salah. Namun, aku bisa apa? Ibu selalu mengancam akan pergi dari rumah bila aku tak percaya dan berani melawannya.Ah, betapa lemahnya diriku ini sebagai lelaki, di satu sisi ingin tetap bersamamu karena jujur aku masih sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu malah mengkhianatiku, Ria, dan kamu kenapa selalu berlaku buruk pada ibuku yang juga sangat aku sayangi.Sedangkan di sisi lain aku selalu tak bisa membantah ibu, karena telah terikat janji pada almarhum ayah untuk terus mengikuti apa yang dikatakannya dan tidak akan pernah membantah maupun menyakiti hatinya. Meski terpaksa harus kulanggar saat itu dengan terpaksa untuk menikahimu tanpa restunya sekalipun karena besarnya rasa cintaku padamu. Harusnya kamu mengerti dan membalas pengorbananku dengan juga menurut padanya. Namun kini seakan sia-sia semuanya, semua gara-gara aku berbuat bodoh demikian."Kamu uda
"Dio, aku sadar aku memang tak berarti untukmu. Tapi, demi anak yang ada dalam kandungan ini kumohon nikahi aku, walau hanya secara siri aku rela asal anakku saat lahir nanti mempunyai seorang papa. Aku tak ingin digunjing orang telah hamil tanpa suami, jangan buat orangtuaku malu, Dio," rengek Marissa yang tengah menangis di depanku."Ah, kenapa sih, kamu gak nolak saat itu?" Aku sangat frustasi. Sementara Marissa terus terisak."Aku mohon demi anak ini, Dio, kasihanilah dia yang tak berdosa.""Apa yang dikatakan Marissa itu benar, Dio. Kamu harus secepatnya menikahi Marrisa walau hanya secara siri sampai Ria di temukan, lalu ceraikanlah Ria kemudian menikahlah secara sah hukum negara dengan Marissa! Ingat yang ada dikandungannya itu anak kandungmu, cucu ibu!" bela ibuku."Apa, Bu? Itu semua tidak mungkin. Aku akan menikahi Marrisa, tapi tolong jangan menyuruhku menceraikan Ria! Dan kamu Marrisa, harus kamu tahu aku menikahimu hanya semata-mata demi anak
Kucoba berkali-kali menghubungi ponsel Marrisa, tapi tak dijawabnya, kukirimi dia pesan berkali-kali namun masih belum ada balasan.Hingga saat aku mulai menyerah tiba-tiba Marrisa mengangkat teleponku."Marrisa cepatlah ke rumah sakit, Diego sedang sakit dan membutuhkan tranfusi darah," jelasku saat dia menjawab panggilan yang entah ke berapa kali itu."Tinggal ditranfusi aja apa sih, susahnya?Kamu kan, bisa ngatasi sendirian. Aku masih sibuk, masih liburan di Bali jadi tidak bisa pulang sekarang," jawabnya ketus tanpa rasa khawatir."Tapi golongan darahku gak sama dengan Diego, aku O sementara Diego A--""Cari ke PMI 'kan bisa, gitu aja kok repot!" potongnya."Stocknya lagi habis, ini darurat Marrisa pokoknya sekarang juga kamu harus pulang!" perintahku tegas."Mana bisa? Aku pulang pun percuma karena golongan darahku juga O, jadi ...." Marrisa menghentikan ucapannya."Kalau aku O dan kamu juga O, kenapa bisa Diego A, h
"Kamu masih peduli juga ternyata dengan Diego", sindirku padanya saat sudah dekat dengan kami."Siapa bilang? Aku cuma mau minta kunci rumah doang, kok. Kunci yang kubawa hilang," jawabnya enteng."Kamu benar-benar keterlaluan Marrisa, sama anak sendiri gak ada pedulinya! Sekarang aku mau tanya Diego itu anak siapa?" bentakku sambil mencengkeram bahunya kuat, kesabaranku sepertinya sudah habis untuknya."Sakit, Dio! Diego anak Irgi kali," ketus Marrisa tanpa dosa."Hey, Jalang! Jaga bicaramu, ya! Bisa-bisanya kamu bawa-bawa aku, kamu kira dulu aku tak tahu kalau kamu sering gonta-ganti pasangan, hah? Seenaknya saja menuduh orang, mana ATMku kau kuras udah gitu bawa kabur mobilku. Untung aku gak nglaporin kamu ke polisi, ya!" Irgi sepertinya juga tersulut emosi sampai lupa ada Mila, calon istrinya."Tapi, kamu juga pernah nikmatin tubuhku juga, kan?" seloroh Marrisa tak tahu malu."Dasar perempuan sundel, ya, udah bejat bangga! Lama-lama aku
"Dhea itu ... sebenarnya anak kandungmu, Dio. Maafkan ibu, ibu selalu mengecohmu dengan Ria hanya karena rasa tidak suka padanya yang sangat besar. Dia sebetulnya istri yang sangat baik dan setia. Dosa ibu teramat banyak pada kalian. Maaf!" Ibu terus menangis sedangkan aku tertegun tak bisa berucap apa-apa."Tentang perselingkuhannya dengan Arfa itu ... sama sekali tidak benar, itu hanya akal-akalan ibu dengan Marrisa saja. Mereka sebenarnya tak ada hubungan apa-apa. Arfa itu sangat baik dan perhatian dengan Ria karena dia kasihan melihat Ria yang tak pernah kau hiraukan. Apalagi di masa kehamilannya, seringkali Arfa membelikan susu ibu hamil untuk Ria itu karena kata dokter Ria dan bayinya kekurangan nutrisi sebab jarang makan. Ibu yang salah Dio, ibu hanya menjadikannya seperti pembantu di rumah kita. Uang belanja dan semua uang apapun ibu minta tanpa membaginya sepeser pun." Ibu menyeka air matanya, sementara aku pun juga tak kuasa menahan tangisku mengingat perlakua
Kehidupanku mulai membaik seiring berjalannya waktu. Tak terasa sudah hampir dua tahun aku telah dipercaya mengelola perusahaan miliknya di sana yang semakin berkembang pesat di bawah kepemimpinanku. Namun, entah kenapa tiba-tiba aku diminta datang ke kota yang menjadi tempat tinggal tetap bos sekaligus teman karibku itu. Katanya ingin menunjukkan kinerja juga tempat perusahaan pusat yang selama ini masih belum kuketahui.Kebetulan juga ada beberapa dokumen yang membutuhkan tanda tangannya, jadi dengan senang hati aku berangkat dengan mengajak Diego juga. Pikirku sekaligus liburan, karena kota itu punya banyak sekali destinasi wisata yang indah untuk sekadar melepas penat.Setelah sampai di kota itu, malamnya kami pergi ke rumah makan yang cukup terkenal di dekat perusahaan yang esok akan kudatangi untuk makan malam sekaligus untuk tinjau lokasi, agar aku besok tidak kesasar.Hingga aku menemukan kembali anak dan istri yang telah lama kurindukan ke
"Ih, bibirnya itu lho ... ngegemesin. Nantangin kayaknya!" terlihat tangannya mencengkeram menggenggam gemas ke arahku."Nantangin apa?" selidikku."Nantangin buat dicium tahu!" ucapnya lalu menutup mulut, sepertinya refleks."Mulai, ya ... aku tinggal pergi, nih! Aku lagi males buat bercanda tau!""Sorry, gak deh ... silakan Nona Manis buat bercerita! Jangan ngambek, dong!"Dengerin baik-baik sebelum aku berubah pikiran!"***Dulu saat masih berusia 16 tahun setelah lulus SMP, kuputuskan pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Ibu dan ayahku memang orang miskin yang tinggal di desa dan tak sanggup membiayaiku sekolah SMA. Mereka hanya bekerja sebagai buruh di sawah tetangga dengan upah sangat minim.Hingga aku bertekad ingin merubah nasib, menjadi anak semata wayang yang merasa punya kewajiban untuk membahagiakan mereka. Walau berat hati akhirnya aku diijinkan pergi bekerja sebagai pelayan toko pakaian. Dengan pe
Beruntung ada Arfa yang memberi semangat dan menguatkanku.Beberapa saat kemudian, Arfa pamit untuk pulang. tiba-tiba Dio datang dengan muka merah padam. Namun, belum sempat mendekat ke arahku. Arfa terlihat sudah mencekal lengan suamiku, lalu mengajaknya keluar.Terdengar suara keributan di luar, sepertinya mereka sedang adu debat. Aku hanya bisa mencuri dengar dengan cemas, takut terjadi sesuatu pada mereka. Tapi syukurlah, beberapa saat kemudian akhirnya Dio masuk bersama Arfa. Lalu tersenyum dan meminta maaf karena tak bisa menemaniku.Dio terlihat lebih sumringah tatkala melihat putri kecilnya yang juga nyaris mirip dengannya. Entah apa yang mereka debatkan tadi, tapi aku bahagia melihat suamiku akhirnya mau peduli pada kami.Setelah keadaanku benar-benar pulih akhirnya aku diperbolehkan pulang, Dio terlihat antusias menggendong dan menunggui putri kami yang terlelap tidur.Namun, ibu mertuaku seperti tidak menyukai kedekatan dan kebahagiaan k