Share

Bab 7

last update Last Updated: 2021-06-05 15:14:39

Tak tahan lapar, akhirnya kuputuskan menuju meja makan, kemudian mulai membuka tudung saji tanpa menghiraukan hadirnya Marissa.

Dengan tenang dan diam kuambil piring lalu menyendokkan nasi ke piring, Namun tiba-tiba tangan Marissa mencekalku.

"Sini, Sayang, biar aku ambilin, aku 'kan harus belajar melayani calon suamiku," ucapnya sambil meraih piring dari tanganku yang malah kutepis.

"Tak usah aku bisa sendiri! Calon suami? Ingat ya, sampai kapan pun aku tak 'kan sudi menikah denganmu!" Kupandang dia dengan sorotan tajam, beranjak duduk di kursi ujung menjauh darinya kemudian makan dengan lahapnya.

"Sialan! Awas saja Dio, kamu boleh sombong sekarang, tapi lihat saja nanti, kamu akan jadi milikku dan setelah itu akan kubalas perbuatanmu ini," gumam Marissa yang masih bisa terdengar tanpa kuhiraukan.

Selesai makan aku menonton tv, setelah bosan kuputuskan menuju kamar untuk tidur saja, tapi saat sampai di depan pintu kepalaku terasa sangat berat dan pusing sekali, tiba-tiba Marissa merangkul mengajakku masuk kamar.

Awalnya hendak kutolak, berhubung kepala sudah sangat nyeri akhirnya hanya bisa pasrah menerima bantuannya.

Setelah sampai tempat tidur kupandangi Marissa hendak mengucapkan terima kasih karena telah menolongku. Namun, entah kenapa lama-lama bayangan wajahnya trelihat buram dan kabur. Berulang kali kukucek mata untuk memastikan, hingga aku terlonjak kaget sekaligus merasa bahagia saat melihat ternyata Ria, istrikulah yang berada di depanku.

Segera kupeluk dia, merasa lega dan berniat meminta maaf atas sifat dinginku selama ini. Namun, kemudian semua terasa gelap padahal aku sedang menginginkan tubuhnya.

~~~

Entah sudah berapa lama tertidur, akhirnya aku bangun dengan kepala terasa berat lalu menggeliat, lalu sedikit terkejut melihat tubuhku hanya terbungkus selimut saja. Belum lagi tanganku tanpa sengaja menyenggol tubuh seseorang yang reflek membuatku langsung menoleh siapa yang sedang tidur disampingku. Karena seingatku tadi belum sempat melakukan apa-apa.

Seperti disambar petir di siang bolong, aku terkejut bukan main saat melihat bukan Ria, melainkan Marissa yang tengah tidur di sampingku juga tanpa benang sehelai pun, membuatku tak percaya semua ini. Kuusap-usap mataku untuk memastikan bahwa sedang tidak bermimpi, tapi semua ini memang benar nyata.

Saat belum hilang rasa keterkejutanku, tiba-tiba ... pintu kamar terbuka. Ria masuk dengan kedua tangan menutup mulut, sepertinya terlihat sangat syock setelah melihatku tengah duduk tanpa mengenakan pakaian, apalagi juga ada Marissa yang masih tertidur pulas dengan tubuh hanya tertutup selimut yang sama.

"Teganya kamu berbuat seperti ini, Mas!" teriak Ria dengan suara yang bergetar disertai tangisan.

"Maaf, Ria, aku juga bingung dengan semua ini. Aku bisa jelaskan semuanya!" Segera kutarik selimut kemudian melilitkan ke pinggang tanpa menghiraukan tubuh Marissa yang terbuka tanpa penutup apa-apa.

"Kamu jahat, Mas! Kamu tega!" Ria berusaha mengemasi pakaiannya dan pakaian Dhea, lalu memasukkannya ke dalam tas ransel yang cukup besar.

"Tunggu, Ria, ijinkan aku menjelaskan semuanya!" Kuraih tangan kurus istriku itu agar dia mau berhenti memasukkan baju-baju itu.

"Cukup, Mas, aku sudah nggak kuat lagi. Biarkan aku perg!" Ria berlalu meninggalkanku lalu membanting pintu kamar dengan kasar.

"Sial! Harusnya aku tak memakai selimut sialan ini! Susah, kan, mau ngejar!"

Secepat kilat kupakai pakaianku yang berserakan di lantai, lalu berusaha mengejarnya. Namun, saat sampai di depan pintu rumah, ibu menarik tanganku dan melarang mengejar Ria dan Dhea yang telah pergi meninggalkan rumah ini.

"Sudahlah Dio, jangan mengejar ataupun mencari istrimu lagi, biarkan mereka pergi!Harusnya sudah sejak dulu mereka angkat kaki dari sini, untuk apa mempertahankan istri yang berkhianat sampai punya anak sama selingkuhannya seperti dia!" ucap ibu ketus sambil menarik tanganku agar masuk kembali ke dalam rumah.

"Tapi, Bu, malam-malam begini mereka pergi ke mana? Ria juga tak punya saudara di kota ini," ucapku gusar lalu mengkuti langkah kaki ibuku.

"Biar saja, itu urusan mereka! Biar Ria juga merasakan bagaimana rasa sakitnya diselingkuhi balik!" ketus ibu.

"Tapi, Bu, Dio itu gak selingkuh sama Marissa! Dio tadi cuma ...." Kugantungkan kata-kataku setelah teringat apa yang tadi telah terjadi.

"Oh, bodohnya aku, hingga tak sadar dengan apa yang terjadi padaku!" rutukku

Kuraup wajah dengan kasar, lalu meremas-remas rambut kepala. Berrniat hendak pergi untuk mencari Ria dan Dhea kembali.

Saat baru melangkahkan kakiku tiba-tiba ....

"Tunggu Dio, jangan pergi! Kamu harus bertanggung jawab atas semua perbuatan yang kamu lakukan padaku!" teriak Marissa yang baru saja muncul dari dalam kamar dan sudah memakai pakaiannya kembali.

"Tapi, aku tidak merasa melakukan apa-apa padamu! Kamu kenapa bisa tidur di sampingku seperti itu, hah?" bentakku kasar padanya.

Aku merasa duniaku runtuh, perasaan kalut berkecamuk dipikiranku. Lebih tepatnya frustasi.

"Tidak melakukan apa-apa katamu? Kamu telah menodai aku, Dio! Aku yang berniat menolongmu saat kamu akan pingsan malah menjadi korban kebuasanmu. Kamu memaksaku melakukan hal itu!" isaknya lalu berjalan merangkul ibuku seakan-akan meminta perlindungan.

"Apa? Tidak! Aku tidak mungkin melakukan itu! Ria istriku saja sudah lama tak kusentuh untuk apa aku melampiaskannya padamu!" elakku tak percaya sambil menggelengkan kepala.

"Tapi, itu kenyataannya Dio. Meskipun aku sangat ingin menjadi istrimu, tapi aku tidak mau berbuat seperti itu sebelum kita sah menikah. Malah kamu terus memaksaku di saat aku tak berdaya!" Marrisa menangis sedikit meraung membuatku semakin kalut.

"Aku tak mau tahu, pokoknya kamu harus menikahiku! Aku sudah ternoda olehmu dan aku takut jika nanti sampai hamil bagaimana nasibku? Aku tak ingin anakku tanpa ayah!" teriaknya lagi.

"Benar Dio, camu harus menikahi Marissa dan ceraikanlah Ria secepatnya!" desak ibuku membenarkan ucapan Marissa.

Aku mendengus kasar, lalu pergi dari rumah berusaha untuk mencari keberadaan Ria juga Dhea tanpa mempedulikan ucapan mereka.

Beberapa waktu hingga sudah lelah aku berkeliling, berusaha membelah jalanan malam yang sepi juga dingin dengan mobil secepatnya. Namun, masih tak kudapati dimana keberadaan mereka.

"Kalian pergi kemana? Ini sudah malam. Maafkan aku Ria, aku begitu bodoh," gumamku lalu memukul stir mobil dengan geram.

Walau terlihat membenci sebenarnya aku sangat menyayangi kalian, hingga takut kalian pergi dari hidupku. Aku bingung harus mempercayai ucapan ibu atau ucapanmu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tunggu Jandaku, Om!   BAB 32

    "Mas, aku ... mencintaimu." Kupejamkan mata untuk mengurangi rasa malu saat mengucapkannya."Oh, terima kasih, Ria, aku juga sangat sangat sangat mencintaimu!" ucapnya girang. Kemudian melumat bibirku."Ish, Mas Reyhan! Katanya tadi nggak menciumku? Kenapa malah nyosor gitu?" Aku sedikit merajuk. Padahal dalam hati girang juga."Maaf, maaf, kebawa suasana. Gak usah melotot gitu, dong! Abis, aku gemes banget sama kamu." Mas Reyhan perlahan melepas cengkeramannya. "Tapi, kamu juga suka, kan dicium?" ledeknya sambil tersenyum manis.Senyummu, Mas, bikin meleleh!"Apaan?""Buktinya, tadi kamu bales juga! Pasti mau lagi, kan?" godanya.Ah, bodoh! Kenapa tadi secara gak sadar aku bales ciumannya? Bikin malu aja, Ria!"Udah, gak usah malu-malu gitu! Nanti kalau udah nikah pasti tiap hari aku kasih. Apa perlu tiap waktu?" godanya lagi yang semakin membuatku malu.Aku memang bukan anak gadis yang masih malu-malu dalam urusa

  • Tunggu Jandaku, Om!   Bab 31

    "Semoga yang Kakak ucapkan itu benar, tapi aku akan cari tahu sendiri kebenarannya." Lagi, Vanya tersenyum lalu menepuk tanganku."Beneran, Vanya. Kami cuma teman lama." Aku mencoba meyakinkannya."Udah, lupain aja, Kak. Aku senang bisa kenal sama Kakak. Di sini aku masih belum punya teman. Aku harap, Kakak mau jadi temanku.""Tentu saja aku mau jadi temanmu. Tapi, apa kamu gak malu temenan sama aku?"Vanya meringis."Kenapa harus malu, Kak? Aku yakin Kakak orang baik. Oh, ya, sebulan lagi aku akan menikah sama Kak Reyhan. Aku mau minta tolong sama Kakak, bantuin persiapan pernikahanku, ya!""Kamu belum benar-benar kenal aku, Vanya. Aku tak sebaik yang kamu kira.""Aku gak peduli, Kakak mau bilang apa. Yang jelas aku sangat yakin Kakak orang yang baik." Lagi, Vanya tersenyum sambil menatapku."Tapi, maaf, sepertinya aku tak bisa membantu. Aku tak bisa pergi kembali ke kota itu." Aku menolak sopan permintaannya, mendengar

  • Tunggu Jandaku, Om!   BAB 30

    "Jaga dan bahagiakan dia, Mas. Jangan pernah sakiti hatinya, dia sep--"Sebuah ciuman mendarat di bibirku, membuat terkejut sampai lupa dengan kelanjutan ucapan yang belum kuselesaikan itu.Kudorong tubuh Mas Reyhan kuat-kuat setelah rasio kembali terkumpul. Ini yang pertama dilakukannya padaku sehingga cukup canggung sekaligus emosi dibuatnya."Mas, apa yang kaulakukan?" bentakku padanya sambil tersengal menata napas dan gemuruh di dada, jantungku berdegup sangat kencang."Maaf, Ria, aku terbawa suasana, aku terlalu merindukanmu hingga tak sadar telah ... menciummu.""Kamu sudah berubah, Mas!" Merasa kesal aku mencoba membuka pintu mobil berusaha untuk keluar. Namun, pintunya sudah otomatis dikunci oleh Mas Reyhan membuatku kembali terdiam menahan amarah."Maaf, Ria, aku tidak sadar melakukannya. Maafkan aku!" Reyhan kembali memegang tanganku."Tapi, bukan begitu caranya, Mas!" Air mataku menetes, entah apa yang kurasakan saat ini. R

  • Tunggu Jandaku, Om!   Bab 29

    "Kuharap kamu bisa hadir di pernikahan kami, Ria," imbuhnya lagi."Tunggu, kalian mau menikah? Selamat ya, tapi gimana bisa?" ucapku sumringah disertai penuh rasa ingin tahu."Jadi begini, Nina lah yang selama ini selalu menghibur dan menguatkanku. Dia yang telah menyadarkan tentang kenyataan hidup, terutama menerima keputusanmu. Semua perhatiannya membuatku luluh dan merasa nyaman saat bersamanya, dan beruntungnya ternyata dia juga telah lama menyimpan perasaan padaku, lelaki bodoh ini," terang Dio sambil tertawa lalu memandang wajah Nina."Ah, mas Dio ini, bisa saja, aku 'kan nggak tega lihat kamu frustasi!" kelakar Nina sambil mencubit pinggang Dio, dia terlihat malu, pipinya bersemu merah sebelum menunduk."Mungkin memang kalian telah berjodoh, gak ada salahnya, kan? Oh ya, Diego mana kok dari tadi gak kelihatan?" Aku celingukan mencari sosok bocah kecil menggemaskan yang dari tadi tak kulihat keberadaannya itu."Diego telah dibawa Marissa dan

  • Tunggu Jandaku, Om!   Bab 28

    Saat tersadar aku sudah terbaring di ruangan yang beraroma obat-obatan. Rupanya Dio membawaku ke klinik yang tak jauh dari rumah, hal itu kuketahui setelah melihat dokter yang merupakan tetangga dekat itu tersenyum."Mbak Ria, sudah sadar? Apa yang dirasakan sekarang?" tanyanya lalu memeriksaku.Aku hanya menganggukkan kepala, karena badanku masih sangat lemah juga kepala terasa berat dan sedikit pusing."Jangan terlalu stres ya, Mbak, asupan makanannya juga dijaga biar ....""Apakah Ria sedang hamil, Dok?" Dengan semangat Dio memotong perkataan dokter."Apa kalian sedang program hamil?" tanya dokter yang bernama Rika itu balik, aku segera menggeleng sedangkan Dio antusias menganggukan kepalanya dengan cepat."Iya, Dok, kami sedang program hamil," ucap Dio asal."Tapi, sayang sekali kalau kondisi Mbak Ria seperti ini, mana bisa program kalian itu berhasil. Yang ada Mbak Ria malah kena penyakit typus kalau jarang makan seperti ini," te

  • Tunggu Jandaku, Om!   Bab 27

    ***POV RIA***"Hai, Mas, maaf aku ganggu!" ucapku setelah melihat Reyhan membuka pintu lebar-lebar."Hai, nggak ganggu kok, ada apa? Mari masuk!" Reyhan mempersilakan ke kamar tempatnya menginap."Terima kasih, ada yang mau aku bicarakan, tapi kita di teras saja, ya!" Aku duduk di kursi teras. Penginapan di sini memang hanya bangunan rumah kecil berisi satu kamar dan kamar mandi, dilengkapi sebuah teras beserta dengan kursi dan mejanya yang menghadap langsung ke laut."Apa yang akan kau bicarakan?" Mata Reyhan menyipit menyelidik ke arahku setelah ikut duduk di kursi kosong sebelahku."Bisa nggak kita batalin acara jalan-jalan nanti malam? Aku sedang tidak enak badan.""Oh, tentu saja bisa. Hanya jalan-jalan saja 'kan gak penting. Udah minum obat apa belum?""Udah, barusan. Mas, boleh nggak aku tanya sesuatu?""Apa?""Mas Reyhan jijik nggak kalau ketemu aku?" tanyaku ragu dengan suara sedikit pelan dan hati-hati.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status