Share

Bab 7

Tak tahan lapar, akhirnya kuputuskan menuju meja makan, kemudian mulai membuka tudung saji tanpa menghiraukan hadirnya Marissa.

Dengan tenang dan diam kuambil piring lalu menyendokkan nasi ke piring, Namun tiba-tiba tangan Marissa mencekalku.

"Sini, Sayang, biar aku ambilin, aku 'kan harus belajar melayani calon suamiku," ucapnya sambil meraih piring dari tanganku yang malah kutepis.

"Tak usah aku bisa sendiri! Calon suami? Ingat ya, sampai kapan pun aku tak 'kan sudi menikah denganmu!" Kupandang dia dengan sorotan tajam, beranjak duduk di kursi ujung menjauh darinya kemudian makan dengan lahapnya.

"Sialan! Awas saja Dio, kamu boleh sombong sekarang, tapi lihat saja nanti, kamu akan jadi milikku dan setelah itu akan kubalas perbuatanmu ini," gumam Marissa yang masih bisa terdengar tanpa kuhiraukan.

Selesai makan aku menonton tv, setelah bosan kuputuskan menuju kamar untuk tidur saja, tapi saat sampai di depan pintu kepalaku terasa sangat berat dan pusing sekali, tiba-tiba Marissa merangkul mengajakku masuk kamar.

Awalnya hendak kutolak, berhubung kepala sudah sangat nyeri akhirnya hanya bisa pasrah menerima bantuannya.

Setelah sampai tempat tidur kupandangi Marissa hendak mengucapkan terima kasih karena telah menolongku. Namun, entah kenapa lama-lama bayangan wajahnya trelihat buram dan kabur. Berulang kali kukucek mata untuk memastikan, hingga aku terlonjak kaget sekaligus merasa bahagia saat melihat ternyata Ria, istrikulah yang berada di depanku.

Segera kupeluk dia, merasa lega dan berniat meminta maaf atas sifat dinginku selama ini. Namun, kemudian semua terasa gelap padahal aku sedang menginginkan tubuhnya.

~~~

Entah sudah berapa lama tertidur, akhirnya aku bangun dengan kepala terasa berat lalu menggeliat, lalu sedikit terkejut melihat tubuhku hanya terbungkus selimut saja. Belum lagi tanganku tanpa sengaja menyenggol tubuh seseorang yang reflek membuatku langsung menoleh siapa yang sedang tidur disampingku. Karena seingatku tadi belum sempat melakukan apa-apa.

Seperti disambar petir di siang bolong, aku terkejut bukan main saat melihat bukan Ria, melainkan Marissa yang tengah tidur di sampingku juga tanpa benang sehelai pun, membuatku tak percaya semua ini. Kuusap-usap mataku untuk memastikan bahwa sedang tidak bermimpi, tapi semua ini memang benar nyata.

Saat belum hilang rasa keterkejutanku, tiba-tiba ... pintu kamar terbuka. Ria masuk dengan kedua tangan menutup mulut, sepertinya terlihat sangat syock setelah melihatku tengah duduk tanpa mengenakan pakaian, apalagi juga ada Marissa yang masih tertidur pulas dengan tubuh hanya tertutup selimut yang sama.

"Teganya kamu berbuat seperti ini, Mas!" teriak Ria dengan suara yang bergetar disertai tangisan.

"Maaf, Ria, aku juga bingung dengan semua ini. Aku bisa jelaskan semuanya!" Segera kutarik selimut kemudian melilitkan ke pinggang tanpa menghiraukan tubuh Marissa yang terbuka tanpa penutup apa-apa.

"Kamu jahat, Mas! Kamu tega!" Ria berusaha mengemasi pakaiannya dan pakaian Dhea, lalu memasukkannya ke dalam tas ransel yang cukup besar.

"Tunggu, Ria, ijinkan aku menjelaskan semuanya!" Kuraih tangan kurus istriku itu agar dia mau berhenti memasukkan baju-baju itu.

"Cukup, Mas, aku sudah nggak kuat lagi. Biarkan aku perg!" Ria berlalu meninggalkanku lalu membanting pintu kamar dengan kasar.

"Sial! Harusnya aku tak memakai selimut sialan ini! Susah, kan, mau ngejar!"

Secepat kilat kupakai pakaianku yang berserakan di lantai, lalu berusaha mengejarnya. Namun, saat sampai di depan pintu rumah, ibu menarik tanganku dan melarang mengejar Ria dan Dhea yang telah pergi meninggalkan rumah ini.

"Sudahlah Dio, jangan mengejar ataupun mencari istrimu lagi, biarkan mereka pergi!Harusnya sudah sejak dulu mereka angkat kaki dari sini, untuk apa mempertahankan istri yang berkhianat sampai punya anak sama selingkuhannya seperti dia!" ucap ibu ketus sambil menarik tanganku agar masuk kembali ke dalam rumah.

"Tapi, Bu, malam-malam begini mereka pergi ke mana? Ria juga tak punya saudara di kota ini," ucapku gusar lalu mengkuti langkah kaki ibuku.

"Biar saja, itu urusan mereka! Biar Ria juga merasakan bagaimana rasa sakitnya diselingkuhi balik!" ketus ibu.

"Tapi, Bu, Dio itu gak selingkuh sama Marissa! Dio tadi cuma ...." Kugantungkan kata-kataku setelah teringat apa yang tadi telah terjadi.

"Oh, bodohnya aku, hingga tak sadar dengan apa yang terjadi padaku!" rutukku

Kuraup wajah dengan kasar, lalu meremas-remas rambut kepala. Berrniat hendak pergi untuk mencari Ria dan Dhea kembali.

Saat baru melangkahkan kakiku tiba-tiba ....

"Tunggu Dio, jangan pergi! Kamu harus bertanggung jawab atas semua perbuatan yang kamu lakukan padaku!" teriak Marissa yang baru saja muncul dari dalam kamar dan sudah memakai pakaiannya kembali.

"Tapi, aku tidak merasa melakukan apa-apa padamu! Kamu kenapa bisa tidur di sampingku seperti itu, hah?" bentakku kasar padanya.

Aku merasa duniaku runtuh, perasaan kalut berkecamuk dipikiranku. Lebih tepatnya frustasi.

"Tidak melakukan apa-apa katamu? Kamu telah menodai aku, Dio! Aku yang berniat menolongmu saat kamu akan pingsan malah menjadi korban kebuasanmu. Kamu memaksaku melakukan hal itu!" isaknya lalu berjalan merangkul ibuku seakan-akan meminta perlindungan.

"Apa? Tidak! Aku tidak mungkin melakukan itu! Ria istriku saja sudah lama tak kusentuh untuk apa aku melampiaskannya padamu!" elakku tak percaya sambil menggelengkan kepala.

"Tapi, itu kenyataannya Dio. Meskipun aku sangat ingin menjadi istrimu, tapi aku tidak mau berbuat seperti itu sebelum kita sah menikah. Malah kamu terus memaksaku di saat aku tak berdaya!" Marrisa menangis sedikit meraung membuatku semakin kalut.

"Aku tak mau tahu, pokoknya kamu harus menikahiku! Aku sudah ternoda olehmu dan aku takut jika nanti sampai hamil bagaimana nasibku? Aku tak ingin anakku tanpa ayah!" teriaknya lagi.

"Benar Dio, camu harus menikahi Marissa dan ceraikanlah Ria secepatnya!" desak ibuku membenarkan ucapan Marissa.

Aku mendengus kasar, lalu pergi dari rumah berusaha untuk mencari keberadaan Ria juga Dhea tanpa mempedulikan ucapan mereka.

Beberapa waktu hingga sudah lelah aku berkeliling, berusaha membelah jalanan malam yang sepi juga dingin dengan mobil secepatnya. Namun, masih tak kudapati dimana keberadaan mereka.

"Kalian pergi kemana? Ini sudah malam. Maafkan aku Ria, aku begitu bodoh," gumamku lalu memukul stir mobil dengan geram.

Walau terlihat membenci sebenarnya aku sangat menyayangi kalian, hingga takut kalian pergi dari hidupku. Aku bingung harus mempercayai ucapan ibu atau ucapanmu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status