Share

Bab 8

Itulah sebabnya hingga kini kupilih berdiam diri sambil mencari bukti bahwa semua yang diucapkan ibu itu salah. Namun, aku bisa apa? Ibu selalu mengancam akan pergi dari rumah bila aku tak percaya dan berani melawannya.

Ah, betapa lemahnya diriku ini sebagai lelaki, di satu sisi ingin tetap bersamamu karena jujur aku masih sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu malah mengkhianatiku, Ria, dan kamu kenapa selalu berlaku buruk pada ibuku yang juga sangat aku sayangi.

Sedangkan di sisi lain aku selalu tak bisa membantah ibu, karena telah terikat janji pada almarhum ayah untuk terus mengikuti apa yang dikatakannya dan tidak akan pernah membantah maupun menyakiti hatinya. Meski terpaksa harus kulanggar saat itu dengan terpaksa untuk menikahimu tanpa restunya sekalipun karena besarnya rasa cintaku padamu. Harusnya kamu mengerti dan membalas pengorbananku dengan juga menurut padanya. Namun kini seakan sia-sia semuanya, semua gara-gara aku berbuat bodoh demikian.

"Kamu udah gak percaya sama ucapan ibu ya?" Ibu memberenggut marah.

"Bukannya begitu, Bu! Tapi kenapa ibu selalu melarang kami melakukan tes DNA?Bukankah itu bukti akurat untuk membuktikan bahwa Dhea itu anakku apa bukan."

"Itu ... itu karena Dhea masih kecil, pasti takut jarum. Lagian buang-buang duit aja, 'kan sudah jelas-jelas kamu sering melihat mereka jalan bersama. Kurang bukti apa lagi coba?" jawab ibu gugup.

Masih kuingat perdebatanku beberapa waktu lalu dengan ibu. Saat beliau menunjukkan foto kebersamaan Ria dengan lelaki yang dibilang selingkuhannya itu.

Aku memang sering melihat Ria dan Arfa jalan bareng, entah itu hanya belanja di supermarket atau hanya sekadar ngobrol di depan rumah. Tapi, yang membuatku heran kenapa Arfa sering sekali memberikan susu ibu hamil juga buah-buahan pada Ria yang saat itu tengah mengandung.

Tak jarang Arfa juga ikut membawakan belanjaan Ria, lalu mengantarnya sampai ke rumah. Juga pernah kupergoki Arfa menggendong Dhea saat masih bayi saat tak sengaja aku pulang kembali ke rumah mengambil berkasku yang ketinggalan. Padahal aku yang suaminya saja tak pernah melakukannya.

Ibu juga selalu membenarkan hal itu dan katanya pula sudah sangat sering memergoki mereka begitu dan beranggapan bahwa mereka pasangan selingkuh yang sedang menimang buah cinta mereka tanpa punya rasa malu.

Itulah hal yang membuatku sangat murka, hingga akhirnya marah juga tak pernah mengaggap Ria maupun Dhea ada. Setiap hari mereka hanya menjadi tempat meluapkan kekecewaan juga amarah atas ketidakberdayaanku. 

Jauh di dasar hatiku sebenarnya aku tak mempercayai rumor itu, dalam hati masih sangat menyayangi mereka dan kadang merasa gemas melihat Dhea yang seringkali bertingkah mirip sepertiku. Namun, segera kutepis perasaan itu, rasa marah kembali menguasaiku kala mendengar ibu berkata bahwa semua anak-anak memang selalu bersikap demikian, mungkin saja sifat dan sikapku nemplok ke Dhea karna ibunya waktu hamil sangat membenciku. 

Katanya kalau pas hamil benci sama seseorang itu pasti ada yang nemplok entah sifat atau sikapnya, dan kebetulan saja itu menempel Dhea biar dikira benar-benar anakku.

Aku selalu mempercayai ucapan ibu, karena berpikir pengalamannya sudah banyak jadi tak mungkin asal bicara, tanpa berusaha mencari tahu kebenarannya.

"Sial ... kenapa bukan Ria tadi, kenapa harus Marissa? Ah, bodoh ...Bodoh! Tapi, kenapa aku tak ingat telah berbuat apa-apa padanya? Tadi bukankah Ria yang kupeluk?" Teriakku frustasi di mobil.

Aku mencari mereka sampai pagi buta. Namun hasilnya tetap nihil tak kutemukan keberadaan mereka seperti hilang tak berjejak. Akhirnya kutuskan untuk pulang ke rumah berharap mereka berubah pikiran, siapa tahu kembali pulang mengingat Ria tidak punya uang sama sekali karena keuangan rumah hanya kupercayakan pada ibu.

Sesampainya di rumah dengan kondisi acak-acakan juga berantakan segera kumasuki kamar, tapi kudapati kamar masih kosong.

"Mereka tak pulang juga ternyata," tubuhku terasa lemas dan mataku mulai basah.

"Aku merindukan kalian, ternyata beginilah rasanya kehilangan. Saat masih ada tak pernah kuhiraukan keberadaan kalian, hanya selalu kasar pada kalian. Tapi saat kalian tak ada rasanya sakit sekali hatiku dan dunia ini terasa hancur,"gumamku sambil mengelus bantal tempat tidur Ria dan Dhea dengan masih diwarnai tangis kesedihan.

Tak terasa karna lelah menangis atau mungkin karna lelah semalaman tak tidur akhirnya aku ketiduran. Dan baru terbangun saat sudah tengah hari, ibu telah berada disampingku.

"Kamu udah bangun, Dio?" ibu mengusap kepalaku.

Aku hanya mengangguk, lalu mengucek-ngucek mata.

"Ibu mau bicara," ucapnya pelan.

"Bicara saja, Bu!" jawabku datar lalu segera duduk.

"Dio, jangan kamu tangisi kepergian mereka. Biarkan mereka pergi, toh mereka gak ada gunanya cuma nyusahin kita. Ibu itu pengen cucu yang dari kamu, bukan dari hasil hubungan gelap sama laki-laki lain" ketusnya.

"Tapi, Bu, aku sangat mencintai Ria, dan siapa tahu semua itu gak benar dan bagaimana kalau Dhea benar anakku?" sergahku cepat.

Kembali kubayangkan kehadiran mereka di kamar ini. Mengingat Dhea yang setiap pagi berusaha membangunkanku, juga Ria yang selalu sibuk membersihkan dan menata semuanya. Tapi, selalu tak pernah kuhiraukan.

"Sudahlah Dio, cepat mandi setelah itu sarapan. Percuma, susah banget kamu dinasehati!" Suara ibu membuyarkan lamunanku, beliau pergi keluar dari kamar, membiarkanku sendiri yang masih ingin bermalas-malasan.

Berhari-hari setelah kejadian itu aku masih terus berusaha mencari, kini aku sadar tanpa mereka hidupku semakin terasa hampa dan kacau. Namun, hasilnya tetap nihil, mereka hilang bak ditelan bumi.

Aku jadi jarang pergi ke kantor, juga jarang makan. Lebih sering pulang malam, menghabiskan waktu dengan terus sibuk mencari mereka, sebenarnya aku malas jika pulang sudah ada Marissa yang setiap hari datang ke rumah untuk terus mendesak meminta pertanggungjawaban atas hal yang aku yakin tak kulakukan.

Tak terasa sudah sebulan sejak kepergian istri dan anakku itu. Aku pulang ke rumah, kulihat jam dinding menunjukkan angka 11 lewat 45 menit. Sudah hampir tengah malam ternyata.

Perlahan kulangkahkan kaki menuju kamar, sebelum sampai di depan pintu kamar langkahku harus terhenti oleh teriakan.

"Berhenti Dio!"

"Ada apa sih, Bu?" Kutolehkan kepala ke arah asal suara yang kuhapal itu, dan menjadi malas saat melihat ibuku sedang bersama Marissa malam-malam begini. Rupanya tak bosan dan tak menyerah juga dia.

"Ibu ingin bicara, ayo kita duduk dulu! Sudah seharian kami menunggumu pulang!" perintah ibu yang tak dapat kubantah.

Kuikuti langkah mereka kemudian duduk agak menjauh. Aku risih sebenarnya melihat Marissa, perempuan yang ngotot ingin dijodohkan denganku oleh ibu sejak awal pernikahanku dengan Ria.

Entah kenapa wanita itu mau saja di jodohkan meski sudah tahu aku sudah punya anak dan istri. Dia selalu menghasut ibuku agar terus membenci Ria dan Dhea.

"Dio, kamu harus secepatnya menikah dengan Marissa," ucap ibuku mantab.

"Apa?" Aku sangat terkejut hingga tak sadar mataku melotot dan mulutku menganga.

"Iya Dio, Marissa sedang hamil anakmu. Jadi, kamu harus segera tanggung jawab atas perbuatanmu tempo hari!" jelas Ibu sambil menggenggam tangan Marissa dan tersenyum.

"Iya, Dio, aku sekarang tengah mengandung anakmu, buah cinta kita yang meski harus hadir dengan cara memaksa kau membuahinya." Marissa mengelus perutnya yang terlihat masih rata itu.

"Tidak, itu tidak mungkin! Istriku hanya Ria dan aku tidak akan pernah menceraikannya hanya demi kau!" teriakku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status