Itulah sebabnya hingga kini kupilih berdiam diri sambil mencari bukti bahwa semua yang diucapkan ibu itu salah. Namun, aku bisa apa? Ibu selalu mengancam akan pergi dari rumah bila aku tak percaya dan berani melawannya.
Ah, betapa lemahnya diriku ini sebagai lelaki, di satu sisi ingin tetap bersamamu karena jujur aku masih sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu malah mengkhianatiku, Ria, dan kamu kenapa selalu berlaku buruk pada ibuku yang juga sangat aku sayangi.
Sedangkan di sisi lain aku selalu tak bisa membantah ibu, karena telah terikat janji pada almarhum ayah untuk terus mengikuti apa yang dikatakannya dan tidak akan pernah membantah maupun menyakiti hatinya. Meski terpaksa harus kulanggar saat itu dengan terpaksa untuk menikahimu tanpa restunya sekalipun karena besarnya rasa cintaku padamu. Harusnya kamu mengerti dan membalas pengorbananku dengan juga menurut padanya. Namun kini seakan sia-sia semuanya, semua gara-gara aku berbuat bodoh demikian.
"Kamu udah gak percaya sama ucapan ibu ya?" Ibu memberenggut marah.
"Bukannya begitu, Bu! Tapi kenapa ibu selalu melarang kami melakukan tes DNA?Bukankah itu bukti akurat untuk membuktikan bahwa Dhea itu anakku apa bukan."
"Itu ... itu karena Dhea masih kecil, pasti takut jarum. Lagian buang-buang duit aja, 'kan sudah jelas-jelas kamu sering melihat mereka jalan bersama. Kurang bukti apa lagi coba?" jawab ibu gugup.
Masih kuingat perdebatanku beberapa waktu lalu dengan ibu. Saat beliau menunjukkan foto kebersamaan Ria dengan lelaki yang dibilang selingkuhannya itu.
Aku memang sering melihat Ria dan Arfa jalan bareng, entah itu hanya belanja di supermarket atau hanya sekadar ngobrol di depan rumah. Tapi, yang membuatku heran kenapa Arfa sering sekali memberikan susu ibu hamil juga buah-buahan pada Ria yang saat itu tengah mengandung.
Tak jarang Arfa juga ikut membawakan belanjaan Ria, lalu mengantarnya sampai ke rumah. Juga pernah kupergoki Arfa menggendong Dhea saat masih bayi saat tak sengaja aku pulang kembali ke rumah mengambil berkasku yang ketinggalan. Padahal aku yang suaminya saja tak pernah melakukannya.
Ibu juga selalu membenarkan hal itu dan katanya pula sudah sangat sering memergoki mereka begitu dan beranggapan bahwa mereka pasangan selingkuh yang sedang menimang buah cinta mereka tanpa punya rasa malu.
Itulah hal yang membuatku sangat murka, hingga akhirnya marah juga tak pernah mengaggap Ria maupun Dhea ada. Setiap hari mereka hanya menjadi tempat meluapkan kekecewaan juga amarah atas ketidakberdayaanku.
Jauh di dasar hatiku sebenarnya aku tak mempercayai rumor itu, dalam hati masih sangat menyayangi mereka dan kadang merasa gemas melihat Dhea yang seringkali bertingkah mirip sepertiku. Namun, segera kutepis perasaan itu, rasa marah kembali menguasaiku kala mendengar ibu berkata bahwa semua anak-anak memang selalu bersikap demikian, mungkin saja sifat dan sikapku nemplok ke Dhea karna ibunya waktu hamil sangat membenciku.
Katanya kalau pas hamil benci sama seseorang itu pasti ada yang nemplok entah sifat atau sikapnya, dan kebetulan saja itu menempel Dhea biar dikira benar-benar anakku.
Aku selalu mempercayai ucapan ibu, karena berpikir pengalamannya sudah banyak jadi tak mungkin asal bicara, tanpa berusaha mencari tahu kebenarannya.
"Sial ... kenapa bukan Ria tadi, kenapa harus Marissa? Ah, bodoh ...Bodoh! Tapi, kenapa aku tak ingat telah berbuat apa-apa padanya? Tadi bukankah Ria yang kupeluk?" Teriakku frustasi di mobil.
Aku mencari mereka sampai pagi buta. Namun hasilnya tetap nihil tak kutemukan keberadaan mereka seperti hilang tak berjejak. Akhirnya kutuskan untuk pulang ke rumah berharap mereka berubah pikiran, siapa tahu kembali pulang mengingat Ria tidak punya uang sama sekali karena keuangan rumah hanya kupercayakan pada ibu.
Sesampainya di rumah dengan kondisi acak-acakan juga berantakan segera kumasuki kamar, tapi kudapati kamar masih kosong.
"Mereka tak pulang juga ternyata," tubuhku terasa lemas dan mataku mulai basah.
"Aku merindukan kalian, ternyata beginilah rasanya kehilangan. Saat masih ada tak pernah kuhiraukan keberadaan kalian, hanya selalu kasar pada kalian. Tapi saat kalian tak ada rasanya sakit sekali hatiku dan dunia ini terasa hancur,"gumamku sambil mengelus bantal tempat tidur Ria dan Dhea dengan masih diwarnai tangis kesedihan.
Tak terasa karna lelah menangis atau mungkin karna lelah semalaman tak tidur akhirnya aku ketiduran. Dan baru terbangun saat sudah tengah hari, ibu telah berada disampingku.
"Kamu udah bangun, Dio?" ibu mengusap kepalaku.
Aku hanya mengangguk, lalu mengucek-ngucek mata.
"Ibu mau bicara," ucapnya pelan.
"Bicara saja, Bu!" jawabku datar lalu segera duduk.
"Dio, jangan kamu tangisi kepergian mereka. Biarkan mereka pergi, toh mereka gak ada gunanya cuma nyusahin kita. Ibu itu pengen cucu yang dari kamu, bukan dari hasil hubungan gelap sama laki-laki lain" ketusnya.
"Tapi, Bu, aku sangat mencintai Ria, dan siapa tahu semua itu gak benar dan bagaimana kalau Dhea benar anakku?" sergahku cepat.
Kembali kubayangkan kehadiran mereka di kamar ini. Mengingat Dhea yang setiap pagi berusaha membangunkanku, juga Ria yang selalu sibuk membersihkan dan menata semuanya. Tapi, selalu tak pernah kuhiraukan.
"Sudahlah Dio, cepat mandi setelah itu sarapan. Percuma, susah banget kamu dinasehati!" Suara ibu membuyarkan lamunanku, beliau pergi keluar dari kamar, membiarkanku sendiri yang masih ingin bermalas-malasan.
Berhari-hari setelah kejadian itu aku masih terus berusaha mencari, kini aku sadar tanpa mereka hidupku semakin terasa hampa dan kacau. Namun, hasilnya tetap nihil, mereka hilang bak ditelan bumi.
Aku jadi jarang pergi ke kantor, juga jarang makan. Lebih sering pulang malam, menghabiskan waktu dengan terus sibuk mencari mereka, sebenarnya aku malas jika pulang sudah ada Marissa yang setiap hari datang ke rumah untuk terus mendesak meminta pertanggungjawaban atas hal yang aku yakin tak kulakukan.
Tak terasa sudah sebulan sejak kepergian istri dan anakku itu. Aku pulang ke rumah, kulihat jam dinding menunjukkan angka 11 lewat 45 menit. Sudah hampir tengah malam ternyata.
Perlahan kulangkahkan kaki menuju kamar, sebelum sampai di depan pintu kamar langkahku harus terhenti oleh teriakan.
"Berhenti Dio!"
"Ada apa sih, Bu?" Kutolehkan kepala ke arah asal suara yang kuhapal itu, dan menjadi malas saat melihat ibuku sedang bersama Marissa malam-malam begini. Rupanya tak bosan dan tak menyerah juga dia.
"Ibu ingin bicara, ayo kita duduk dulu! Sudah seharian kami menunggumu pulang!" perintah ibu yang tak dapat kubantah.
Kuikuti langkah mereka kemudian duduk agak menjauh. Aku risih sebenarnya melihat Marissa, perempuan yang ngotot ingin dijodohkan denganku oleh ibu sejak awal pernikahanku dengan Ria.
Entah kenapa wanita itu mau saja di jodohkan meski sudah tahu aku sudah punya anak dan istri. Dia selalu menghasut ibuku agar terus membenci Ria dan Dhea.
"Dio, kamu harus secepatnya menikah dengan Marissa," ucap ibuku mantab.
"Apa?" Aku sangat terkejut hingga tak sadar mataku melotot dan mulutku menganga.
"Iya Dio, Marissa sedang hamil anakmu. Jadi, kamu harus segera tanggung jawab atas perbuatanmu tempo hari!" jelas Ibu sambil menggenggam tangan Marissa dan tersenyum.
"Iya, Dio, aku sekarang tengah mengandung anakmu, buah cinta kita yang meski harus hadir dengan cara memaksa kau membuahinya." Marissa mengelus perutnya yang terlihat masih rata itu.
"Tidak, itu tidak mungkin! Istriku hanya Ria dan aku tidak akan pernah menceraikannya hanya demi kau!" teriakku.
"Dio, aku sadar aku memang tak berarti untukmu. Tapi, demi anak yang ada dalam kandungan ini kumohon nikahi aku, walau hanya secara siri aku rela asal anakku saat lahir nanti mempunyai seorang papa. Aku tak ingin digunjing orang telah hamil tanpa suami, jangan buat orangtuaku malu, Dio," rengek Marissa yang tengah menangis di depanku."Ah, kenapa sih, kamu gak nolak saat itu?" Aku sangat frustasi. Sementara Marissa terus terisak."Aku mohon demi anak ini, Dio, kasihanilah dia yang tak berdosa.""Apa yang dikatakan Marissa itu benar, Dio. Kamu harus secepatnya menikahi Marrisa walau hanya secara siri sampai Ria di temukan, lalu ceraikanlah Ria kemudian menikahlah secara sah hukum negara dengan Marissa! Ingat yang ada dikandungannya itu anak kandungmu, cucu ibu!" bela ibuku."Apa, Bu? Itu semua tidak mungkin. Aku akan menikahi Marrisa, tapi tolong jangan menyuruhku menceraikan Ria! Dan kamu Marrisa, harus kamu tahu aku menikahimu hanya semata-mata demi anak
Kucoba berkali-kali menghubungi ponsel Marrisa, tapi tak dijawabnya, kukirimi dia pesan berkali-kali namun masih belum ada balasan.Hingga saat aku mulai menyerah tiba-tiba Marrisa mengangkat teleponku."Marrisa cepatlah ke rumah sakit, Diego sedang sakit dan membutuhkan tranfusi darah," jelasku saat dia menjawab panggilan yang entah ke berapa kali itu."Tinggal ditranfusi aja apa sih, susahnya?Kamu kan, bisa ngatasi sendirian. Aku masih sibuk, masih liburan di Bali jadi tidak bisa pulang sekarang," jawabnya ketus tanpa rasa khawatir."Tapi golongan darahku gak sama dengan Diego, aku O sementara Diego A--""Cari ke PMI 'kan bisa, gitu aja kok repot!" potongnya."Stocknya lagi habis, ini darurat Marrisa pokoknya sekarang juga kamu harus pulang!" perintahku tegas."Mana bisa? Aku pulang pun percuma karena golongan darahku juga O, jadi ...." Marrisa menghentikan ucapannya."Kalau aku O dan kamu juga O, kenapa bisa Diego A, h
"Kamu masih peduli juga ternyata dengan Diego", sindirku padanya saat sudah dekat dengan kami."Siapa bilang? Aku cuma mau minta kunci rumah doang, kok. Kunci yang kubawa hilang," jawabnya enteng."Kamu benar-benar keterlaluan Marrisa, sama anak sendiri gak ada pedulinya! Sekarang aku mau tanya Diego itu anak siapa?" bentakku sambil mencengkeram bahunya kuat, kesabaranku sepertinya sudah habis untuknya."Sakit, Dio! Diego anak Irgi kali," ketus Marrisa tanpa dosa."Hey, Jalang! Jaga bicaramu, ya! Bisa-bisanya kamu bawa-bawa aku, kamu kira dulu aku tak tahu kalau kamu sering gonta-ganti pasangan, hah? Seenaknya saja menuduh orang, mana ATMku kau kuras udah gitu bawa kabur mobilku. Untung aku gak nglaporin kamu ke polisi, ya!" Irgi sepertinya juga tersulut emosi sampai lupa ada Mila, calon istrinya."Tapi, kamu juga pernah nikmatin tubuhku juga, kan?" seloroh Marrisa tak tahu malu."Dasar perempuan sundel, ya, udah bejat bangga! Lama-lama aku
"Dhea itu ... sebenarnya anak kandungmu, Dio. Maafkan ibu, ibu selalu mengecohmu dengan Ria hanya karena rasa tidak suka padanya yang sangat besar. Dia sebetulnya istri yang sangat baik dan setia. Dosa ibu teramat banyak pada kalian. Maaf!" Ibu terus menangis sedangkan aku tertegun tak bisa berucap apa-apa."Tentang perselingkuhannya dengan Arfa itu ... sama sekali tidak benar, itu hanya akal-akalan ibu dengan Marrisa saja. Mereka sebenarnya tak ada hubungan apa-apa. Arfa itu sangat baik dan perhatian dengan Ria karena dia kasihan melihat Ria yang tak pernah kau hiraukan. Apalagi di masa kehamilannya, seringkali Arfa membelikan susu ibu hamil untuk Ria itu karena kata dokter Ria dan bayinya kekurangan nutrisi sebab jarang makan. Ibu yang salah Dio, ibu hanya menjadikannya seperti pembantu di rumah kita. Uang belanja dan semua uang apapun ibu minta tanpa membaginya sepeser pun." Ibu menyeka air matanya, sementara aku pun juga tak kuasa menahan tangisku mengingat perlakua
Kehidupanku mulai membaik seiring berjalannya waktu. Tak terasa sudah hampir dua tahun aku telah dipercaya mengelola perusahaan miliknya di sana yang semakin berkembang pesat di bawah kepemimpinanku. Namun, entah kenapa tiba-tiba aku diminta datang ke kota yang menjadi tempat tinggal tetap bos sekaligus teman karibku itu. Katanya ingin menunjukkan kinerja juga tempat perusahaan pusat yang selama ini masih belum kuketahui.Kebetulan juga ada beberapa dokumen yang membutuhkan tanda tangannya, jadi dengan senang hati aku berangkat dengan mengajak Diego juga. Pikirku sekaligus liburan, karena kota itu punya banyak sekali destinasi wisata yang indah untuk sekadar melepas penat.Setelah sampai di kota itu, malamnya kami pergi ke rumah makan yang cukup terkenal di dekat perusahaan yang esok akan kudatangi untuk makan malam sekaligus untuk tinjau lokasi, agar aku besok tidak kesasar.Hingga aku menemukan kembali anak dan istri yang telah lama kurindukan ke
"Ih, bibirnya itu lho ... ngegemesin. Nantangin kayaknya!" terlihat tangannya mencengkeram menggenggam gemas ke arahku."Nantangin apa?" selidikku."Nantangin buat dicium tahu!" ucapnya lalu menutup mulut, sepertinya refleks."Mulai, ya ... aku tinggal pergi, nih! Aku lagi males buat bercanda tau!""Sorry, gak deh ... silakan Nona Manis buat bercerita! Jangan ngambek, dong!"Dengerin baik-baik sebelum aku berubah pikiran!"***Dulu saat masih berusia 16 tahun setelah lulus SMP, kuputuskan pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Ibu dan ayahku memang orang miskin yang tinggal di desa dan tak sanggup membiayaiku sekolah SMA. Mereka hanya bekerja sebagai buruh di sawah tetangga dengan upah sangat minim.Hingga aku bertekad ingin merubah nasib, menjadi anak semata wayang yang merasa punya kewajiban untuk membahagiakan mereka. Walau berat hati akhirnya aku diijinkan pergi bekerja sebagai pelayan toko pakaian. Dengan pe
Beruntung ada Arfa yang memberi semangat dan menguatkanku.Beberapa saat kemudian, Arfa pamit untuk pulang. tiba-tiba Dio datang dengan muka merah padam. Namun, belum sempat mendekat ke arahku. Arfa terlihat sudah mencekal lengan suamiku, lalu mengajaknya keluar.Terdengar suara keributan di luar, sepertinya mereka sedang adu debat. Aku hanya bisa mencuri dengar dengan cemas, takut terjadi sesuatu pada mereka. Tapi syukurlah, beberapa saat kemudian akhirnya Dio masuk bersama Arfa. Lalu tersenyum dan meminta maaf karena tak bisa menemaniku.Dio terlihat lebih sumringah tatkala melihat putri kecilnya yang juga nyaris mirip dengannya. Entah apa yang mereka debatkan tadi, tapi aku bahagia melihat suamiku akhirnya mau peduli pada kami.Setelah keadaanku benar-benar pulih akhirnya aku diperbolehkan pulang, Dio terlihat antusias menggendong dan menunggui putri kami yang terlelap tidur.Namun, ibu mertuaku seperti tidak menyukai kedekatan dan kebahagiaan k
"Hingga akhirnya kami bertemu denganmu. Matahari menyengat dengan teriknya dan saat itu kami sudah sangat lelah setelah berjalan beberapa kilo meter untuk mencari kost-an. Kamu masih ingat, kan, awal perjumpaan kita? Kamu yang aku sangka tukang ojek waktu itu?" Kupandangi wajah serius Reyhan yang sejak tadi fokus mendengarkan cerita hidupku."Tentu, aku masih ingat betul. Ria, betapa menderitanya kamu sejak dulu sampai sekarang. Maafkan aku!" jawab Reyhan kemudian menarikku dalam pelukannya setelah sempat menghapus air mata yang menganak sungai di pipiku."Maaf untuk apa? Aku memang menyedihkan, iya 'kan?" Karena terbawa suasana kubalas pelukannya. Rasanya nyaman dan lega setelah bisa mengeluarkan isi hati yang menyesakkan ini.Rasanya damai bisa mendapatkan tempat untuk sesaat bisa bersandar melepaskan kesedihan setelah bertahun-tahun menyimpannya sendiri."Kamu itu kuat, Ria, bahkan sangat kuat. Aku salut akan perjuangan juga kesabaranmu itu." Rey