"Maafkan aku yang sudah meragukanmu, Ria, aku terpengaruh oleh ucapan ibuku," sesalnya.
"Itulah kebodohanmu, Mas, kamu hanya mendengarkan ibumu tanpa mendengar penjelasanku. Aku sangat sakit hati akan hal itu, Mas!" Bibirku bergetar menahan rasa marah yang selama ini kupendam.
"Maaf Ria, maaf ... tapi aku sudah tahu semuanya yang telah terjadi, ibu sudah menjelaskan segalanya sebelum beliau meninggal," isaknya.
"Innaillahi wa innaillahi rojiuun, apa, ibu meninggal, Mas? Kapan?" tanyaku kaget mendengar berita kematian mertuaku. Meski beliau pernah menyakiti hatiku tapi aku tetap menghormatinya.
"Dua tahun yang lalu, ibu juga berpesan ingin meminta maaf padamu dan juga Dhea. Ibu menyesal atas semua perlakuannya kalian. Andaikan bisa, beliau ingin bersujud meminta maaf langsung padamu. Namun, setelah mengucapkan keinginannya itu beliau sudah dipanggil Allah terlebih dahulu," terangnya sambil matanya menerawang.
"Lalu Marissa? Dan Diego itu bukankah berarti dia anakmu dengan Marissa?" tanyaku sedikit tenang.
"Marissa pergi dengan selingkuhannya, Diego itu memang anaknya Marissa, tapi bukan denganku, dia sudah kuanggap seperti putra kandungku sendiri. Mungkin ini karma untukku dan ibuku yang telah tega menelantarkan kalian," ucap mas Dio sendu penuh penyesalan.
"Aku sudah tahu semuanya, jadi aku mohon kembalilah padaku! Ijinkan aku memperbaiki semuanya," pintanya memelas.
"Maaf Mas, aku tak bisa, aku tak ingin jatuh ke lubang yang sama. Aku memang bisa memaafkanmu dan ibumu, tapi aku tak bisa kembali padamu karna sakit hatiku ini sampai kapan pun tidak bisa hilang, Mas. Dan aku sudah terlanjur sangat membencimu." Aku kembali meradang.
"Please, Ria ... kembalilah denganku setidaknya demi Dhea, dia juga anakku yang juga memerlukan sosok seorang ayah," bujuknya pantang menyerah. "Aku masih sangat mencintaimu Ria, aku seperti orang gila saat kalian meninggalkanku," tambahnya.
"Stop, Mas! Aku benci padamu! Aku muak padamu! Teganya kamu bermesraan dengan wanita lain di depan mataku? Kalau hanya perlakuan burukmu dan ibumu aku masih bisa menahan deritanya, tapi kalau soal dikhianati, maaf, lebih baik aku pergi!" Kembali rasa marah yang teramat sangat menyerangku, bayang-bayang sumaiku tengah tidur dengan wanita lain di ranjang kamarku itu kembali menari-nari jelas di mataku kembali sesaat sebelum kepergianku empat tahun lalu.
"Itu cuma jebakan ibu dan Marissa saja Ria, agar kita bisa bercerai supaya setelah itu aku dan Marissa bisa menikah. Aku gak ngapa-ngapain sama dia," jelasnya.
Ingin rasanya aku tak mempercayai ucapannya, tapi sorot matanya masih tetap sama seperti dulu memancarkan kejujuran. Membuatku sedikit goyah.
" Begini saja, tolong beri aku kesempatan untuk menceritakan semuanya! Setelah itu baru berikanlah keputusanmu. Namun, tolong pertimbangkan dulu baik-baik demi Dhea, anak kita," tawarnya.
"Baiklah, tapi juga berjanjilah apapun keputusanku kamu harus terima dan tidak pernah memaksaku mengikuti kehendakmu. Dan satu lagi, jangan pernah kamu mengambil Dhea dariku seandainya aku tetap tak ingin kembali denganmu,"ucapku ketus padanya.
"Baiklah aku janji," ucapnya mantab terlihat ada sedikit senyuman di bibirnya, mungkin senyuman penuh harapan agar bisa kembali denganku.
Aku berusaha berdamai dengan diriku sendiri dan dengan keadaan, mungkin memang ini sudah saatnya aku menghadapi kenyataan. Aku sudah lelah lari dari semuanya selama empat tahun ini, aku sudah lelah menyimpan luka ini sendirian dan juga berbagai pertanyaan dari Dhea tentang siapa dan di mana papanya yang dia sudah lupa akan rupanya.
"Kalau begitu mulailah ceritakan semuanya akan aku dengarkan," ucapku datar sambil membetulkan posisi duduk di sebelahnya, agak menjauh di atas karpet messku.
Mas Dio mengangguk, lalu memutar badan menghadap ke arahku yang duduk tetap menyampinginya.
***Empat tahun yang lalu*** Dio POV***
Saat itu baru pulang dari kantor dan baru turun dari mobil, entah kenapa badanku terasa capek sekali. Aku teringat kalau Ria, istriku ijin untuk pergi dengan ibu juga Dhea ke pesta pernikahannya saudara jauh ibu dan akan pulang sedikit malam. Karena rumahnya memang agak jauh, aku saat itu sedang ada meeting jadi tidak bisa ikut mengantar mereka.
Dengan malas kemudian kumasuki rumah, dan mendapati pintunya tidak terkunci. Masih dengan perasaan bingung, alangkah terkejutnya aku melihat Marissa ada di dalam rumah.
"Marissa, ngapain kamu di sini?" tanyaku kaget melihat dia tengah duduk di ruang tamu.
"Aku cuma mau main, Dio, tadi tante Vivi menyuruhku datang ke sini tapi sayangnya sudah keburu pergi. Jadi, aku masuk saja katanya kamu bentar lagi pulang," jawabnya sambil mendekat kepada dengan mengenakan pakaian terlalu seksi bagiku.
"Menjauhlah dariku! Ibuku akan pulang agak malam, jadi jika kau mau menunggu silakan dan jika ingin pulang pintunya di sana!" ucapku ketus lalu melangkahkan kaki ke arah kamar.
"Tunggu! Kenapa kamu begitu dingin padaku? Apa salahku? Aku masih sangat mencintaimu, Dio, aku lebih cantik, lebih sexy, dan lebih kaya dari istrimu itu. Ibumu juga lebih setuju aku denganmu daripada dengan wanita miskin itu!" seloroh Marissa dengan nada sinis.
"Cukup! Ria istriku dan dia juga sudah memberiku seorang putri. Dia segalanya lebih baik darimu, dan aku tak akan pernah kembali padamu, ingat itu!" bentakku padanya.
"Putri katamu? Hei Dio, Dhea itu bukan anakmu. Dia hasil perselingkuhan istrimu, kau tahu itu 'kan?" ejeknya.
"Diam kau!" Hardikku kemudian masuk ke kamar.
Sementara Marissa menuju meja makan. Terlihat melipat tangan dan duduk dengan kasar sambil bersungut-sungut sesaat sebelum diriku menutup pintu.
Aku segera mandi dan berganti pakaian, lalu berniat tidur. Namun, cacing di perutku protes keras ingin diberi makan. Sebenarnya aku enggan keluar kamar jika ada Marissa di rumah ini. Biasanya ibu dengan terang-terangan meminta menikah dengannya dan menyuruhku menceraikan Ria. Tapi, aku tak mahu, karena sangat mencintai Ria. Meski seakan tak pernah menganggapnya ada.
Rasa marah menguasaiku hingga kini setelah mendengar cerita ibu, bahwa dia telah berselingkuh dengan pemuda. Dia tetangga baru rumah ini, bahkan pengkhianatan itu sampai menghasilkan Dhea.
Ingin rasanya aku percaya penjelasan Ria, tapi entah kenapa hati kecilku lebih mempercayai ucapan ibu yang selama ini merawatku. Bukankah tak mungkin dia tega membohongiku.
Tak tahan lapar, akhirnya kuputuskan menuju meja makan, kemudian mulai membuka tudung saji tanpa menghiraukan hadirnya Marissa.Dengan tenang dan diam kuambil piring lalu menyendokkan nasi ke piring, Namun tiba-tiba tangan Marissa mencekalku."Sini, Sayang, biar aku ambilin, aku 'kan harus belajar melayani calon suamiku," ucapnya sambil meraih piring dari tanganku yang malah kutepis."Tak usah aku bisa sendiri! Calon suami? Ingat ya, sampai kapan pun aku tak 'kan sudi menikah denganmu!" Kupandang dia dengan sorotan tajam, beranjak duduk di kursi ujung menjauh darinya kemudian makan dengan lahapnya."Sialan! Awas saja Dio, kamu boleh sombong sekarang, tapi lihat saja nanti, kamu akan jadi milikku dan setelah itu akan kubalas perbuatanmu ini," gumam Marissa yang masih bisa terdengar tanpa kuhiraukan.Selesai makan aku menonton tv, setelah bosan kuputuskan menuju kamar untuk tidur saja, tapi saat sampai di depan pintu kepalaku terasa sangat berat dan
Itulah sebabnya hingga kini kupilih berdiam diri sambil mencari bukti bahwa semua yang diucapkan ibu itu salah. Namun, aku bisa apa? Ibu selalu mengancam akan pergi dari rumah bila aku tak percaya dan berani melawannya.Ah, betapa lemahnya diriku ini sebagai lelaki, di satu sisi ingin tetap bersamamu karena jujur aku masih sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu malah mengkhianatiku, Ria, dan kamu kenapa selalu berlaku buruk pada ibuku yang juga sangat aku sayangi.Sedangkan di sisi lain aku selalu tak bisa membantah ibu, karena telah terikat janji pada almarhum ayah untuk terus mengikuti apa yang dikatakannya dan tidak akan pernah membantah maupun menyakiti hatinya. Meski terpaksa harus kulanggar saat itu dengan terpaksa untuk menikahimu tanpa restunya sekalipun karena besarnya rasa cintaku padamu. Harusnya kamu mengerti dan membalas pengorbananku dengan juga menurut padanya. Namun kini seakan sia-sia semuanya, semua gara-gara aku berbuat bodoh demikian."Kamu uda
"Dio, aku sadar aku memang tak berarti untukmu. Tapi, demi anak yang ada dalam kandungan ini kumohon nikahi aku, walau hanya secara siri aku rela asal anakku saat lahir nanti mempunyai seorang papa. Aku tak ingin digunjing orang telah hamil tanpa suami, jangan buat orangtuaku malu, Dio," rengek Marissa yang tengah menangis di depanku."Ah, kenapa sih, kamu gak nolak saat itu?" Aku sangat frustasi. Sementara Marissa terus terisak."Aku mohon demi anak ini, Dio, kasihanilah dia yang tak berdosa.""Apa yang dikatakan Marissa itu benar, Dio. Kamu harus secepatnya menikahi Marrisa walau hanya secara siri sampai Ria di temukan, lalu ceraikanlah Ria kemudian menikahlah secara sah hukum negara dengan Marissa! Ingat yang ada dikandungannya itu anak kandungmu, cucu ibu!" bela ibuku."Apa, Bu? Itu semua tidak mungkin. Aku akan menikahi Marrisa, tapi tolong jangan menyuruhku menceraikan Ria! Dan kamu Marrisa, harus kamu tahu aku menikahimu hanya semata-mata demi anak
Kucoba berkali-kali menghubungi ponsel Marrisa, tapi tak dijawabnya, kukirimi dia pesan berkali-kali namun masih belum ada balasan.Hingga saat aku mulai menyerah tiba-tiba Marrisa mengangkat teleponku."Marrisa cepatlah ke rumah sakit, Diego sedang sakit dan membutuhkan tranfusi darah," jelasku saat dia menjawab panggilan yang entah ke berapa kali itu."Tinggal ditranfusi aja apa sih, susahnya?Kamu kan, bisa ngatasi sendirian. Aku masih sibuk, masih liburan di Bali jadi tidak bisa pulang sekarang," jawabnya ketus tanpa rasa khawatir."Tapi golongan darahku gak sama dengan Diego, aku O sementara Diego A--""Cari ke PMI 'kan bisa, gitu aja kok repot!" potongnya."Stocknya lagi habis, ini darurat Marrisa pokoknya sekarang juga kamu harus pulang!" perintahku tegas."Mana bisa? Aku pulang pun percuma karena golongan darahku juga O, jadi ...." Marrisa menghentikan ucapannya."Kalau aku O dan kamu juga O, kenapa bisa Diego A, h
"Kamu masih peduli juga ternyata dengan Diego", sindirku padanya saat sudah dekat dengan kami."Siapa bilang? Aku cuma mau minta kunci rumah doang, kok. Kunci yang kubawa hilang," jawabnya enteng."Kamu benar-benar keterlaluan Marrisa, sama anak sendiri gak ada pedulinya! Sekarang aku mau tanya Diego itu anak siapa?" bentakku sambil mencengkeram bahunya kuat, kesabaranku sepertinya sudah habis untuknya."Sakit, Dio! Diego anak Irgi kali," ketus Marrisa tanpa dosa."Hey, Jalang! Jaga bicaramu, ya! Bisa-bisanya kamu bawa-bawa aku, kamu kira dulu aku tak tahu kalau kamu sering gonta-ganti pasangan, hah? Seenaknya saja menuduh orang, mana ATMku kau kuras udah gitu bawa kabur mobilku. Untung aku gak nglaporin kamu ke polisi, ya!" Irgi sepertinya juga tersulut emosi sampai lupa ada Mila, calon istrinya."Tapi, kamu juga pernah nikmatin tubuhku juga, kan?" seloroh Marrisa tak tahu malu."Dasar perempuan sundel, ya, udah bejat bangga! Lama-lama aku
"Dhea itu ... sebenarnya anak kandungmu, Dio. Maafkan ibu, ibu selalu mengecohmu dengan Ria hanya karena rasa tidak suka padanya yang sangat besar. Dia sebetulnya istri yang sangat baik dan setia. Dosa ibu teramat banyak pada kalian. Maaf!" Ibu terus menangis sedangkan aku tertegun tak bisa berucap apa-apa."Tentang perselingkuhannya dengan Arfa itu ... sama sekali tidak benar, itu hanya akal-akalan ibu dengan Marrisa saja. Mereka sebenarnya tak ada hubungan apa-apa. Arfa itu sangat baik dan perhatian dengan Ria karena dia kasihan melihat Ria yang tak pernah kau hiraukan. Apalagi di masa kehamilannya, seringkali Arfa membelikan susu ibu hamil untuk Ria itu karena kata dokter Ria dan bayinya kekurangan nutrisi sebab jarang makan. Ibu yang salah Dio, ibu hanya menjadikannya seperti pembantu di rumah kita. Uang belanja dan semua uang apapun ibu minta tanpa membaginya sepeser pun." Ibu menyeka air matanya, sementara aku pun juga tak kuasa menahan tangisku mengingat perlakua
Kehidupanku mulai membaik seiring berjalannya waktu. Tak terasa sudah hampir dua tahun aku telah dipercaya mengelola perusahaan miliknya di sana yang semakin berkembang pesat di bawah kepemimpinanku. Namun, entah kenapa tiba-tiba aku diminta datang ke kota yang menjadi tempat tinggal tetap bos sekaligus teman karibku itu. Katanya ingin menunjukkan kinerja juga tempat perusahaan pusat yang selama ini masih belum kuketahui.Kebetulan juga ada beberapa dokumen yang membutuhkan tanda tangannya, jadi dengan senang hati aku berangkat dengan mengajak Diego juga. Pikirku sekaligus liburan, karena kota itu punya banyak sekali destinasi wisata yang indah untuk sekadar melepas penat.Setelah sampai di kota itu, malamnya kami pergi ke rumah makan yang cukup terkenal di dekat perusahaan yang esok akan kudatangi untuk makan malam sekaligus untuk tinjau lokasi, agar aku besok tidak kesasar.Hingga aku menemukan kembali anak dan istri yang telah lama kurindukan ke
"Ih, bibirnya itu lho ... ngegemesin. Nantangin kayaknya!" terlihat tangannya mencengkeram menggenggam gemas ke arahku."Nantangin apa?" selidikku."Nantangin buat dicium tahu!" ucapnya lalu menutup mulut, sepertinya refleks."Mulai, ya ... aku tinggal pergi, nih! Aku lagi males buat bercanda tau!""Sorry, gak deh ... silakan Nona Manis buat bercerita! Jangan ngambek, dong!"Dengerin baik-baik sebelum aku berubah pikiran!"***Dulu saat masih berusia 16 tahun setelah lulus SMP, kuputuskan pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Ibu dan ayahku memang orang miskin yang tinggal di desa dan tak sanggup membiayaiku sekolah SMA. Mereka hanya bekerja sebagai buruh di sawah tetangga dengan upah sangat minim.Hingga aku bertekad ingin merubah nasib, menjadi anak semata wayang yang merasa punya kewajiban untuk membahagiakan mereka. Walau berat hati akhirnya aku diijinkan pergi bekerja sebagai pelayan toko pakaian. Dengan pe