Share

Bab 6

"Maafkan aku yang sudah meragukanmu, Ria, aku terpengaruh oleh ucapan ibuku," sesalnya.

"Itulah kebodohanmu, Mas, kamu hanya mendengarkan ibumu tanpa mendengar penjelasanku. Aku sangat sakit hati akan hal itu, Mas!" Bibirku bergetar menahan rasa marah yang selama ini kupendam.

"Maaf Ria, maaf ... tapi aku sudah tahu semuanya yang telah terjadi, ibu sudah menjelaskan segalanya sebelum beliau meninggal," isaknya.

"Innaillahi wa innaillahi rojiuun, apa, ibu meninggal, Mas? Kapan?" tanyaku kaget mendengar berita kematian mertuaku. Meski beliau pernah menyakiti hatiku tapi aku tetap menghormatinya.

"Dua tahun yang lalu, ibu juga berpesan ingin meminta maaf padamu dan juga Dhea. Ibu menyesal atas semua perlakuannya kalian. Andaikan bisa, beliau ingin bersujud meminta maaf langsung padamu. Namun, setelah mengucapkan keinginannya itu beliau sudah dipanggil Allah terlebih dahulu," terangnya sambil matanya menerawang.

"Lalu Marissa? Dan Diego itu bukankah berarti dia anakmu dengan Marissa?" tanyaku sedikit tenang.

"Marissa pergi dengan selingkuhannya, Diego itu memang anaknya Marissa, tapi bukan denganku, dia sudah kuanggap seperti putra kandungku sendiri. Mungkin ini karma untukku dan ibuku yang telah tega menelantarkan kalian," ucap mas Dio sendu penuh penyesalan.

"Aku sudah tahu semuanya, jadi aku mohon kembalilah padaku! Ijinkan aku memperbaiki semuanya," pintanya memelas.

"Maaf Mas, aku tak bisa, aku tak ingin jatuh ke lubang yang sama. Aku memang bisa memaafkanmu dan ibumu, tapi aku tak bisa kembali padamu karna sakit hatiku ini sampai kapan pun tidak bisa hilang, Mas. Dan aku sudah terlanjur sangat membencimu." Aku kembali meradang.

"Please, Ria ... kembalilah denganku setidaknya demi Dhea, dia juga anakku yang juga memerlukan sosok seorang ayah," bujuknya pantang menyerah. "Aku masih sangat mencintaimu Ria, aku seperti orang gila saat kalian meninggalkanku," tambahnya.

"Stop, Mas! Aku benci padamu! Aku muak padamu! Teganya kamu bermesraan dengan wanita lain di depan mataku? Kalau hanya perlakuan burukmu dan ibumu aku masih bisa menahan deritanya, tapi kalau soal dikhianati, maaf, lebih baik aku pergi!" Kembali rasa marah yang teramat sangat menyerangku, bayang-bayang sumaiku tengah tidur dengan wanita lain di ranjang kamarku itu kembali menari-nari jelas di mataku kembali sesaat sebelum kepergianku empat tahun lalu.

"Itu cuma jebakan ibu dan Marissa saja Ria, agar kita bisa bercerai supaya setelah itu aku dan Marissa bisa menikah. Aku gak ngapa-ngapain sama dia," jelasnya.

Ingin rasanya aku tak mempercayai ucapannya, tapi sorot matanya masih tetap sama seperti dulu memancarkan kejujuran. Membuatku sedikit goyah.

" Begini saja, tolong beri aku kesempatan untuk menceritakan semuanya! Setelah itu baru berikanlah keputusanmu. Namun, tolong pertimbangkan dulu baik-baik demi Dhea, anak kita," tawarnya.

"Baiklah, tapi juga berjanjilah apapun keputusanku kamu harus terima dan tidak pernah memaksaku mengikuti kehendakmu. Dan satu lagi, jangan pernah kamu mengambil Dhea dariku seandainya aku tetap tak ingin kembali denganmu,"ucapku ketus padanya.

"Baiklah aku janji," ucapnya mantab terlihat ada sedikit senyuman di bibirnya, mungkin senyuman penuh harapan agar bisa kembali denganku.

Aku berusaha berdamai dengan diriku sendiri dan dengan keadaan, mungkin memang ini sudah saatnya aku menghadapi kenyataan. Aku sudah lelah lari dari semuanya selama empat tahun ini, aku sudah lelah menyimpan luka ini sendirian dan juga berbagai pertanyaan dari Dhea tentang siapa dan di mana papanya yang dia sudah lupa akan rupanya.

"Kalau begitu mulailah ceritakan semuanya akan aku dengarkan," ucapku datar sambil membetulkan posisi duduk di sebelahnya, agak menjauh di atas karpet messku.

Mas Dio mengangguk, lalu memutar badan menghadap ke arahku yang duduk tetap menyampinginya.

***Empat tahun yang lalu*** Dio POV***

Saat itu baru pulang dari kantor dan baru turun dari mobil, entah kenapa badanku terasa capek sekali. Aku teringat kalau Ria, istriku ijin untuk pergi dengan ibu juga Dhea ke pesta pernikahannya saudara jauh ibu dan akan pulang sedikit malam. Karena rumahnya memang agak jauh, aku saat itu sedang ada meeting jadi tidak bisa ikut mengantar mereka.

Dengan malas kemudian  kumasuki rumah, dan mendapati pintunya tidak terkunci. Masih dengan perasaan bingung, alangkah terkejutnya aku melihat Marissa ada di dalam rumah.

"Marissa, ngapain kamu di sini?" tanyaku kaget melihat dia tengah duduk di ruang tamu.

"Aku cuma mau main, Dio, tadi tante Vivi menyuruhku datang ke sini tapi sayangnya sudah keburu pergi. Jadi, aku masuk saja katanya kamu bentar lagi pulang," jawabnya sambil mendekat kepada dengan mengenakan pakaian terlalu seksi bagiku.

"Menjauhlah dariku! Ibuku akan pulang agak malam, jadi jika kau mau menunggu silakan dan jika ingin pulang pintunya di sana!" ucapku ketus lalu melangkahkan kaki ke arah kamar.

"Tunggu! Kenapa kamu begitu dingin padaku? Apa salahku? Aku masih sangat mencintaimu, Dio, aku lebih cantik, lebih sexy, dan lebih kaya dari istrimu itu. Ibumu juga lebih setuju aku denganmu daripada dengan wanita miskin itu!" seloroh Marissa dengan nada sinis.

"Cukup! Ria istriku dan dia juga sudah memberiku seorang putri. Dia segalanya lebih baik darimu, dan aku tak akan pernah kembali padamu, ingat itu!" bentakku padanya.

"Putri katamu? Hei Dio, Dhea itu bukan anakmu. Dia hasil perselingkuhan istrimu, kau tahu itu 'kan?" ejeknya.

"Diam kau!" Hardikku kemudian masuk ke kamar.

Sementara Marissa menuju meja makan. Terlihat melipat tangan dan duduk dengan kasar sambil bersungut-sungut sesaat sebelum diriku menutup pintu.

Aku segera mandi dan berganti pakaian, lalu berniat tidur. Namun, cacing di perutku protes keras ingin diberi makan. Sebenarnya aku enggan keluar kamar jika ada Marissa di rumah ini. Biasanya ibu dengan terang-terangan meminta menikah dengannya dan menyuruhku menceraikan Ria. Tapi, aku tak mahu, karena sangat mencintai Ria. Meski seakan tak pernah menganggapnya ada.

Rasa marah menguasaiku hingga kini setelah mendengar cerita ibu, bahwa dia telah berselingkuh dengan pemuda. Dia tetangga baru rumah ini, bahkan pengkhianatan itu sampai menghasilkan Dhea.

Ingin rasanya aku percaya penjelasan Ria, tapi entah kenapa hati kecilku lebih mempercayai ucapan ibu yang selama ini merawatku. Bukankah tak mungkin dia tega membohongiku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status