Bagian 4
Ponsel yang sedang berada di dalam tasku bergetar. Aku pun segera menepikan mobil, lalu mengambilnya dari dalam tas. Ternyata sudah banyak chat yang masuk ke ponselku."Kamu jahat, Mas. Kamu bilang hanya mencintai istrimu seorang. Lalu aku ini apa?" Pesan dari wanita yang bernama Sapi. Namanya memang Sofia, tapi bahuku dia lebih cocok dipanggil sapi."Terus mau kamu gimana? Kamu ingin istriku mengetahui hubungan kita? Mikir yang cerdas, dong, Sofi!""Tapi enggak begitu juga, kali, Mas! Senang-senangnya sama aku, masa yang dipuji wanita mandul itu, sih?"Senang-senang? Apa maksudnya? Terus, wanita mandul, apakah yang dimaksud wanita itu adalah aku?Ya Allah … sakit sekali rasanya disebut sebagai wanita mandul.Pikiranku mulai tidak tenang. Rasa hangat mulai menguar dan menyebar ke setiap inci tubuhku. Aku tidak sanggup membayangkan jika suamiku telah membagi tubuhnya dengan wanita lain.Ternyata ini yang disembunyikan Mas Hanif dariku. Untung semalam aku sempat menyadap ponselnya, jadi aku bisa mengungkap rahasia yang ditutupinya selama ini.Ya Allah, kuatkan aku. Tolong beri hamba kekuatan serta kesabaran ya Allah."Yasudah, mas minta maaf soal itu, mas terpaksa karena berada di posisi sulit!""Enggak segampang itu, Mas! Aku akan maafin jika Mas memberikanku cincin berlian." Wanita itu lalu mengirimkan gambar cincin berlian beserta harganya. Fantastis, cincin berlian itu harganya mencapai belasan juta.Ternyata ia adalah wanita matre. Bahkan tak segan lagi untuk meminta apa yang ia mau kepada suamiku. Licik!"Ingat ya, jika Mas tidak bersedia menuruti permintaanku, maka jangan harap dapat jatah lagi dariku! Sebelum cincin berlian itu melingkar di jari manisku, jangan harap bisa melepas dahaga bersamaku. Mas puasa dulu lah, tapi jika sudah ada, baru aku akan menyuguhkan hidangan untuk berbuka.""Iya, Mas akan usahain. Jangan ngambek lagi, ya! Mas mana tahan puasa lama-lama.""Tergantung. Kan aku sudah bilang, kuncinya ada di cincin berlian itu."Segera kusudahi membaca pesan tersebut. Padahal masih banyak yang belum kubaca. Rasanya hati ini tidak sanggup untuk menerima pengkhianatan yang dilakukan oleh orang yang paling kucintai.Jangan tanyakan bagaimana perasaanku saat ini. Bagaikan luka yang disiram dengan perasaan air jeruk nipis, sakit. Perih.Orang yang sangat kucintai, ternyata tega mengkhianatiku. Bahkan aku rela menentang orang tuaku demi untuk bersama dengannya.***"Ma, aku mau minta restunya Mama. Mas Hanif melamarku. Besok Mas Hanif akan datang kemari untuk meminta restu dari Mama," ucapku pada Mama kala itu saat kami tengah bersantai di teras belakang.Mama yang sedang menyeruput teh, langsung tersedak."Apa? Jadi kamu masih menjalin hubungan dengan si Hanif? Anaknya si Zamila itu? Iya?" Mama terlihat terkejut mendengar ucapanku."Kamu tidak dengerin kata Mama? Mama kan sudah memperingatkanmu agar menyudahi hubungan dengan anaknya si Zamila itu! Kok' kamu enggak nurut sih kata Mama?""Maafin aku, Ma. Aku dan Mas Hanif saling cinta. Aku mohon, tolong restui kami.""Tidak, Mira! Mama tidak setuju! Mama tidak sudi memiliki besan seperti si Zamila. Kamu tahu sendiri kan kalau Zamila itu musuh bebuyutan Mama?""Aku tahu, Ma. Apa Mama tidak capek musuhan terus dengan Tante Zamila? Sudahi saja, Ma. Mungkin ini cara Allah untuk menyudahi permusuhan di antara Mama dan Tante Zamila." Aku memberi saran."Enggak semudah itu, Mira. Kamu tidak tahu apa yang dia lakukan sama Mama hingga Mama begitu membencinya sampai ke ubun-ubun. Mama tidak ingin kamu memiliki mertua seperti Zamila, Nak! Mama sayang kamu. Mama tidak ingin si Zamila itu menyakiti kamu."Aku tahu, pasti itu akal-akalan Mama saja agar aku memutuskan hubungan dengan Mas Hanif. Mungkin mama pikir aku akan percaya, tidak!"Enggak mungkinlah, Ma! Aku yakin kok' kalau Tante Zamila itu orangnya baik!" Aku tetap bersikeras."Dengerin Mama, Mira. Zamila itu orang jahat. Percaya sama Mama. Mama hanya menginginkan yang terbaik untukmu.""Maaf, Ma. Tapi aku udah cinta mati sama Mas Hanif. Aku enggak bisa hidup tanpa dia, Ma! Mama seperti tidak pernah muda saja.""Hanif bukan laki-laki yang tepat untukmu, Nak.""Mama ingin aku jadi perawan tua?" Aku kembali protes."Mama lebih rela kamu menjadi perawan tua daripada harus menikah dengan anaknya si Zamila itu! Kamu sudah dibutakan oleh cinta, Mira. Apa yang kamu banggakan dari si Hanif itu? Kuliahnya aja enggak kelar sampai sekarang saking bodohnya. Dia selalu mendapat nilai E. Kamu pikir Mama tidak tahu? Pekerjaan juga enggak punya. Nanti kamu mau makan apa? Makan perhatian, makan kasih sayang? Makan tuh cinta!"Tidak kusangka jika Mama akan semarah itu. Aku 'kan cuma minta direstui. Malah merembet kemana-mana. Soal Mama dengan Tante Zamila, itu bukan urusanku.Memang benar sih, kuliahnya Mas Hanif belum selesai. Seharusnya kami wisuda sama-sama, tapi karena Mas Hanif tidak lulus ujian skripsi, akhirnya ia tidak bisa lulus kuliah."Mama mohon dengerin Mama. Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Soal pendamping hidup, kamu enggak usah khawatir. Mama sudah punya calon untukmu. Ahmad namanya, anak dari Tante Kifayah, rekan bisnis Mama.""Oh, aku tahu sekarang! Mama menentang hubunganku dengan Mas Hanif karena ingin menjodohkanku dengan lelaki pilihan Mama itu, 'kan? Mama enggak adil!"Aku tidak habis pikir, bisa-bisanya Mama menjodohkanku dengan lelaki yang tidak kukenal."Justru karena Mama sayang padamu, Nak. Makanya Mama ingin kamu menikah dengan lelaki yang tepat." Mama mengelus pelan kepalaku, berusaha meyakinkanku."Kamu tidak akan bahagia bersama Hanif, Nak!""Tapi aku mencintainya, Ma, mengertilah!""Setelah menikah, bukan cinta lagi yang menjadi pondasi utama dalam rumah tangga. Cinta akan menjadi nomor sekian nantinya!""Lalu apa, Ma? Harta? Jabatan?""Bukan juga.""Lantas apa, Ma? Tolong jangan berbelit-belit.""Ya Allah, kenapa kamu jadi kasar begini sih, Nak? Jujur, Mama kecewa sama kamu. Asal kamu tahu, Mira. Pondasi utama dalam membina rumah tangga itu adalah agama. Kenapa Mama ingin kamu menikah dengan Ahmad? Karena dia lelaki baik dan shaleh. Insyaallah dia akan menuntunmu menggapai ridho-nya. Sedangkan Hanif, apa yang bisa kamu banggakan dari dia? Jangankan shaleh, pekerjaan ada tidak punya. Kerjaannya hanya nongkrong dan keluyuran. Apa dia bisa menuntunmu menggapai ridho Allah? Apa dia bisa memenuhi semua kebutuhanmu? Bisa-bisa kamu akan mati kelaparan hidup bersama dia," papar Mama panjang lebar."Mama lupa? Aku kan kerja, Ma," ucapku dengan sombong. Ya, aku memang sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta terbesar di kota ini."Astaghfirullah, jadi maksudmu kamu yang akan menafkahi Hanif?""Iya, Ma, sampai Mas Hanif selesai kuliah. Bahkan kami sudah sepakat," jawabku mantap."Tidak, Mama tidak setuju dan tidak akan memberikan restu untuk kalian.""Maaf, Ma, tapi tekadku sudah bulat. Jika Mama tidak mau memberi restu, akan aku minta sama Papa." Aku mengancam Mama."Mama tidak ingin kamu mengalami kegagalan dalam berumah tangga seperti yang Mama alami, Mira. Pikirkan lagi, Nak!""Maaf, Ma, tapi aku akan tetap menikah dengan Mas Hanif."Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku langsung berlari ke kamar, lalu mengemasi pakaian."Kamu mau pergi, Nak? Kamu mau ninggalin Mama sendirian? Setelah Papa ninggalin Mama, sekarang kamu juga akan melakukan hal yang sama?" Mama berdiri di pintu kamar dengan air mata yang berderai."Jika Mama memberikan restu, aku akan tetap di sini."Mama menggeleng."Baik, lebih baik aku pergi. Aku pamit, Ma!"Aku langsung menyeret koper tanpa menghiraukan Mama yang masih memanggil namaku.Sekarang aku menyesal, Ma. Andai dulu aku menuruti nasihatmu, mungkin tidak akan seperti ini jadinya. Maafin aku, Ma!Tok tok tok!Aku tersadar dari lamunan saat mendengar kaca mobilku diketuk oleh seseorang."Mbak baik-baik saja? Apa Mbak membutuhkan bantuan?" tanya seorang lelaki begitu aku menurunkan kaca jendela."Mbak habis menangis? Matanya sembab, loh! Apa mobil Mbak ini sedang rusak? Aku sudah memperhatikan mobil Mbak ini dari tadi. Takutnya Mbak sedang butuh bantuan, makanya aku samperin Mbaknya.""Enggak, kok', Mas, aku baik-baik saja.""Mbak yakin?" tanyanya lagi."Yakin! Ya Sudah, aku permisi dulu ya, Mas!" Aku langsung menutup kaca jendela dan langsung tancap gas.Lelaki itu siapa ya? Sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Tapi dimana? Ah, itu tidaklah penting. Ada hal yang lebih penting dari itu.BersambungBagian 5Sudah malam begini, Mas Hanif belum pulang juga, padahal tadi ia janji mau pulang cepat setelah selesai meeting. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi.Kamu kemana sih, Mas? Kenapa enggak ngasih kabar?Sebenarnya aku sama sekali tidak mengkhawatirkannya, hanya saja aku takut jika ternyata Mas Hanif malah bersama wanita itu. Aku tidak rela! Untuk menjawab rasa penasaranku, aku pun berniat menyusulnya. Aku harus mendatangi kantornya.Segera ku keluarkan mobil dari garasi, kemudian mengendarainya dengan kecepatan sedang hingga akhirnya tiba di kantor Mas Hanif."Pak, Bapak Hanif masih di dalam? Lembur ya?" tanyaku pada Pak satpam yang sedang berjaga."Pak Hanif sudah pulang sejak sore tadi, Mbak, dan seluruh karyawan serta staf kantor sudah pada pulang semuanya.""Bapak yakin?" Karena ragu, aku kembali bertanya. "Yakin, Mbak.""Yasudah kalau begitu, terima kasih, Pak, saya pamit dulu.""Silakan, Mbak!"Kemana kamu, Mas? Apalagi yang kamu lakukan?Akhirnya aku memutuskan untuk pul
Bagian 6"Pa, aku mau tinggal di sini ya, bareng Papa," ucapku kepada Papa kala itu."Loh, kok' mendadak gini? Terus, Mama setuju?" tanya Papa, terlihat raut kebingungan di wajahnya."Aku kabur, Pa. Aku enggak mau lagi tinggal sama Mama.""Kenapa? Sebenarnya apa yang terjadi? Cerita sama Papa, Nak!""Aku kesal sama Mama. Mama enggak mau restuin hubungan aku sama Mas Hanif, Pa. Mama malah menyangkut pautkannya dengan urusan pribadinya," protesku."Namamu pasti punya alasan yang kuat, Nak. Pasti mamamu ingin yang terbaik untukmu. Tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Semua orang tua menginginkan anaknya bahagia, Nak." Papa mencoba menasehatiku."Kebahagiaan aku tuh Mas Hanif, Pa. Aku yakin pasti akan bahagia hidup bersama dia.""Kamu telah dibutakan oleh cinta, Nak. Coba pikirkan lagi keputusanmu."Mama sama Papa sama saja, tidak mengerti perasaanku."Papa minta sekarang kamu pulang dulu, temui Mama. Minta maaflah padanya. Kamu boleh tinggal di rumah ini sampai kapanpun k
Bagian 7"Gawat, Sof, Mira telah mencari bantuan, dia berniat ingin menjebloskan orang yang sudah mencuri mobilnya." Sebuah pesan dari dari Mas Hanif masuk ke ponselku. Ada untungnya juga aku menyadap ponselnya Mas Hanif, jadi aku bisa mengetahui semua pembicaranya dengan wanita itu."Masa menghadapi istrimu aja enggak bisa sih, Mas! Tahan dia, bila perlu kurung dia sepeti yang dikatakan Ibu tadi." Pesan balasan dari wanita itu."Tidak semudah itu, Sofi. Mira itu orangnya keras kepala.""Ancam saja, Mas. Dia kan sedang menjalankan program kehamilan tuh, ancam saja bahwa Mas akan menceraikan jika dia tidak nurut juga."Wow! Bahkan wanita yang bernama Sapi itu udah berani menyuruh Mas Hanif untuk menceraikanku. Luar biasa!"Belum saatnya, Sofi. Keinginan Mas belum terwujud. Setelah semuanya berada di genggaman Mas, maka itulah yang akan Mas lakukan!"Picik sekali pikiranmu itu, Mas! Bahkan kamu tidak ingat betapa aku telah berkorban banyak untukmu dan juga ibumu.Kuliahmu saja aku yang
Bagian 8"Mbok, Papa ada?" tanyaku pada Mbok Siti yang sedang menyapu teras depan."Ada, Non, lagi sarapan," jawab beliau.Mbok Siti adalah asisten rumah tangga Papa.Setelah mendengar jawaban Mbok Siti, aku pun langsung menuju ruang makan. "Papa."Aku langsung memeluk Papa dari belakang."Eh, anak papa, kamu sudah sarapan, Nak? Ayo sarapan sama papa."Bukannya melepas pelukan, aku bahkan memeluknya makin erat, lalu terisak di pelukannya."Kamu kenapa, Nak? Ada masalah? Cerita sama papa, Nak!" Papa menaruh sendoknya ke atas piring, menghentikan aktivitas makannya."Ayo duduk dulu, Nak." Papa mengambil tisu yang berada di atas meja, kemudian mengelap air mataku."Mbok, tolong bikinin teh hangat untuk Mira!" pinta papa kepada Mbok Siti."Iya, Tuan," sahut si Mbok."Tenang dulu ya, Nak. Papa minta jangan menangis lagi.""Ini teh hangatnya, Non." Mbok Siti menaruh gelas yang berisi teh hangat tersebut di atas meja."Makasih, Mbok.""Situ pamit ke belakang dulu ya, Tuan!""Iya, Mbok, sila
Bagian 9"Kejadiannya sudah lama sekali, saat itu kamu masih duduk di bangku TK. Mamamu dan mamanya Hanif itu sahabatan sejak dari SMP. Saat itu Zamila menelepon papa, meminta papa untuk datang ke sebuah hotel yang tidak terlalu jauh dari kantor papa. Katanya mamamu ingin memberi kejutan buat papa. Saat Papa tiba di hotel tersebut, Zamila mengarahkan papa ke sebuah kamar hotel. Saat pintu kamar hotel terbuka, ternyata mamamu sedang tidur dalam satu selimut bersama lelaki lain. Papa marah sama mamamu, dari situlah awal mula pertengkaran kami." Papa terlihat sedih saat menceritakan kejadian itu, bahkan sampai menitikkan air mata."Terus Papa percaya begitu saja?" "Iya karena papa menyaksikannya langsung dengan mata kepala papa sendiri.""Terus gimana penjelasan Mama? Aku tidak yakin jika Mama melakukan hal serendah itu, Pa." Aku menggeleng, berusaha menahan bulir bening yang hendak keluar dari kelopak mata."Mamamu memberi penjelasan bahwa dia dijebak oleh Zamila. Zamila yang memintany
Bagian 10Sesuai janji, setelah pekerjaan Papa selesai, aku dan Papa akan mendatangi rumah Mama. Aku akan meminta maaf terlebih dahulu, sekaligus ingin merayu Mama agar bersedia rujuk lagi sama Papa.Papa menjemputku di butik, dan aku ikut dengan mobil Papa.Ya, semenjak memutuskan untuk resign dari perusahaan, aku diam-diam membuka butik tanpa sepengetahuan Mas Hanif dan juga ibu mertua. Butik itu dikelola oleh Dinda, sahabatku, seorang janda yang menjadi korban perselingkuhan suaminya. Aku hanya menanam modal, dan Dinda yang mengelolanya.Mas Hanif melarangku untuk beraktivitas di luar rumah, alasannya agar program kehamilan yang sedang aku jalani berhasil. Tapi ternyata itu hanya alasannya saja. Mas Hanif melarangku keluar rumah agar ia bebas berkeliaran dengan selingkuhannya itu di luar sana.Ibu mertua sama seperti suamiku, beranggapan bahwa aku tidak lagi memiliki penghasilan setelah berhenti bekerja. Itulah sebabnya ibu mertua tidak lagi suka padaku. Menurut mereka aku hanyalah
Bagian 11"Pa, apa yang harus kita lakukan? Sepertinya Mama tidak akan mau maafin kita. Gimana ini, Pa?" keluhku pada Papa saat dalam perjalanan pulang. Hampir saja aku putus asa melihat perlakuan Mama padaku."Sabar, Nak. Ini baru permulaan. Tidak mudah untuk meluluhkan hati seseorang. Apalagi sudah bertahun-tahun, tentunya memberi maaf tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu butuh waktu dan proses. Papa maklum kenapa mamamu bersikap seperti itu."Apa yang dikatakan Papa memang benar, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa aku sangat sedih melihat sikap Mama seperti itu."Kita harus sering-sering datang ke sana agar mamamu luluh kembali. Abaikan sikap mamamu yang cuek dan kasar padamu. Pada dasarnya mamamu itu adalah wanita yang lembut dan penyanyang. Papa yakin, lambat laun pasti mamamu akan maafin kita."Aku hanya mengangguk, pandanganku tertuju pada kendaraan yang lalu lalang. Pikiranku tidak fokus."Mir, bisa kita ketemu nanti malam?" Sebuah pesan masuk dari Mas Ahmad."Sia
Bagian 12"Assalamualaikum."Aku mengucap salam setelah mengetuk pintu terlebih dahulu."Waalaikumsalam." Terdengar jawaban salam dari dalam."Mira!" Ibu mertua terkejut melihat kedatanganku."Bu." Aku meraih tangannya, lalu menyalaminya."Tumben datang kemari.""Aku kangen sama Ibu, sekalian bawa oleh-oleh buat Ibu."Mata Ibu berbinar saat melihat Tote bag yang aku tenteng."Wah, kamu baik bangat sih, mari duduk dulu." "Iya, Bu.""Kamu bawa apa?" tanya ibu mertua penasaran."Oh, ini. Tadi aku ketemu sama teman, kebetulan dia jual beli berlian. Sekalian aja aku beliin buat Ibu.""Kamu serius?" Sepertinya ibu mertua tidak percaya.Aku menyerahkan Tote bag itu pada ibu, lalu ibu pun membuka isinya."Wah, bagus bangat, ini pasti mahal. Ibu suka, Mir, makasih ya!" Mata ibu mertua berbinar memandangi satu set kalung berlian tersebut. Beliau mengambilnya, lalu memakai cincin dan juga gelang berlian tersebut di tangan kirinya.Sebenarnya tidak mahal sih, itu 'kan cuma berlian palsu. Mana mun