Nina harus rela terjaga pukul 5 pagi karena Sasa menelepon pagi buta demi memberitahukan bahwa Nina lolos menjadi salah satu finalis Find Your Love. Nina hanya punya waktu 3 hari untuk packing seluruh keperluannya selama di asrama dan teken kontrak dengan agensi. Jika ditanya bagaimana perasaan Nina, maka Ia akan menjawab biasa saja. Ia mengikuti acara itu hanya demi uang. Sebut saja Nina matre, tetapi siapa manusia yang tidak suka uang di dunia ini?
Nina memutuskan untuk bangun setelah terdiam sejenak untuk mengumpulkan nyawanya. Ia memutuskan untuk membereskan tempat tidurnya sendiri hari ini. Hitung-hitung sebagai latihan karena tidak mungkin Nina membawa ART ke asrama. Nina ingin applause dengan dirinya sendiri karena berhasil merapikan tempat tidurnya, walaupun tidak serapih jika Aziza yang merapikannya.
Sekarang, Nina tinggal memikirkan cara agar ayahnya setuju dengan keputusan Nina. Bagaimana pun Nina tidak mungkin bisa membatalkan kontraknya. Nasi sudah menjadi bubur, tinggal tambah bumbu dan kerupuk, kecuali sang ayah bersedia untuk membayar penalti. Walaupun hal itu sangat mustahil mengingat ayahnya sangat pelit.
Rumah tampak tenang pagi ini seperti biasanya. Makanya ayah dan ibunya tak henti-hentinya menuntut cucu agar rumah semakin ramai dan tidak sepi. Ayah dan ibu sepertinya belum pernah melihat anak pertama Andre. Rumahnya sudah masuk kategori kapal pecah. Mobil-mobilan berserakan dimana-mana, belum lagi lego yang keluar dari kotaknya. Sampai-sampai Andre yang terkenal sebagai 'si paling bersih' pun akhirnya tidak ingin repot membereskan kekacauan anaknya sebab ujung-ujungnya pasti si kecil akan berulah lagi. Jika nantinya anak Nina seperti itu, bisa-bisa orang tuanya berubah menjadi gila.
"Pagi!" Sapa Nina cerah. Seperti biasa, Nina tinggal duduk santai di meja makan. Sementara Aziza dan sang ibu sibuk mondar mandir dari dapur ke ruang makan untuk menyiapkan sarapan keluarga.
"Tumben bangun pagi?" Sindir ibunya. Tak lupa meletakkan lap di depan Nina agar sang anak peka.
"Ya kan mau kerja gimana sih?" Nina tanpa bantahan mulai mengelap meja makan. Ibunya sempat bingung sekaligus bersyukur sang anak akhirnya diberikan hidayah pagi ini. Semoga saja hidayahnya bertahan lama sampai beranak cucu nantinya.
"Biasanya juga bangun jam 8. Jam 9 baru berangkat kantor. Untung aja kamu kerja di tempat Bapak. Coba kalau di kantor lain, udah dikasih surat pemecatan kamu, Nin."
"Ya makanya ini coba bangun pagi. Biar nggak dipecat sama Bapak."
Tak lama sang ayah datang dengan keadaan basah oleh keringat. Tak lupa kaos singlet dan sarung bekas sholat subuh khas bapak-bapak. Bapak makan dengan santai setelah diambilkan sepiring nasi dan lauk pauk oleh ibunya.
Ini saat yang tepat! Batin Nina menjerit. Setelah menunggu beberapa suapan lezat sang bapak, Nina berdehem bermaksud untuk menarik atensi.
"Err--Pak." Nina akhirnya angkat bicara. Setidaknya Bapak sudah menghabiskan setengah piringnya. Kalau nanti keselek, Bapak masih ada tabungan makanan di dalam perut, pikir Nina.
Bapaknya hanya mengangkat sebelah alis tanpa kata. Mulutnya masih penuh dengan makanan. Tetapi mengizinkan Nina untuk tetap bicara.
"Nina mau minggat."
"Uhuk! Uhuk!" Bapak terbatuk-batuk mendengar ucapan Nina. Ibunya sontak panik dan menepuk punggung suaminya dengan pelan.
"Zizaa! Ambilkan Bapak minum!" Teriak ibu.
Nina juga seketika ikut panik tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Nina bukan dokter jadi dia tidak tahu pertolongan pertama pada orang keselek seperti apa. Jadi Nina hanya berdiri sambil mondar mandir tanpa arah, tanpa menolong. Hingga akhirnya Aziza datang dari dapur mengambilkan minuman berisi teh panas kesukaan Bapak. Bapak sendiri berusaha menelan makanan di tenggorokan hingga matanya berair. Segera Nina membantu Bapak untuk minum teh, namun Bapak malah menyemburkan hingga mengenai kemeja putih Nina.
"Hanas! Hanas!" Desis Bapak. Nina pun merutuki kebodohannya. Bisa-bisanya dia memberikan teh panas langsung ke mulut Bapak. Membuat lidah Bapak sudah pasti melepuh.
Chaos! Nina seketika menyesali perbuatannya.
"Apa katamu! Uhuk!" Bapaknya menggeram sambil terbatuk-batuk, matanya melotot hingga Nina takut akan keluar dari tempatnya. Ibu di sebelahnya pun berkali-kali membisikkan kata tenang. Agar Bapak terlebih dahulu menyelesaikan makanan yang tersangkut di tenggorokan.
Nina hanya bisa meringis pelan, "Salah ngomong, Pak!"
Bapaknya kemudian meminum air putih dari gelas Nina. Meneguknya hingga tandas seperti orang kerasukan. Sepertinya perkataan Nina benar-benar memberikan efek yang buruk.
"Coba ngomong yang benar." Bapak kemudian menggeser piringnya ke samping. Sementara sang ibu diam-diam melotot marah pada Nina. Karenanya, Bapak tidak jadi menghabiskan makanannya. Hal itu pantang di keluarga Nina untuk menyisakan makanan. Karena dianggap membuang rezeki.
"M-maksud Nina itu, Nina akan tinggal di asrama selama 30 hari. Bukan minggat."
"Itu minggat namanya. Ngapain kamu tinggal di asrama? Rumah kita kurang besar?"
"Nina lolos jadi finalis acara Find Your Love, Pak. Nina mau masuk TV." Kata Nina. Kemudian Nina melirik ibunya saat mengatakan itu, meminta pertolongan agar ibu membantunya untuk menjelaskan. Ibunya pun seketika menyadari dan mengkode Nina melalui matanya untuk segera menghentikan semua kegilaan ini, "Nin..." Ibunya menggeram.
Bapak kemudian mengangkat tangan memerintahkan istrinya untuk diam, "TV? Mau jadi artis? Nggak boleh! Haram." Final Bapaknya.
Nina memejamkan mata frustasi. Perasaan tadi saat di kamar, Nina lancar jaya menyusun kata-kata yang tepat untuk menjelaskan ke Bapak. Tapi saat eksekusi, lidahnya malah kelu.
"Aduh! Gimana ya jelasinnya..." Nina melirik ibunya meminta pertolongan. Ibu kemudian menghela nafas dan akhirnya berkata, "Itu lho, Pak. Acara kesukaan ibu. Tentang pencarian jodoh itu."
Bapak terlihat kebingungan dan melirik ke atas mencoba mengingat-ngingat Seakan di atas kepalanya ada kilasan ingatan-ingatan tahun lalu, "Oh itu." Gumam Bapak, kemudian mengelus rahangnya dengan pelan dan segera melotot, "NGGAK BOLEH!" Lanjutnya.
"Kenapa, Pak?" Nina mengernyit bingung.
"Kamu tinggal serumah sama yang bukan muhrim. Nanti kalau di apa-apain gimana?!" Bentak Bapak.
"Banyak kamera kok, Pak. Pasti kelihatan dari TV," Nina mencicit pelan.
"Tetap nggak boleh," Final sang ayah.
"Bapak kan mau Nina cari jodoh? Ya ini Nina lagi cari jodoh," Sungut Nina.
"Tapi nggak begitu caranya Nina," Geram Ayahnya yang kini tampak frustasi dengan anak sulungnya yang terkenal bebal ini. Bukannya takut dimarahi, anaknya malah bersikap acuh. Inilah yang membuat ayahnya malas berurusan dengan Nina. Haram hukumnya mengatakan 'jangan' kepada Nina. Sudah pasti akan tetap dilakukan wanita bujangan itu.
"Nina sudah 29 tahun, Pak. Malah harusnya para cowok itu yang takut Nina apa-apain," Kata Nina.
"Halah, kamu dideketin Mas Lingga aja kabur. Jangan sok jagoan. Pokoknya nggak boleh!" Bapak masih bersikukuh dengan keputusannya.
"Nina sih nggak masalah. Tapi Bapak siap nggak buat bayar penaltinya?" Nina menyeringai.
"Berapa? Bapak nggak masalah daripada kamu harus ikut acara begituan," Tanya Bapak.
"50 JUTA," Jawab Nina.
"Astagfirullahaladzim!"
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b