"Kalian tahu letak kesalahannya? Bagaimana bisa outsourcing belum membayar gaji karyawan pabrik?"
"Mereka belum menerima uang dari kita, Cik. Saya sudah bicara sama Aulia, dia bilang Cik Fifi belum tanda tangan." Titik menjawab pertanyaan Fifi dengan santai. "Harusnya kalian berdua bisa handle. Selama ini kita nggak pernah telat bayar mereka." Fifi menatap penuh emosi kearah Titik. "Pihak outsourcing sudah kasih bukti rekening koran, Cik. Mereka juga berkali-kali hubungi Aulia dan jawabannya minta dibayar dulu sesuai perjanjian, tapi sudah tiga bulan ini pembayaran terkesan lamban." Vania membuka suaranya. "Kita nggak pernah telat bayarnya!" Fifi mengatakan dengan suara keras "Kamu ada di pihak kita atau mereka?" "Saya berada di pihak yang benar, Cik." Vania menjawab santai. "Jangan mentang-mentang Andreas membela kamu jadinya besar kepala. Kamu bisa saya pecat kalau memang nggak becus kerja." "Siap, Cik. Apa Cik Fifi bisa melakukan hal yang sama pada Aulia?" Vania menanggapi dengan sangat santai. "Kenapa Bu Fifi tidak bertanya pada Aulia? Bukti jika dia membayar tepat waktu, kalau dia bayar tepat waktu permasalahan ini tidak mungkin terjadi." Zafran membuka suaranya "Bagaimana, Mbak Aulia?" "Waktu itu keuangan pabrik memang nggak bagus, Cik. Banyak pengeluaran dari produksi, bukan hanya itu saja ada juga pengeluaran yang Cik Fifi lakukan untuk restoran. Saya jadinya memakai uang outsourcing, uang yang harusnya dipakai bayar gaji karyawan." Aulia membuka suaranya. "Panggil Bu Susan dan Pak Wisnu. Audit keuangan. Kita lihat siapa yang benar dan salah." Fandy membuka suara dengan keputusan yang membuat semua terkejut "Pihak HR, saya minta bukti yang kalian punya. Kalau bisa bukti itu kalian simpan, siapa tahu memang diperlukan nantinya." Satu per satu keluar dari ruangan, tidak ada yang membuka suara. Biasanya Vania berbicara atau bercanda dengan Aulia, tapi sekarang tidak sama sekali. Memasuki ruangan disambut tatapan penasaran dari Reno dan Putri, Vania meminum air dari botol untuk menghilangkan ketegangan. Titik menceritakan semua yang terjadi di ruang rapat atau ruang penghakiman, sesekali Zafran menambahi jika ada yang kurang dari cerita Titik. "Buktinya jangan kasih tahu ke siapapun, bu." Zafran mengingatkan Titik yang menganggukkan kepalanya "Vania dan Putri, mulai membatasi informasi pada pihak diluar HR." Suara pintu terbuka, semua mata menatap kearahnya. Tampak Aulia datang dengan ekspresi kesal, mendatangi meja Vania penuh emosi. "Aku kan sudah bilang akan bayar. Kenapa malah dibawa ke permukaan? Lagian mereka ngapain ngabarin Pak Fandy masalah begini! Kamu nggak bisa handle? Masalah begini saja kamu nggak bisa handle..." "Saya yang minta Vania dan Titik menghentikan ini semua." Zafran memotong kalimat Aulia "Sudah terlalu sering kamu dibantu, bukannya diselesaikan malah menjadi. Harusnya kamu ngaca kalau perbuatan ini salah." Aulia menatap tajam kearah Vania "Aku akan bawa kamu!" Vania membuka mulutnya tidak percaya mendengarnya, membawa dalam hal apa yang dimaksud Aulia. Selama ini dirinya tidak pernah melakukan apapun, tapi bukannya selama ini melindungi Aulia agar tidak mendapatkan kemarahan dari Fifi. "Apa dia ambil uang itu?" Reno mengeluarkan suara ketika Aulia keluar dan semua menatap kearahnya "Kamu dapat uangnya?" Reno menatap Vania yang langsung menggelengkan kepalanya "Bu Titik dan Putri?" Reno menatap mereka berdua yang seketika bergantian. "Apa makan bekal dia termasuk menikmati uang?" tanya Vania tiba-tiba. "Memang kamu tahu bekal pakai uang apa? Bisa fitnah yang ada." Reno menggelengkan kepalanya. "Kita semua tahu gaji yang didapat berapa, dia nggak mungkin dua digit. Suaminya nggak kerja, tapi dia selalu ajak makan di hotel atau restoran setiap ulang tahun, belum lagi ultah anaknya yang dilaksanakan di hotel. Boleh nggak curiga?" Putri mengeluarkan suaranya. "Nggak usah bahas kehidupan dia. Sekarang yang jadi fokus adalah outsourcing segera terbayar dan pertanyaan akan tetap sama buat Vania, apa kamu terlibat? Apa kamu ada hubungan dengan uang itu?" Zafran menatap dalam Vania yang seketika menggelengkan kepalanya. "Mungkin bukan masalah uang, pak. Vania selama ini membantu Aulia bicara sama pihak outsourcing, sebenarnya bukan hanya Vania tapi saya dan Putri ikut serta. Kami tahu salah, makanya memilih terbuka dengan bapak karena pertemuan dengan pihak outsourcing yang selalu mengeluh. Kalau hanya satu nggak masalah tapi ini ketiganya, cuman yang satu memang sudah nggak kuat." Titik membuka suaranya. "Sebelum Pak Zafran datang kami pernah bicara sama Cik Fifi, beliau malah jawab cari outsourcing yang mau dibayar belakangan. Saya diminta evaluasi mereka, hasilnya mereka bagus tapi balik lagi masalah biaya." Vania menambahkan kalimat Titik. "Semoga saja hasil audit menemukan hal yang mengejutkan." Semua mata menatap kearah Reno yang memilih beranjak dari tempatnya dan keluar dari ruangan, kalimat yang penuh tanda tanya dan keempat orang hanya saling memandang. Vania memilih menatap laptopnya, pekerjaannya jauh lebih penting dibandingkan permasalahan outsourcing. "Alur outsourcing gimana?" Zafran mendekati Vania yang hampir saja teriak karena jarak terlalu dekat. "Mereka cari, interview, kalau ok bawa kesini dan saya interview lagi baru selanjutnya training seminggu dengan pengawasan team leader dan evaluasi." Vania menjawab setelah memundurkan kursinya agar tidak terlalu dekat. "Digaji?" "Nggak kalau seminggu. Perhitungan gaji setelah seminggu, gaji akan keluar kalau mereka sudah satu bulan dari masuk. Kalau nggak sampai sebulan, biasanya tetap dapat tapi harus ada penjelasan kenapa keluar. Rata-rata mereka memang bertahan cukup lama, paling lama enam bulan atau lebih." Zafran menganggukkan kepalanya "Serikat pekerja?" "Bapak tahu sendiri gimana Cik Fifi, mana ada serikat begituan. Pak Fandy masih memanusiakan manusia, tapi Cik Fifi jangan harap." Titik menimpali dengan nada kesal. Vania dan Putri menahan tawa mendengar nada Titik, mereka tahu selama ini Titik adalah bual-bualan Fifi hanya saja kepribadian Titik yang tidak peduli dan tidak pernah sakit hati selalu menganggap kalimat Fifi hanya angin lalu. "Bu Titik sama Vania dipanggil Pak Andreas." Putri menutup telepon dan mereka saling menatap. "Saya nggak?" Putri menggelengkan kepala menjawab Zafran "Kalian kesana, siapa tahu ada Pak Fandy juga." Menuju ruangan Andreas dengan bertanya-tanya, harusnya memang Zafran ikut bersama mereka tapi kenapa tidak. Masuk kedalam dan hanya ada Andreas yang duduk di sofa, melalui gerakan mata menyuruh mereka berdua segera duduk. Andreas tidak banyak basa-basi dimana langsung meminta mereka berdua menceritakan hal sebenarnya. Titik menceritakan hal yang sama ketika pertama kali menceritakan pada Zafran dan saat di ruang meeting beberapa hari lalu, Andreas diam mendengarkan tanpa berniat membantah sama sekali. Vania menambahkan beberapa hal berdasar versinya setelah Titik selesai cerita, Andreas menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya. "Kalian ini sama saja membantu kejahatan, bagaimana bisa kalian berdua melakukan ini. Bu Susan dan Pak Wisnu akan mengaudit semua transaksi keuangan, dimana artinya semua ini masuk dalam masalah serius. Bu Titik, kamu hubungi pihak outsourcing sekarang untuk datang, siapkan ruang meeting dan ajak Pak Zafran. Kamu bisa keluar sekarang." Andreas memberikan perintah yang langsung membuat Titik keluar "Vania, bagaimana bisa kamu menjadi bodoh begini? Kamu bisa cerita semua ke saya." "Saya tidak mau Pak Andreas terlibat dalam masalah seperti ini," ucap Vania jujur. "Kamu buat saya pusing, Vania. Saya harus membela kamu agar tidak kena dalam proses audit, saya harap kamu tidak terlibat terlalu dalam." "Saya bisa membela diri sendiri, pak. Saya tidak mau merepotkan, bapak." "Saya suka kamu repotkan.""Kalian tahu letak kesalahannya? Bagaimana bisa outsourcing belum membayar gaji karyawan pabrik?" "Mereka belum menerima uang dari kita, Cik. Saya sudah bicara sama Aulia, dia bilang Cik Fifi belum tanda tangan." Titik menjawab pertanyaan Fifi dengan santai."Harusnya kalian berdua bisa handle. Selama ini kita nggak pernah telat bayar mereka." Fifi menatap penuh emosi kearah Titik."Pihak outsourcing sudah kasih bukti rekening koran, Cik. Mereka juga berkali-kali hubungi Aulia dan jawabannya minta dibayar dulu sesuai perjanjian, tapi sudah tiga bulan ini pembayaran terkesan lamban." Vania membuka suaranya."Kita nggak pernah telat bayarnya!" Fifi mengatakan dengan suara keras "Kamu ada di pihak kita atau mereka?" "Saya berada di pihak yang benar, Cik." Vania menjawab santai."Jangan mentang-mentang Andreas membela kamu jadinya besar kepala. Kamu bisa saya pecat kalau memang nggak becus kerja." "Siap, Cik. Apa Cik Fifi
"Bagaimana bisa lupa? Bukannya harus sudah siap waktu meeting? Kalau begini apa yang saya sampaikan?" Vania menundukkan kepalanya, tugasnya benar-benar lupa dikerjakan. Zafran sudah mengatakan berkali-kali, bukan hanya Vania saja tapi Putri juga melakukan hal yang sama jadi wajar jika Zafran marah pada mereka. Helaan napas terdengar berkali-kali, Vania mencoba menatap laptopnya dan mulai mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, setidaknya Zafran tidak membawa tangan kosong tanpa materi didalamnya."Saya nggak tahu harus bicara apa." Zafran menggelengkan kepalanya "Kerjakan apa yang bisa dikerjakan, walaupun saya sudah mempunyai bahan sedikit. Bu Titik, permasalahan gaji anak-anak aman?" "Sejauh ini aman, pak." Zafran menganggukkan kepalanya "Kalau bisa jangan sampai salah dalam menghitung, mereka akan marah dan tidak terima." Pembicaraan yang terjadi di ruangan sama sekali tidak Vania dengarkan, fokusnya adalah mengerjakan bahan meeting
"Kamu nggak peka jadi cewek." "Memang apaan?" Vania menatap sang sahabat, Syifa."Manager dan bos kamu itu suka sama kamu." Vania bergidik pelan "Mereka duda, gimana suka sama anak kecil?" "Memang kenapa?" Syifa mengerutkan keningnya "Bagus duda karena pengalaman, siapa yang lebih cakep?" "Semua cakep." Vania menunduk lemas setelah apa yang dikatakan Syifa "Kamu jangan suka ngarang, Cip."Liburan dihabiskan Vania bersama dengan sahabatnya Syifa, mereka sudah bersahabat dari jaman putih abu-abu dan ajaibnya mereka kuliah di kampus sama tapi berbeda fakultas. Kisah percintaan mereka berdua pastinya berbeda, Syifa sudah memiliki kekasih dan berencana menikah kemungkinan tiga bulan lagi. Vania sendiri kisah asmaranya berakhir saat menjelang wisuda, dimana sang mantan mendapatkan pekerjaan ditempat jauh dan mereka tidak sanggup melakukan hubungan jarak jauh."Kenapa memang sama duda? Abi masalah?" "Abi? Kenapa malah bawa abi? Abi sama umi nggak tahu, aku juga nggak bayangin mereka tah
"Motornya tinggal aja, bareng saya saja."Vania menatap ragu pada sepeda motornya "Terus motor saya gimana?" "Saya hubungi bengkel, sebentar." Zafran menghubungi seseorang dengan Vania yang menatap sedih pada sepeda motornya "Beres, nanti kesini. Kamu pulang sama saya saja." Menatap sepeda motornya dengan helaan napas panjang, tidak ada pilihan selain mengikuti Zafran ditambah keadaan sekitar yang sudah sepi. Keadaan kantor memang sudah sepi berbeda dengan ruangan produksi dimana masih terdapat aktivitas didalam sana, mengikuti Zafran yang sudah melangkah ke arah parkiran mobil."Bapak mau ngapain ke pos satpam?" Vania menatap bingung ketika Zafran membuka pintu saat mobil berhenti.Mengikuti arah dimana Zafran berada, tampak berbicara serius yang semakin membuat Vania bertanya-tanya, tidak lama kemudian kembali menuju mobil dan Vania hanya diam menatap kearah pria yang menjadi atasannya itu."Kasih tahu satpam kalau nanti ada orang bengkel kesini benerin motor kamu." Zafran menjawa
"Manager kalian baik banget." "Baik, gimana?" Putri tampak penasaran, menatap Aulia yang berada di department keuangan."Baik, kemarin nyapa dan ngikutin dari belakang.""Ngikutin gimana?" Putri semakin bingung dengan kalimat Aulia."Kemarin aku diminta Cik Fifi buat ke bank, dia bilang sama Pak Aan agar nggak jauh-jauh dari aku. Pak Iwan dulu mana ada begitu?" "Aku baru tahu kalau begitu baik, itu mah standard aja apalagi berkaitan sama pekerjaan." Vania menggelengkan kepalanya mendengar kalimat Aulia "Aku duluan." Berdiri meninggalkan meja tempatnya makan bersama dengan Putri dan Aulia, suatu hal yang jarang terjadi dan biasanya hanya satu kali dalam seminggu, berada dalam satu pekerjaan yang sama tidak membuat mereka bisa makan bersama. Vania memegang pesan dari Iwan jika jangan terlalu dekat dengan rekan kerja, hubungan harus profesional karena tidak semua mereka itu baik, kalaupun baik jangan terlalu membuka hal yang berhubungan dengan pekerjaan dan pribadi."Putri mana?" Vani
"Pak Zafran, ini ruangan HR. Selamat datang."Vania bertugas memperkenalkan manager baru pada semua departemen, nantinya Putri yang akan memberikan training pada sang manager. Setelah serah terima Zafran pada Putri, Vania kembali pada pekerjaannya yaitu mencari kandidat untuk manager departemen lain."Vania, Putri dan Pak Zafran dipanggil Pak Andreas." Titik memberikan informasi setelah menutup telepon.Vania dan Putri saling menatap satu sama lain, membawa buku kecil setiap bertemu dengan Andreas, biasanya pertemuan dengan Andreas bersamaan dengan keberadaan Fandy dan Fifi."Pak Andreas sendiri atau ada lainnya?" bisik Putri yang dijawab Vania dengan mengangkat bahunya.Memasuki ruangan Andreas dan tampaknya hanya beliau sendirian, mereka duduk di sofa setelah Andreas menyuruhnya dan tidak lama bergabung bersama. Membicarakan tentang kondisi pabrik saat ini dan juga karyawan mereka yang terkadang membuat pusing, pembicaraan terhenti saat pemilik pabrik masuk ke ruangan Andreas dan ik