LOGIN"Bagaimana bisa lupa? Bukannya harus sudah siap waktu meeting? Kalau begini apa yang saya sampaikan?"
Vania menundukkan kepalanya, tugasnya benar-benar lupa dikerjakan. Zafran sudah mengatakan berkali-kali, bukan hanya Vania saja tapi Putri juga melakukan hal yang sama jadi wajar jika Zafran marah pada mereka. Helaan napas terdengar berkali-kali, Vania mencoba menatap laptopnya dan mulai mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, setidaknya Zafran tidak membawa tangan kosong tanpa materi didalamnya. "Saya nggak tahu harus bicara apa." Zafran menggelengkan kepalanya "Kerjakan apa yang bisa dikerjakan, walaupun saya sudah mempunyai bahan sedikit. Bu Titik, permasalahan gaji anak-anak aman?" "Sejauh ini aman, pak." Zafran menganggukkan kepalanya "Kalau bisa jangan sampai salah dalam menghitung, mereka akan marah dan tidak terima." Pembicaraan yang terjadi di ruangan sama sekali tidak Vania dengarkan, fokusnya adalah mengerjakan bahan meeting yang akan disampaikan Zafran, tentu saja tentang proses seleksi dan rekrutmen. Laporan yang dibuatnya harus sejalan dengan Putri, setiap mereka yang masuk akan mendapatkan training dan setelah itu penilaian yang dilakukan oleh departemen asal. "Sudah saya kirim, pak." Vania semakin tidak menentu mendengar suara Putri. Fokus pada pekerjaannya, sampai akhirnya hembusan napas panjang dikeluarkan saat mengirim email ke Zafran tentang hasil kerjanya. Vania menatap Zafran yang menatap laptopnya, suara Vania bahkan tidak keluar sama sekali hanya untuk memberitahukan jika sudah mengirim. "Sudah saya kirim, pak." Vania membuka suara dengan pelan, Zafran hanya menganggukkan kepala. "Kalian kalau ada pekerjaan yang harus keluar, silakan." Zafran menatap mereka satu per satu. "Saya harus ke outsourcing bahas tentang gaji anak-anak, pak." Titik berdiri membawa kertas kecil untuk tanda tangan Zafran. "Saya mau ke tempat training, pak." Putri merapikan barang-barangnya. "Saya ke bank, pak." Aan berdiri melakukan hal yang sama seperti Titik. Zafran menganggukkan kepala sambil tanda tangan ijin keluar mereka "Bu, masalah katering coba nanti diuji kembali. Bu Fifi minta katering yang isi restoran dari group kita sendiri." "Maaf, pak. Anak-anak nggak ada yang cocok sama masakan dari restoran kita." Titik menjawab sopan "Dulu sudah pernah dan anak-anak malah beli makanan dari luar. Saya permisi." Ruangan hanya berisi tiga orang dengan kesibukan masing-masing, Vania mencoba fokus dengan lamaran yang masuk dari email. Permintaan tambahan karyawan dari produksi belum mendapatkan lampu hijau dari Fifi, tapi Vania tetap mencari jika suatu saat memang dibutuhkan. "Saya mau ke ruangan berkas, pak. Pak Fandy minta berkas tanah di Wonosobo." Reno berdiri dan keluar dari ruangan meninggalkan mereka berdua. Berdua dalam satu ruangan, Vania mencoba pergi dari situasi yang aneh ini. Perasaannya saja atau memang Zafran dalam mode tidak baik, fokusnya agar tidak teralih pada yang lain dengan terus menatap kearah laptopnya. Kejadian yang membuat suasana tidak enak adalah mereka tadi berangkat bersama, Vania meminta diturunkan agak jauh dari kantor dimana selanjutnya menggunakan kendaraan umum, perdebatan terjadi dan Vania yang memenangkan perdebatan lebih tepatnya memaksa. "Motor kamu sudah selesai, kamu bisa bawa pulang sekarang." Zafran membuka suara "Daftar absensi dimana?" Zafran berjalan kearah tempat dimana form berada dan langkahnya lanjut ke Vania yang semakin membeku "Kamu nanti pulang pakai motor tapi besok saya akan tetap antar jemput seperti sebelumnya." Vania mengalihkan pandangan dan memberikan tatapan protes "Saya nggak mau, pak. Mereka akan mikir hal yang aneh-aneh tentang kita, lagian kita nggak ada hubungan apapun. Ralat hubungan kita hanya atasan dan bawahan, saya belum membuka hati untuk hubungan serius." "Saya bukan orang yang berjalan pelan, Van." "Saya yang nggak biasa dengan perubahan. Pak, kita baru kenal. Bapak saja baru masuk disini, lagian masa depan disini juga belum tentu bisa bertahan lama. Bapak lupa kalau masih dalam tahap penilaian?" Vania menatap Zafran penuh kemenangan "Semua bisa berubah dalam sekejap." "Kalau saya bisa memberikan yang terbaik, kamu mau? Nggak harus bertahan disini. Kalaupun saya bertahan disini semua agar kamu nggak kemana-mana dan berusaha mendapatkan hatimu." Vania menghembuskan napasnya "Saya hanya ingin tenang bekerja." Kalimat yang Vania katakan tampaknya sudah cukup membuat Zafran diam, bahkan pria itu keluar ruangan tanpa mengatakan apapun pada Vania. Helaan napas panjang dikeluarkan tepat ketika pintu ditutup, berada dalam satu ruangan dengan Zafran sedikit membuatnya tidak tenang. Zafran yang sedikit agresif itulah yang membuat tidak nyaman, sama seperti Andreas hanya saja bedanya mereka tidak berada dalam satu ruangan setiap saat. Melakukan pekerjaannya tanpa memikirkan kedua pria tersebut, kedua pria yang berpotensi membuat pikirannya kacau dan tidak fokus. Memilah beberapa kandidat yang masuk agar bisa dihubungi dan membuat jadwal untuk proses selanjutnya, tidak hanya itu yang dilakukan melihat hasil tes yang sudah dilakukan dan memilah kandidat lolos. "Fokus banget," ucap Reno tepat ketika duduk di kursinya. "Daritadi, mas? Sudah dapat?" Vania menatap sekilas. "Baru, lihat kamu yang fokus banget sampai nggak dengar kalau pintu dibuka. Udah ketemu, mau pelajari sebelum ke Cik Fifi." Reno membuka berkas yang ada diatas meja "Meeting belum selesai?" "Biasanya sampai menjelang istirahat, kan?" Reno menganggukkan kepalanya sebagai bentuk persetujuan atas pernyataan Vania "Mas memang restoran kita itu nggak enak? Kemarin katanya mau tutup." "Pak Fandy dan Cik Fifi itu nggak paham bidang F&B, makanya cari yang paham. Sayangnya Cik Fifi nggak suka, semua yang diusulkan ditolak dan sempat terjadi pertengkaran. Pak Andreas diminta untuk menjadi penengah antara mereka berdua, sekarang masih tahap berbenah. Kemarin waktu ketemu Indra, manager F&B baru itu. Dia cerita semuanya, Cik Fifi nggak boleh ikut terlibat dan membiarkan Indra berkreasi itu keputusan Pak Fandy. Kalau mereka isi kantin...aku nggak setuju takutnya buat ajang uji coba. Indra pribadi dia nggak setuju, tapi balik lagi keputusan ada disini dan Pak Andreas bilang jika yang bisa memutuskan adalah kita dengan suara terbanyak." Vania menganggukkan kepalanya, Andreas tidak pernah menceritakan hal ini sama sekali. Pertemuan mereka hanya diisi dengan pekerjaannya tanpa menceritakan pekerjaan lainnya, seharusnya memang begitu karena Vania tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam perusahaan. "Hubungan Pak Fandy sama Pak Andreas ini apa, mas?" tanya Vania penasaran. "Pak Andreas ini ditemuin Pak Fandy waktu ibadah. Mereka bicara banyak hal, setelah itu lanjut ketemuan di tempat lain dan Pak Fandy langsung cocok apalagi background Pak Andreas nggak main-main." "Nggak main-main gimana?" Vania menatap semakin ingin tahu. "Aku nggak yakin, masih cerita dari orang-orang. Pak Andreas ini lulusan luar negeri dan pengalaman kerjanya wow." Reno menceritakan dengan heboh "Cik Fifi nggak suka Pak Fandy percaya sama Pak Andreas penuh, takut dibohongi. Aku sih lihatnya Pak Fandy nggak bodoh pastinya ada perjanjian dengan Pak Andreas yang tidak diketahui sama Cik Fifi." "Makanya Cik Fifi selalu menolak semua perkataan Pak Andreas.""Pak Gun masuk di restoran baru? Asistennya Chef Edwin?" "Katanya sih begitu." Vania memilih jawaban aman.Berita tentang restoran lama yang akan buka kembali gagal sudah di dengar satu kantor, mereka semua bertanya-tanya tentang alasan sebenarnya. Ketidakhadiran Fifi di perusahaan semakin membuat orang berpikir yang tidak-tidak, Vania dan Zafran tidak mengeluarkan sama sekali. Semua orang tahu dimana Fifi yang sangat ambisius membuka kembali restoran lama agar bisa kembali berjaya seperti dulu, dan pastinya menyaingi restoran baru."Restoran lama nggak jadi?" tanya Titik dengan nada penasaran."Belum tahu, bu." Vania menjawab kembali."Kandidatnya gimana?" Titik masih penasaran dengan banyak hal."Kandidat sudah ketemu sama Pak Edwin dan Pak Bayu, mereka yang lolos langsung masuk kesana," jawab Adel yang diangguki Vania."Cik Fifi kemana sih? Aneh banget tiba-tiba nggak datang lagi." Titik menatap Vania dalam seakan in
"Kenapa nggak kasih tahu tentang Cik Fifi?"Andreas menatap sambil mengangkat alis mendengar kalimat pertanyaan Vania "Siapa yang kasih tahu?" "Kemarin-kemarin mas ngurusin Cik Fifi?" tanya Vania tanpa menjawab pertanyaan Andreas.Andreas menghela napas panjang "Nggak, ada kerjaan disini. Ngurus masalah Bu Fifi hanya sehari itu. Kamu tahu darimana? Gun?" Vania menganggukkan kepalanya "Jangan kesebar, bisa marah Pak Fandy." "Anak-anak curiga sudah," ucap Vania mengingat pembicaraan di ruangan."Biarin. Jangan sampai dibuka, bagaimanapun bisa dikatakan aib." "Cuman periksa saja, kan?" tanya Vania penasaran."Pak Fandy nggak kasih tahu lagi selanjutnya, beliau sibuk mengurus masalah Bu Fifi. Aku menggantikan beberapa tugasnya yang nggak bisa dijalani karena masalah ini. Masalah Gun sendiri aku juga nggak tahu gimana, Pak Fandy belum membicarakan hal ini sama sekali." "Separah itu?" Andreas mengangkat bahunya "K
"Pak Gun yang memutuskan kandidat." "Cik Fifi memang kemana? Udah lama beliau nggak datang." "Baru dua hari nggak kesini, lamaan yang waktu kasus Aulia." Zafran memutar bola matanya malas mendengar kalimat Vania."Tetap aja lama, mas. Jadi ini kandidat Pak Gun yang seleksi? Aku hubungi beliau gitu?" Zafran menganggukkan kepalanya "Serius, nggak ada informasi Cik Fifi kemana?" "Mungkin nggak boleh kesini sama Pak Fandy." Zafran mengangkat bahunya "Udah buruan hubungi Pak Gun, kalau bisa lusa ketemu sama dia."Rasa penasaran atas ketidakhadiran Fifi membuat banyak pemikiran yang tidak-tidak, ditambah pembicaraan mereka bertiga terakhir di rumah orang tua Vania. Mereka bahkan belum melakukan apa yang direncanakan, apa sudah melakukan tapi tidak ada yang memberitahu dirinya.Mengambil ponselnya untuk menghubungi Gun, menanyakan waktu luang agar bisa melakukan seleksi pada karyawan yang akan masuk di restoran. Pintu terbuka sebelum
"Gajinya kebesaran, nggak cocok sama anggaran yang sudah dibuat." "Maaf, bukannya kisaran gaji ini sudah sesuai dengan arahan Pak Fandy? Kita menggunakan..." Zafran menutup mulutnya seketika."Restoran ini nantinya yang megang saya atau Pak Fandy?" potong Fifi membuat semua terdiam "Perhitungan saya nggak segini. Kalian ini apa-apa dengarin Pak Fandy. Saya yang pegang restoran ini bukan dia. Jadi apa kata saya." "Maaf, bu. Instruksi Pak Fandy adalah menyamakan dengan restoran yang dibuat olehnya." Zafran masih mengatakan dengan nada sopannya."Kamu nggak kesal Vania sama Andreas?" "Maaf? Maksudnya apa ya, bu?" Zafran mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan yang diluar pembahasan."Saya tahu kalau kamu menyukai Vania, bahkan kalian sudah melakukannya. Memang kamu nggak masalah mereka bersama?" Fifi menompang dagunya dengan tangan menatap dalam Zafran."Kami nggak berjodoh, bu." Zafran menjawab dengan bijak dan tenan
"Bu Fifi belum datang, tumben?""Ada urusan mungkin. Del, kandidatnya udah datang?" Vania menatap Adel yang menganggukkan kepalanya "Kita interview bareng aja, berapa kandidatnya?""Sepuluh, mbak." "Bagi dua aja. Kamu di tempat biasa, aku di tempatnya Pak Andreas. Besok masih ada lagi?" "Masih, mungkin lebih banyak. Memang nggak papa pakai ruangan Pak Andreas? Pak Andreas ada di ruangan atau nggak?" "Nggak papa, Del. Khusus dia aja." Putri membuka suara yang ditanggapi Vania hanya dengan gelengan kepala "Aku penasaran kenapa Cik Fifi belum datang, nggak mungkin karena kemarin." Semua hanya tahu jika Fifi memarahi Vania yang berkaitan dengan rekrutmen karyawan restoran yang dipegangnya, tidak ada yang tahu kalimat yang keluar dari bibir wanita itu yang menyakitkan Vania. Terjawab sudah alasan dibalik sikap Fifi pada dirinya, tidak tahu siapa yang salah tapi memang perasaan tidak akan pernah bisa disalahkan. Fifi yang memang su
"Kamu benar nggak mau kasih tahu sama suami sendiri apa yang dikatakan Bu Fifi?" "Nggak ada yang penting, mas. Masalah kandidat aja." Vania menjawab sambil meletakkan peralatan makan di tempatnya "Nggak usah dianggap serius." "Gimana nggak dianggap serius kalau ekspresi kalian waktu kita berdua masuk itu...Fifi penuh emosi dan kamu terkejut dan ingin nangis." Andreas tetap dengan keteguhannya ingin tahu yang terjadi. "Mas Zafran juga sudah tanya, jawabanku juga sama." Hal satu ini jelas tidak. Vania menceritakan semuanya pada Zafran, alasan menceritakan pada Zafran lebih pada mencurahkan apa yang sedang dirasakannya. Hasil dari cerita ini, mereka memutuskan untuk tidak mengatakan kepada siapapun terutama Andreas. Pria yang sudah menjadi suaminya ini akan emosi jika mendengar kata-kata Fifi, mengatakan dirinya murahan dan memberikan tubuhnya pada kedua pria. "Pak Fandy memperingatkan Bu Fifi agar tidak mela







