“Kau tidak akan bisa menyingkirkanku, Gadis bodoh!” hardik pria tua itu menendang tubuh gadis yang tengah terkulai lemas di lantai.
“Masih butuh ribuan tahun untukmu agar bisa membunuhku, Sialan!” tambah pria tua itu. Ia terkikik kemudian berjalan menjauh dari tubuh gadis itu. Tawanya seolah sedang mengejek ketidakberayaan lawannya. Gadis itu menggeretakkan giginya, dengan tenaga yang tersisa ia berusaha bangkit. Ia tidak lagi memikirkan bercak darah yang memenuhi tubuhnya, “Jika aku tidak bisa membunuhmu, aku akan membawamu mati bersamaku,” **** “Singkirkan pengkhianat itu. Setelah itu, permintaan mutasi kalian berdua akan ku penuhi,” perintah Edric, seorang pria paruh baya dengan nada datar menatap Ethan tajam. Ia melemparkan beberapa dokumen berisikan data-data tentang target. Ethan tertegun sejenak, pikir pria itu maksud dari panggilan Edric adalah menyetujui permintaan mutasinya. Namun di saat terakhir pun pria serakah itu masih menginginkan hal lain darinya. Ethan menggeretakkan giginya, tangannya mengepal. Pria itu mencoba untuk menahan amarah agar tidak menghajar pria di hadapannya. Udara dalam ruangan itu terasa berat, seakan dinding-dindingnya ikut mendengarkan negosiasi mereka. Dengan tetap tenang, ia maju selangkah melirik sekilas dokumen yang ada di meja. “Tapi … Saya dan Hana sudah menjalankan banyak misi berbahaya. Apa itu masih tidak cukup?” ujar Ethan dengan suara yang sedikit bergetar kembali menatap atasannya. Sebagai bagian dari organisasi bayangan, Ethan tahu bahwa setiap permintaan memiliki harga yang harus dibayar. Tidak ada yang bisa pergi begitu saja, apalagi agen yang sudah mengetahui kebusukan di lapangan seperti dirinya dan Hana. Ethan dan Hana dikenal sebagai agen lapangan berbakat dari NOX. Riwayat penyelesaian misi mereka nyaris sempurna. Namun misi mereka terakhir kali hampir merenggut Hana membuat Ethan menyadari bahwa berada terus di lapangan bukan keputusan yang tepat. “Tidak,” balas Edric dingin, penolakan barusan seakan lebih tajam dari pisau. “Jangan bertingkah seperti kau punya pilihan, Ethan. Disini aku yang menentukan apa yang harus kau lakukan!” tegas Edric dengan raut wajah tak senang. Ethan meraih dokumen itu dan membacanya sekilas. “Yang benar saja! Bahkan dengan semua misi berbahaya yang telah ku selesaikan masih tidak bisa membuatmu puas?!” batin Ethan menahan amarahnya. Jari jemarinya mencengkram erat dokumen hingga membuat kertasnya sedikit kusut. Atmosfer dalam ruangan itu seperti berubah dalam sekejap, udara dingin yang dirasakannya seperti menggigit kulitnya meskipun penghangat ruangan itu telah aktif. Melihat gejolak amarah di dalam diri Ethan, Edric menyeringai tatapannya seolah menertawakan keputusasaan pria yang berdiri di hadapannya saat ini. “Lagi pula … kalian tidak bisa mundur setelah mengetahui banyak hal, bukan?" sindir Edric yang terkesan manipulatif membuat Ethan menelan ludahnya dengan kasar. Setelah negosiasi itu, Ethan keluar dari ruangan Edric dengan langkah berat berjalan menuju mobil miliknya. Seakan tubuhnya dipenuhi oleh batu-batu yang berat. Alisnya berkerut, pria itu mengepalkan tangannya dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Di dalam mobil, ia menatap jalanan yang sudah dilewatinya ratusan kali. Angin malam berhembus masuk melalui kaca jendela mobil yang sedikit terbuka. Ia melirik foto Joylin dan Jayden yang tergantung di spion mobil. Senyum mereka seperti secercah cahaya dalam kegelapan. Ethan meraihnya perlahan, “Papa janji, setelah ini papa akan sering pulang ke rumah,” gumamnya pelan dengan senyum di wajahnya. Sesampainya di rumah, “Papa!!” seru Joylin dan Jayden ketika melihat Ethan pulang. Keduanya yang sudah bersiap untuk tidur langsung berlari menyambut Ethan dan memeluknya. Ethan membalas pelukan kedua anaknya dengan hangat, mencium puncak kepala mereka, dan menyuruhnya untuk tidur. Setelah memastikan kedua buah hati mereka telah tertidur pulas, Ethan menceritakan apa yang ia dapat dari negosiasinya dengan Edric tadi. “Entah kenapa perasaanku tidak enak tentang misi yang Edric berikan. Keparat itu dari awal tidak pernah berniat unt—” ucapnya kesal, tanpa sadar Hana menggebrak meja makan, napasnya terengah seolah tak bisa ia kontrol. “Tenanglah, atau kau akan membangunkan anak kita,” potong Ethan melirik ke arah pintu kamar anaknya sambil menyentuh tangan Hana untuk menenangkannya. Pria itu kemudian bangkit dari duduknya dan pindah ke samping Hana. “Percayalah padaku, aku akan kembali dengan selamat. Untukmu dan anak-anak kita,” ujar Ethan menyentuh wajah Hana dengan lembut. Hana mengangguk, lalu memeluk suaminya. Namun, jauh di dalam hatinya Hana merasakan ketakutan. Takut kehilangan satu-satunya sosok yang menjadi sandarannya saat ini. Beberapa hari kemudian, akhirnya tiba waktunya bagi Ethan untuk menjalankan misi itu. Sebelum pergi, pria itu ingin melihat wajah kedua malaikat kecilnya yang tengah tertidur pulas. Rupanya kehadirannya disadari oleh Joylin dan membuat gadis kecil itu terbangun. “Papa akan pergi lagi malam ini?” tanya Joylin mengusap kedua mata kecilnya sambil memeluk boneka beruang. Ethan menaruh telunjuk di bibirnya, “Sshh. Jangan sampai Jay terbangun,” bisiknya pada buah hatinya. “Tidurlah. Papa akan segera kembali membawa kue bluberi kesukaan Joy,” lanjutnya sambil mengusap puncak kepala Joylin dengan lembut. Pria itu berusaha sebisa mungkin untuk terdengar ceria agar tidak membuat putri kecilnya khawatir. Joylin yang bahagia mendengar janji ayahnya berusaha untuk segera tidur malam itu. Pria itu juga memeluk Hana sebelum meninggalkan rumahnya. “Kembalilah dengan selamat. Aku menunggumu di rumah bersama anak-anak kita,” ucap Hana dengan suara bergetar dan air mata yang jatuh disudut matanya. Ethan tersenyum hangat, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Hana. Hana berdiri mematung di ambang pintu menyaksikan sosok suaminya yang perlahan menghilang di telan gelapnya malam. Hana tak bisa tidur pikirannya terus tertuju pada Ethan yang sedang menjalankan misi. Ia terus mondar mandir di ruang tamu sambil menggigit kuku ibu jarinya hingga suara telepon mencuri perhatiannya. Hana menelan ludah dengan kasar, lalu meraih gagang telepon dan menempelkannya ke telinga. “Hana! Ethan— sesuatu telah terjadi pada Ethan!”Beberapa jam sebelum keberangkatan Joylin“Aiden, kau menyukainya, kan?” tanya Luna menyandarkan tubuhnya pada dinding ruangan tempat mereka melakukan rapat terakhir kali. Aiden yang sedang menyiapkan beberapa barang langsung menghentikan aktivitasnya, “Apa maksudmu, Luna?” tanya pemuda itu refleks menoleh pada Luna.“Joylin. Aku tahu kau punya perasaan padanya. Dia gadis yang melanggar misinya demi menyelamatkanmu, kan?” tanya Luna menyorot Aiden dengan tatapan yang menenangkan.Aiden tidak langsung memberikan jawaban, namun Luna seolah dapat menebak apa isi hati rekannya. “Aku benar, ya? Mengubur perasaanmu dalam-dalam hanya akan membuatmu menyesal, Aiden,” tambah gadis itu, lalu berjalan ke arah Aiden dan menyentuh bahunya.“Sebaiknya kita segera berangkat,” balas Aiden datar, mencoba untuk mengabaikan perkataan Luna. Namun di dalam hatinya, ia membenarkan apa yang Luna katakan. Samar-samar sudut bibirnya terangkat, tak dapat menyembunyikan perasaan aneh yang menggelayuti hatinya
Keduanya saling pandang beberapa saat, lalu mengangguk yakin. “Kami siap menerima konsekuensinya, Paman,” ucap Jayden, sorot matanya penuh dengan keyakinan.Nathan menarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut. “Maaf, tapi paman tidak sanggup kalau harus kehilangan kalian berdua,” balas Nathan menutpi mata dengan jemarinya. Pria itu tertunduk, bahunya sedikit turun kali ini.Joylin berdiri dari duduknya, berjalan ke arah Nathan dan berjongkok tepat di hadapan pamannya. “Paman … Terima kasih sudah menerima kami menjadi bagian dari keluargamu dan maaf kalau kami sangat egois,” ujar Joylin menyunggingkan senyum tipis yang menenangkan.“Dulu paman pernah bilang, begitu masuk ke dunia ini kami tidak bisa mundur begitu saja. Ingat, kan?” tanya Jayden, berjalan dengan tenang mendekati Nathan yang masih tertunduk lesu. “Kami janji, akan pulang dengan selamat,” tambahnya di ikuti oleh anggukan Joylin di sampingnya.Nathan mengangkat kepalanya perlahan, matanya merah seperti menahan ta
Joylin melangkah keluar dari ruangan Edric dengan cepat, seakan ingin menjauh dari semua yang menyulut emosinya. Tangannya menggenggam dokumen yang Edric berikan, sementara tangan yang lain sibuk mengutak-atik ponselnya.Joylin: Dimana?Jayden: Di depan gedung, syukurlah kau sudah sadar. Tunggu di ruangan.Joylin: Terlambat. Aku sudah di lobi, aku segera kesa—Langkahnya terhenti ketika mendapati Erico sudah menghalangi jalannya. Gadis itu memutus sambungan telepon, lalu menatap Erico dengan tajam.“Hei, kau kelihatan terburu-buru. Bagaimana kalau kita sarapan bersama terlebih dahulu?” tanya Erico mencoba basa-basi dengan senyum memuakkan terukir di wajahnya.Joylin tidak mengatakan sepatah kata pun dan terus melangkah— tapi Erico terus menghalangi jalannya. “Minggir,” desis Joylin dingin, alisnya bertaut.“Lihat wajahmu ini, sebenarnya apa yang terj—” tangan pria itu bergerak, hendak menyentuh wajah Joylin yang masih pucat namun dihentikan oleh seseorang.“Edric menunggumu di ruang
Mata Luna membelalak, mulutnya sedikit terbuka berusaha mengeluarkan kata-kata yang tertahan di tenggorokannya. “Apa maksudmu, Jay?” “Saat di rooftop tadi aku mendengarmu menggumam,” balas Jayden. Luna terdiam, gadis itu terlihat menelan ludahnya dengan kasar. Pemuda itu mendecak, “Maaf. Lupakan saja,” ucap Jayden, lalu masuk ke dalam mobil disusul oleh Luna. “Jay, maaf sudah merepotkan,” ucap Luna, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi yang dingin. Hari ini benar-benar melelahkan. “Tidak masalah,” balas Jayden singkat. Ia menunduk, lagi-lagi pria itu tanpa sadar melakukan kebiasaannya dengan Joylin— memasangkan sabuk pengaman pada Luna. Gadis itu refleks menoleh membuat wajah mereka nyaris bersentuhan. Pipinya memerah seketika, lalu buru-buru mengalihkan pandangannya. “Aku bisa memakainya sendiri,” ucap Luna tergugup sambil memainkan ujung baju dengan jemarinya. Jayden yang tersadar langsung memperbaiki duduknya secepat kilat. “Ah! Haha, kita jalan sekarang. Tunjukkan jalan
Jayden tertegun, “Dia? Siapa yang dimaksud Luna?” batinnya bertanya-tanya. “Luna?” sahut Jayden pelan, dengan ragu-ragu ia mendekati Luna yang tengah terhanyut dalam lamunannya. Malam begitu tenang, hanya dihiasi oleh desir angin menambah hening dan tekanan diantara mereka.Luna menoleh perlahan, matanya masih basah oleh air mata yang ia coba sembunyikan. Suara Jayden yang lembut membuat jantungnya berdebar.Dengan tangan yang gemetar, Luna segera menghapus air matanya dengan terburu-buru, berharap Jayden tak melihat sisi lemahnya.Jayden menatap Luna, sorot matanya tak pernah lepas dari gadis di hadapannya. Dia bisa melihat adanya kesedihan yang terselubung meski gadis itu berusaha menyembunyikannya.“Kau menangis?” tanya Jayden dengan nada yang lebih lembut, seolah memberikan Luna kesempatan untuk membuka diri padanya.“Ah, sepertinya ada sesuatu yang masuk ke mataku. Haha,” ujar Luna mengucek kedua matanya seolah berusaha meyakinkan Jayden kalau dirinya baik-baik saja, kemudian te
Ketika mendapat laporan dari Joylin bahwa target telah berhasil dieksekusi Jayden dan Aiden langsung menghela napas lega, seolah segala beban yang ada di bahu mereka terangkat. Keduanya bergegas menuju ke titik kumpul dengan senyum samar di wajahnya.“Jay, Aiden … Joy, dia tidak sadarkan diri,” ucap Luna terdengar panik melalui earpice di telinganya. Senyumnya memudar, kegelisahan yang tadinya bersarang di hati Jayden yang perlahan hilang kini tergantikan oleh panik dan khawatir ketika mendengar ucapan Luna.Detak jantungnya tak beraturan, Jayden berusaha untuk tetap tenang. “Apa yang harus ku lakukan? Membawanya ke rumah sakit?” pikir Jayden sambil mencengkeram erat setir mobil.“Tidak. Itu terlalu berisiko, terlebih Joylin baru saja menyelesaikan misi. Seharusnya aku tidak membiarkannya pergi sendirian,” batinnya terus bergemuruh, penyesalan mulai menggerogoti hatinya, membentuk luka baru di antara rasa bersalah yang ia pendam.“Jay, Luna, tenangkan diri kalian. Bergegaslah ke marka