Share

Tentang Kebiasaan (2)

Tak lama kemudian Angga menelepon Manda dan menyusul kami berdua yang sudah hampir selesai berbelanja.

“Udah selesai semua apa gimana nih?” tanya Angga.

“Gue tinggal beli buah sama sayur” jawabku.

“Lo udah selesai Man?” tanya Angga lagi.

“Sama sih tinggal beli buah aja gue” jawan Manda setelah mengecek daftar belanja miliknya.

Kami bertiga pun berjalan menuju bagian buah-buahan dan sayur-sayuran. Aku mengecek kembali daftar belanjaku, takut-takut ada yang terlupakan olehku. Bagian buah dan sayur memiliki kenangan lainnya tentangku dan Radit. Kenangan yang kami buat entah kami membeli buah dan sayur ataupun tidak setiap kali kami berdua datang kemari. Tentu aku menyimpannya di galeri handphoneku.

“Radiiiit, sini cepetaaaan!” ucapku heboh.

Radit yang menghampiriku dengan tergopoh-gopoh pun bertanya keheranan padaku, “Kenapaaa? Sampe heboh banget begitu manggilnya!”

“Ayo foto disini hahaha” jawabku sambil tertawa. Aku mengajak Radit untuk berfoto di cermin besar yang memisahkan bagian buah dan sayur.

“Hah kenapa disini?” tanya Radit yang bingung dengan ajakanku barusan.

“Ya nggak apa-apa. Lucu nggak sih background fotonya rak buah sama sayur? Kan orang biasanya mirror selfie di toko baju, kita bikin juga tapi backgroundnya buah sama sayur” jawabku penuh antusias.

Radit pun pasrah mengikuti keinginanku. Lalu 2 minggu kemudian pun aku dan Radit kembali berbelanja disini. Setelah membeli semua barang yang ada di catatan belanja kami, aku pun menaarik tangan Radit agar Radit langsung mengikutiku dengan cepat. Aku berlari-lari kecil dengan penuh semangat.

“Syaaa mau kemanaaaa? Pelan-pelan dong ini kan bawa troli!” kata Radit mengingatkanku.

“Ikut ajaaaa” jawabku sambil tertawa.

Kami berdua pun tiba di bagian buah dan sayur. Dengan sigap, aku langsung mengajak Radit untuk berfoto di tempat yang sama seperti waktu itu.

“Kok foto disini lagi? Buat apa?” tanya Radit bingung.

“Buat kenang-kenangan. Biar nanti bisa diliat aja berapa kali kita dateng kesini dan pasti ada perubahan kan di kita berdua? Hahaha” jawabku.

“Jadi setiap belanja kesini kita bakal foto disitu?” tanya Radit berusaha memastikan maksud ucapanku.

Aku mengangguk penuh semangat sambil tersenyum lebar menjawab pertanyaan Radit.

“Yaudah kalo gitu, kita liat nanti besar apa nggak perubahan kita selama dateng kesini. Tapi gue sih udah yakin kalo gue bakal berubah jauh lebih keren sih dari sekarang Sya” goda Radit.

“Yeeee khayal babu lo ya ckck. Sadar Dit sadar. Lo kalo jadi keren juga karena ketularan dari gue kali! Lo tau kan pesona gue gimana?” aku membalas menggoda Radit sambil mengibaskan rambutku.

“Yaudah kita buktiin aja nanti omongan siapa yang bener” tantang Radit yang tiba-tiba menggandeng tanganku sambil berjalan menuju kasir. Aku menahan diri untuk tidak bersikap cangung atas apa yang Radit lakukan saat ini. Rasanya aneh bagiku.

Setelah itu, kami berdua menepati ucapan untuk selalu berfoto di tempat yang sama. Lucunya, beberapa kali pun Radit yang bersemangat mengingatkanku. Akhirnya berfoto di cermin besar tersebut menjadi kebiasaan kami berdua yang tidak bisa dilupakan setiap kali kami berbelanja. Kami membuat album foto khusus untuk foto-foto yang kami ambil di pasar swalayan ini. Jumlahnya? Aku tidak ingat berapa jumlah pastinya, namun sepertinya hampir menyentuh angka seratus.

Sambil bernostalgia tentang salah satu kenanganku dan Radit di pasar swalayan ini, tanpa terasa aku, Manda, dan Angga sudah sampai di bagian buah dan sayur. Aku menatap nanar ke arah cermin besar tersebut sambil tersenyum kecil. Aku tidak bisa membohongi perasaanku saat ini yang merasakan sedikit kesedihan saat melihat cermin besar itu.

“Dulu gue sama Radit sering banget foto disitu” kataku sambil menunjuk ke arah cermin besar itu.

“Hah? Jadi foto-foto mirror selfie yang sering lo pake untuk profile picture itu tuh diambilnya disini?” tanya Manda kaget, tidak menyangka dengan apa yang aku katakana barusan.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

“Masih ada foto-fotonya Sya? Nggak lo delete?” tanya Angga to the point.

“Wah emang nggak punya hati lo ya” kata Manda menyikut perut Angga.

“Aaaaw! Aduh sakit anjir! Gila lo ya Man?” keluh Angga sambil meringis memegangi perutnya.

“Ya lo lagian nanya begitu. Tasya padahal masih berusaha cerna semuanya, termasuk perasaan dia. Eh rahang lo enteng banget tuh nyeletuk begitu” kata Manda sewot dengan kelakuan Angga.

“Hmm emang masih ada sih semua foto gue sama Radit. Ya bener kata Manda, gue masih proses semuanya dulu karena bagi gue rasanya masih nggak nyangka aja kalo jadi begini. Tapi emang gue udah ada pikiran buat delete semuanya sih, entah kapan. Mungkin setelah gue selesai cerna semuanya dan udah bisa berdamai sama keadaan?” jawabku untuk menghindari Manda dan Angga yang bisa saja bertengkar karena masalah tadi.

Aku dan Manda pun dengan segera mengambil barang-barang di daftar belanja kami yang belum kami dapatkan. Angga hanya menunggu kami berdua dengan bersandar ke tembok sambil sesekali melihat-lihat buah dan sayur di dekatnya.

“Nggaaa udah beres nih!” kata Manda sambil menepuk bahu Angga.

“Cek dulu ada yang kelupaan apa nggak, gue nggak mau ya disuruh puter balik lagi kayak tadi. Udah abis jatah puter balik hari ini” ucap Angga.

“Hiiiih sama temen aja itung-itungan lo ya keterlaluan banget!” Manda sedikit kesal mendengar perkataan Angga barusan.

Karena Angga sudah berkata demikian, aku dan Manda tidak punya alasan mengelak lagi. Mau tidak mau sekarang kami berdua harus mengecek kembali seluruh barang belanjaan kami apakah sudah kami ambil semua atau belum, karena kalau tidak kami hanya bisa kembali kesini sendirian nanti untuk membeli barang yang terlupa.

“Abis ini mau kemana dulu jadinya?” tanyaku.

“Ngopi? Tapi kesorean nggak sih? Baru jam 5 kurang. Masih panas nggak ya di luar?” tanya Manda kepada kami.

“Takeaway aja lah. Minum di apartemen lo aja Sya” usul Angga.

“Yaaa bisa aja sih. Mau takeaway, minum disana terus balik, atau ke apartemen gue dulu terus baru ngopi?” aku coba memberikan opsi kepada mereka.

Opsi yang aku berikan sebenarnya berkaitan dengan jadi atau tidaknya nanti aku untuk mulai sedikit bercerita kepada mereka tentang keadaanku. Tapi bukan berarti aku memaksakan, kslaupun nanti jadinya kami bertiga akan pergi ke coffee shop setelah menaruh belanjaan di apartemenku ya kemungkinan besar aku akan mencari waktu lagi untuk bercerita, tidak mungkin aku akan menceritakan tentangku ketika kami di luar, yang ada nanti aku malah menangis di depan umum.

“Gue antara opsi 1 sama 3 sih. Lo gimana Man?” jawab Angga.

“Gue juga sama sih kayak Angga” kata Manda.

“Tapi kayaknya mending ke apartemen gue dulu aja sih baru nanti maleman kita keluar buat ngopi, ini kan gue beli daging-dagingan sama fresh milk takut rusak kalo kelamaan di luar kulkas. Soalnya kan kalo kita ngopi sekarang tuh waktunya tentative, terus takut bau kalo ditinggal di mobil, takut bau juga kalo dibawa” kataku.

“Yaudah gitu aja nggak apa-apa” balas Manda.

Kami bertiga pun berjalan ke arah kasir untuk membayar semua belanjaan kami. Aku baru sadar setelah melirik ke arah troli yang Angga bawa.

“Jadi tadi ujung-ujungnya lo belanja juga?” tanyaku.

“Gue beli stok buat kebutuhan di kamar mandi aja sih mostly, soalnya nggak inget juga gue masih punya apa nggak stoknya di apartemen. Terus ya stok kopi instan, mie, roti tawar sama telur gue kebetulan abis. Sama ini paling snacks aja” jawab Angga sambil menunjukkan kepadaku apa saja yang ia beli.

“Lo mau jualin lagi apa gimana itu beli snack banyak banget begini Ngga?” godaku sambil tertawa karena snack yang Angga beli rasanya cukup untuk persediaan selama 2 bulan.

“Anjir mulutnya ya bener-bener, awas lo Sya” balas Angga.

Setelah membayar barang belanjaan pun kami bertiga langsung menuju ke apartemenku, benar-benar tanpa mampir ke tempat lain lagi selain ke minimarket untuk membeli rokok. Tumben sekali seperti ini, biasanya Manda akan heboh meminta kami berdua mampir membeli jajanan. Aku yang sekarang duduk di bangku depan pun kembali hanya memandangi jalanan di sore hari. Jalanan kini sudah nampak jauh lebih ramai dari siang hari tadi.

Dalam hati, aku merasa lega karena meskipun aku menjawab pertanyaan-pertanyaan soal diriku dan Radit tadi, bahkan beberapa kali bernostalgia tentang kebiasaan kami pun aku tidak menangis, mataku berkaca-kaca pun tidak sama sekali.

Aku sangat bersyukur karena aku merasa baik-baik saja ketika berada disana dengan kenanganku bersama Radit. Sulit sekali memang untuk merasa baik-baik saja ketika kebiasaan yang memberikan kenyamanan dan kesenangan kepada kita harus selesai begitu saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status