Share

Alunan Syair

Kedua netramu tertuju padanya, membuka kata seraya mengangkat secangkir kopi di atas meja, “Jika berkenan, bolehkah saya tahu siapa yang sedang Nona tunggu?”

“Aku sedang tidak menunggu siapa pun,” jawabnya lirih membuatmu tergelak karenanya, “kenapa kau tertawa? Apakah ada yang lucu dari kata-kataku?”

“Tidak, aku hanya terkejut saja. Bagaimana mungkin wanita secantik Nona tidak memiliki pasangan.” Kata-katamu membuatnya terdiam, di saat yang bersamaan wajahnya kian memerah seraya menatapmu tajam dengan salah satu tangan terkepal. Wajahnya langsung mendekatimu, sedangkan tangan kiri langsung mencubit tanganmu.

“Au, sakit! Kenapa Nona mencubitku?” tanyamu merengek seraya mengelus-elus tangan.

“Hmm ... entah? Tanganku bergerak sendiri.” Wajah polos nan lugu membuatmu terdiam dan terpaku. Senyum lirih terukir di wajahnya, dan dengan lembutnya ia berkata, “Makanya, lain kali jangan asal bicara lagi. Sakit kan.”

Kini tiada lagi kata terucap, hanya tatapan kosong dengan alis sedikit menurun saja yang kamu perlihatkan. Suasana di antara kalian yang sebelumnya hanya dihiasi kesunyian, kini merekah menjadi lebih berwarna. Tema kehidupan lebih terasa, walau hanya sementara.

Perlahan tubuhmu mulai berdiri, ke luar dari kursi. Dia bertanya, “Mau ke mana?”

Kamu hanya tersenyum seraya berkata, “Pulang, mungkin?”

“Mungkin?” Matanya kian berpinar dengan wajah sedikit memucat, seolah enggan ditinggal olehmu. Kamu mendekatinya, dengan senyum lembut menjentik keningnya. Dia hanya menatapmu dengan heran, yang saat ini tengah menuju pintu keluar.

Kamu pun sebaliknya, tetap tersenyum hingga akhirnya mengalihkan pandangan. Baru saja melangkah ke luar dari kedai, kamu berpapasan dengan seseorang yang dikenal. Ia menyapa, sedangkan kamu hanya tertawa dan acuh tak acuh kepadanya. Lelaki itu menggenggam tanganmu, membuat langkah kaki terhenti. “Apa yang kau inginkan, Leon?” tanyamu tanpa mengalihkan pandangan.

“Oh, ayolah. Santai saja kawan, kenapa harus buru-buru begitu. Aku yang trak—“

“Tidak, terima kasih.” Kamu langsung mencoba untuk melepaskan genggaman tangannya. Namun, dia malah tersenyum dan menarikmu lebih erat untuk kembali memasuki kedai tersebut. Kamu melawan, memaksanya untuk melepas genggaman hingga berakhir memukulnya.

Bukannya berhenti dan membiarkanmu pergi, dia malah tertawa keras dan balik memukul. Tanpa sadar apa yang kalian lakukan menarik begitu banyak perhatian, hingga akhirnya mendatangkan aparat keamanan. Perkelahian kalian diakhiri dengan wajah dan tubuh penuh mewar dan air berwarna merah.

Namun, bukannya saling membenci atau memaki, kalian malah tertawa lepas dan kembali saling merangkul. Kalian tampak kebingungan dengan keramaian di sekeliling, bahkan kedua tangan tengah ter borgol. “Apa yang terjadi? Kenapa ramai sekali di sini?” tanyamu dengan wajah dipenuhi rasa penasaran.

“Jangan menatapku, aku pun bingung dengan apa yang terjadi saat ini,” lirihnya dengan kerutan di wajah.

Pertanyaan kalian akhirnya ditujukan kepada mereka yang berseragam coklat. Mereka hanya menyuruh kalian diam dan ikut dengan mereka seraya menodongkan senjata seolah kalian adalah kriminal berbahaya. Kamu enggan, bahkan melawan karena tidak ingin ikut dengan mereka.

Dia tertawa melihatmu seraya berkata, “Sudahlah, ikut saja. Mau bagaimanapun mustahil kita bisa menang melawan mereka. Nanti jelasin aja di kantor polisi. Lumayan, anggap aja sebagai hiburan atau kenangan.”

“Matamu liburan.” Bahkan ketika ditahan dan bawa ke kantor polisi, kalian masih saja meributkan hal-hal sepele dan di saat yang bersamaan tertawa. Mereka tampak bingung, bahkan salah satu dari aparat keamanan itu memberikan tanda bahwa kalian gila kepada sesama temannya.

Ketika di dalam kantor polisi, kalian diinterogasi. Namun, kalian tetap saja bersikap acuh tak acuh kepada mereka. Tanpa ragu kamu memejamkan kedua netra seolah itu hal biasa, dan sel tahanan menjadi hotel tempat berehat. “Leon, kau yang urus ya. Aku mau tidur dulu, semangat,” ujarmu dan langsung berbaring di dalam sel.

Mereka yang melihatmu langsung terdiam, menatap heran. Dia hanya bisa menghela napas dalam melihat sikap kekanak-kanakanmu, tetapi dengan lirih dia menjelaskan apa yang terjadi kepada mereka. Setelah cukup lama, akhirnya kalian keluar dari penjara dengan beberapa syarat tentunya.

Kamu hanya menghela napas dalam, dan pergi meninggalkannya tanpa ucapan terima kasih. Berjalan di antara keramaian, membuat napasmu sedikit berat. “Haaa ... sialan, kenapa begitu ramai sih hari ini? Mengganggu saja,” gerutumu seraya menyilangkan kedua tangan di belakang kepala.

Perjalananmu terhenti sejenak ketika melihat sebuah bangunan besar bertuliskan ‘perpustakaan nasional'. Tanpa sebuah kata, kamu berjalan memasuki perpustakaan. Aroma khas dari buku tercium ketika memasuki ruangan, senyap nan sejuk membuatmu tersenyum. “Ada yang bisa dibantu?” tanya seseorang yang perlahan mendekatimu dari kejauhan.

“Tidak ada, aku hanya ingin membaca beberapa buku ringan,” jawabmu.

“Buku ringan? Maksudnya bacaan ringan buat anak muda?” tanyanya dengan raut wajah bingung.

“Hmm ....” Kamu acuh tak acuh padanya, dan langsung mencari beberapa buku yang menurutmu menarik untuk dibaca. Sedikit pun tidak ada kesan bahwa kamu memikirkan perasaan orang lain ketika berkata, hanya saja mata itu terlihat sangat gelap dan sayu. Sebuah buku berwarna coklat kehitaman, sedikit menarik perhatianmu.

Lembar demi lembar terus kamu buka, membaca dengan penuh ketenangan dan penghayatan. “Apakah ceritanya menarik?” tanya seorang pria berkacamata dengan kemeja hitam dan jubah putih.

Sekali lagi hanya sikap acuh tak acuh yang kamu perlihatkan. Netra hanya terfokus pada setiap kata dari halaman yang kamu baca. “Perkanalkan, namaku Ahiko Febrian. Jika berkenan, bolehkah saya tahu nama Tian?” tanyanya seraya mencoba berjabat tangan.

Entah karena kesal atau mungkin enggan, kamu pergi menjauh darinya. Duduk seorang diri di tempat yang sangat sepi, membaca dengan santai dan nikmat. “Haaa ... sayang gak ada kopi, kalau ada pasti lebih seru,” ujarmu menghela napas dalam.

Tidak lama kemudian, secangkir kopi tersuguh di hadapanmu. Kamu bingung dan lekas menatap dia yang memberi kopi. “Silakan dinikmati kopinya. Kuharap Anda suka,” lirihnya seraya tersenyum.

“Terima kasih.” Hanya kata itu yang terucap, setelahnya kamu hanya fokus membaca dan sesekali menghirup kopi panas. Dia duduk di bangku kosong, dan tersenyum menatapmu. Cukup kamu memerhatikan sikapnya, dan selama itu juga dia tak henti-henti memandang. “Apa yang kau inginkan? Jangan menggangguku, dan berhentilah menatapku dengan cara seperti itu. Anda membuatku jijik,” jelasmu lirih.

Dia berdalih, “Namaku Ahiko Febrian, aku penjaga perpustakaan ini.” Kali ini, tangannya kamu jabat seraya memperkenalkan diri. Kharisma seorang pustakawan, membuatmu sedikit kagum. Namun, percayakan kalian kembali terhenti begitu saja dikarenakan sikap acuh tak acuh dan terlalu fokus membaca buku.

Dia berbicara, bercerita tentang banyak hal. Namun, kamu hanya terkekeh dan terfokus pada buku itu saja. Dia bertanya, tetapi tetap saja kamu diam tanpa kata. “Dah lah.” Dia pergi begitu saja dengan wajah kusam dan helaan napas berat.

“Kemana?” tanyamu lirih.

“Kembali ke posko untuk berjaga dan mendaftarkan nama pengunjung,” jawabnya sayu dan lemas.

“Ooo ... ok, semangat.”

“Aku akan mencatat namamu juga, karena itu tidak perlu ke tempatku,” ujarnya.

“Terima kasih.” Wajah datar itu seolah tidak peduli dengan apa yang dia katakan. Bukan hanya kepadanya saja, setiap kali ada orang yang menyapa kamu hanya membisu atau sekadar senyum sejenak.

Waktu berjalan dengan cepat, tanpa terasa mentari telah pergi untuk beristirahat. “Sudah larut, sebentar lagi perpustakaan akan ditutup. Sebaiknya kamu bersiap untuk pulang. Jika ceritanya belum selesai, kamu boleh meminjamnya selama dikembalikan dan menandatangani be—“

“Tidak perlu, aku sudah selesai dari tadi,” selamu dengan senyum dan pergi meninggalkannya begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status