Bersandar di jendela, menatap langit biru di luar sana seraya tersenyum seolah tengah membayangkan sesuatu yang sangat indah. Kamu membiarkan angin sepoi mengurai rambutmu, membuatmu berkedip beberapa kali ketika terdapat hewan kecil memasuki mata. Bersenandung, hanya hal kecil itu yang kamu lakukan di dalam ruangan dan selalu seperti itu setiap harinya.
Kembali terdengar ketukan dan suara seorang pria dari luar ruangan, tetapi ketidakpedulian menjadi jawaban singkat nan jelas. “Yo, apa kabar?” Dia langsung bertanya ketika baru saja memasuki ruangan, sedangkan kamu hanya terus menatap langit di luar sana.
“Oh, ayolah. Kenapa kau sebegitunya benci padaku? Padahal aku hanya bertanya,” ujarnya lirih.
Matamu melirik tajam ke arahnya, rambut merah dengan gaya aneh–memiliki rambut panjang di antara telinga tetapi pendek di bagian belakang dan gaya yang acak-acakan–membuat darah seketika mendidih. “Ada urusan apa kemari, Leon?” tanyamu lirih dengan tajam, “kupikir kau sudah mati?”
“Mulutmu ... haa, masih saja tajam seperti biasanya. Aku ke sini hanya ingin menjengukku, tetapi sepertinya kau baik-baik saja. Kuharap kau akan segera ke luar, aku ingin bermain lagi seperti sebelumnya bersamamu,” jelasnya lirih.
“Bermain? Haa ... kenangan yang indah. Tapi mungkin hal itu tidak akan pernah terjadi lagi.” Matamu kembali menatap langit biru, mengabaikan segala pertanyaan dan kata-kata yang ia lontarkan. Kesedihan tampak kembali terukir, dan perlahan mulai kembali terlintas keinginan untuk kembali menghilang, “Mau ikut aku pergi gak, Leon?” tanyamu lirih seraya menatapnya dengan senyuman hangat nan dingin dan mengulurkan tangan.
“Hentikan kegilaanmu itu, aku sudah tidak kuat lagi selalu saja membawa dan menghentikanmu bunuh diri. Selain itu, biaya rumah sakit tidak bisa selamanya kutanggung seorang diri, apalagi kamu yang hanya seorang pengangguran dan mantan kriminal dunia bawah!” tegasnya dengan kedua tangan terkepalkan.
“Hehehe ... maaf, aku kan hanya bercanda. Tidak perlu diambil serius. Lagian walaupun aku serius, kau sendiri pasti akan menghentikan dan menghajarku seperti biasa,” lirihmu seraya tergelak.
“Terserah kau saja. Lakukan saja sesukamu, dan jangan merepotkanku lagi. Kali ini jika kamu melompat dari jendela, aku tidak akan membantumu lagi. Silakan pilih sendiri, mati bunuh diri karena alasan bodoh atau berjalan dan mencari arah dan tujuan baru!” Asap terkepul di dalam ruangan, sebungkus rokok tersuguh di hadapanmu. Mata melirik sinis ke arahnya, salah satu tangan mengambil sebatang bahan asap untuk dihisap.
“Koreknya mana?” tanyamu seraya mengulurkan tangan.
Seraya terkekeh, ia langsung memberikanmu korek api. “Ini bukan daun ubi, kan?” tanyamu seraya menyalakan ujung kertas putih itu.
“Iyup, bukan daun ubi. Itu hanya dedaunan kering yang kutemukan di tengah Hutan A****n yang digiling langsung oleh alam dan difermentasi oleh hewan. Puas!” Dia tampak sedikit meninggikan nada suaranya, tetapi di saat yang bersamaan tercipta tawa di antara kalian berdua.
Dia menatapmu dengan senyum terukir indah, sedangkan kamu terus tertawa seraya menghisap sebatang rokok di tangan, “Ada apa dengan tatapanmu itu, apakah ada yang salah?”
“Tidak. Hanya saja ... apa kita memang diperbolehkan merokok di dalam rumah sakit? Bukankah di dalam ruangan ini terdapat begitu banyak barang yang mudah terbakar?” tanyanya.
“Iyup, salah sedikit saja kita semua akan mati. Tapi, bukankah semua ini jauh lebih menyenangkan? Kalau terbakar kemudian meledak, kita berdua bisa mati dan pergi ke neraka jalur prestasi,” candamu lirih seraya terus menghisap rokok.
“Cepatlah ke luar dari sini, karena ada banyak hal yang tidak bisa kau lihat hanya dengan menatap dunia dari jendela. Ini kali terakhir aku menjengukmu, jaga dirimu baik-baik ... Kakak.” Sekali lagi, sebuah perpisahan datang sebagai hadiah dari Sang Tuhan. Entah hukuman atau mungkin sebuah kutukan, kamu selalu saja menderita dan kehilangan orang yang disayang.
07 November 2021
Semua kembali seperti sedia kala, sepi dan sunyi menjadi teman setia. Semenjak hari itu, kamu tidak pernah lagi bertemu ataupun melihatnya. Namun, di saat yang bersamaan setitik terang muncul di tengah kegelapan. Sebuah pertemuan dengan berbagai macam orang, sedikit membuatmu kembali membuka mata walaupun masih sepenuhnya tertutup topeng bertema luka.
Duniamu kini tidak lagi terlalu gelap, akan tetapi dipenuhi sandiwara di mana kamu terus tertawa dan mencoba menghibur mereka tanpa pernah peduli ataupun paham dengan perasaan sendiri. Kamu mungkin terpaku untuk menciptakan dunia yang dipenuhi tawa dan bahagia, tetapi semua itu hal yang mustahil karena kamu bukanlah Tuhan yang bisa melakukan segalanya.
Secangkir kopi hangat, menjadi peneman bagi hati yang dipenuhi kesedihan. Mata selalu saja menatap ke arah jalanan yang tak henti-hentinya dipenuhi riuh klakson kendaraan. Ramai orang lalu-lalang, mulai sendiri hingga berpasangan.
“Permisi, apa saya boleh duduk di sini? Sepertinya sudah tidak ada tempat lain yang bisa saya tempati.” Di saat tengah menikmati kesendirian, seorang wanita secara mengejutkan datang dan menyapa seraya bertanya. Namun, kamu hanya memandanginya tanpa mengucapkan sepatah kata hingga membuatnya salah duga dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Ma-maaf jika saya mengganggu. Sepertinya Anda tengah menunggu seseorang dan telah memesan meja ini untuk teman atau pasangan. Sekali lagi maafkan atas sikap saya.” Baju putih panjang dan celana hitam tampak cocok dan membuatnya semakin menawan. Rambut terikat dengan lesung di pipi, menambah kesan ayu pada kulit mulus nan putih itu. Baru saja melangkah menjauh, kamu membuka kata dengan lirih walau sedikit tidak sopan.
“Tidak, silakan saja duduk di sini.” Kamu hanya menatapnya sejenak, sebelum kembali menatap jalanan di luar sana. Kursi tergerak dan pelayan menghampiri kalian.
“Mau pesan apa, Kak?” tanya Pelayan itu kepada kalian.
Terus saja bersikap acuh tak acuh akan hal sekitar, bahkan hanya untuk menatap mereka saja kamu enggan. Dia kembali membuka kata, bertanya kepadamu, “Permisi Tuan, apakah ada yang ingin Anda pesan selain kopi?”
“Tidak, terima kasih.” Singkat, padat dan jelas, kamu selalu saja mengatakan segala hal dengan inti sarinya. “Ada apa? Kenapa kalian menatapku seperti itu? Apakah ada yang salah dengan ucapanku?” tanyamu lirih ketika sadar mendapat tatapan yang sangat menjengkelkan.
Mereka pun hanya terdiam, dan pelayan itu kian menjauh dari kalian. Dia terus menatapmu, seolah-olah ada hal yang salah. “Oh iya, kenalin ak—“
“Tidak tertarik, terima kasih. Semua orang yang duduk di sana selalu mengatakan hal yang sama hingga akhirnya mengajakku untuk bercinta,” selamu lirih.
Wajahnya langsung memerah, kedua mata terbelalak. “Kau ... hump!” Kedua pipinya mengembung bak seekor tupai tengah menyimpan makanan seraya mengalihkan pandangan darimu dengan kedua tangan menyilang di depan dada.
“Hahaha ... aku hanya bercanda, Nona. Jadi, siapa namamu?” tanyamu seraya tergelak.
“Lucy Tri Chyntia, itulah namaku.” Dengan nada sedikit berat dan wajah sedikit kesal, dia menjawab semuanya. Namun, hal itu malah membuatmu tertawa sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. “Hump! Apa hanya itu saja yang ingin kau tanyakan?” tanyanya kesal.
“Hmm ... iya, hanya itu. Mungkin sebuah keberuntungan bagiku bisa mengetahui nama seorang wanita dengan parah yang cantik jelita.” Kata-katamu membuatnya terdiam dan tersipu. Di saat keheningan menyapa, dan dia seolah hendak membuka kata. Pelayan itu datang lagi dan meletakkan secangkir kopi hangat dan seporsi besar hidangan khas kedai tersebut ‘La Rousi’. Sebuah hidangan dengan berbagai macam sayuran dan daging tersusun rapi ditambahkan berbagai macam toping seperti keju dan coklat.
Makanan manis dan menyehatkan tersuguh di hadapan kalian. Di saat yang bersamaan, terdengar lirih suara gemuruh. “Iks!” Wajahnya memerah dengan kedua tangan menutup mulut seolah tengah menutupi suatu hal yang memalukan.
“Ada apa?” tanyamu lirih seraya perlahan mulai mengambil pisau dan garpu, “kenapa kau tersipu?”
“Si-siapa yang tersipu? Jangan bercanda, mana mungkin aku tersipu karena orang aneh sepertimu,” ujarnya seraya memainkan rambut.
“Hmm ... boleh aku bertanya sesuatu?” Kedua alis sedikit menurun, netra tajam tertuju padanya dengan kedua tangan menjadi penyanggah dagu. Kepalanya teranggukan beberapa kali, dengan mulut sedikit ternganga. “Sebenarnya siapa yang Nona tunggu? Ataukah ... aku mengerti, Nona hanya berjalan seorang diri karena jomblo akut,” godamu seraya tersenyum.
Kedua netramu tertuju padanya, membuka kata seraya mengangkat secangkir kopi di atas meja, “Jika berkenan, bolehkah saya tahu siapa yang sedang Nona tunggu?”“Aku sedang tidak menunggu siapa pun,” jawabnya lirih membuatmu tergelak karenanya, “kenapa kau tertawa? Apakah ada yang lucu dari kata-kataku?”“Tidak, aku hanya terkejut saja. Bagaimana mungkin wanita secantik Nona tidak memiliki pasangan.” Kata-katamu membuatnya terdiam, di saat yang bersamaan wajahnya kian memerah seraya menatapmu tajam dengan salah satu tangan terkepal. Wajahnya langsung mendekatimu, sedangkan tangan kiri langsung mencubit tanganmu.“Au, sakit! Kenapa Nona mencubitku?” tanyamu merengek seraya mengelus-elus tangan.“Hmm ... entah? Tanganku bergerak sendiri.” Wajah polos nan lugu membuatmu terdiam dan terpaku. Senyum lirih terukir di wajahnya, dan dengan
Pertemuan yang sangat tidak menyenangkan, akan tetapi biasanya berakhir dengan penuh warna. Sebuah pertemuan awal yang memiliki kesan beragam. Di tengah terangnya jalanan berhias gemerlap bintang dan rembulan, kamu berjalan seorang diri dengan wajah sayu.Sesekali kamu tertawa, berlari bahkan sempoyongan seperti orang mabuk. Entah ketika dikeramaian ataupun kesepian, kamu tetap bertingkah demikian seolah tidak memiliki kepribadian. Sesekali terdengar suara senandung yang diakhiri tawa.Berhenti sejenak, membeli beberapa minuman keras. Duduk seorang diri di tengah taman berteman lampu jalanan seraya meneguk sebotol minuman keras dengan penuh kenikmatan. Kursi panjang menjadi sandaran untukmu berbaring. Tangan kanan memegang sebotol minuman, sedangkan kiri memegang sebatang rokok untuk dihisap. Matamu perlahan kian layu, menutup dengan rapat hingga akhirnya tertidur dengan lelapnya.Ayam kembali berkokok, rembulan kian mer
Sebuah pelukan hangat, seolah membalut luka dan hati yang tengah tersiksa. Menenangkan jiwa yang tengah menderita, membuatmu terdiam dengan netra berkaca dan sedikit membesar. Pandanganmu sedikit memudar, tanpa sadar air mata jatuh membasahi ufuk pipi. Kamu usap air mata dalam dekapannya, menatap sekitar dengan penuh tanda tanya.“Kumohon ... kumohon jangan pernah melakukan hal itu lagi.”“Apa yang kau ka—““Berjanjilah padaku, bahwa kamu tidak akan pernah mencoba untuk bunuh diri lagi, kumohon. Berhentilah berpikir bahwa kamu selalu seorang diri, ada begitu banyak orang di sisimu. Karena itu ... hentikanlah tindakan bodohmu itu. Jika kamu tidak memiliki tujuan hidup, tidak apa. Jadilah orang baik dan jalani hidup sesukamu, lakukan apa pun yang kau suka selama tidak membahayakanmu,” selanya seraya terisak dan memelukmu erat.Hening menjadi jawaban, senyum lir
Dipeluk erat seorang wanita, mendengar sebuah kata ungkapan cinta membuatmu tersenyum tanpa bicara. Kamu lepaskan pelukannya, pergi menjauh tanpa suara. “Terima kasih.” Lirih suaramu tidak dapat didengar siapa pun, memberikan kesan kebencian terhadap semua orang.Sikap dingin tanpa pandang bulu dan kearoganan yang membuatmu dibenci banyak orang, walau demikian sama sekali tidak kamu pedulikan. Kamu tersenyum sejenak, menoleh ke belakang dan menatapnya yang tengah termenung seraya mengusap air mata. “Haa ... merepotkan. Sampai kapan aku harus terus berpura-pura? Sialan! Sampai kapan aku harus memainkan peran ini? Haa ... ternyata benar kematian adalah hadiah terindah bagi mereka yang berputus asa,” ujarmu lirih di bawah sinar mentari.Setelah cukup lama berada di rumah sakit, hal pertama yang kamu lakukan adalah membaca. Mungkin semua orang akan sangat sayang dan rindu dengan rumah, tetapi bagimu semua itu hannyalah ba
Tatapan mata setajam pisau, terdiam menatapmu dalam diam dan tangan terkepal. “Berisik!” Tendangan kembali terlayangkan, sebuah pukulan kembali di daratkan walaupun jelas sudah wajahnya berlumuran darah segar. Kamu terus saja tertawa padahal sudah hampir sekarat dibuatnya seraya berkata, “Kenapa berhenti? Teruskan, buat aku lebih bahagia dan kemudian bunuhlah aku selayaknya kamu membunuh seekor nyamuk. Pada laci di kamar nomer dua terdapat sebuah pistol. Kau bisa menggunakannya untuk mengirimku ke neraka.”Dia kembali menendangmu, membuat tubuh menghantam dinding. “Berisik! Diam kau, bajingan!” Suaranya menggema ke seluruh ruangan, amarah mencuat membuatnya kembali menghajarmu dalam waktu yang lama. Ketika melihatmu terbaring lemah tidak berdaya, dia mendekat perlahan seraya mengulurkan tangan.Netra tajam yang dipenuhi kesedihan, menatapmu dengan penuh belas kasihan. “Bagaimana? Jika kamu memang ben
“Terima kasih, berkatmu semua terasa lebih indah, dan bersamamu Lucy merasa sangat bahagia.” Di bawah langit hitam dipenuhi gemerlap bintang, sebuah kecupan hangat mendarat tepat di keningmu. Di depan rumah yang terlihat begitu megah, dia meninggalkanmu seorang diri dengan wajah tersipu. Kamu terdiam, kemudian tersenyum menatapnya berlari kecil memasuki rumah itu.Perlahan kamu mulai menjauh, berbalik arah ketika melihatnya memasuki rumah bertingkat nan indah itu. “Haa ... sialan, ternyata dia orang kaya? Menyerah sajalah, toh dia juga pasti sudah memiliki pasangan. Mungkin kami hanya ditakdirkan bertemu, bukan bersatu. Ingat, semakin tinggi kau berharap, semakin besar pula luka yang kau terima.” Entah mengingatkan diri sendiri atau hanya sekadar bergumam tanpa arti, kata-katamu begitu menyiksa dan sekaligus bermakna untuk dipahami. Jarak semakin menjauh, sebuah suara memekakkan telinga membuatmu menoleh ke sumber suara. Dia melambaikan t
“Hei, apa kau tahu jika pukulanmu itu terasa sangat menyakitkan?” Seraya tersenyum dan menahan rasa sakit, kamu membalas pukulan pria itu. Tidak tanggung-tanggung, kaki dan tangan dengan lincahnya menghantam tubuhnya, membuat pria itu terjatuh dan tidak berkutik di hadapanmu. Suara mereka seolah tidak sampai di telinga—sebagian hanya bisa berteriak, dan sebagian lagi mencoba untuk menghentikanmu walaupun semua sia-sia.Kedua tangan bahkan wajah kian bersimbah darah. Hidung dan mulut pria itu mengeluarkan darah—membuatmu semakin bersemangat dan tertawa dengan lantang—menduduki tubuhnya seraya melayangkan pukulan bertubi-tubi di wajah. Kengerian itu terhenti ketika lebih dari 5 orang menahan tubuhmu. Namun, tetap saja kamu terus meronta dan menatapnya dengan hasrat membunuh yang kuat. Bahkan dengan 5 orang sekalipun, masih sulit bagi mereka untuk menahan pergerakanmu.Tubuh kecil dan kurus itu, ternyata memiliki begitu banyak kekuatan yang tersimpan d
Cahaya mentari kini berada di puncak tertinggi, memberikan kehangatan bagi mereka yang tengah kedinginan, memberikan kenyamanan bagi mereka yang takut akan kegelapan. Kalian tengah duduk di ruang tamu dan kedua netra saling menatap. Hening dan sunyi, seolah menjadi pertanda akan hadirnya sebuah badai dalam pertengkaran kecil sebuah hubungan bernama pertemanan.“Ke mana saja kamu selama sebulan ini?” Kedua telapak tangan saling bersilang menjadi penyangga bagi dagu yang rapuh. Manik hitam pekat menatapmu tanpa sedikit jeda untuk berpaling. Kamu mencoba menciptakan tawa, tetapi seketika terhenti ketika mendengar sebuah kata bernada tinggi darinya. “Jangan mencoba untuk mengalihkan pembicaraan,” ujarnya lirih.“Hmm ... hanya berkeliling mencari udara segar,” jawabmu lirih seraya tersenyum, “menarik, ‘kan?”“Kenapa tidak jujur saja kalau selama 1 bulan ini kamu mend