Share

Syair Baru nan Sunyi

Bersandar di jendela, menatap langit biru di luar sana seraya tersenyum seolah tengah membayangkan sesuatu yang sangat indah. Kamu membiarkan angin sepoi mengurai rambutmu, membuatmu berkedip beberapa kali ketika terdapat hewan kecil memasuki mata. Bersenandung, hanya hal kecil itu yang kamu lakukan di dalam ruangan dan selalu seperti itu setiap harinya.

Kembali terdengar ketukan dan suara seorang pria dari luar ruangan, tetapi ketidakpedulian menjadi jawaban singkat nan jelas. “Yo, apa kabar?” Dia langsung bertanya ketika baru saja memasuki ruangan, sedangkan kamu hanya terus menatap langit di luar sana.

“Oh, ayolah. Kenapa kau sebegitunya benci padaku? Padahal aku hanya bertanya,” ujarnya lirih.

Matamu melirik tajam ke arahnya, rambut merah dengan gaya aneh–memiliki rambut panjang di antara telinga tetapi pendek di bagian belakang dan gaya yang acak-acakan–membuat darah seketika mendidih. “Ada urusan apa kemari, Leon?” tanyamu lirih dengan tajam, “kupikir kau sudah mati?”

“Mulutmu ... haa, masih saja tajam seperti biasanya. Aku ke sini hanya ingin menjengukku, tetapi sepertinya kau baik-baik saja. Kuharap kau akan segera ke luar, aku ingin bermain lagi seperti sebelumnya bersamamu,” jelasnya lirih.

“Bermain? Haa ... kenangan yang indah. Tapi mungkin hal itu tidak akan pernah terjadi lagi.” Matamu kembali menatap langit biru, mengabaikan segala pertanyaan dan kata-kata yang ia lontarkan. Kesedihan tampak kembali terukir, dan perlahan mulai kembali terlintas keinginan untuk kembali menghilang, “Mau ikut aku pergi gak, Leon?” tanyamu lirih seraya menatapnya dengan senyuman hangat nan dingin dan mengulurkan tangan.

“Hentikan kegilaanmu itu, aku sudah tidak kuat lagi selalu saja membawa dan menghentikanmu bunuh diri. Selain itu, biaya rumah sakit tidak bisa selamanya kutanggung seorang diri, apalagi kamu yang hanya seorang pengangguran dan mantan kriminal dunia bawah!” tegasnya dengan kedua tangan terkepalkan.

“Hehehe ... maaf, aku kan hanya bercanda. Tidak perlu diambil serius. Lagian walaupun aku serius, kau sendiri pasti akan menghentikan dan menghajarku seperti biasa,” lirihmu seraya tergelak.

“Terserah kau saja. Lakukan saja sesukamu, dan jangan merepotkanku lagi. Kali ini jika kamu melompat dari jendela, aku tidak akan membantumu lagi. Silakan pilih sendiri, mati bunuh diri karena alasan bodoh atau berjalan dan mencari arah dan tujuan baru!” Asap terkepul di dalam ruangan, sebungkus rokok tersuguh di hadapanmu. Mata melirik sinis ke arahnya, salah satu tangan mengambil sebatang bahan asap untuk dihisap.

“Koreknya mana?” tanyamu seraya mengulurkan tangan.

Seraya terkekeh, ia langsung memberikanmu korek api. “Ini bukan daun ubi, kan?” tanyamu seraya menyalakan ujung kertas putih itu.

“Iyup, bukan daun ubi. Itu hanya dedaunan kering yang kutemukan di tengah Hutan A****n yang digiling langsung oleh alam dan difermentasi oleh hewan. Puas!” Dia tampak sedikit meninggikan nada suaranya, tetapi di saat yang bersamaan tercipta tawa di antara kalian berdua.

Dia menatapmu dengan senyum terukir indah, sedangkan kamu terus tertawa seraya menghisap sebatang rokok di tangan, “Ada apa dengan tatapanmu itu, apakah ada yang salah?”

“Tidak. Hanya saja ... apa kita memang diperbolehkan merokok di dalam rumah sakit? Bukankah di dalam ruangan ini terdapat begitu banyak barang yang mudah terbakar?” tanyanya.

“Iyup, salah sedikit saja kita semua akan mati. Tapi, bukankah semua ini jauh lebih menyenangkan? Kalau terbakar kemudian meledak, kita berdua bisa mati dan pergi ke neraka jalur prestasi,” candamu lirih seraya terus menghisap rokok.

“Cepatlah ke luar dari sini, karena ada banyak hal yang tidak bisa kau lihat hanya dengan menatap dunia dari jendela. Ini kali terakhir aku menjengukmu, jaga dirimu baik-baik ... Kakak.” Sekali lagi, sebuah perpisahan datang sebagai hadiah dari Sang Tuhan. Entah hukuman atau mungkin sebuah kutukan, kamu selalu saja menderita dan kehilangan orang yang disayang.

07 November 2021

Semua kembali seperti sedia kala, sepi dan sunyi menjadi teman setia. Semenjak hari itu, kamu tidak pernah lagi bertemu ataupun melihatnya. Namun, di saat yang bersamaan setitik terang muncul di tengah kegelapan. Sebuah pertemuan dengan berbagai macam orang, sedikit membuatmu kembali membuka mata walaupun masih sepenuhnya tertutup topeng bertema luka.

Duniamu kini tidak lagi terlalu gelap, akan tetapi dipenuhi sandiwara di mana kamu terus tertawa dan mencoba menghibur mereka tanpa pernah peduli ataupun paham dengan perasaan sendiri. Kamu mungkin terpaku untuk menciptakan dunia yang dipenuhi tawa dan bahagia, tetapi semua itu hal yang mustahil karena kamu bukanlah Tuhan yang bisa melakukan segalanya.

Secangkir kopi hangat, menjadi peneman bagi hati yang dipenuhi kesedihan. Mata selalu saja menatap ke arah jalanan yang tak henti-hentinya dipenuhi riuh klakson kendaraan. Ramai orang lalu-lalang, mulai sendiri hingga berpasangan.

“Permisi, apa saya boleh duduk di sini? Sepertinya sudah tidak ada tempat lain yang bisa saya tempati.” Di saat tengah menikmati kesendirian, seorang wanita secara mengejutkan datang dan menyapa seraya bertanya. Namun, kamu hanya memandanginya tanpa mengucapkan sepatah kata hingga membuatnya salah duga dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Ma-maaf jika saya mengganggu. Sepertinya Anda tengah menunggu seseorang dan telah memesan meja ini untuk teman atau pasangan. Sekali lagi maafkan atas sikap saya.” Baju putih panjang dan celana hitam tampak cocok dan membuatnya semakin menawan. Rambut terikat dengan lesung di pipi, menambah kesan ayu pada kulit mulus nan putih itu. Baru saja melangkah menjauh, kamu membuka kata dengan lirih walau sedikit tidak sopan.

“Tidak, silakan saja duduk di sini.” Kamu hanya menatapnya sejenak, sebelum kembali menatap jalanan di luar sana. Kursi tergerak dan pelayan menghampiri kalian.

“Mau pesan apa, Kak?” tanya Pelayan itu kepada kalian.

Terus saja bersikap acuh tak acuh akan hal sekitar, bahkan hanya untuk menatap mereka saja kamu enggan. Dia kembali membuka kata, bertanya kepadamu, “Permisi Tuan, apakah ada yang ingin Anda pesan selain kopi?”

“Tidak, terima kasih.” Singkat, padat dan jelas, kamu selalu saja mengatakan segala hal dengan inti sarinya. “Ada apa? Kenapa kalian menatapku seperti itu? Apakah ada yang salah dengan ucapanku?” tanyamu lirih ketika sadar mendapat tatapan yang sangat menjengkelkan.

Mereka pun hanya terdiam, dan pelayan itu kian menjauh dari kalian. Dia terus menatapmu, seolah-olah ada hal yang salah. “Oh iya, kenalin ak—“

“Tidak tertarik, terima kasih. Semua orang yang duduk di sana selalu mengatakan hal yang sama hingga akhirnya mengajakku untuk bercinta,” selamu lirih.

Wajahnya langsung memerah, kedua mata terbelalak. “Kau ... hump!” Kedua pipinya mengembung bak seekor tupai tengah menyimpan makanan seraya mengalihkan pandangan darimu dengan kedua tangan menyilang di depan dada.

“Hahaha ... aku hanya bercanda, Nona. Jadi, siapa namamu?” tanyamu seraya tergelak.

“Lucy Tri Chyntia, itulah namaku.” Dengan nada sedikit berat dan wajah sedikit kesal, dia menjawab semuanya. Namun, hal itu malah membuatmu tertawa sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. “Hump! Apa hanya itu saja yang ingin kau tanyakan?” tanyanya kesal.

“Hmm ... iya, hanya itu. Mungkin sebuah keberuntungan bagiku bisa mengetahui nama seorang wanita dengan parah yang cantik jelita.” Kata-katamu membuatnya terdiam dan tersipu. Di saat keheningan menyapa, dan dia seolah hendak membuka kata. Pelayan itu datang lagi dan meletakkan secangkir kopi hangat dan seporsi besar hidangan khas kedai tersebut ‘La Rousi’. Sebuah hidangan dengan berbagai macam sayuran dan daging tersusun rapi ditambahkan berbagai macam toping seperti keju dan coklat.

Makanan manis dan menyehatkan tersuguh di hadapan kalian. Di saat yang bersamaan, terdengar lirih suara gemuruh. “Iks!” Wajahnya memerah dengan kedua tangan menutup mulut seolah tengah menutupi suatu hal yang memalukan.

“Ada apa?” tanyamu lirih seraya perlahan mulai mengambil pisau dan garpu, “kenapa kau tersipu?”

“Si-siapa yang tersipu? Jangan bercanda, mana mungkin aku tersipu karena orang aneh sepertimu,” ujarnya seraya memainkan rambut.

“Hmm ... boleh aku bertanya sesuatu?” Kedua alis sedikit menurun, netra tajam tertuju padanya dengan kedua tangan menjadi penyanggah dagu. Kepalanya teranggukan beberapa kali, dengan mulut sedikit ternganga. “Sebenarnya siapa yang Nona tunggu? Ataukah ... aku mengerti, Nona hanya berjalan seorang diri karena jomblo akut,” godamu seraya tersenyum.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status