Share

Sajak Kerinduan

Pertemuan yang sangat tidak menyenangkan, akan tetapi biasanya berakhir dengan penuh warna. Sebuah pertemuan awal yang memiliki kesan beragam. Di tengah terangnya jalanan berhias gemerlap bintang dan rembulan, kamu berjalan seorang diri dengan wajah sayu.

Sesekali kamu tertawa, berlari bahkan sempoyongan seperti orang mabuk. Entah ketika dikeramaian ataupun kesepian, kamu tetap bertingkah demikian seolah tidak memiliki kepribadian. Sesekali terdengar suara senandung yang diakhiri tawa.

Berhenti sejenak, membeli beberapa minuman keras. Duduk seorang diri di tengah taman berteman lampu jalanan seraya meneguk sebotol minuman keras dengan penuh kenikmatan. Kursi panjang menjadi sandaran untukmu berbaring. Tangan kanan memegang sebotol minuman, sedangkan kiri memegang sebatang rokok untuk dihisap. Matamu perlahan kian layu, menutup dengan rapat hingga akhirnya tertidur dengan lelapnya.

Ayam kembali berkokok, rembulan kian meredupkan kilaunya. Saatnya sang mentari memberi kehidupan, kirana dipenuhi kebahagiaan terasa di sepanjang mata memandang. Perlahan terbangun dari tidur, wajah kusam nan kusut serta penampilan acak-acakan membuatmu terlihat sangat lucu. Taman yang sebelumnya sepi, kini perlahan mulai didatangi banyak orang. Mereka berlari kecil, bermain atau hanya sekadar melihat-lihat.

Tatapan mereka semua hampir terfokus padamu, tetapi tetap saja tidak dipedulikan. Salah satu tangan menggaruk-garuk perut, membuka baju dan perlahan mulai berdiri dan melangkahkan kaki. “Haa ... merepotkan saja. Kenapa aku sampai tertidur di sini? Haaa ....” Kamu terus saja menggerutu, mengabaikan setiap orang yang menghampiri dan menertawakan.

Kamu mengeluarkan sebungkus rokok, mengambil sebatang dari dalamnya. Dinyalakan korek api, membakar ujung rokok kemudian dihisap perlahan. Embusan asap putih terkepul di udara, membuatmu tersenyum kemudian berkata, “Haaa .... kapan semua ini akan berakhir? Merepotkan saja.”

“Apa yang merepotkan? Kenapa kamu terus-terusan menghela napas dan mengatakan, ‘haaa ... merepotkan.” Seorang wanita secara tiba-tiba bergabung dalam pembicaraanmu, bertanya tentang banyak hal.

“Siapa kau?” tanyamu menatapnya.

“Heee ... jahat kau. Aku Lucy, kemarin kita bertemu di kedai Arion,” ujarnya merengek.

Kamu diam, berhenti dan menatapnya kemudian teralihkan ke arah langit. “Entah, lupa aku.” Sedikit, tetapi sangat menyakitkan. Kata-katamu membuatnya terdiam, netra berpinar dan langsung melayangkan pukulan.

“Hahaha ... aku bercanda, jangan marah gitu dong. Atau jangan-jangan ... uwu, ternyata Nona Lucy benar-benar menyukaiku,” godamu seraya terkekeh dan berpose aneh.

“Apaan sih, gak lucu!” Wajahnya memerah, pipinya mengembung bak balon, kedua tangan bersilang di dada, membuatmu tak sanggup menahan tawa. Wajahnya semakin memerah dan sekali lagi melayangkan pukulan di tempat yang sama.

“Oh ayolah, sakit tahu. Lagian kenapa Nona bisa ada di sini? Jangan bilang Nona mengikutiku?” tanyamu sedikit bercanda.

“Dih, ogah. Pd amat lu. Buat apa juga ngikutin lu,” ketusnya kesal.

“Haaa ... iya-iya, maaf aku hanya bercanda. Kalau begitu aku pergi dulu, sampai bertemu lagi.” Raut wajahmu kian memucat, sendu napas berembus lirih dan langkahmu terdengar begitu sayu. Dia menggenggam tanganmu, seolah enggan ditinggal seorang diri. “Apa yang kau inginkan, Nona?” tanyamu dengan kerutan di wajah.

Mulutnya masih tertutup rapat, kedua netra berkaca dengan air mata di penghujung kelopak. Genggaman tangannya semakin kencang, kepalanya kian menunduk. Kamu tersenyum, menggenggam tangannya kemudian melepaskannya secara paksa. Tanpa menoleh ke belakang, kamu langkahkan kedua kaki lebih cepat dari sebelumnya.

Kamu berlari di menjauh darinya, walau pada akhirnya kembali untuk bertanya. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Katakan saja jika aku bisa membantu, akan kulakukan.” Kata-katamu membuatnya tertegun. Perlahan air mata jatuh membasahi pipi, membuat wajah putih menjadi merah.

“Ti-tidak ada apa-apa kok, semua baik-baik sa-hiks ....”

“Aku tahu jika kita baru saja bertemu, tetapi aku punya sedikit nasihat untukmu. Jangan pernah mencoba untuk menggenggam dunia seorang diri, karena itu bisa membuatmu terjatuh lebih dalam. Carilah satu orang yang benar-benar bisa Nona percaya dan membantumu berjalan di dunia yang penuh sandiwara,” ujarmu seraya mengusap air matanya dengan senyum lembut menghias wajah.

“Terima kasih, akan selalu kuingat kata-katamu. Aku merasa lebih baik se–hiks ... a-aku pergi dulu. Maaf mengganggu.” Berlinang air mata, dia pergi meninggalkanmu seorang diri. Matamu terus tertuju padanya, hingga menghilang di tengah keramaian. Sebuah nama yang mungkin terngiang, membangkitkan sedikit rasa terpendam. Senyum lirih tertanam, membuat langit menjadi lebih cerah menyaksikannya.

Kaki kembali melangkah, membawa tubuh entah ke mana. Senyam-senyum seorang diri di jalanan, kedua tangan saling bersilang di belakang kepala dan kembali berhenti di perpustakaan yang sama. Beberapa hari terakhir dihabiskan membaca di dalam perpustakaan, hingga membuatmu menjadi akrab dengan pustakawan dan beberapa pengunjung lainnya. Terlihat jelas kalian saling bertukar cerita, walaupun kamu lebih banyak diamnya.

Hampir setiap malam kamu selalu mencoba untuk bunuh diri dengan berbagai cara. Namun, entah mengapa selalu saja gagal dan gagal, entah karena berhenti di tengah jalan atau diselamatkan oleh teman. Kisah kelam terus berlanjut entah sampai kapan, dan selalu saja topeng yang digunakan adalah senyum dan bahagia.

Siang dan malam terasa sangat berbeda, sosok yang keluar pun sangat berlawanan. Siang mencari ceria selayaknya surya, sedangkan malam menjadi sangat kelam bak rembulan. Senyum hangat silih berganti suram, membuatmu tampak lebih gelap dari malam. Entah bagaimana dan dari mana ia bisa tahu, tetapi sahabatmu itu selalu ada di saat terpuruk dan hampir bunuh diri.

27 November 2021

Kirana membasuh tubuh hingga membuatmu membuka salah satu mata. Netra menatap ke segala arah, melihat ruangan putih dipenuhi alat medis. Tubuh kembali dipenuhi selang infus dan salah satu mata kembali terbalut perban. “Apa yang kulakukan di sini?” Kepalamu masih terasa pusing, muncul kerutan di kening dan wajah jauh dari kata pucat.

Terdiam sejenak, memikirkan apa yang terjadi. “Benar, aku mencoba bunuh diri dengan cara menusuk diri dan terjun dari lantai empat. Haaa ... sialan, tubuhku rasanya sakit semua. Kupikir akan mati, tapi ... hahahaha ... aku paham. Semenyenangkan itu membuatku menderita? Bahkan Tuhan pun tidak ingin aku meninggalkan dunia ini, agar bisa lebih tersiksa lagi.” Tawamu terdengar begitu kencang, membuat seseorang dengan cepat memasuki ruangan. Ia mematung di depan pintu menatapmu dengan penuh kerinduan dan kesedihan.

“Hmm ... aku paham, semua ini karenamu. Karena hadirnya dirimu, aku tidak akan pernah bisa menghilang dari dunia ini. Berhentilah ikut campur, aku sama sekali tidak mengganggumu ataupun merugikanmu. Karena itu ... berhentilah menyelamatkan hidupku!” teriakmu dipenuhi emosi.

“Ma-maaf, tapi kali ini bukan aku yang membantumu. Nona inilah yang membantumu,” ujarnya terisak.

“Kau ... kalian, berhentilah ikut campur ataupun peduli padaku! Bahkan aku sendiri sudah tidak peduli akan hidupku, men—“ Wanita itu langsung berlari ke arahmu, dan secara tiba-tiba langsung mendekap erat tubuhmu seraya terisak dalam diam. Pelukannya terasa begitu hangat, rasa sakitmu seolah melesap menjadi bahagia di antara luka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status