Sebuah pelukan hangat, seolah membalut luka dan hati yang tengah tersiksa. Menenangkan jiwa yang tengah menderita, membuatmu terdiam dengan netra berkaca dan sedikit membesar. Pandanganmu sedikit memudar, tanpa sadar air mata jatuh membasahi ufuk pipi. Kamu usap air mata dalam dekapannya, menatap sekitar dengan penuh tanda tanya.
“Kumohon ... kumohon jangan pernah melakukan hal itu lagi.”
“Apa yang kau ka—“
“Berjanjilah padaku, bahwa kamu tidak akan pernah mencoba untuk bunuh diri lagi, kumohon. Berhentilah berpikir bahwa kamu selalu seorang diri, ada begitu banyak orang di sisimu. Karena itu ... hentikanlah tindakan bodohmu itu. Jika kamu tidak memiliki tujuan hidup, tidak apa. Jadilah orang baik dan jalani hidup sesukamu, lakukan apa pun yang kau suka selama tidak membahayakanmu,” selanya seraya terisak dan memelukmu erat.
Hening menjadi jawaban, senyum lirih tercipta perlahan. Semua orang terlihat bingung dengan apa yang kamu lakukan. Perlahan kamu lepaskan diri dari pelukannya, mengusap lembut rambut pajang itu. “Terima kasih.” Tutur katamu membuat suasana kembali menjadi tenang, tetapi senyum dan mata suram tetap terpancar darimu.
Kecupan hangat mendarat di keningmu. Dia yang baru dikenal datang menghampiri, memberi harapan dan ketenangan. Hati enggan mengakui karena takut akan terjadi lagi, hal yang tidak diinginkan yaitu ditinggalkan. Sekali lagi ucapan terima kasih keluar dari mulutmu, tetapi semua itu seolah tertuju pada hal lain.
Perlahan mulai kamu lepas setiap selang infus dan alat medis yang tertancap pada tubuh, tetapi dihentikan olehnya. Mereka keluar, membiarkan kalian berdua di dalam ruangan. Saling menatap, hingga akhirnya dia membuka kata walaupun tetap diabaikan. Kamu terus menatap ke luar jendela, menyaksikan burung-burung terbang tinggi melintas awan. Seekor burung kecil masuk dan hinggap di jari, berkicau seraya menatapmu seolah paham dengan apa yang dirasakan.
“Wow, kamu hebat sekali. Burung itu sama sekali tidak takut, bahkan hingga di jarimu. Bisa ajari akau bagaimana caranya?” Keadaan yang sunyi, kini kembali riuh hanya dengan hinggapnya seekor burung di jarimu. Dia terus membuka kata, sedangkan kamu hanya tersenyum menatap burung kecil itu. Namun, ia hingga hanya sesaat hingga akhirnya kembali mengudara dan menikmati indahnya alam.
“Haa ... indah bukan?” Lirih suaramu begitu sendu, seakan tersirat kesedihan yang mendalam. Kamu tersenyum lirih kepadanya seraya berkata, “Terkadang ingin rasanya terbang tinggi di angkasa, melihat dunia yang penuh akan warna, membawakan pesan nuansa bahagia. Haa ... aku tahu semua itu fana, jika Nona ingin tertawa silakan saja. Aku tahu Nona pasti beranggapan bahwa aku aneh.”
“Tidak aneh kok, hanya saja aku sedikit terkejut mendengar kata-kata itu keluar darimu. Kupikir selama ini yang kamu pikirkan hanya tentang bunuh diri saja,” jawabnya.
“Hmm ... entahlah? Mungkin saja. Setiap orang memiliki persepsi dan pola pikir yang berbeda, karena itu lebih baik diam daripada bicara. Semakin dalam kamu tenggelam, semakin luas pula pengetahuan yang didapatkan. Pertanyaannya, apakah kamu mampu mengendalikan hasrat dan pengetahuan yang diberikan iblis?” Sinis matamu membuatnya terdiam, keheningan membasuh sukma menciptakan rasa takut. Kata-katamu begitu singkat, tetapi tersirat sejuta makna.
“Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan. Aneh, tapi ... arghh ... aku gak paham sama sekali. Sebenarnya apa maksudmu?” tanyanya tertegun menatapmu.
“Entahlah?” Matamu menatap ke arah tangan kiri yang dibalut perban. “Aneh, bahkan setelah banyaknya bagian tubuhku yang terluka, aku sama sekali tidak merasakan apa pun. Haa ... aku mengerti, bahkan hatiku telah berubah menjadi iblis, atau jiwaku telah pergi meninggalkan jasad ini,” lanjutmu lirih seraya terkekeh.
Percakapan terhenti, mereka kembali memasuki ruangan. Wajah ceria dan riuh suara kembali terdengar, buket tergenggam dengan varian buah di keranjang. Mereka duduk di dekatmu, menanyakan tentang kabar. Hanya terdiam menatap dengan raut wajah datar, membuatnya mereka terlihat sedikit kesal.
Dua orang pria, dan satu wanita. Mereka menahanmu untuk pergi dari rumah sakit, sebab luka yang diderita lebih parah dari kelihatannya. Menderita dalam rasa sakit bernama kesepian dan kehilangan, membuatmu enggan untuk menatap dunia dengan logika ataupun hati.
Satu bulan lebih telah berlalu, kamu akhirnya ke luar dari rumah sakit dengan kondisi prima. Wajah dan mata sayu serta hasrat mati masih tertanam di lubuk hati walau kini sedikit berkurang berkat hadirnya seorang teman. Bahkan ketika keluar, mereka tetap mendampingi. Tatapan tajam terus terarah padamu, seolah tengah mengamati seorang penjahat.
“Hmm ... jadi ... mau sampai kapan kalian mengikutiku? Dan juga, bukankah Nona Lucy memiliki masalah sendiri yang harus dilakukan?” tanyamu menghentikan langkah dengan salah satu tangan dan mata terbalut perban.
“Sebenci itukah kamu denganku? Sampai-sampai hanya dengan melihatku bisa membuat moodmu hancur.” Blnar di matanya tampak lebih berkilau berkat air mata yang hampir jatuh ke permukaan. Mereka menatapmu sini, wanita itu pergi menjauh seraya menangis.
“Seperti biasa, kamu selalu saja menghancurkan dirimu sendiri. Berhentilah menyiksa diri sendiri, karena ada banyak orang yang terkena imbasnya.” Temanmu, dia hisap kertas putih yang di dalamnya terdapat dedaunan kering. Asap putih terkepul, sejenak memudarkan pandangan.
“Diamlah, aku tahu betul tentang apa yang kulakukan. Aku juga tahu jika Lucy menyukaiku. Namun, kami hanya bertemu beberapa kali dan bagaimana mungkin ia menjadi begitu tertarik denganku? Aku lupa, itu bukan cinta, melainkan belas kasihan darinya. Sebenarnya apa yang kalian pikirkan? Apa yang kalian inginkan? Pergilah, Leon. Aku sama sekali tak butuh belas kasih kalian.”
“Hmm ... belas Kasihan? Terserah kamu sajalah, aku sudah terlalu lelah menghadapi sikapmu yang terlalu kekanak-kanakan. Mungkin kamu pikir dia baru mengenalmu, tetapi sayangnya kamu salah. Aku tahu jika kau itu sangatlah pintar, tetapi jangan mencoba melakukan segala hal sendirian. Jangan melibatkan orang lain dan membuat mereka yang sayang kepadamu meneteskan air mata. Mau seperti apa pun kau menyiksa dirimu sendiri, Rin tidak akan pernah bisa hidup kembali! Kuharap kau paham akan hal itu, aku pergi!” Dia pergi begitu saja, suaranya melengkapi dengan nada tinggi. Rokok di tangannya patah menjadi dua, wajah memerah dengan tangan terkepal.
Kamu hanya terdiam menatap kepergian mereka, tawa lirih tercipta diiringi air mata. Kembali menatap langit biru sejenak, kemudian tertunduk ke depan dan melangkahkan tanpa arah ataupun tujuan. Namun, tanpa diduga seseorang memelukmu dari belakang. Eratnya pelukan itu membuatmu merasa sedikit sesak. “Aku menyukaimu. Aku tidak peduli apa tanggapanmu tentangku, yang jelas aku mencintaimu,” ujarnya memelukmu erat dengan suara lirih.
Manik hitam dipenuhi kebencian kembali merekah, membuatmu terlihat semakin penuh akan gairah untuk meminum darah. Mata semerah darah, menatap mereka dengan tajam. Tubuhnya gemetar seolah tengah melihat setan, wajahnya memucat dan keringat dingin mulai membasahi tubuh. “A-apa yang kamu lihat?” tanyanya ketakutan.Mulut yang masih terpasang alat bantu bernapas, membuatmu tidak bisa berkata apa-apa. Namun, tatapan itu sudah menjelaskan segalanya. Manik hitam mencoba untuk memberikan isyarat agar melepaskan ikatannya dan melepaskan alat bantu yang ada di tubuhmu.Sayang, mereka tampak sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan. Waktu berlalu dengan begitu lama, dan ketika tubuhmu sudah pulih sepenuhnya, ikatan itu dilepaskan. Tujuan mereka bagus, tapi caranya membuatmu tersiksa hingga setiap malam mengutuk mereka.Baru saja terlepas dari ikatan, kamu langsung melompat dan mengambil vas bunga di atas
Noda merah kembali mewarnai tubuh yang terbalut perban putih, membuat langkah semakin berat dan pandangan perlahan buram. Rasa sakit perlahan menyebar ke sekujur tubuh, membuat napasmu terdengar lebih berat. “Haa ... sialan,” lirihmu sebelum akhirnya jatuh kembali.**“Haa ... sialan! Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa aku bis–dia?” Awalnya terlihat kesal dan ingin menggerutu, tetapi berubah menjadi terkejut ketika melihat wanita sebelumnya tengah tertidur dengan pulas di lantai hanya beralaskan tikar tanpa bantal dan selimut. “Apa yang wanita ini lakukan?” gumammu dipenuhi tanda tanya.Kamu juga semakin terkejut ketika melihat diri sendiri yang kini tengah bertelanjang dada dengan perban yang tampak baru. Hal itu terlihat jelas, karena sebelumnya ada sebuah noda darah di sana yang kini telah menghilang. Melihatnya, hatimu terasa sedikit sesak mengingat apa yang terjadi sebelumnya.Selain itu, kenyamanan yang mer
Hanya dengan peralatan seadanya, kamu berniat untuk menaklukkan sebuah villa yang dipenuhi banyak orang. Hanya dengan peralatan seadanya, kamu berniat untuk menaklukkan sebuah villa yang dipenuhi banyak orang. “Haaa ... merepotkan! Berapa banyak orang yang sebenarnya bisa di tampung oleh rumah tua itu, sialan!” hardikmu dengan kedua tangan terkepal.Hanya bisa menahan amarah seraya menatap dengan penuh kebencian, membuatmu harus kembali ke tempat semula untuk kembali menyusun rencana. Belum lagi uang yang hanya tersisa beberapa dolar dan Kurangnya senjata yang memadai, membuatmu merasa sangat kesal dan jengkel. Namun, kamu lupa bahwa tidak ada tempat tinggal di sana dan terpaksa harus tidur di jalanan.Udara dingin menusuk menembus tulang, membuatmu menggigil dengan hebat. Rasa hati ingin segera mati, tetapi semua hanya sebatas hasrat purba yang tidak akan pernah menjadi nyata. Di tengah malam, seorang pria datang menghampiri.
Tubuhmu langsung terpental ketika menerima bogem keras darinya, membuat netra menjadi gelap gulita untuk sejenak. Aneh tapi nyata, sedikit pun tidak terasa sakit bahkan setelah darah mengalir dari hidung. “Apa yang sebenarnya ada di kepalamu itu, Kakak! Kenapa kau selalu saja membuat masalah, membuat orang yang peduli dan sayang kepadamu menderita. Apa sebagai menyenangkannya melihat keluargamu menderita?” tanya Leon seraya terus menghajarmu.Ada orang lain yang melihat, tetapi hanya diam dan tersenyum seolah menikmati hal itu. Darah mengalir dari hidung, mulut bahkan kepala yang terluka karena terus-terusan menghantam lantai. Kamu hanya terdiam seraya menatapnya tajam, tetapi tersirat sebuah kesedihan sekaligus kebencian di sana.Hanya bisa pasrah dan membiarkannya memukulimu hingga puas, hingga akhirnya air mata menetes. Melihat hal itu, kamu tersenyum seraya memintanya agar tidak menangis lagi. Bahkan tanpa sadar kedua tangan
14 Juli 2022Ruangan itu masih sama, dipenuhi perlatan medis. Seorang wanita terkapar tidak berdaya dengan kondisi yang semakin memburuk setiap harinya. Terlihat jelas wajah itu menjadi sangat murka ketika mengetahui ada yang mencoba untuk mencelakinya.Tanpa pikir panjang, langsung kamu hubungi seorang kenalan dari dunia bawah untuk menyeret seorang pria ke hadapanmu dengan segera. “Jika kalian bisa membawanya ke hadapanku, akan kuberi semua yang kumiliki, termasuk alat itu!” Entah apa yang sebenarnya tengah kalian bicarakan, tetapi semua itu tertuju pada sesuatu yang sangat berbahaya.Kamu duduk di sebelah wanita itu, menggenggam erat tangannya dengan air mata mengaliri pipi. Ibu dan Ayah terlihat sangat menderita terlebih lagi saat tahu jika ada seseorang yang berniat untuk mencelaki putra dan putrinya. Hal itu tergambar jelas di wajah tua mereka, membuatmu semakin ‘tak kuasa menahan amarah.H
12 Juli 2022Beberapa hari di kota yang berbeda, membuat pikiran tidak tenang dan karuan. Sebuah nama selalu saja terkenang di kepala, membuat mata tidak bisa terpejam dengan lelap. Serasa sangat sesak dada setiap kali menatap rembulan di tengah malam.Ingatan dan kenangan mengalir bak air di sungai, menciptakan halusinasi dipenuhi gambaran riang membuat air mata terjatuh di bawah gemintang. Sebelum sempat mengusap, air mata mengering secara tiba-tiba seolah tidak pernah terjadi sebelumnya. Aksara seolah melesap dalam ingatan dan tinta yang menghiasi selembar kertas di atas meja.‘Tak jarang darah mengalir menghiasi meja dan segala hal yang ada, membasahi lantai hingga menjadi aroma khas dalam ruangan gelap nan sepi. Begitu banyak pisau dan obat-obatan tergelak di setiap sudut ruangan. Obat penenang dan obat tidur adalah salah satu yang paling banyak terlihat di sana.Kamu mengambil sebotol wadah kecil obat
sebuah jalanan gelap nan sunyi, tanpa seorang pun yang berani berjalan di sana. Sedikit terasa nuansa mencekam ketika menatap rumah tua di pinggir jalan dengan rumput ilalang dan beragam pohon menghiasi tamannya. “Haa ....” Seorang pria duduk di atas tubuh orang lain, dan begitu banyak tubuh yang terkapar di jalanan.Sebuah asap kelabu terkepul di udara, dan seorang pria tertawa terbahak-bahak di bawah langit hitam di bawah rembulan. Tubuh bersimbah darah dan beberapa luka, membuatmu terlihat selayaknya iblis yang turun ke dunia. Darah di tepi bibir, dijilat perlahan untuk merasakan sensasi yang berbeda.“Haa ... rasa yang memuakkan!” Selain darah di tepian bibir, darah di ujung belati dan tangan dijilati perlahan. Kedua manik hitam menatap rembulan sejenak, hingga terpejam dan hilang kesadaran untuk sesaat. Setelah terbangun, sifat dan warna matamu berubah menjadi sebiru lautan—lazuardi.
Air mata yang merembes itu jatuh tepat di atas wajahnya, mengalir dengan deras melewati sela pipi yang indah hingga akhirnya jatuh membasahi kasur. Kalian hanya bisa terpaku menatap wajah pucat itu yang kian melayu. Kalis nan indah wajahnya dulu, silih berganti dengan kusam dan kesedihan.Seandainya dia bisa kembali terbangun, kamu rela menukarkan nyawa demi melihatnya bahagia. Nyawa pemberian Sang Ilahi, akan jauh lebih bermakna jika membantu orang lain untuk terus berjalan. Sesaat sebelum pergi, kamu membisikan sesuatu di telinganya, berharap agar ia bisa mendengar dan kembali terbangun untuk memulai semuanya kembali.“Bu, Yah, aku permisi dulu. Aku masih harus bekerja lagi, maaf karena selalu merepotkan kalian. Jaga diri baik-baik, ya,” ujarmu lirih dan pergi lagi dari rumah sakit.Tidak lama setelah meninggalkan rumah sakit, kamu sadar jika ada yang mengikuti di belakang. Terus berpura-pura tidak tahu, da
Air mata yang merembes itu jatuh tepat di atas wajahnya, mengalir dengan deras melewati sela pipi yang indah hingga akhirnya jatuh membasahi kasur. Kalian hanya bisa terpaku menatap wajah pucat itu yang kian melayu. Kalis nan indah wajahnya dulu, silih berganti dengan kusam dan kesedihan.Seandainya dia bisa kembali terbangun, kamu rela menukarkan nyawa demi melihatnya bahagia. Nyawa pemberian Sang Ilahi, akan jauh lebih bermakna jika membantu orang lain untuk terus berjalan. Sesaat sebelum pergi, kamu membisikan sesuatu di telinganya, berharap agar ia bisa mendengar dan kembali terbangun untuk memulai semuanya kembali.“Bu, Yah, aku permisi dulu. Aku masih harus bekerja lagi, maaf karena selalu merepotkan kalian. Jaga diri baik-baik, ya,” ujarmu lirih dan pergi lagi dari rumah sakit.Tidak lama setelah meninggalkan rumah sakit, kamu sadar jika ada yang mengikuti di belakang. Terus berpura-pura tidak tahu, da