Share

Kembalinya Mentari

Sebuah pelukan hangat, seolah membalut luka dan hati yang tengah tersiksa. Menenangkan jiwa yang tengah menderita, membuatmu terdiam dengan netra berkaca dan sedikit membesar. Pandanganmu sedikit memudar, tanpa sadar air mata jatuh membasahi ufuk pipi. Kamu usap air mata dalam dekapannya, menatap sekitar dengan penuh tanda tanya.

“Kumohon ... kumohon jangan pernah melakukan hal itu lagi.”

“Apa yang kau ka—“

“Berjanjilah padaku, bahwa kamu tidak akan pernah mencoba untuk bunuh diri lagi, kumohon. Berhentilah berpikir bahwa kamu selalu seorang diri, ada begitu banyak orang di sisimu. Karena itu ... hentikanlah tindakan bodohmu itu. Jika kamu tidak memiliki tujuan hidup, tidak apa. Jadilah orang baik dan jalani hidup sesukamu, lakukan apa pun yang kau suka selama tidak membahayakanmu,” selanya seraya terisak dan memelukmu erat.

Hening menjadi jawaban, senyum lirih tercipta perlahan. Semua orang terlihat bingung dengan apa yang kamu lakukan. Perlahan kamu lepaskan diri dari pelukannya, mengusap lembut rambut pajang itu. “Terima kasih.” Tutur katamu membuat suasana kembali menjadi tenang, tetapi senyum dan mata suram tetap terpancar darimu.

Kecupan hangat mendarat di keningmu. Dia yang baru dikenal datang menghampiri, memberi harapan dan ketenangan. Hati enggan mengakui karena takut akan terjadi lagi, hal yang tidak diinginkan yaitu ditinggalkan. Sekali lagi ucapan terima kasih keluar dari mulutmu, tetapi semua itu seolah tertuju pada hal lain.

Perlahan mulai kamu lepas setiap selang infus dan alat medis yang tertancap pada tubuh, tetapi dihentikan olehnya. Mereka keluar, membiarkan kalian berdua di dalam ruangan. Saling menatap, hingga akhirnya dia membuka kata walaupun tetap diabaikan. Kamu terus menatap ke luar jendela, menyaksikan burung-burung terbang tinggi melintas awan. Seekor burung kecil masuk dan hinggap di jari, berkicau seraya menatapmu seolah paham dengan apa yang dirasakan.

“Wow, kamu hebat sekali. Burung itu sama sekali tidak takut, bahkan hingga di jarimu. Bisa ajari akau bagaimana caranya?” Keadaan yang sunyi, kini kembali riuh hanya dengan hinggapnya seekor burung di jarimu. Dia terus membuka kata, sedangkan kamu hanya tersenyum menatap burung kecil itu. Namun, ia hingga hanya sesaat hingga akhirnya kembali mengudara dan menikmati indahnya alam.

“Haa ... indah bukan?” Lirih suaramu begitu sendu, seakan tersirat kesedihan yang mendalam. Kamu tersenyum lirih kepadanya seraya berkata, “Terkadang ingin rasanya terbang tinggi di angkasa, melihat dunia yang penuh akan warna, membawakan pesan nuansa bahagia. Haa ... aku tahu semua itu fana, jika Nona ingin tertawa silakan saja. Aku tahu Nona pasti beranggapan bahwa aku aneh.”

“Tidak aneh kok, hanya saja aku sedikit terkejut mendengar kata-kata itu keluar darimu. Kupikir selama ini yang kamu pikirkan hanya tentang bunuh diri saja,” jawabnya.

“Hmm ... entahlah? Mungkin saja. Setiap orang memiliki persepsi dan pola pikir yang berbeda, karena itu lebih baik diam daripada bicara. Semakin dalam kamu tenggelam, semakin luas pula pengetahuan yang didapatkan. Pertanyaannya, apakah kamu mampu mengendalikan hasrat dan pengetahuan yang diberikan iblis?” Sinis matamu membuatnya terdiam, keheningan membasuh sukma menciptakan rasa takut. Kata-katamu begitu singkat, tetapi tersirat sejuta makna.

“Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan. Aneh, tapi ... arghh ... aku gak paham sama sekali. Sebenarnya apa maksudmu?” tanyanya tertegun menatapmu.

“Entahlah?” Matamu menatap ke arah tangan kiri yang dibalut perban. “Aneh, bahkan setelah banyaknya bagian tubuhku yang terluka, aku sama sekali tidak merasakan apa pun. Haa ... aku mengerti, bahkan hatiku telah berubah menjadi iblis, atau jiwaku telah pergi meninggalkan jasad ini,” lanjutmu lirih seraya terkekeh.

Percakapan terhenti, mereka kembali memasuki ruangan. Wajah ceria dan riuh suara kembali terdengar, buket tergenggam dengan varian buah di keranjang. Mereka duduk di dekatmu, menanyakan tentang kabar. Hanya terdiam menatap dengan raut wajah datar, membuatnya mereka terlihat sedikit kesal.

Dua orang pria, dan satu wanita. Mereka menahanmu untuk pergi dari rumah sakit, sebab luka yang diderita lebih parah dari kelihatannya. Menderita dalam rasa sakit bernama kesepian dan kehilangan, membuatmu enggan untuk menatap dunia dengan logika ataupun hati.

Satu bulan lebih telah berlalu, kamu akhirnya ke luar dari rumah sakit dengan kondisi prima. Wajah dan mata sayu serta hasrat mati masih tertanam di lubuk hati walau kini sedikit berkurang berkat hadirnya seorang teman. Bahkan ketika keluar, mereka tetap mendampingi. Tatapan tajam terus terarah padamu, seolah tengah mengamati seorang penjahat.

“Hmm ... jadi ... mau sampai kapan kalian mengikutiku? Dan juga, bukankah Nona Lucy memiliki masalah sendiri yang harus dilakukan?” tanyamu menghentikan langkah dengan salah satu tangan dan mata terbalut perban.

“Sebenci itukah kamu denganku? Sampai-sampai hanya dengan melihatku bisa membuat moodmu hancur.” Blnar di matanya tampak lebih berkilau berkat air mata yang hampir jatuh ke permukaan. Mereka menatapmu sini, wanita itu pergi menjauh seraya menangis.

“Seperti biasa, kamu selalu saja menghancurkan dirimu sendiri. Berhentilah menyiksa diri sendiri, karena ada banyak orang yang terkena imbasnya.” Temanmu, dia hisap kertas putih yang di dalamnya terdapat dedaunan kering. Asap putih terkepul, sejenak memudarkan pandangan.

“Diamlah, aku tahu betul tentang apa yang kulakukan. Aku juga tahu jika Lucy menyukaiku. Namun, kami hanya bertemu beberapa kali dan bagaimana mungkin ia menjadi begitu tertarik denganku? Aku lupa, itu bukan cinta, melainkan belas kasihan darinya. Sebenarnya apa yang kalian pikirkan? Apa yang kalian inginkan? Pergilah, Leon. Aku sama sekali tak butuh belas kasih kalian.”

“Hmm ... belas Kasihan? Terserah kamu sajalah, aku sudah terlalu lelah menghadapi sikapmu yang terlalu kekanak-kanakan. Mungkin kamu pikir dia baru mengenalmu, tetapi sayangnya kamu salah. Aku tahu jika kau itu sangatlah pintar, tetapi jangan mencoba melakukan segala hal sendirian. Jangan melibatkan orang lain dan membuat mereka yang sayang kepadamu meneteskan air mata. Mau seperti apa pun kau menyiksa dirimu sendiri, Rin tidak akan pernah bisa hidup kembali! Kuharap kau paham akan hal itu, aku pergi!” Dia pergi begitu saja, suaranya melengkapi dengan nada tinggi. Rokok di tangannya patah menjadi dua, wajah memerah dengan tangan terkepal.

Kamu hanya terdiam menatap kepergian mereka, tawa lirih tercipta diiringi air mata. Kembali menatap langit biru sejenak, kemudian tertunduk ke depan dan melangkahkan tanpa arah ataupun tujuan. Namun, tanpa diduga seseorang memelukmu dari belakang. Eratnya pelukan itu membuatmu merasa sedikit sesak. “Aku menyukaimu. Aku tidak peduli apa tanggapanmu tentangku, yang jelas aku mencintaimu,” ujarnya memelukmu erat dengan suara lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status