Share

Satu

     "Oi.. Kau mendengarku?! Masato?!"

     Takumi menunduk lemas dihadapan atasan tempat ia bekerja. Dia tahu akan berakhir seperti ini, dan ini memang kesalahannya.

     "Mulai sekarang kau tidak perlu kemari lagi. Sudah cukup kau membuat onar dengan Yuki dan merugikanku. Sekarang pergi dari sini!"

     Yang bisa Takumi lakukan hanya menunduk pasrah dan membuang nafas dengan kasar.

     "Sekali lagi maafkan saya, Misaki-san," ucap Takumi sambil membungkuk. 

     Setelah dinyatakan dipecat kemarin, Takumi kembali ingin meminta maaf pada Misaki, siapa tahu pria itu akan memaafkan dan memperkerjakannya lagi. Tapi ia salah, Takumi malah mendapat kenyataan bahwa dia memang sudah tidak diperbolehkan untuk bekerja. Takumi kemudian meninggalkan tempat itu dan kini duduk di lapangan dekat sungai, menatap kosong langit yang masih berwarna biru cerah. Bertentangan sekali dengan dirinya yang sekarang sedang dilanda masalah. Pikirnya dalam hati.

     Takumi menarik nafas dalam-dalam mengingat kejadian yang saat ini sedang menimpanya. Terasa menyakitkan.

     "AHHH SIAL!!!" Takumi berteriak lantang. Melampiaskan kekesalannya. 

___ 

Shibuya, Jepang.

Lima bulan lalu. 

     Takumi kembali menghirup udara segar setelah satu minggu berada di rumah sakit karena operasi yang dijalaninya. Ia terkena usus buntu yang mengharuskannya menjalani operasi. Kalau di ingat, rasanya menyebalkan terus berada di ruangan dengan bau obat yang menyengat. Tapi syukurlah sekarang ia sudah bisa pulang hari ini.

     Masato Takumi, pria ber-usia 31 tahun, seorang duda dan hanya pekerja kantoran biasa yang setiap hari libur ia habiskan dengan membaca buku. Tidak ada yang spesial dari dirinya -kecuali wajahnya yang masih kelihatan tampan meski sudah hampir kepala empat-, dan Takumi pun tidak ingin terlihat terlalu mencolok karena ia tidak suka keramaian.

     Meski banyak wanita yang mendekatinya semenjak ia bercerai, Takumi masih tetap ingin sendiri. Meskipun ia akan kesepian untuk menghabiskan waktunya.

     "Masato...-san?"

     Takumi menghentikan langkahnya ketika ada seseorang memanggil namanya. "Iya?"

     "Ahh... Syukurlah, aku tidak salah orang." Gadis itu menghela dengan lega karena tebakannya benar.

     Tapi berbeda dengan Takumi, ia heran kenapa gadis ini memanggilnya dan hei, kenapa dia tahu namaku?

     "Ano... Ada yang bisa saya bantu?" Takumi mencoba bertanya apa tujuan gadis itu memanggilnya.

     Gadis bermata bulat itu langsung membungkuk, "Ahh, ijinkan saya memperkenalkan diri dulu. Namaku Nakamura Junko. Salam kenal."

     Nakamura?-

     "Aku sedang mengerjakan penelitian dan aku menemukan namamu diberbagai buku yang ingin ku baca di perpustakaan. Kau hebat bisa membaca buku sangat banyak hanya dalam waktu yang singkat." Yuri tersenyum lebar dengan mata yang bersinar-sinar.

     Takumi jadi salah tingkah, apakah dia memang terlalu banyak membaca buku sampai ada seseorang yang menyadarinya?

     "Jadi? Apa yang kau inginkan dari orang sepertiku ini?"

     "Apa kau mau menjadi objek penelitian ku?" tanyanya antusias.

     "Hahh?!! Apa?!" Takumi benar-benar tidak mengerti perkataan gadis yang berada dihadapannya ini.

     Junko menjelaskan kalimatnya, "Aku sedang meneliti berbagai macam orang yang sering datang ke perpustakaan. Dan kau orang pertama yang selalu muncul di daftar nama peminjam, jadi kuputuskan untuk bertemu denganmu."

     Takumi mundur beberapa langkah, "Tunggu dulu. Kau tiba-tiba datang dan menyuruhku untuk jadi objek penelitianmu itu. Kau sudah gila? Jika aku orang jahat bagaimana? Apa kau tidak takut di culik atau apa?" Takumi juga sedikit meninggikan suaranya, karena tak percaya pada ucapan gadis itu yang terlalu blak-blakan.

     "Paman, aku tahu kau pria yang baik jadi aku tak perlu takut untuk mendekatimu." Junko tersenyum dengan manis.

     Takumi mengelus dadanya. Baru saja keluar dari rumah sakit, ia harus bertemu dengan orang aneh. Padahal yang Takumi inginkan sekarang adalah mandi air hangat, makan dan tidur. Bukannya meladeni orang asing seperti ini.

     "Paman, kau tidak apa-apa?" tanya Junko pada Takumi.

     Tiba-tiba gadis itu panik. "Ahh.. gawat!! Ibu pasti mencari ku. Paman aku akan menghubungimu lagi nanti. Bye-bye!"

    Junko pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Takumi yang masih termenung. Ia mengangguk dengan tidak sadar.

     "Ehh, Tunggu! Kenapa aku mengiyakan? Oi.. jangan kembali lagi!" teriaknya. Walaupun tidak mungkin didengar Junko, karena sudah terlalu jauh untuk terjangkau suaranya. 

___ 

     Sudah satu minggu berlalu dan gadis SMA yang entah dari mana asal itu selalu menemui Takumi setelah selesai bekerja. Seperti saat ini, Takumi sebenarnya tidak keberatan jika ada yang ingin dekat, tapi yang membuatnya jadi berat adalah tatapan tajam orang-orang sekitar yang menatapnya karena bersama dengan gadis yang masih SMA.

    "Masato-san? Kau baik-baik saja?" tanya Junko yang saat ini sedang duduk di depannya dengan tangan yang memegang gelas plastik cokelat berukuran sedang.

     "Dari tadi kau terus mengeluh seperti hahh... kenapa? Dan gawat memangnya apa yang gawat?" lanjutnya dengan polos.

     Takumi berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya, "Nakamura-san, ini sudah satu minggu berlalu dan kita hanya duduk-duduk saja seperti ini. Sebenarnya apa mau mu? Bukankah katamu akan melakukan penelitian?"

     Junko memandang Takumi dengan serius, raut wajah gadis ini benar-benar tidak bisa dibaca oleh Takumi sekarang. Disana banyak sekali ekspresi yang dijadikan satu oleh gadis itu yang membuat Takumi terdiam.

     "Sebenarnya aku hanya ingin memiliki teman ngobrol seperti ini. Aku kira paman adalah orang yang tepat. Dan karena kita juga memiliki hobi yang sama, membaca buku, kan?" Junko tersenyum kembali seperti biasa.

     Untuk sesaat, Takumi tertegun karena ekspresi spontan yang di keluarkan Junko benar-benar cepat sekali berubah. Seperti dia memiliki dua kepribadian.

     "Tapi orang-orang terus menatapku dengan tatapan tajam. Seperti aku seorang yang cabul karena terus-terusan berada didekat gadis SMA sepertimu," ujar Takumi. Lebih baik ia berterus terang sekarang, dan mungkin saja nanti Junko akan menjauhinya setelah ini. Tapi ia tak peduli.

     "Paman, kau benar-benar tidak terlihat seperti orang yang cabul. Kau malah memiliki wajah yang sangat tampan. Bagaimana bisa kau disebut om-om cabul?"

     Oi, bagaimana menjelaskan dengan benar kepada gadis ini?

     "Bukan seperti itu." Takumi meminun kopinya dengan kesal. Bisa-bisanya bocah ini mengatakan dirinya tampan dengan ekspresi datar. Kalaupun ingin mengatakan itu seharusnya ekspresi dia lebih terlihat meyakinkan.

     Takumi menepuk keningnya dengan pelan beberapa kali, bodohnya dia memikirkan hal seperti itu.

     Dipersimpangan jalan, Junko berhenti dan memandang Takumi dari jauh.

     "Sampai bertemu kembali Paman," ucap Junko sambil melambaikan tangannya.

     "Kalau bisa aku tidak ingin bertemu lagi denganmu lagi," gumamnya pelan, yang pasti tidak akan terdengar oleh Junko.   

____ 

     "Takumi, kau baik-baik saja?" Tetangga rumahnya yang melihat Takumi berjalan dengan lunglai bertanya dengan nada khawatir.

     Takumi berhenti tepat didepan tetangganya, lalu melambai-lambaikan tangannya dan berkata, "Aku baik-baik saja, Tosaka-san. Hmm, ku dengar kau sedang sakit?"

     Tetangganya yang dipanggil Tosaka menyahut, "Orang tua sepertiku memang sudah biasa sakit-sakitan. Jangan khawatir," Jawabnya dengan senyum tipis yang khas.

     "Kau harus menjaga kesehatanmu," ujar Takumi, "Aku masuk dulu ingin beristirahat."

     Ia kemudian masuk kedalam rumahnya. Merebahkan diri diatas sofa adalah hal terbaik setelah seharian lelah bekerja.

     Setelah mandi, Takumi menyiapkan makan malamnya, memasak semangkuk ramen dan omurice. Kemudian menyantapnya sendirian seperti biasa.

     Takumi tinggal di Danchi -rumah susun- di daerah Shibuya. Ia hanya mempunya beberapa tetangga yang di kenal. Tapi yang paling dekat dengannya adalah Tosaka, rumahnya tepat berada di sebelah rumah Takumi.

     Di rumah Takumi hanya ada satu ruangan kamar tidur ukuran sedang, sebuah kamar mandi, dapur dan ruang tamu yang tidak terlalu luas. Tapi semua itu cukup untuk dirinya yang hanya tinggal sendirian.

     Ditengah-tengah kegiatannya, Takumi memikirkan sesuatu. Sesuatu yang seharusnya tidak ia pikirkan. Karena sekarang isi kepalanya malah di penuhi oleh gadis aneh itu.

     "Apa-apaan ini!" Takumi langsung menepis semua pemikiran itu dan melanjutkan makannya.

___ 

     Seperti biasa Takumi selalu bangun pagi, mandi, sarapan dan berangkat bekerja. Hal rutin yang ia jalani setiap hari.

     Sekarang ia sudah berada di dalam kereta, menuju tempatnya bekerja.

     Tiba-tiba ponsel Takumi bergetar, ia mengerutkan dahinya, siapa yang menelpon pagi-pagi begini?

     Takumi menghela nafas. Tidak ada seorangpun yang menelpon sepagi ini kecuali gadis aneh itu. Dan benar. Takumi melihat nama Nakamura Junko terpampang jelas di layar ponselnya. Ia bertanya-tanya darimana gadis itu mendapatkan nomor ponselnya. Padahal Junko tidak pernah sekalipun meminta darinya.

     Takumi menempelkan ponselnya di telinga, "Hai, moshi-moshi?" 

     "Ah, paman! Bisakah kita bertemu setelah kau selesai bekerja?" Junko bertanya dengan tergesa-gesa.

     Belum juga Takumi menjawab, ada suara keras yang terdengar diseberang telepon.

     "Nakamura-san, ada apa?" Takumi yang terkejut bertanya dengan cepat.

     "Ahh,, ittai..." 

     Eh? "Sakit? Nakamura-san? Moshi-moshi?" Takumi mencoba memanggil nama Junko karena tidak ada jawaban dari gadis itu. Yang terdengar hanya suara rintihan samar dari seberang sana.

     "Paman, aku akan menghubungimu lagi nanti. Jhaa!" kemudian sambungan telepon terputus.

     Takumi menatap ponselnya dengan heran. "Memang gadis yang aneh," gumamnya.

___ 

     Takumi sedang mencatat data pemasukan tentang properti yang dijual minggu ini. Ia dengan teliti mengecek beberapa kali data yang diberikan atasannya dengan yang ada di komputer miliknya. "Yosh, ini sudah selesai. Tinggal mengirimkan ini ke Misaki-san."

     Takumi menghela nafas, kemudian melihat jam tangannya yang sekarang telah menunjukkan pukul 12 siang. Ia memutuskan untuk pergi ke sebuah kedai di seberang jalan kantor untuk membeli beberapa makanan karena perutnya sekarang keroncongan, lapar.

     Takumi duduk menghadap langsung jendela yang menampilkan jalanan Shibuya yang selalu ramai setiap harinya. 

     Ia memesan satu mangkuk udon dan teh hijau untuk kemudian menyantapnya. Takumi memandang langit Shibuya yang sangat cerah sekali hari ini. Tak terasa ia menyunggingkan senyum tipis.

     "Oi, Takumi!"

     Sebuah suara tiba-riba muncul dari belakang, mengangetkannya. Takumi mendengus kesal, "Kau mau mati, hah?"

     "Ahh, seramnya Takumi-sama!!"

     "Berisik."

     Teman kantor Takumi -Naoto Mitsuhashi- , bekerja di bidang yang sama dengannya. Usia Naoto juga tak terpaut jauh dari Takumi, meski Naoto berbeda satu hal darinya. Dia Memiliki pernikahan yang harmonis, tidak seperti dirinya yang harus bercerai karena alasan yang bodoh.

    "Kau sudah menyelesaikan dengan pekerjaanmu?" tanya Naoto sambil memesan minuman pada pelayan kemudian duduk disebelah Takumi.

     "Hmm-mm," sahut Takumi, karena mulutnya penuh oleh mie. "Naoto, kau mau?" Ia menyodorkan sandwich yang ia beli kearah Naoto.

     "Tidak usah aku sudah makan tadi sebelum kau datang," tolak Naoto.

     "Ohh, baiklah." Takumi menyimpan kembali sandwich-nya ke atas meja.

     "Nah, Takumi. Bagaimana menurutmu jika aku menceraikan istriku?"

     Tiba-tiba Naoto bertanya dengan pertanyaan yang membuat Takumi terkejut sampai ingin menyemburkan mie yang berada didalam mulutnya.

     Takumi langsung menatap tajam Naoto dan dengan marah berkata, "HEI! KAU, APA-APAAN DENGAN PERTANYAANMU ITU?!!" katanya setengah membentak. Kemudian melanjutkan kalimatnya, "Jika kau bercerai bagaimana nanti dengan anakmu, dia akan tertekan dengan semua keputusan bodoh mu itu!"

     Takumi mendengus dengan kasar, mengusak wajahnya dan mulai menetralkan nafasnya yang terengah-engah akibat emosi yang ditimbulkan oleh ucapan Naoto.

     Hening sejenak diantara mereka, hanya suara orang-orang disekitarnya yang terdengar.

     "Apa alasannya kau memilih untuk mengakhirinya dengan bercerai?" Takumi melirik Naoto yang wajahnya benar-benar terlihat frustasi sekarang.

     "Dia..Mi...Miko..sudah berselingkuh dariku.."

Degg... 

Berselingkuh?! 

     "Jangan mengajariku kebahagiaan jika kau tak bisa memberiku kebahagiaan itu. Takumi, aku sudah muak dengan semua ini. Kita akhiri saja dengan bercerai!!" 

     Takumi menutup telinganya. Kata-kata yang sudah lama ia lupakan terngiang kembali didalam kepalanya. Sudah tiga tahun belalu, tapi kenapa rasanya masih menyakitkan.

    Ia bertanya kembali kepasa Naoto, "Apakah keputusanmu sudah di utarakan kepada Miko?"

     Belum menjawab pertanyaan Takumi, Naoto tiba-tiba bangkit dari duduknya, menatap kosong jalanan yang hanya dibatasi kaca jendela.

     "Maafkan aku. Aku harus kembali, ada pekerjaan yang belum aku selesaikan." Lalu pergi begitu saja menuju pintu keluar.

     Tapi sebelum Naoto benar-benar menghilang, Takumi melontarkan kalimat yang ia juga tidak yakin akan merubah pikiran temannya itu atau tidak.

     "Apapun alasannya, jika masih bisa diperbaiki jangan memutuskan untuk mengakhiri segalanya."

      Naoto yang mendengar itu berhenti sejenak, memutar tubuhnya menghadap Takumi. "Arigatou, Takumi." Dia mengulas senyum tipis.

     Takumi tahu, senyuman Naoto mengatakan bahwa saat ini dia sedang sangat terluka. Tapi Takumi tak bisa berbuat apapun, ia hanya bisa memberi saran yang menurutnya bisa sedikit meringankan beban pikiran temannya itu.

     Setelah kepergian Naoto, Takumi menjadi tak selera untuk melanjutkan makannya. Ia sudah terlanjur memikirkan kembali kata-kata yang seharusnya Takumi lupakan sejak lama.

    "Ahh, sial!" umpatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status