Share

Dua

     Sudut mata Takumi tak sengaja menangkap sosok yang familiar baginya, seorang gadis dengan seifuku berjalan sendirian melewati trotoar.

     "Nakamura...-san? Ehh, bukankah ini masih jam sekolahnya?" ujar Takumi sambil melirik jam tangannya.

     Dengan buru-buru Takumi keluar dari kedai, berniat menghampiri Junko, tapi karena terlalu tergesa-gesa ia jadi tak tahu kemana arah yang dituju gadis itu.

     Takumi mendesah kesal, "Seharusnya tadi aku berteriak saja untuk memanggilnya," katanya.

     Ia berniat mencari keberadaan Junko sekarang, tapi atasan Takumi menelponnya untuk segera kembali ke kantor. Jadi ia urungkan niatnya untuk mencari Junko. Takumi juga berpikir bahwa nanti juga ia akan bertemu dengan gadis itu.

     "Takumi-san, sampai nanti!" tegur salah satu teman yang berada di unit yang sama dengannya.

     Takumi membalas hanya dengan senyuman simpul. Ia melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 3 sore. Takumi sudah membuat janji dengan Junko sore ini untuk bertemu. Tapi masalahnya sekarang adalah, dimana tempat mereka akan bertemu?

     Junko juga belum menghubunginya sama sekali. Takumi ingin menghubungi gadis itu, tapi ia enggan karena berbagai hal. Misalnya, mungkun nanti ia akan mengganggu gadis itu ketika dia sedang sibuk.

     Karena sudah menunggu cukup lama, sekitar 15 menit, Takumi akhirnya memutuskan untuk pulang saja. Mungkin Junko ada urusan mendadak jadi dia tak bisa bertemu dengannya.

     Ya, mungkin itu alasannya.

___ 

     Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, ketika Takumi sedang bersantai setelah menyelesaikan pekerjaannya menginput seluruh data dari perusahaan tempatnya bekerja. Tiba-tiba saja ponsel Takumi bergetar, menandakan ada pesan yang masuk.

     Nama Nakamura Junko berada di urutan paling atas dipemberitahuan ponselnya. "Nakamura-san?"

     Takumi heran, jarang sekali gadis itu mengiriminya pesan. Biasanya Junko akan selalu menelpon ketika membutuhkan sesuatu.

    Takumi memencet notifikasi pesan dari Junko. Disana tertulis, -Paman. Aku ada diluar. Didepan rumahmu.-

     Setelah membaca itu, Takumi terlonjak kaget. Junko berada di luar rumahnya?

     Hal pertama yang Takumi pikirkan adalah, dari mana gadis itu mendapatkan alamat rumahnya?

     Junko benar-benar seperti stalker. Tahu segala sesuatu tentang dirinya. Tapi yang membuat Takumi tambah bingung adalah, kenapa gadis itu sendirian di luar sana di cuaca yang dingin begini?

     Takumi membuka pintu rumahnya dengan tergesa-gesa, kemudian melihat kebawah untuk memastikan bahwa gadis itu memang berada disana. Dan benar saja, Junko sedang berdiri mematung sambil menatap tepat kearah rumahnya. Lampu taman yang redup memberikan cahayanya pada Junko, agar memberitahu Takumi bahwa dia berada disana. 

     Tanpa menunggu lama, Takumi berlari masuk kedalam rumahnya lagi. Ia ke kamarnya mengambil sebhah mantel, lalu bergegas untuk menghampiri Junko.

     Apa yang sebenarnya gadis itu pikirkan berada di luar ruangan dengan hanya memakai seifuku -baju seragam- di cuaca yang dingin ini.

     Setelah berada tepat di depan Junko, Takumi dengan cepat memasangkan mantelnya kepada gadis itu.

     "Apa yang kau pikirkan, berada di luar di cuaca yang dingin? Kau ingin sakit?" tanya Takumi, nafasnya masih terengah-engah setelah berlari menuruni tanga dari atas ke bawah.

     Bukan jawaban yang Takumi dapat tapi malah justru gelak tawa dari Junko yang terdengar di telinganya.

     Takumi terdiam sejenak, menetralkan nafasnya, lalu kemudian ia bertanya lagi dengan nada serius, "Mengapa kau berada diluar?"

     Junko tak kunjung menjawab, dia malah menghampiri ayunan yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.

     "Nakamura-san, kau mau kemana? Jawab dulu pertanyaanku. Hey!"

     Setelah duduk di ayunan itu, Junko melambai-lambaikan tangan, menyuruh Takumi untuk menghampiri dirinya. Gadis itu menunjuk ayunan disebelah kepada Takumi.

     Ia mengikuti arahan Junko, duduk disebelah gadis itu yang entah mengapa hari ini terasa berbeda.

     "Hari ini meski dingin tapi bintang di langit tidak menunjukkan bahwa mereka akan menghilang dibalik awan," gumam Junko dengan suara pelan, "Paman, bisakah aku bercerita sesuatu?"

     Junko tidak seperti biasanya, gadis yang selalu ceria. Malam dia terlihat murung.

     Takumi mengiyakan dengan anggukan.

     Junko menengadahkan wajahnya ke atas, sebelum akhirnya mulai bercerita.

    "Aku hanya bertanya tentang dimana ayahku berada, tapi ibuku menamparku dengan keras. Apakah itu sebuah kesalahan?" Junko menggerakkan kakinya gelisah, "Paman beritahu aku, apakah ingin mengetahui siapa ayahnya sendiri adalah sebuah kesalahan?" gadis itu kembali bertanya.

     "Sedari kecil aku tidak tahu siapa ayahku. Bahkan saat aku bertanya siapa namanya, ibu selalu diam dan menghindar dariku. Aku hanya ingin tahu siapa ayahku, itu saja. Dan sekarang saat aku sudah cukup mengerti untuk tahu dimana ayah, ibu malah memarahiku dan menamparku dengan keras. Dia juga mulai berubah sejak menemukan pria yang dia sukai. Aku sering dimarahi dan kadang dipukul. Rasanya seperti di neraka jika tinggal di rumah," Junko menarik nafas sebelum melanjutkan ceritanya, "Padahal dulu ibu sangat menyanyangiku, bahkan ketika aku terjatuh karena bermain ibu selalu jadi orang pertama yang panik jika aku terluka. Tapi sekarang, dia seperti orang asing yang tinggal bersamaku." 

     Gadis itu meneteskan air mata yang sedari tadi dia tahan. Menangis tanpa suara. Tapi masih bisa terdengar isakan lembutnya oleh Takumi.

     Takumi bangkit dari duduknya, menghampiri gadis itu, kemudian meraih kepalanya untuk di sandarkan ke tubuh Takumi.

     Setelah perlakuan tersebut, Junko sudah tidak enggan lagi melepaskan tangisannya. Sambil memeluk gadis itu, Takumi teringat pembicaraannya dengan Naoto siang tadi. Ia tak akan membiarkan Naoto bercerai bagaimanapun caranya. Karena yang menjadi korban dari perceraian bukanlah Naoto ataupun istrinya, tapi anak mereka yang bahkan belum mengerti apapun tentang dunia ini. Ya, dia tak akan membiarkan si bodoh Naoto itu bercerai.

     Takumi tiba-tiba merasakan sesak di dadanya. Kalau saja rasa sakit bisa di berikan kepada orang lain, ia siap menanggung rasa sakit yang sekarang Junko rasakan.

    Setelah cukup lama menangis dipelukan Takumi. Ia melihat Junko sedang menyeka air matanya yang mulai mengering karena terlalu lama menangis tadi. Gadis itu sudah melepaskan rasa sakitnya dengan menangis sekitar cukup lama di pelukan Takumi.

     "Sudah merasa baikan?" Takumi memberikan sekaleng minuman hangat kepada Junko, "Maaf aku meninggalkanmu. Aku membeli ini," katanya.

     Junko hanya tersenyum tipis ketika menerima kaleng itu.

     Takumi kembali duduk di ayunan, membuka kaleng minuman kemudian menyesapnya. "Sudah merasa baikan, Nakamura-san?" tanya Takumi lagi.

     Kali ini Junko menjawab, "Hmm. Rasanya sedikit lega mengeluarkan semuanya dengan menangis. Arigatou, Masato-san."

     Takumi tersenyum simpul, ia juga merasa lega mendengar jawaban Junko. 

     Tak lama kemudian, Junko bangkit dari duduknya dan berkata, "Paman, aku akan pulang sekarang. Ini!" Dia melepaskan mantel Takumi dan menyodorkan kepadanya.

     Takumi juga dengan sigap bangkit dari duduknya. "Aku akan mengantarmu," katanya. Ia menawarkan diri untuk mengantar gadis itu pulang, tapi Junko menolak dengan halus.

     "Aku akan pulang sendirian, " katanya.

     "Aku akan tetap mengantarmu, ini sudah malam kau tahu. Setidaknya aku mengantarmu sampai di stasiun. Bukankah kereta terakhir akan datang jam 9. Ayo, nanti kau akan ketinggalan," ajak Takumi sambil memasangkan kembali mantelnya kepada gadis itu.

     Junko mengikuti langkah Takumi dari belakang. Takumi tak sedikitpun menyadari sebuah senyuman lebar dari gadis berumur 17 tahun itu yang mengarah padanya.

     "Nah, hati-hatilah dijalan," ujar Takumi setelah mereka sampai di dalam stasiun.

     Junko kembali akan melepaskan mantel Takumi, tapi kali ini di cegah, "Pakai saja, kau bisa kembalikan kapanpun."

     "Baiklah paman," Junko mengalihkan pandangannya dari Takumi, kemudian gadis itu berseru, "Oh... ahh! kereta terakhirnya datang. Kalau begitu aku pergi dulu, matta ashita!"

     Junko berlari kecil kearah kereta yang sudah berhenti didepan mereka. Gadis berambut panjang itu memasuki salah satu gerbong dan duduk tepat di dekat jendela yang menghadap Takumi. Gadis itu melambaikan tangannya dan tersenyum manis. Takumi juga membalasnya dengan tersenyum.

     Benar-benar gadis yang aneh...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status