16. Kembali ke kampung Alit"Astaghfirullahalazim"Aku tersentak kaget ketika melihat wajah pucat yang menatap tajam kearahku. Jantungku berdetak begitu kencang, ingin rasanya aku turun dari mobil dan berlari saja. Namun ku tahan, aku mengatur nafas dan berdoa semampuku, namun saat aku membuka mata, sosok itu masih diam menatapku tak bergeming dari tempatnya. Aku mencengkram kemudi dengan kuat, bukan aku tadi memang menantangnya untuk keluar menunjukkan diriny? Toh ini masih pagi dan wujudnya layak ya manusia biasa, tidak ada darah ataupun luka. Hanya saja wajahnya pucat pasi dan tatapannya yang begitu tajam namun terasa hampa. Aku menarik nafas dengan kasar, aku ingin mengambil positifnya, mungkin dengan dia ikut, justru perjalanan ini semakin lancar. "Ko, niat saya baik untuk membantu sampean. Tolong sampean juga membantu saya dengan hal-hal yang baik. Kalian kan sesama hantu, bisa komunikasi kan? Bilang dong jangan mengganggu saya, saya kan tidak ada salah dengan mereka."Aku me
17. Segelas kopi hitam"Rahayu... ""Pak Tris!"Aku dan oak Tris sama-sama kaget ketika ibu warung itu membentak oak Tris. Entah apa maksudnya, namun yang jelas, tujuannya sudah pasti untuk menghalangi pak Tris bercerita kepadaku. Mengapa? "Ah, mas Bayu. Bukan wewenang saya untuk menceritakan semua ini. Kalau mas Bayu ingin tahu banyak, silahkan ke rumah pak Kamituwo saja. Beliau lah yang lebih banyak tahu tentang warga sini, dan saya juga takut salah-salah."Aku semakin bingung, memangnya ada apa dengan Rahayu, hingga menceritakannya saja seolah sebuah larangan dikampung ini. "Mas Bayu ini bukan wartawan kan yo?"Tanya ibu warung kepadaku. Kini beliau sudah duduk didepanku. Sepertinya kini mereka mulai curiga kepadaku, dan tanda tanya ku tentang siapa Rahayu semakin kuat. "Bukan bu, saya ini MC. Saya nggak ada keperluan apa-apa mencari Rahayu, selain untuk menyampaikan pesan yang harus saya sampaikan langsung kepada Rahayu. Saya sendiri sebenarnya juga belum kenal dengan Rahayu,
18. Teka-teki tentang Rahayu"Mas, mas, ssttt... "Aku melihat ke belakang, rupanya bu Wo aku memanggilnya seperti itu, dia sedang mengendap dan mengejarku. "Bu? Njih?""Husstttt... Ayo jalan terus."Bu Wo menarikku hingga keluar dari pekarangannya, mungkin takut bila ketahuan suaminya. Aku menurut, kami berjalan terburu. Karena jalan yang kami lalui menurun, jadi langkah kami menjadi setengah berlari. "Mohon maaf yang sebesar-besarnya ya mas atas sikap bapaknya tadi, saya sungkan sekali dengan njenengan, sudah kesini jauh-jauh malah disuruh pulang."Aku tersenyum getir, karena bingung, setelah ini harus kemana lagi aku mencari keberadaan Rahayu. "Tidak apa-apa bu, mungkin memang saya yang salah, bertamu di waktu yang tidak tepat. Mungkin bapak sedang capek."Si ibu menarik nafas. "Memangnya, masnya ini sedang ada perlu apa kalau saya boleh tahu? Selama saya kenal dan membina rumah tangga dengan bapak, saya tidak pernah melihat bapak semarah itu, bahkan sampai mengusir tamu.""Say
19. Pesan dari Mbak Lilis untuk kita semua"Tipu muslihat? Saya ini dimana mbak? Apa yang terjadi dengan saya? Lantas bagaimana nanti saya pulang?"Aku panik, aku mulai berdiri kebingungan. Diluar langit terlihat mulai gelap, namun dirumah ini aku masih bisa melihat semuanya dengan jelas, meski tanpa adanya penerangan. "Nggak usah bingung mas, aku sudah bertahun-tahun disini. Sebenarnya aku rindu sekali dengan keluargaku, namun sayangnya aku tidak bisa pulang. Padahal rumah keluargaku tak jauh dari sini, sayangnya mereka sudah melupakan aku.""Kenapa nggak bisa pulang mbak? Apa keluarga sampean nggak menjenguk sampean disini? Apa perlu saya antarkan pulang? Kebetulan saya bawa mobil, mobil saya diparkir di warung bawah sana."Namun bukannya langsung menjawab, wanita itu hanya tersenyum simpul. Senyuman yang begitu manis, hingga hatiku serasa berdetak tak karuan. Wanita di depanku benar-benar bisa menciptakan keindahan dalam sebuah kesederhanaan. "Jangan sampai terpikat dengan apa y
"Pak? Bapak ngapain di dalam?"Aku tersentak saat seorang petugas hotel menegurku, ketika aku baru saja keluar dari toilet. "Ngapain? Ini kan toilet mas, kok ngapain sih?""Memangnya airnya bisa pak?""Bisa kok, lancar. Buktinya sekarang perut saya sudah plong."Niatku bercanda namun raut lelaki didepanku justru terlihat tegang. "Pak, coba bapak lihat lagi. Toilet ini sudah lama rusak. Sudah berkali-kali di perbaiki tapi tetap saja rusak lagi. Lampunya saja mati, tiap diganti bentar pasti putus lagi. Makanya di pintunya di tulis bahwa toilet ini sedang dalam perbaikan."Aku sontak kaget dan segera berbalik. Benar saja, toilet tersebut terlihat gelap dan ada tulisan "sedang dalam perbaikan" Perasaanku mengatakan hal yang tidak baik, sekujur tubuhku seketika merinding. "Astaghfirullah halazim, sumpah mas tadi lampunya nyala. Saya juga dua kali ke toilet itu dan airnya nyala kok, saya bersihkan kotoran saya sampai bersih."Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Badanku son
Petugas hotel tersebut mengantarkanku hingga depan kamar tempat ku menginap, kamar ini cukup luas untuk ku tempati sendiri. Aku menginap di lantai tiga, sedangkan hotel ini sendiri terdiri dari delapan lantai. Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaianku dengan baju yang nyaman untuk istirahat, seperti biasa setiap hari aku selalu memberi kabar orang rumah tentang kegiatanku seharian, termasuk apa yang barusan aku alami. Dan tentu saja begitu mendengarkan ceritaku, ibuku sontak melarang ku untuk berangkat. Beliau yakin bahwa yang aku temui di toilet tadi bukanlah manusia seperti kami, lantas untuk apa aku memenuhi undangannya untuk datang ke acara yang belum jelas. Setelah menutup panggilan tersebut, pikiranku semakin liar kemana-mana. Aku sudah berusaha untuk memejamkan mata, namun kantuk tak juga datang. Tayangan di televisi juga membuatku bosan, hingga kemudian telfon di kamar itu berdering yang membuatku terkejut. "Selamat malam bapak Bayu, mohon maaf sudah menganggu isti
Aku menatap jam yang sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, aku bersiap untuk melanjutkan istirahat ku yang terganggu. Setelah kejadian tadi, aku mendapat fasilitas untuk pindah kamar. Kejadian yang cukup traumatik untukku. Bayangkan saja, jika di kamar kalian tiba-tiba ada jejak kaki berlumpur yang misterius dan juga kamar yang beraroma kamfer seperti bau mayat. "Hmm... Mohon bapak tenang dulu, saya bantu bapak mengemasi barang-barang bapak. Kami akan membukakan kamar eksekutif untuk bapak yang letaknya ada di lantai satu."Seolah mengerti ketakutanku, begitu petugas tersebut melihat jejak kaki misterius di seluruh lantai kamarku, dengan suara gugup dan gemetar langsung menawariku untuk pindah kamar dan membantuku mengemasi barang-barangku dengan cepat. Kami segera meninggalkan kamar itu dalam kengerian, tanpa berani menoleh kebelakang. Meskipun kami sama-sama merasa seolah ada yang mengawasi gerak gerik kami, namun kami mencoba mengabaikannya dengan terus berjalan cepat menuju l
Setelah mas Putra pergi, aku segera menyusul. Aku kembali ke kamar hanya untuk mengambil dompet, ponsel serta kunci mobilku. Rasa penasaran mengalahkan segalanya, bahkan rasa lengket pada tubuhku. Aku hanya menyemprotkan parfum supaya badanku tidak menimbulkan bau yang menganggu. Tidak sulit menemukan tempat yang mas Putra sebutkan. Sebuah warung kopi yang tidak seberapa besar namun memiliki lahan yang cukup luas untuk parkir. Saat aku datang, mas Putra belum terlihat. Di warung itu hanya ada seorang tukang ojek online yang sedang makan dengan lahap sambil vidio call dengan anaknya. Aku tersenyum, sebab hal itu juga yang setiap hari ku lakukan dengan orangtuaku. "Bu, pesan kopi hitam satu ya. Jangan manis-manis.""Njih mas, siap. Ndak makan sekalian mas? Ada sayur lodeh, ayam bumbu bali, terong balado.""Nanti saja bu, saya masih nunggu teman.""Oh njih, monggo-monggo pinarak dulu, biar saya buatkan kopinya."Penjual warung tersebut adalah seorang ibu-ibu paruh baya, badannya cukup