Share

Chapter 1

Yura Anggraini.

Gadis berusia 19 tahun dengan tinggi 156 cm dan memiliki rambut hitam panjang sebahu. Tidak lupa pula mata besarnya yang berwarna hitam pekat, hidung mancung, dan juga kulit sawo matang khas kulit Indonesia.

Dia memiliki seorang ayah yang sangat mencintainya. Seorang ayah tangguh dan setia. Ayahnya memiliki usaha kecil yang sudah dibangun selama 10 tahun yaitu usaha tempat makan, Sari Rasa.

Usaha tersebut didirikan di rumah yang mereka tinggali. Rumah berukuran 21 meter persegi yang terdiri dari 2 tingkat yaitu tingkat 1 untuk usaha tempat makan dan tingkat 2 barulah untuk tempat mereka tinggal.

Yura berkuliah di Universitas Harapan Bangsa Fakultas Ekonomi dengan jurusan Manajemen Sumberdaya Manusia dan kini ia sudah berada di semester 6. Masa-masa kuliah ia lewati dengan baik, memiliki teman-teman yang baik, dan juga Yura masuk ke dalam 10 mahasiswa terbaik di jurusannya. Yura memang anak yang cukup pintar. Dia masuk di Universitas Harapan Bangsa melalui jalur beasiswa.

Pada usia 8 tahun, Ibu Yura meninggal dunia karena sakit kanker usus besar yang sudah sangat parah. Kesedihan yang Yura rasakan begitu dalam hingga membuatnya tidak memiliki semangat lagi. Selama berhari-hari ia hanya menghabiskan waktu dengan berdiam diri dirumahnya.

Ayah Yura kemudian menghampiri kamar Yura. Mengetuk pintu kayu itu lalu masuk dan duduk di ranjang tempat tidur Yura. Menyadari kehadiran ayahnya, Yura kemudian bangkit dari tidurnya dan duduk tepat di samping sang Ayah. Ayahnya dengan lembut membelai rambut Yura. Menatapnya dengan tatapan rasa bersalah yang begitu besar kepada Yura.

Rasa bersalah karena dia merasa membuat Yura kehilangan sosok seorang ibu yang sangat dia cintai. Ditambah rasa bersalah karena dia belum bisa membahagiakan istri yang ia cintai selama 12 tahun itu.

Ya ....

Ayah Yura dulunya hanya seorang anak yatim piatu yang dirawat oleh kakeknya. Orangtua Ayah Yura meninggal pada usia sang ayah 16 tahun karena kecelakaan lalu lintas. Sedangkan kakek Yura hanya seorang petani di desa. Itulah yang kemudian membuat Ayah Yura mulai mencari pekerjaan di Jakarta setelah lulus sekolah.

Ayah Yura akhirnya mendapat pekerjaan sebagai koki di salah satu restoran kecil. Pada awalnya dia hanya sebagai tukang cuci piring di restoran tersebut. Dan kemudian dia diangkat menjadi koki karena bos restoran tersebut melihat bahwa sang ayah memiliki kemampuan untuk memasak.

Hingga pada akhirnya sang ayah bertemu dengan Ibu Yura dan memutuskan menikah setelah 3 tahun berpacaran. Dan setahun kemudian, Yura akhirnya lahir. Rumah yang mereka tinggali saat ini adalah rumah peninggalan dari orangtua Ibu Yura. Setelah kakek dan nenek Yura meninggal, rumah tersebut menjadi milik Ayah dan Ibu Yura. Karena Ibu Yura adalah anak satu-satunya.

Kedua orangtua Yura sangat suka memasak, hingga membuat Ibu Yura merencanakan untuk membuka usaha tempat makan. Dan akhirnya dengan uang asuransi kematian kakek Yura, Ibu Yura memulai usaha tempat makan di rumah tersebut dengan mempekerjakan 1 orang karyawan.

Dan ketika usaha tempat makan tersebut mulai ramai dikunjungi, Ayah Yura akhirnya berhenti dari tempatnya bekerja. Dia mulai fokus membantu Ibu Yura mengelola tempat makan tersebut. Kini sudah ada 3 karyawan yang mereka miliki.

Jika Ayah Yura mengingat akan banyaknya hal yang tidak bisa ia cukupi sendiri untuk istrinya, membuat ia merasa terpuruk dan tidak berguna.

Setelah beberapa lama, akhirnya Ayah Yura mulai bicara, "Yura ... ayah minta maaf karena tidak bisa merawat Ibumu dengan baik dan membuatmu kehilangannya."

Yura mulai merasakan rasa sakit di hatinya ketika melihat tatapan itu.

"Maafkan ayah, Nak," ucap Ayah Yura kembali dengan suara paraunya, kemudian memeluk Yura erat.

Setelah itu terdengar suara isak tangis dari mereka berdua. Suara tangisan yang begitu menyakitkan dari suatu kehilangan.

Yura akhirnya menyadari bahwa dia tidak sendiri. Dia masih memiliki satu orangtua yang berada disampingnya. Sedangkan Ayah Yura juga menyadari bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk menjadikan dirinya sebagai seorang pria yang berguna.

Berguna bagi keluarga kecilnya.

Dan harus kita sadari, bahwa Yura hanya seorang anak berusia 8 tahun yang sangat mencintai kedua orangtuanya. Itu adalah hal biasa jika sampai Yura tidak bisa berhenti meratapi kesedihan atas kehilangan salah satu orangtuanya. Dia masih terlalu kecil untuk bisa dengan mudah melupakan hal itu. Bahkan saat kita telah dewasa, belum tentu kita bisa menerimanya dengan mudah.

Kehilangan adalah hal yang sangat menyakitkan, apalagi dengan banyaknya kenangan yang telah dilalui bersama.

                                                          ***

Kampus.

Hari ini begitu panas, padahal jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Hari yang begitu panas itu tidak menghalangi Yura untuk menunggu seorang temannya yang berada di Fakultas Teknik. Yura dan temannya selalu pulang bersama. Hal itu biasa mereka lakukan hampir 3 tahun belakangan ini.

Yura duduk bersandar di salah satu tempat yang berada di fakultas tersebut. Sesekali dia sibuk mengibas-ngibaskan tangannya untuk sedikit memberi kesejukan. Beberapa menit kemudian, temannya pun datang menghampiri Yura.

Yura POV:

Akhirnya pria itu datang juga. Ya ... temanku adalah seorang pria. Aku mengenalnya saat ospek. Jika aku ingat-ingat, waktu itu hari sangat panas. Sama seperti hari ini.

                                                                  Flashback:

Aku berjalan untuk mengambil air minum yang sudah disediakan oleh pihak kampus. Ospeknya tidak aneh-aneh kok, hanya diminta untuk lompat sana lompat sini, lari sana lari sini, dan masih banyak lagi. Hehe ....

Saat aku sedang mengambil air minum, tiba-tiba seorang pria datang menghampiriku. Aku sedikit terkejut melihatnya, ditambah aku tahu bahwa dia bukan salah satu mahasiswa Fakultas Ekonomi. Aku tahu dari warna baju yang dia pakai. Karena kegiatan ospek digabung dalam satu lapangan dengan fakultas lain, setiap fakultas diminta untuk menggunakan baju yang berbeda dari fakultas lainnya. Untuk Fakultas Ekonomi menggunakan baju berwarna jingga. Kenapa jingga?

Warna jingga identik dengan keselarasan, keceriaan dan kemudahan. Hingga penggunaan warna ini diberbagai lambang dan simbol ekonomi akan mengisyaratkan untuk memudahkan pengambilan solusi dan keputusan yang berguna untuk segala permasalahan di bidang ekonomi yang nantinya harus diselesaikan dengan baik dan benar.

Penjelasan di atas aku dapat dari salah satu sumber di internet. Karena aku merasa agak aneh juga saat diminta menggunakan baju berwarna jingga. Aku sendiri tidak memiliki baju warna itu. Tapi setelah tahu alasannya, itu jadi tidak aneh lagi bagiku. Nah, untuk si pria yang menggunakan baju berwarna biru tua, warna biru tua di pakai oleh Fakultas Teknik. Jadi dia pasti dari fakultas tersebut.

"Ehm ... ada apa ya?" tanyaku halus. Kenapa bisa ada anak fakultas teknik datang ke area fakultas ekonomi?

"Huft, aku lagi dapat hukuman dari seniorku, maaf ya ... apa boleh aku minta minuman kalian?" tanyanya dengan napas tersengal-sengal.

Seperti tersihir, aku pun tidak bertanya apa-apa lagi padanya. Tanpa sadar aku memberikan minuman yang tadi ku pegang. Minuman itu belum sempat aku minum. Dia kemudian mengucapkan terima kasih dan pergi. Aku hanya bisa diam mematung melihatnya pergi.

Dia ....

Pria itu memiliki postur cukup tinggi, bermata abu-abu gelap, memiliki lesung pipit di sebelah kiri, dan juga rambut hitam berponi yang sedikit lepek karena keringat.

'Dia manis.'

...

Beberapa minggu kemudian, pria tersebut selalu datang menghampiriku hanya untuk memberikan sebuah minuman. Minuman itu kadang berwarna, kadang tidak. Kadang dingin, kadang hangat. Kadang berkaleng, dan kadang hanya botol plastik seperti minuman biasa. Juga, kadang ada yang menggunakan gelas.

Hem ....

'Apa yang dia lakukan sebenarnya?'

Walaupun sejujurnya, perlakuan dia membuatku merasa senang. Dan akhirnya aku selalu menantikan minuman-minuman yang akan dia berikan setiap harinya. Kini dia bukan hanya membelikan aku minuman, tapi juga mengantarku pulang. Dia selalu menungguku pulang kuliah atau sebaliknya, dan kita pulang bersama dengan menggunakan sepeda miliknya. Hingga akhirnya hal itu menjadi rutinitas sehari-hari. Kami selalu menghabiskan waktu bersama. Menonton film, ngemall, sampai kadang membantuku menjadi pelayan di tempat makan Ayahku.

Karena dia memiliki wajah yang cukup tampan, jadi banyak gadis khususnya ABG datang berkunjung. Ya nggak banyak banget sih, lumayan. Kadang aku merasa tidak enak padanya, karena keluarganya berasal dari keluarga yang cukup kaya. Tidak jarang dia mengajak kedua orangtuanya atau bahkan kolega Ayahnya untuk datang ke tempat makan Ayahku.

Ayahnya bekerja sebagai direktur di salah satu perusahaan real estate yang cukup terkenal. Bukan hanya itu, Ayahnya juga memiliki saham di beberapa perusahaan. Sedangkan Ibunya adalah seorang Ibu rumah tangga. Dia memiliki Ibu yang sangat ramah dan baik.

Beruntungnya ....

                                                                 Flashback End

Saat dia menghampiriku, dia langsung meminta maaf karena membuatku lama menunggu. Dan akhirnya aku memintanya untuk mentraktirku siomay Bang Jali. Itu adalah siomay langgananku waktu SMA. Jarak sekolah SMA dengan rumahku tidak terlalu jauh, hanya sekitar 10 menit dengan berjalan kaki.

Setibanya di tempat itu, aku langsung memesan. Dan temanku yang satu ini sepertinya sangat lapar karena dia memesan siomay dengan 3 porsi sekaligus. Kadang aku sesekali melihatnya yang sedang fokus memakan siomay. Tidak jarang pula dia menatapku dan tersenyum sembari menunjukkan lesung pipitnya.

'Aku benar-benar menyukainya.'

Sudah hampir 2 tahun lebih aku menyukainya. Kalau ada istilah 'dari nyaman jadi sayang', mungkin seperti itulah yang sedang aku rasakan sekarang. Semua yang dia lakukan untukku benar-benar membuatku nyaman, dan berakhir dengan keinginan untuk memiliki. Aku ingin mengatakannya, tapi sangat takut jika ternyata dia hanya menganggapku teman dan malah membuat dia jadi jauh dariku.

'Tapi rasa ini memang harus diungkapkan, bukan?'

Entah kenapa kali ini rasa itu membuatku tidak tahan. Aku ingin sekali mengungkapkannya. Selama ini dia selalu memberi perhatian padaku. Dengan banyaknya bukti yang sudah ku ceritakan tadi, sepertinya aneh jika dia tidak memiliki rasa yang sama denganku.

'Zaman sekarang bukan hanya pria saja yang bisa mengungkapkan sebuah rasa, ya kan?'

Semua butuh kejelasan untuk mempermudahnya.

Suasana sangat mendukung dengan hanya ada aku dan dia. Dan... pastinya si penjual siomay juga. Tapi jaraknya cukup jauh dari tempat kami duduk. Ketika melihatnya sudah selesai dengan makanannya, akupun mulai bicara.

"Yuda ...." panggilku.

"Kenapa Yura?" jawab Yuda sambil meraih minumnya.

"Yud, maaf ya karena aku harus bilang ini." Aku sangat gugup sampai aku meremas bajuku sendiri. "Aku ....

... mencintaimu, Yud," lanjutku menatap Yuda.

Aku melihat perubahan dari diri Yuda yang tadi melihatku, kini hanya menunduk sembari mengigit bibir bawahnya.

'Apa dia akan menolakku?'

'Mengatakan bahwa dia tidak mencintaiku?'

'Atau, ... hanya menganggapku sebagai teman?'

Okay, aku harus bersiap akan hal ini.

Cukup lama Yuda menjeda jawabannya. Mungkin dia juga bingung akan pengakuan yang aku lakukan secara tiba-tiba ini.

"Aku ...." Dia mulai bicara dan hal itu semakin membuatku gugup. "Sebenarnya aku ....

... tidak menyukai perempuan."

Nging ....

Aku sangat terkejut mendengarnya. Apa maksud dari dia tidak menyukai perempuan?

Kenapa seorang pria tidak menyukai perempuan?

Bukankah mereka memang ditakdirkan bersama perempuan?

Tiba-tiba emosi memuncak dalam dadaku. Jawaban yang dia berikan seakan-akan sedang mempermainkanku. Aku sangat sakit mendengarnya, membuatku tidak bisa mengontrol emosiku.

Dan kemudian ....

PLAK!!!

Aku menamparnya dengan begitu keras hingga mungkin terdengar oleh si penjual siomay. Aku lalu pergi meninggalkannya sambil berlari menjauh dari Yuda. Setelah aku lelah berlari, aku kemudian berhenti. Menenggelamkan wajahku di paha dan tanganku memeluk kedua kakiku erat.

Jawaban Yuda benar-benar di luar pemikiranku.

"Aku ....

...tidak menyukai perempuan."

Apa?

Aku mulai menangis ....

Hanya sedikit air mata yang ku keluarkan, karena tiba-tiba saja ada suara asing dan sebuah tangan menyentuh pundak sebelah kiriku.

"Neng, kenapa? Diputusin?" ucap seorang wanita dengan suara agak nyaring.

Kemudian aku mencoba mengangkat kepalaku. Wanita itu ternyata Ibu-Ibu pedagang asongan. Hehe ....

Aku terlalu sedih sampai tidak tahan untuk menangis. Dan tempat yang paling strategis untukku menangis adalah di samping gerobak jualannya, yang kupikir sepi. Ternyata, di baliknya banyak orang-orang yang sedang membeli dagangan Ibu ini.

Aduh malunya ....

Aku kemudian menghapus air mataku dan mulai berdiri. Si Ibu pedagang asongan masih menatapku iba.

Dan ya ....

mereka juga, para pembeli. Aagh ....

Untuk menghindari tatapan mereka, aku membeli satu botol air mineral dingin dan langsung bergegas dari tempat itu. Aku berjalan dan terus berjalan sambil memegangi botol air mineral di tangan kananku. Tangan yang tadi kupakai untuk menampar Yuda. Rasa perih masih terasa di tanganku. Entah karena dinginnya air yang sedang kugenggam, atau memang terlalu kerasnya tamparanku.

Setelah beberapa saat, aku mulai menyadari bahwa ternyata langkahku malah mengarah ke penjual siomay tadi.

'Aih ... kenapa?'

Di sana aku masih melihat Yuda duduk termangu. Pasti dia berpikir betapa jahatnya aku.

'Cinta memang bisa jatuh kepada siapa saja dan tidak ada orang yang bisa menghentikannya.'

Seketika rasa sedih itu muncul lagi. Tapi tidak sama seperti yang sebelumnya. Aku sedih melihat orang yang aku cintai bersedih. Di negaraku, bukanlah hal biasa jika ada seseorang seperti Yuda. Tapi bukan berarti kita harus menyakiti mereka. Hanya saja, seperti yang kubilang tadi, "Bukanlah hal yang biasa".

Aku mulai berjalan lagi ke arah Yuda dan melihatnya sedang bersiap untuk pergi.

"Maaf Yud, aku terlalu kekanak-kanakan. Seharusnya aku nggak boleh begitu," ucapku sesampainya di depan Yuda.

Yuda sedikit terkejut melihat kehadiranku dan juga dinginnya air mineral yang kuletakkan di pipinya.

Ya, di pipi yang tadi aku tampar.

Aku hanya berpikir dengan aku menempelkan air dingin ini, bisa sedikit meredakan rasa sakit di pipinya.

Beberapa detik kemudian, Yuda tersenyum kepadaku dan bangkit dari tempat duduknya. Cukup lama dia menatapku sampai akhirnya dia bersuara.

"Aku senang kamu kembali."

Dia berkata seperti itu sambil memegang tanganku, yang aku gunakan untuk memegang botol air mineral yang ada di pipinya. Kami akhirnya mulai tersenyum. Saling menatap satu sama lain dan setelah itu kami melanjutkan perjalanan pulang.

Satu yang aku tahu bahwa, 'mencintai dengan hati bukanlah ego'.

Ego hanya membuat kita menjadi serakah.

Yura End POV.

                                                               ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status