Aku sangat-sangat terkejut. Terlebih lagi kini aku menginjakkan kaki di halaman rumahnya. Rumah yang tidak lain milik Puspa ini membuat hati terasa nyut-nyut ngeri. Berasa kalah dari seorang pelakor.
Aku lambat menyadari semuanya. Jika seandainya dari dulu menyelidiki hubungan antara keduanya, mungkin saat itu juga aku berhemat demi membeli rumah baru yang akan kutinggali seorang diri. Mau bagaimana? Allah belum mempercayaiku untuk memiliki seorang anak.
"Kamu kenapa, kenal pemilik rumah ini?" tanya Pak Ray.
Tidak ada jawaban dari mulut seorang Marina Anggira. Kulajukan langkah keluar dari pekarangan rumah pelakor itu. Meski sejuta tanya bersarang di kepala, aku tetap tinggalkan depan rumahnya.
'Pak Ray dan mereka ada hubungan apa yah?' batinku terus bertanya-tanya.
Aku ke rumah dengan langkah cepat. Ternyata Bang Mail sedari tadi memerhatikan. Sejak kapan dia pulang?
"Lepas aku bilang!" pintaku, meronta.Sekuat tenaga melawan dan mencoba mencari tahu pemilik tangan kekar itu, tapi semuanya gelap. Aku tidak bisa melihat secara jelas siapa agaknya yang begitu cepat mencekal pergelangan tanganku di tengah gelapnya malam?Aku hanya menduga mungkinkah tangan milik Bang Mail? Dari bau parfum sepertinya dirinya. Akan tetapi, itu belum pasti karena parfum yang digunakan Pak Ray saja mirip dengan yang digunakan suamiku."Lepas!" Tak henti-hentinya melawan hingga rasanya tenaga sedikit terkuras. Aku mulai lelah hingga terpaksa menggigit tangannya."Marina, kumohon jangan pergi. Abang sangat mencintai kamu."Suara itu? Ternyata dia Bang Mail. Berarti dia terbangun tak lama setelah aku pergi.Meski sudah aku gigit, Bang Mail tetap enggan melepas tangan ini. Ia terus memegangnya erat lalu berjalan meraih koper dan HP yang tergeletak di pinggir jalan.Kulihat layar HP retak. Ini semua
Aku membalas senyuman wanita itu. Ia menghampiri Pak Ray, meraih tangannya lalu ia cium dengan takzim."Tumben Mas lambat pulang?" tanyanya, masih dengan senyuman yang menghias wajahnya."Mas liatin Puspa dulu." Pak Ray menjawab. "Oh, iya ... Sayang, kenalkan ini Marina mantan pegawai mas yang akan kembali bekerja."Aku hanya tersenyum ketika istri Pak Ray menatapku. Selang beberapa saat, ia mengulurkan tangan. "Nessa.""Marina." Aku pun menyambutnya."Yuk, masuk!" ajaknya kemudian."Marina ayo." Pak Ray juga mengajak."Ayo masuk Tante," sahut Aura.Aku mengangguk sembari tersenyum lagi dan lagi. Kuikuti langkah mereka sambil menarik koper hingga tiba di ruang tamu dan dipersilakan duduk layaknya tamu terhormat.Dari segi perbuatan, sepertinya Nessa orangnya baik. Apakah saat mengantar Bang Mail menemui Puspa di rumah sakit dia tidak tahu kalau yang diantar sudah beristri? Atau pura-
POV MailSejak kepergian Marina dari rumah, makanku tak terurus, pikiran tak karuan dan tidur pun tak nyenyak. Bukan karena tidur tanpa kasur, tapi karena Marina istriku tak berada di sisi.Jujur, kepergiannya meninggalkan sejuta luka di hati ini. Aku benar-benar kehilangan Marinaku, sosok wanita berstatus istri yang selalu taat akan perintah Allah. Yang selalu menyediakan makanan untukku dan yang selalu ada setiap aku butuh.'Marina abang merindukanmu.'Kulipat dua selimut yang kupakai semalam dengan air mata melaju membasahi pipi. Aku kesepian tanpa Marina. Dia segala-galanya bagiku.Setelah rapi, selimut aku simpan di atas ranjang. Semalam aku tidur di lantai beralaskan selimut. Meski sudah pakai selimut tebal, tetap saja dinginnya malam menembus hingga ke tulang-tulang. Dingin sekali.Sebelum berangkat kerja, pagi-pagi sekali aku harus mengurus Puspa di rumahnya. Mulai dari minumnya hingga makannya. Kadang lelah dan ingin men
Aku sangat marah. Pria berpakaian jas hitam itu kembali kupukul bertubi-tubi usai berhasil melepas diri dari wanita yang memegangku. Rasanya ingin kubunuh saja pria itu. Beraninya merebut Marina. Aku tidak terima!"Bang sudah! Kamu apa-apaan, sih main pukul aja?!" Marina dan wanita yang bersamanya menarik tangan ini barulah aku berhenti memukul. Meski demikian, aku puas sudah membuat wajah pria brengsek itu lebam. Bahkan ujung bibirnya berdarah.Aku tersenyum kecut melihatnya tak berdaya. Berdiri pun sepertinya harus bekerja keras. Ia hanya menatapku tanpa bersuara. Sama sekali tidak marah apalagi melawan. Mungkin karena merasa bersalah.Kutatap Marina penuh emosi. "Jelaskan pada abang maksud dari semua ini?! Kita belum cerai Marina. Bagaimana mungkin semudah itu kamu menerima pria lain?! Jelaskan kenapa?!""Maksud Ab-""Anda siapa? Apa yang perlu dijelaskan?! Marina bekerja di sini dan pria yang kamu pukul itu pelangganku. Sekarang kamu pergi atau
Dada sudah berasa sesak akan kekhawatiran. Ditambah lagi menaiki anak tangga dengan terburu-buru, persis seperti ada yang mengejar. Terus berlari hingga berada di kamar. Demi ingin sampai tepat waktu, rela tenaga terkuras, tetapi malah diri merasa dipermainkan.Puspa tersenyum tanpa melihat keringat dingin di pelipis mulai jatuh bercucuran. Ia tampak bahagia dengan semua yang diperbuatnya. Tanpa sadar telah membuat emosiku terpancing kembali.Bukan tidak suka melihatnya sehat wal'afiat. Akan tetapi, apa yang dilakukannya itu sungguh membuat diri ini kesal. Aku tidak suka dibohongi, diprank atau apalah istilahnya.Kutatap Puspa sambil berkacak pinggang dengan napas yang memburu. Dia lagi-lagi tersenyum dan sesaat kemudian bernyanyi."Happy birthday to you, happy birthday to–""Stop!" marahku dengan suara lantang.Aku benar-benar tidak bisa menahan amarah hingga mengeluarkan suara setinggi itu di depannya.Jika i
"Enggak, ini enggak mungkin," gumamku sambil menggelengkan kepala. Seluruh badan menjadi lemah tak berdaya.Namun, meski begitu aku berusaha meyakinkan diri bahwa yang kecelakaan itu bukanlah orang kucintai. Kuhapus air mata, lalu meminta mbak itu mengantar ke rumah pemilik butik. Ternyata rumahnya lumayan dekat. Jalan kaki sekitar seratusan meter sudah sampai."Terima kasih Mbak." Jantung berdetak kencang. Perasaan tidak enak masih membersamai."Iya sama-sama."Setelah mbak-mbak itu pergi, aku menarik napas untuk mengisi paru-paru yang terasa sangat sesak, lalu kembali menghembuskannya laju. Selanjutnya berjalan pelan mendekati pagar rumah. Di ujung pagar, terdapat kain berwarna kuning yang diikat. Kain kuning lambang kematian itu berasa menggores luka paling menyakitkan di hati. Jantung pun kembali seperti ingin copot.'Astagfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah.
Aku melongo tak percaya. Apa yang barusan kudengar benar-benar membuatku terkejut. Semudah itu ia berucap. Kami bahkan belum pisah."Mail, aku tuh kecewa tahu enggak? Apa sih yang kamu cari? Seorang suami tugasnya melindungi, mencintai, menyayangi istrinya, bukan menyakiti seperti kamu. Marina sangat menderita batin. Tega kamu sakiti wanita sebaik dia." Wanita yang tidak lain adalah Nessa, istri dari Ray ini terus berucap tanpa jeda.Nessa sangat marah, aku tahu dari tatapannya dan dari nada suaranya. Ia bahkan mengatakan aku seorang suami yang tak berguna. Tidak layak untuk Marina.Entah dari mana pula datangnya wanita satu ini? Datang menceramahi aku tidak seperti biasanya. Walau semua yang ia katakan memang benar, tapi aku risih. Apalagi ini di toko. Bagaimana kalau ada yang mendengar? Mau ditaruh di mana muka ini ya Allah? Meresahkan juga istri Ray ini."Nes, maaf tapi mungkin l
Aku masih berdiri di tempat dengan wajah memerah karena amarah, masih menguping pembicaraan Puspa dan ibunya."Maksudnya bagaimana?" Ibu Rosma bertanya.Dapat aku pastikan saat ini ia terkejut, karena yang diketahuinya Puspa sangat mencintaiku, tapi nyatanya tidak seperti yang diperkirakan."Bu, awalnya aku memang mencintai Mas Mail, tapi setelah aku tahu dia hanya ingin mempermainkan aku, rasa itu mendadak hilang. Aku ingin membalas. Pria seperti dia enggak pantas dicintai. Mungkin sekarang dia mencintai aku tulus, tapi enggak denganku. Akan aku balas!"Kalimat yang diucapkan Puspa nyaris membuatku mendobrak pintu. Untung saja tetap berusaha menahannya. Entah sejak kapan Puspa mengetahui niat aku sebelumnya."Baguslah. Tapi apa rencanamu?" Ibu Rosma kembali bertanya."Ada, deh. Hahaha," tawa Puspa usai bicara disusul gelak tawa ibunya seakan menertawak