Hari yang sudah ditentukan Pak Kusno telah tiba, malam Rabu selepas magrib kami berangkat ke rumah pria paruh baya itu berbekal tujuh ekor ayam pejantan berbulu putih.Dua ekor hewan itu kusuruh pegang kakinya yang sudah diikat pada Ratna. Sedang sisanya kumasukkan dalam karung, tak lupa karung aku lubangi semuat kepala ayam, agar tidak terkesan menzalimi binatang.Aku pacu motor maticku dengan kecepatan sedang, menembus gelita malam, suasana desa yang sepi di malam hari sedikit menegangkan, bulan penuh menggantung di langit bermega abu.Gemeresik dedaunan bambu yang tumbuh rimbun diterpa desau angin, pun suara jangkrik yang bersahutan tak pelak mengusik rungu. Tak ada satu orang pun yang tampak di luar, padahal ini masih terbilang awal, lampu-lampu teras berpendar suram hanya mampu menerangi satu lingkup saja.Hingga saat melewati jalan sepi tanpa satu pun perumahan, tiba-tiba lampu motor berkelip, perlahan meredup lalu mati total, terpaksa kami berhenti demi keselamatan perjalanan.
Malam itu, aku mengatakan pada Pak Kusno bisikan yang kudengar, pria paruh baya berpakaian hitam tersebut meminta agar kami membawanya ke rumah, aku sempat ragu, apa yang akan dia lakukan? Ini sudah jam dua belas malam."Jika kalian ingin segera terbebas dari masalah ini, ikuti kata-kata saya," ucap Pak Kusno penuh penekanan, tak punya pilihan lain, akhirnya aku dan Ratna menyetujui, lantas berangkat saat itu juga. Dalam perjalanan, ruang pikiran dan pelupuk mataku terus dibayangi ular besar itu, desisnya yang terus terngiang di telinga tak ayal membuat bulu kuduk merinding.Hingga tiba di rumah, Pak Kusno kami persilakan masuk, tetapi pria paruh baya itu menolak, langkahnya cepat justru tertuju ke belakang rumah, kami mengikutinya, ia berjongkok di dekat bambu gading yang sengaja ditanam agar suasana rumah kami teduh."Ambilkan pisau!" titahnya setengah membentak, aku mengangguk pada Ratna, istriku langsung masuk ke rumah, tak lama keluar membawa sebilah pisau dapur, ia menyerahkan
Setelah kejadian mengerikan malam tadi, aku terus merenung, penawaran Pak Kusno, mimpi dan kenyataan yang saling berhubungan, bahkan nyaris sama dan sangat nyata."Makanannya kok cuman diaduk-aduk, Bang?" Aku tersentak mendengar teguran Ratna, cepat kuangkat wajah, tersenyum padanya."Nggak enak ya?" tanyanya lagi, aku menggeleng cepat."Enak kok! Siapa bilang nggak enak, nih abang makan," sahutku mulai menyuap kembali nasi dengan sayur sop yang entah kenapa terasa begitu hambar. Bukan, bukan karena masakan istriku yang tidak enak, tetapi kemelut jiwa ini yang membuatku mati rasa."Dek, abang lagi nggak nafsu makan sebenarnya," ucapku, sontak Ratna mendekat, dia meletakkan tangannya di keningku."Abang nggak sakit 'kan?" Dia terlihat cemas, aku menggeleng."Nggak kok, Sayang. Adek makan aja ya, abang ke teras dulu, ngerokok," ucapku yang akhirnya diamini Ratna, gegas aku bangkit dari kursi meja makan, melangkah keluar dengan secangkir kopi dan asbak rokok serta bungkusnya.Sebenarnya
Keesokan harinya, aku dan Ratna berangkat menyeberangi desa, tujuanku memenuhi janji bertemu Yanto, jarak kediaman kami yang tak begitu jauh cukup menggunakan motor sebagai transportasi.Satu jam dua puluh menit menempuh perjalanan, kami pun tiba di kafe yang sudah disepakati kemarin, aku dan Ratna duduk menunggu kedatangannya di salah satu meja deka sekat kaca transparan sebagai dinding pembatas tempat ini.Tak berselang lama, Yanto tampak sudah tiba bersama anak istrinya, aku melambaikan tangan begitu mereka di pintu masuk, pria seumuranku itu tersenyum lebar, kemudian menuju ke meja kami.Aku bangkit bersalaman dengan Yanto, kami berpelukan, begitu lah, kita berdua memang seakrab itu, lebih dari sekadar teman.Ratna juga terlihat akrab dengan Viona, istri Yanto yang kini sedang menggendong bayi mereka, usianya baru dua tahun, kata Yanto. Kami berlima duduk berhadapan, bercengkerama sejenak sebelum memesan makanan. Setelah beberapa saat kemudian, aku diajak Yanto duduk di meja lain
Pov Ratna.[Tunggu abang pulang ya, Sayang. Nggak lama lagi kok, paling satu bulan lagi, love you ....] Aku tak bisa menahan senyum senang membaca pesan dari Bang Angga, suamiku. Satu bulan sudah kami berpisah karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya kerja di luar kota.Tinggal jauh dari suami memang berat, apa lagi kami masih berdua, belum dikaruniai anak oleh Yang Maha Kuasa. Ingin rasanya aku ikut suami ke perantauan, tetapi rasanya tak memungkinkan.Bang Angga tinggal di rumah toke atau bos tempat dia kerja bersama teman sesama lelaki, pendapatan yang terkumpul lumayan banyak selama dia kerja, kami bahkan bisa membangun rumah di tahun ke tiga pernikahan.Tinggal di desa seorang diri, tanpa suami, sedikit membuat tak nyaman, tetapi demi perjuangan aku rela bertahan, toh ini untuk masa depan kami juga."Permisi!" Aku yang tengah duduk di ruang tengah tersentak mendengar ketukan pintu, gegas aku bangkit membukakan, sesosok perempuan muda berdiri di depan pintu dengan senyum le
Setelah hari itu, aku tak lagi membawa Ratna ke rumah Pak Kusno, setelah kupikir masak-masak, tak ada perubahan signifikan selama aku membawanya ke sana, bahkan yang terkecil seperti menghilangkan gangguan iblis-iblis itu pun, tidak.Satu hari berselang, hatiku mantap membawa Ratna ke rumah Ustaz Amir, satu-satunya imam masjid yang tampak alim di desa kami. Namun, saat hendak berangkat, kehadiran Pak Kusno mengejutkan kami.Entah sejak kapan lelaki paruh baya itu datang, tiba-tiba saja sudah ada di depan pintu rumahku, wajahnya tegang dengan sorot dingin yang menghujam."Mau ke mana kalian?" tanyanya, aku dan Ratna saling pandang."Ada keperluan sebentar, Pak," sahutku sopan, tetapi binar matanya tetap tersirat kemarahan."Saya tau keperluan apa yang sedang kalian bicarakan. Bagaimana dengan usulan saya? Kalian mau menyerah begitu saja?" Pak Kusno masih dengan tatapan yang sama. Aku mempersilakan pria itu duduk di kursi teras, tidak pantas rasanya bicara sambil berdiri."Jadi begini
Selamat membaca! *****Malam itu setelah dikejutkan dengan suara pekikan keras nan misterius, kami memutuskan tidur, karena besok akan menyusuri kota, mencari alamat yang diberikan oleh Ustaz Amir.Kembali berjuang untuk kesembuhan Ratna. Namun, sesuatu yang begitu mengejutkan terjadi menjelang subuh.Saat bangun Ratna mengeluh gatal pada kakinya, setelah shalat subuh pun dia tak lagi duduk di sajadah, memilih bangkit, melepas terburu mukenanya.Hingga pagi menjelang dia tidak bisa melakukan rutinitasnya, kedua tangan istriku itu sibuk menggaruk kedua kakinya."Kakimu kenapa sih, Dek?" tanyaku mendekat, Ratna tak menjawab dia malah menangis saking pegal tangannya menggaruk, tetapi rasa gatal itu sepertinya enggan hilang."Perih, Bang. Gatal sekali," keluhnya di sela tangis, aku yang dilanda khawatir langsung menghentikan aksi menggaruk dengan menahan kedua tangannya. Betapa terkejutnya saat mendapati kaki istriku dalam kondisi mengenaskan.punggung kakinya muncul bintik kemerahan, g
Pagi menjelang, matahari menyembul dari ufuk timur dengan cahaya kemerahan, menghangatkan seluruh pelosok desa. Aku dan Ratna baru saja selesai sarapan, istriku itu tengah sibuk membereskan piring di meja kami."Coba liat kakinya, Dek!" seruku, dia sedikit menyingkap gamis yang dikenakannya ke atas, netraku memindai punggung kakinya, syukurlah, sudah kembali seperti sedia kala, hanya meninggalkan sedikit bekas, dia pun tak lagi mengeluh sakit dan gatal.Setelah berberes, Ratna bersiap, pun aku. Berdua kami keluar dari rumah, tak lupa memastikan tak ada pakaian satu pun tertinggal di luar. Kami ingat betul dan tidak mau ambil risiko atas nasihat Ustaz Amir.Saat menunggu Ratna membukakan pagar, aku melihat Raya entah pulang dari mana, kedua tangannya diperban, aku sempat melihat walaupun langsung dia sembunyikan di belakang tubuhnya."Mau ke mana, Mas Angga, Mbak Ratna?" tanya dia dengan nada suara terkesan dimanis-maniskan."Mau ke kota," sahutku singkat."Loh! Ada keperluan apa ya, M