“Astri, ada yang mau aku tanyain sama kamu.”
Mendengar namanya terpanggil, Astri hanya mengedikkan bahunya. Gadis itu masih fokus dengan layar ponselnya yang menampilkan video-video lucu.
“Astri, aku pengen ngomong sama kamu. Ponselnya ditaruh dulu.”
Astri tetap saja tidak bergeming, sepertinya gadis itu memang sengaja tidak menjawab ucapan Kia. Astri pura-pura tidak mendengar, padahal gadis itu sama sekali tidak menggunakan earphone di telinganya yang membuatnya tidak bisa mendengar. Kia yang merasa Astri tidak menanggapi ucapannya, menarik ponsel Astri dari tangan pemiliknya kemudian meletakkan ponsel itu di atas meja.
“Kamu apa-apaan sih, Kia? Aku lagi seru-seruan nonton video, main tarik aja ponselku. Mana ponsel aku, sini kembaliin,” kesal Astri.
Kia menggelengkan kepalanya. “Aku pengen ngomong dulu sama kamu.”
Astri merasa jengkel dengan Kia. “Mau ngomong apa sih? Penting banget emangnya? Sampai-sampai gangguin orang lagi nonton aja,” ketus Astri.
Kia menarik napasnya, berusaha untuk tidak termakan emosi dengan sifat Astri. “Kemarin aku titipin surat izin ke kamu, kan?”
“Ya,” jawab Astri sesingkat-singkatnya.
“Lalu, kenapa bu Sandra bilang suratnya gak nyampai ke tangan dia?”
“Lupa.” Kia membelalakkan matanya ketika mendengar jawaban Astri. Astri sudah hampir membuatnya alpa, dan dengan mudahnya ia mengatakan bahwa ia lupa memberikan surat itu kepada bu Sandra?
“Astri, kamu jangan bilang lupa gitu dong. Ini menyangkut absen aku dan efek paling fatalnya ialah bisa menyangkut beasiswa aku.”
“Oh.”
Jawaban Astri benar-benar membuat Kia naik darah kali ini. “Kamu lupa kasi ke bu Sandra atau kamu memang sengaja gak ngasi surat itu kepada bu Sandra?”
Astri yang sedari tadi masih terduduk di atas sofa, sontak berdiri mendengar tuduhan Kia. “Kamu apa-apaan sih? Main nuduh gitu aja, gak ada buktinya lagi. Eh Kia, fitnah itu lebih kejam ya daripada pembunuhan.” Astri meninggikan nada suaranya, membuat Gea—sang mama mendengar perihal pertengkaran mereka.
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Gea.
“Ini, Ma. Kia nuduh Astri sengaja gak titipin surat izinnya sama wali kelas,” ucap Astri mengadu.
“Enggak begitu, Ma ceritanya.” Kia berusaha membela diri.
“Enggak begitu gimana? Tadi kamu nuduh aku yang enggak-enggak.” Astri tidak mau kalah.
“Habisnya aku kesal sama kamu, masa dengan semudah itu kamu bilang lupa titipin surat izin aku? Padahal kamu tahu sendiri, absen itu penting buat aku.”
“Udah ya udah. Diam semuanya. Kalian itu berisik banget, ganggu mama lagi kerja aja. Sekarang, Kia buruan minta maaf dengan Astri.”
Mendengar ucapan mamanya, Kia membulatkan matanya, kemudian berucap, “Apa, Ma? Kok Kia yang harus minta maaf?”
“Ya, karena kamu salah. Kamu salah udah nuduh Astri kayak begitu. Astri itu anak baik-baik, gak mungkin punya niatan jahat sama kamu.”
“Tapi kan Astri ….”
“Udah, gak usah banyak alasan. Kalau salah ya salah aja, jangan lempar batu sembunyi tangan. Sekarang, minta maaf sama Astri!”
Kia melihat mamanya berkaca-kaca. Sampai kapan dia akan terus begini? Selalu tidak dipercayai oleh anggota keluarganya.
“Iya, Ma. Iya, Kia minta maaf. Tapi, Kia minta maaf bukan karena murni kesalahan Kia. Kia hanya gak mau merusak keharmonisan keluarga ini dengan cara Kia egois.”
“Ya, itu kamu tahu sendiri, kamu egois,” sindir Gea.
Kia menghela napasnya. Gadis itu lalu mengulurkan tangannya kepada Astri. “Aku minta maaf, udah nuduh kamu yang enggak-enggak.”
“Iya, aku maafin,” jawab Astri tanpa membalas uluran tangan Kia.
“Udah, kan? Masalahnya udah selesai. Mama mau lanjut kerja dan kamu jangan suka berbuat ulah lagi. Jangan tambahin masalah di keluarga ini.” Gea mengakhiri ucapannya dengan telunjuk yang mengarah kepada Kia.
***
Kia membetulkan dasi berwarna abu-abu yang melingkar di lehernya, sembari sesekali gadis itu bersenandung kecil.
Well you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go
Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missing home
Only know you love her when you let her go
And you let her go
Suara Kia mengalun begitu merdu, hingga gadis itu terbuai masuk ke dalam lagu itu.
Staring at the bottom of your glass
Hoping one day you'll make a dream last
But dreams come slow and they go so fast
You see her when you close your eyes
Maybe one day you'll understand why
Everything you touch surely dies
Kia hendak melanjutkan nyanyiannya ada baris selanjutnya lagu tersebut, namun gadis itu berhenti ketika sebuah panggilan masuk di ponselnya.
Kia segera mengambil ponselnya yang berada di dalam nakas, dan mendapati penelepon tersebut ialah orang yang tidak ia kenali.
"Siapa ya yang nelpon? Mungkin orang iseng aja kali." Gadis itu me-reject panggilan itu. "Kalau penting, gimana ya?"
"Ah, kalau memang penting, pasti orangnya telpon lagi."
Sesuai dengan perkataan gadis itu, ponselnya kembali berdering. Kia melihat nomor peneleponnya, nomor itu nomor yang sama dengan nomor yang tadi menelponnya. Merasa bahwa ada yang penting yng ingin disampaikan si penelepon, akhirnya gadis itu mengangkat panggilan itu.
"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat pagi, apa benar ini dengan saudari Kia?"
"Iya benar, ini dengan saya sendiri. Kamu siapa dan ada perlu apa, ya?" Kia merasa bahwa si penelepon berumur sepantaran dengannya.
"Kamu gak perlu tahu siapa saya, yang jelas, saya ingin memberitahukan kamu bahwa teman kamu yang bernama Karenina mengalami kecelakaan. Sekarang, teman kamu sudah dibawa ke rumah sakit."
"Apa? Teman saya kecelakaan? Kamu jangan mengada-ada ya. Teman saya itu baik-baik saja," tukas Kia.
"Terserah jika kamu tidak mau percaya, yang jelas temanmu sekarang perlu bantuan kamu. Saya akan share lokasi rumah sakit tempat teman kamu dibawa."
"A--"
Namun, saat Kia hendak bertanya lebih lanjut, panggilan itu terputus.
Kia berdecak kala si penelepon tersebut langsung mematikan panggilan secara sepihak.
"Apa benar Karen mengalami kecelakaan? Firasat aku bilang, ini cuma modus penipuan."
Tiba-tiba saja sebuah notifikasi pesan masuk ke dalam ponsel Kia.
Kia segera membuka pesan tersebut. Ternyata, pesan yang dikirim oleh si penelepon tadi, pesan tersebut berisi lokasi yang menunjukkan sebuah rumah sakit.
"Apa jangan-jangan benar Karen mengalami kecelakaan?"
Beberapa detik yang lalu, Kia tidak mempercayai ucapan dari si penelepon, namun untuk kali ini, ia merasa bahwa penelepon itu berucap benar.
Rasa panik mulai menjalari pikiran Kia. Darahnya berdesir begitu kencang. Kia takut terjadi apa-apa dengan Karen. Ia harus segera menuju rumah sakit, ia harus melihat keadaan Karen dan memastikan bahwa Karen baik-baik saja.
Kia lalu mengambil tas sekolahnya, lalu berjalan keluar dari rumah. Sembari berjalan, gadis itu menekan aplikasi ojek online di ponselnya, kemudian memesannya. Jika biasanya setiap pagi, Kia akan berjalan kaki menuju sekolah, maka sekarang tidak bisa. Ia tidak bisa menuju rumah sakit dengan berjalan kaki, mengingat jaraknya yang cukup jauh. Terlebih, gadis itu ingin segera sampai di rumah sakit.
***
Mengalah tidak berarti kalah. Mengalah berarti kamu satu langkah lebih maju dibanding yang kalah.
Suara ketukan terdengar menggema pada sebuah kayu jati berwarna cokelat yang meninggi itu."Silakan masuk," ucap seorang wanita dari dalam sana. Si pengetuk tadi memutar knop pintu, kemudian berjalan masuk ke dalam ruangan besar penuh kehormatan itu. Tidak lupa, ia menutup kembali pintu megah dari jati itu."Selamat pagi, Bu.""Selamat pagi juga, Kia. Silakan duduk."Kia mengangguk sopan, kemudian duduk di kursi sebelah Elvan. Tunggu dulu, Elvan? Dia juga sedang berada di sini?"Baiklah, karena Kia sudah datang. Jadi tanpa banyak berbasa-basi, saya ingin memberitahukan kalian bahwa kalian berdua terpilih untuk mengikuti LBS-P tahun ini." Ucapan Bu Anin selaku wakil kepala sekolah bidang kurikulum membuat kedua muridnya saling bertatap muka."Mohon maaf, Bu. Bukankah LBS-P hanya diikuti oleh satu orang saja?" tanya Elvan yang mewakili p
“Kia, sumpah deh, aku masih gak nyangka papa kamu sebaik itu. Padahal seharusnya, kamu itu masih dalam masa kurungan, tapi papa kamu udah izinin kamu bersekolah. Aku senang banget,” ucap Karen bertubi-tubi. Ia tidak bisa menahan rasa senangnya ketika hari ini Kia mulai kembali bersekolah.“Iya, Ren. Aku juga gak nyangka. Aku pikir hukuman aku bakal ditambah, eh rupanya malah dikurangi. Aku senang, senang banget. Papa itu emang baik, cuma ya kadang-kadang aja galak.”Kia menyeruput jus alpukat yang berada di depannya. Rasa bahagia benar-benar menyelimuti perasaannya sekarang ini. Bagaimana tidak? Papanya memberinya izin untuk bersekolah lebih cepat dibanding yang dikatakannya kemarin. Mungkin, itu sebuah hal sederhana. Namun, memang sesederhana itu bahagianya Kia.“Kita berdoa aja, semoga ini adalah petunjuk yang baik. Semoga ke depannya papa kamu bahkan mama kamu akan bisa
Kia membereskan buku tulisnya, kemudian menyusunnya rapi ke dalam rak buku. Gadis itu baru saja menyelesaikan tugas makalahnya. Sesuai dengan ucapan Karen tadi, ia langsung mengirimkan file-file berisi tugas dan materi kepada Kia. Ia juga menjelaskan beberapa tata cara pengerjaan tugas makalah yang diberikan.Kia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 5 sore. Baru 1 hari, Kia berada di kamar secara terus-terusan. Namun, rasa bosan begitu menyelimuti perasaan gadis itu. Ponselnya tengah tersambung dengan stopkontak untuk mengisi energinya yang telah terkuras habis, sementara laptopnya bagaikan berada di tengah matahari 12 siang yang begitu panas karena baru digunakan untuk mengerjakan tugas. Kamarnya juga tidak seperti kamar milik Astri yang dilengkapi oleh televisi. Lantas, apa yang mesti Kia perbuat sekarang untuk mengusir rasa bosannya?“Baru sehari aja udah bosannya kayak gini, apalagi kalau 3 hari?”&nb
“Kia!” teriak Aris dan Gea bersamaan. Teriakan itu tidak sama sekali membuat Kia terkejut, melainkan membuat gadis itu semakin menundukkan kepalanya akibat rasa takut.“Kamu itu benar-benar anak gak tahu diuntung, ya!” bentak Aris. “Masih untung kami itu tidak mengusir kamu dari rumah ini, tapi apa balasanmu? Kamu menjadi anak yang pembangkang, tidak penurut! Mau jadi apa kamu nantinya jika sekarang saja sudah berani tidak taat pada perintah orang tua?”Kali ini Aris benar-benar dipenuhi oleh amarah. Dapat dilihat dari urat-urat di kepalanya yang tampak kala lelaki paruh baya itu membentak putrinya itu.“Saya benar-benar malu punya anak seperti kamu, Kia,” ucap Gea yang juga tak kalah emosi. “Mau kamu itu apa, wahai anak cacat? Mau mempermalukan kami, hah?!?”Kia tersentak. Gadis itu hendak angkat bicara, namun lidahn
Di sepanjang perjalanan pulang hingga saat Kia sudah tiba di rumahpun, gadis itu masih saja mempertahankan senyuman lebarnya. Gadis itu terus-menerus merapalkan rasa syukurnya karena berkat Karen, ia bisa pergi ke pesta tersebut. Ia juga merasa sangat berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa, karena berkat izin-Nya, Kia bisa menginjakkan kakinya di lantai yang sama dengan idolanya. Terlebih, gadis itu sempat memperkenalkan diri dan mengajak pasangan Hidayat-Dania untuk berfoto bersama.“Senangnya, bisa foto bersama pak Hidayat dan bu Dania. Ternyata, memang aku gak salah mengidolakan mereka. Selain mereka sangat menginspirasi, mereka juga sangat ramah. Aku gak nyangka banget bisa dapatin momen-momen seperti ini.” Kia terus saja memamerkan sederetan gigi putihnya sembari menggeser beberapa foto yang berhasil ia abadikan bersama pasangan idolanya itu.Setelah dirasa cukup untuk melihat foto itu, Kia menaruh ponselnya ke a
Karen menepati janjinya untuk datang ke rumah Kia pukul setengah enam. Beruntungnya, datangnya Karen tidak berpapasan dengan mobil milik papanya yang baru saja melesat menuju tempat pesta.Saat ini, baik Kia maupun Karen sudah berada di dalam mobil. Ditemani oleh sang supir, Karen memerintahkan Pak Narto—supir pribadinya untuk menuju sebuah salon kecantikan.“Kita mau ngapain ke sana?” tanya Kia.“Mau rias wajah kita lah, gak lihat ini wajah kita masih netral banget tanpa bedak?”“Buat apa?”“Ya, buat ke pestanya pak Hidayat dong Kia sayang. Memangnya kamu mau kita ke pesta dengan wajah buluk gini? Malah jerawat aku satu lagi nimbul di dagu.” Karen mengambil sebuah cermin dari dalam tasnya, kemudian memandangi jerawatnya menggunakan cermin itu.“Iya juga, sih. Tapi, kala