Share

Kencan?

“Bukannya teman-teman kamu berangkat? Terus ngapain ke kampus? Habis dari kampus kemana?” tanya mama, Nuri.

“Mau lihat mereka berangkat, ma. Habis dari kampus mau ke toko buku.”

“Sama siapa? Pak Diman dipakai sama Bagas, terus kamu pulangnya gimana?”

“Angkot masih banyak, ma. Aku berangkat kalau gitu.”

“Seniormu kemarin siapa namanya? Ganteng orangnya, dia suka sama kamu?”

“Kak Fajar? Nggak lah, mana mungkin dia naksir aku. Aku berangkat kalau gitu, ma.”

Indira mengambil tangan Nuri mencium punggung tangannya, keluar diantar supir keluar menuju kampus, tidak peduli dengan masalah pulang karena sudah janjian dengan Gina, sahabatnya. Perjalanan rumah ke kampus tidak terlalu jauh, hanya saja Indira belum mendapatkan ijin untuk menggunakan kendaraan sendiri.

Keadaan fakultasnya sudah mulai ramai, Indira memilih sedikit menjauh karena tidak enak dengan teman-teman yang lain. Bus yang akan mengantarkan mereka semua sudah berada di tempat parkir, menatap mereka dari kejauhan dengan tatapan iri.

“Mau lihat Mas Fajar berangkat?” suara seseorang yang duduk disampingnya.

“Nggak masuk barusan?” Indira tidak menjawab pertanyaan Ryan.

“Lima belas menit lagi berangkat, tapi aku nggak lihat Mas Fajar sama sekali.” Ryan mencari keberadaan Fajar.

“Ruang BEM kali atau ngurus yang lain.” Indira menanggapi sambil lalu.

“In, ngapain kesini? Katanya nggak ikut?” tanya Sinta yang sudah ada dihadapannya.

“Mau lihat kalian berangkat,” jawab Indira dengan senyum tipisnya.

“Mita nggak ikut juga ya?” tanya Lia yang tiba-tiba bergabung.

“Nggak ikut dia?” tanya Indira terkejut.

“Kamu nggak tahu?” tanya Lia penasaran yang dijawab Indira dengan gelengan kepalanya. “Informasi yang beredar mamanya masuk rumah sakit.”

Indira hanya menganggukkan kepalanya, kalau boleh jujur sebenarnya sudah tahu Mita tidak akan ikut. Mita tidak berbeda jauh dengan dirinya yang tidak akan mendapatkan persetujuan dari orang tua, apalagi orang tua Mita memiliki jabatan penting di kampus jadi bisa dengan mudah mendapatkan dispensasi berbeda seperti dirinya.

“Kita kumpul, udah mau berangkat.” Ryan membuyarkan lamunan Indira.

Memeluk dua temannya yang baru dikenal dan berjalan bersama Ryan ke teman-teman yang lain berkumpul, mereka mulai meninggalkan fakultas satu per satu. Indira menatap mereka dari jauh, menghembuskan nafas panjang, perasaan tidak rela menghampiri dirinya saat melihat teman-temannya pergi. Bukan pertama kali Indira mengalami ini semua, kedua orang tuanya akan memberikan ijin jika memang bermanfaat untuk pendidikan atau dirinya menikah.

“Mau disini atau pulang?”

Indira hampir mundur saat mendengar suara disampingnya “Kak Fajar!”

“Kenapa?” tanya Fajar menahan senyum melihat ekspresi Indira.

“Nggak ikut berangkat?” tanya Indira setelah berhasil menenangkan dirinya.

Fajar menggelengkan kepalanya “Pacarku nggak berangkat jadi kenapa aku harus berangkat.” Indira membuka mulutnya tidak percaya “Jadi mau disini terus atau pulang atau kencan?”

“Kencan?” Indira mengulangi kata-kata Fajar yang menganggukkan kepalanya “Memang mau kencan dimana?”

“Ya, udah kita berangkat sekarang. Naik sepeda motor nggak masalah, kan?”

“Nggak papa, asal kencangnya nggak jalan kaki aja.” Indira menenangkan Fajar.

Fajar memberikan helm dan jacket yang membuat Indira menatap bingung “Baju kamu pendek nanti kena panas jadinya hitam.”

Indira menggelengkan kepalanya membalikkan jacket pada Fajar “Aku malah pingin coklat gitu kaya Kak Fajar.”

Fajar seketika mengacak rambut Indira dengan gemas “Kita berangkat sekarang.”

Memastikan Indira sudah menggunakan helm, mereka keluar dari parkiran fakultas yang sudah mulai sepi. Sedikit penasaran Fajar tidak berangkat ke acara, tapi rasanya Indira tidak tahu harus bertanya mulai darimana. Kendaraan Fajar berhenti di tempat parkir sepeda yang sedikit jauh dari mall, Indira tahu jika parkiran sepeda di mall ini ada dua pilihan yaitu di gang tempat rumah penduduk atau masuk kedalam tapi jalannya jauh.

“Kita ke mall atau makan disini?” tanya Indira langsung.

“Kamu mau makan disini?” tanya Fajar dengan ekspresi terkejutnya.

“Aku pernah makan disini, kak. Warung biru itu, mie ayam sebelah sana, donat yang disitu, gorengan dekat pintu masuk mall itu, otak-otak di sebelahnya, terus mana lagi ya? Kalau minuman standard sih kalau bukan es teh ya air mineral. Jadi kita makan disini terus ke mall atau gimana?” Indira menatap Fajar yang masih terkejut.

“Memang orang tua kamu nggak masalah kamu makan di tempat begini?” tanya Fajar penasaran.

Indira langsung menggelengkan kepalanya “Penting enak, kenapa nggak. Uang saku orang tua harus pintar menghemat, nanti kalau ada lebih baru beli yang mahal. Terus kita gimana?”

Fajar tersenyum mendengarnya, gadis dihadapannya ini memang anak yang berasal dari keluarga cukup. Sedikit banyak Fajar tahu bagaimana kehidupannya, tapi tidak menyangka tidak terlalu masalah dengan hal-hal seperti ini. Fajar mengajaknya kesini tadi untuk melihat reaksinya setelah kemarin mengajaknya makan di tempat langganan bersama teman angkatannya dulu.

“Kakak, kita mau kemana?” tanya Indira menggerakkan tangannya dihadapan Fajar.

“Mall atau makan dulu?” tanya Fajar membuat Indira mengerucutkan bibirnya.

“Masuk mall aja dulu.”

Berjalan bersama memasuki mall, berdampingan tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Beberapa kali Fajar melihat dari sudut matanya ekspresi wajah Indira yang sudah mulai pucat, menghembuskan nafas panjang dengan memegang tangannya yang membuat langkah Indira berhenti karena terkejut.

“Sorry, aku kira kamu...”

“Aku nggak papa kok, kak. Tenang aja.” Indira tersenyum tipis pada Fajar.

Berjalan kembali, kali ini Fajar hanya diam dan tidak berusaha untuk menggenggam tangannya. Memasuki mall yang seketika hembusan nafas panjang dikeluarkan Indira, Fajar menatap bingung dengan apa yang dilakukannya. Tidak membuka suaranya dengan melanjutkan langkahnya mengikuti Indira yang berjalan disampingnya, langkah Indira berhenti yang lagi-lagi membuat Fajar mengerutkan keningnya.

“Kita ke food court aja, aku mau bicara sama kakak.”

“Bicara apa?”

Indira tidak menjawab, menggenggam tangan Fajar untuk mengikuti dirinya. Melihat tangan mereka yang saling bertautan seketika membuat jantung Fajar berdetak kencang, selama ini tidak ada wanita yang bisa membuatnya berdetak. Mereka sampai di foodcourt dan langsung memesan minuman, duduk berhadapan yang membuat Fajar seketika tidak nyaman sama sekali pasalnya Indira memberikan tatapan penuh selidik.

“Kenapa kakak nggak berangkat?” tanya Indira langsung.

“Berangkat, nanti malam.”

“Aku boleh ikut?”

Fajar membelalakkan matanya mendengar kata-kata Indira “Kamu bilang apa nanti sama orang tuamu?”

“Kakak yang minta ijin.” Indira mengatakan dengan santai membuat Fajar membelalakkan matanya “Terus kenapa kakak nggak berangkat sekarang?”

“Kamu tu sebenarnya mau apa?” tanya Fajar setelah berhasil menenangkan dirinya “Mau ikut aku ke acara?” Indira menganggukkan kepalanya “Kamu nggak masalah jadi bahan gosip?” Indira langsung terdiam “Orang tuamu nggak akan setuju.”

“Terus kenapa kakak nggak berangkat sama mereka? Nanti mau berangkat sama siapa?”

“Aku berangkat sama Awang dan Nathali, nanti aku kenalkan sama Nathali. Kenapa aku nggak berangkat sama mereka karena...aku mau kencan.”

“Oo...kalau kencan kenapa ngajak aku keluar? Harusnya kakak...”

“Kencannya sama kamu, secara kita udah resmi pacaran. Kamu nggak lupa kan sama hukuman itu? Hukumannya sudah hilang, tapi jadi pacar tetap berlaku. Jadi sekarang ini kita lagi kencan, sayang.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status