Tidak tahu apa yang dibicarakan Fajar dengan kedua orangtuanya, Indira hanya memberikan surat keterangan dokter jika tidak bisa ikut acara. Wahyu yang menerimanya hanya bisa diam dan tidak mengeluarkan suara apapun, bahkan bertanya pads Indira lebih.
“Kamu benar nggak ikut acara itu?” tanya Mita yang diangguki Indira “Aku juga nggak dapat ijin, gimana ya bilangnya?”“Aku nggak tahu.” Indira sama sekali tidak bisa membantu Mita.Indira yang tidak berangkat membuat beberapa teman lainnya melakukan hal yang sama, beberapa kali Indira melihat ekspresi Wahyu takut dengan pemikirannya yang macam-macam tentang dirinya. Setelah mengantarkan ke rumah belum melihat keberadaan Fajar sama sekali, perasaan lega dan penasaran tentang keberadaan Fajar menjadi satu.“Mas Fajar lagi sibuk ngurus masalah RSJ,” ucap Ryan yang tiba-tiba duduk disamping Indira.“Aku nggak cari dia. Kamu kenapa disini?” tanya Indira penasaran.“Besok kita berangkat memang kamu nggak mau antar kita-kita?” tanya Ryan langsung.Indira mengangkat bahunya “Belum tahu, memang kenapa?”“Mas Fajar ikut jadi kamu bisa antar dia sekalian.”“Kak Fajar ikut? Aku kira dia nggak ikut.”“Nyesal nggak ikut acara? Bisa berubah kalau mau dan ikutan.” Ryan menaik turunkan alisnya.“Andai semudah itu,” ucap Indira dengan nada sedihnya.“Kamu memang anak ke berapa ampe nggak boleh begini, tapi kita udah besar loh masa mau begini?”“Kamu bilang gitu ke papaku gimana?”“Ogah! Tapi benaran kamu besok datang kesini melepas kepergian Mas Fajar.” Ryan mengatakan dengan nada menggoda.“Aku penasaran gimana Kak Fajar yakini Mas Wahyu aku nggak ikut?” tanya Indira penasaran dengan menatap Ryan penuh selidik.“Kamu tanya sendiri sama orangnya kenal harus lihat aku, mau aku tanyakan?” Ryan memberikan tatapan menggoda.“Nggak, nanti aku tanya sendiri.” Indira menghentikan pembicaraan tentang dirinya yang tidak berangkat.“Aku dengar sampai debat panas sama Mas Wahyu, terus dapat teguran dari dosen juga.”“Masa?” tanya Indira terkejut.“Makanya ikut biar sama Mas Fajar berduan.” Ryan menaik turunkan alisnya.Menggelengkan kepalanya melihat bagaimana Ryan menggoda dirinya, menatap lurus kedepan dimana pemandangan yang dilihatnya adalah kendaraan lewat dan juga para mahasiswa yang berjalan.“Teman kamu yang lain mana?” tanya Ryan penasaran.“Mereka sudah pada pulang, menyiapkan diri buat besok. Kamu nggak pulang?”“Ini mau pulang, kamu nunggu Mas Fajar?”Indira menggelengkan kepalanya “Aku tunggu dijemput, supirku masih jemput ponakan di tempat les.”“Kamu nggak bisa kendaraan?” tanya Ryan penasaran.“Bisa, cuman nggak dapat ijin aja. Kemungkinan aku juga lupa cara mengendarainya.” Indira menjawab sambil lalu.Menatap sekitar dan seketika menatap tidak percaya melihat kedatangan Fajar dengan wanita, teringat beberapa berita tentang pria itu membuatmya langsung paham, tidak peduli dengan kedatangan Fajar bersama wanita lain.Fajar sedikit terkejut melihat Indira bersama dengan Ryan duduk di gazebo, sempat melihat Indira yang melihat dirinya bersama dengan Fahma, mahasiswi tingkat akhir yang pernah menjadi kekasihnya dulu dan bertahan hanya hitungan bulan. Menjalin hubungan dengan wanita salah satu cara Fajar mengobati dirinya sendiri, tapi tidak tahu kenapa sekarang merasa takut Indira berpikir macam-macam tentang dirinya.“Aku ke ruangan Bu Retno dulu,” ucap Fahma yang diangguki Fajar.Berjalan kearah Indira dengan Ryan, tetangga sebelah rumah. Mereka sibuk berbicara seakan tidak tahu dengan keadaan sekitar, Ryan sendiri melihat Fajar yang tidak jauh dari mereka hanya bisa menggelengkan kepalanya.“Kamu sendiri gimana perasaan sama Mas Fajar?” tanya Ryan yang membuat Fajar menahan nafas.“Gimana itu maksudnya apa? Aku nggak paham.”“Lemot juga kamu jadi anak,” omel Ryan yang mendapatkan pukulan di lengan “Jahat banget sih, kekerasan aku lapor ini, tapi serius perasaan kamu sama Mas Fajar gimana? Kamu pasti dengar masalah gosipnya Mas Fajar, kamu nggak papa?”“Gosip mah gosip, percaya nggak percaya kalau nggak lihat langsung kaya tadi. Perasaan aku ke Kak Fajar? Belum tahu, saat ini lebih pada junior dan senior, menghormati yang lebih tua.” Indira menjawab sesuai dengan apa yang dirasakannya saat ini.“Nggak ada perasaan lebih? Aku tahu kalau Mas Fajar melakukan pendekatan sama kamu.” Indira menatap tidak percaya “Kita berdua tetangga dan beberapa kali cerita walaupun nggak semuanya karena pastinya ada hal-hal pribadi, tapi percaya satu hal Mas Fajar tidak seperti apa yang mereka bicarakan.”“Sebagai tetangga kalian cukup terbuka ya? Aku jadi takut jangan-jangan pembicaraan ini kamu ceritakan sama Kak Fajar,” ucap Indira dengan bergidik ngeri.“Nggak sampai segitunya kali.” Ryan melakukan pembelaan diri.“Aku nggak pernah tahu, secara aku baru kenal kalian berdua. Orang terdekat dan kenal lama aja bisa menceritakan kembali apa yang dibicarakan apalagi baru kenal seperti ini.” Indira melakukan pembelaan diri.“Aku nggak akan bilang sama Mas Fajar.” Ryan mengangkat kedua tangannya membentuk huruf V.“Percaya aja karena kalau ada yang bicarain aku anggap aja lagi nimbun pahala.”Tidak ada yang memulai pembicaraan, Indira sendiri tidak tahu harus menanggapi apa. Hubungan sepihak dengan Fajar memang tidak bisa dikatakan hubungan, menggelengkan kepalanya tanda jika dirinya tidak mau memikirkan lebih tentang apa yang terjadi nantinya.“Kak Fajar memang sibuk apa di RSJ?” tanya Indira penasaran.“Diminta Bu Retno buat disana, siapa tahu bisa kerja disana.“Terus kenapa belum lulus?”“Ada masalah yang membuat dia belum lulus, tapi setahu aku semester ini terakhir disini karena sudah daftar wisuda juga.” Ryan menjawab dengan sangat detail “Kamu bakal kesepian nanti kalau nggak ada Mas Fajar loh.”Indira memutar bola matanya malas “Setidaknya dia sudah lulus dan nggak jadi mahasiswa abadi.”“Dia nggak mungkin jadi mahasiswa abadi kalau disini, tapi akan jadi dosen nantinya secara sudah diminta langsung sama Bu Retno.” Ryan memberikan informasi yang tidak di dengar.Indira menganggukkan kepalanya, dimana artinya setelah Fajar lulus tidak akan datang ke kampus dan bisa jadi hukuman itu selesai. Hubungan mereka tidak akan lama, tidak jauh berbeda dengan perempuan yang bersama dengan Fajar nantinya, artinya lagi adalah Indira tidak boleh menggunakan perasaan setiap keluar bersama atau ketika melakukan hal-hal romantis lainnya.“Jadi kamu besok kesini kan antarin kami sampai berangkat? Lebih tepatnya Mas Fajar.” Ryan menambahkan dengan tatapan menggoda.“Aku usahakan.” Indira menyerah dengan permintaan Ryan “Aku udah dijemput, pulang dulu.”Meninggalkan Ryan seorang diri di gazebo menuju mobil yang menjemputnya, didalam sudah ada keponakan tercinta yang menunggu kedatangan dirinya. Indira melihat Fajar duduk disamping Ryan tidak lama kemudian, membuatnya berpikir yang tidak-tidak tapi segera dihilangkan.“Nggak mungkin mereka bicara tentang aku.”"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat