Hampir setengah jam Gara menyetir, tetapi ia belum benar-benar tahu ke mana sebenarnya gadis di sebelahnya itu akan membawanya pergi. Pasalnya, setiap kali Gara bertanya arah, Raline seperti ragu-ragu menjawabnya. Tidak mungkin, kan, Raline lupa dengan alamat rumahnya sendiri?
“Raline, kamu tidak sedang mempermainkan saya, kan? Di mana sebenarnya rumahmu? Katakan sasja alamatnya, agar saya bisa cari di maps,” ujar Gara mulai lelah, dan kini ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Seperti biasa, Raline tampak seperti oranag blank. Padahal, bukankah pertanyaan Gara seharusnya sangat mudah untuk ia jawab? Reaksi Raline membuat Gara semakin yakin jika gadis itu sejak tadi memang tidak menunjukkan jalan menuju ke rumahnya dengan benar. Gara menghela napas panjang. “Apa kamu tidak lihat kalau Cinta mulai mengantuk? Cepat katakan alamatmu, Raline!” “Papa jangan marahin Mama! Lagi pula rumah Mama kan sama dengan rumah kita. Ayo kita langsung pulang aja, Pa!” sambung Cinta yang sadar namanya mulai dibawa-bawa. “Cinta sayang, nggak bisa, Nak. Kita harus antar Tante Ral-“ “Iya. Mama juga mau pulang sama Cinta. Ayo kita pulang!” Seruan Raline sontak saja membuat pupil mata Gara melebar. Ia menatap bingung ke arah gadis yang baru saja ia temui itu. “Iya, Ma. Nanti Raline mau tidur siang ditemani Mama. Ayo, Pa, kita pulang sekarang!” rengek Cinta, mulai memukuli lengan ayahnya yang belum juga menyalakan kembali mesin mobilnya. “Raline, saya tidak tahu apa sebenarnya yang ada di pikiran kamu,” ucap Gara. “Pokoknya bawa saya pulang ke rumah Bapak dulu aja! Nanti saya jelaskan kalau sudah ada di sana. Lagi pula, Bapak berhutang janji juga, kan, sama saya?” balas Raline sambil melirik Cinta yang masih menatapnya dengan mata berbinar. Gara melihat putri semata wayangnya yang masih duduk anteng di pangkuan Raline. Tampaknya, Cinta pun belum berniat berpisah dengan Raline. “Kamu yakin mau ke rumah saya?” tanya Gara sekali lagi, untuk memastikan. Raline menganggukkan kepalanya mantab. “Nanti saya jelaskan di rumah Bapak, kalau Cinta sudah tidur. Pokoknya sekarang kita jalan aja dulu!” Gara menghela napas panjang. Ia tidak bisa mengelak. Lagi pula ia juga tidak ada alasan untuk menolak niat Raline untuk bertamu di kediamannya. Gara pun mulai menyalakan kembali mobilnya, dan mereka pun segera melanjutkan perjalanan ke rumah pria itu. Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, akhirnya mereka sampai di halaman sebuah rumah yang cukup megah yang didominasi warna putih dan cokelat. Raline menatap kagum rumah itu. Memang, dari mobil yang ia tumpangi pun ia tahu jika Gara bukanlah orang sembarangan. Namun ia masih tidak menyangka jika ternyata Gara masih jauh lebih kaya dari yang ia kira. “Serius ini rumah Bapak?” “Bukan. Ini rumah majikan saya,” jawab Gara. Raline mendelik. Apa ia tidak salah dengar? Tapi, kelihatannya Gara memang berasal dari kalangan berada. “Jadi Bapak-“ “Kamu percaya? Astaga bisa-bisanya. Iya, ini rumah saya. Ayo turun!” ajak Gara. Raline hendak turun. Namun, ia merasa kesulitan karena Cinta yang kini tertidur di pangkuannya. Jangankan untuk turun, bergerak saja rasanya ia susah. Haruskah ia bangunkan Cinta lebih dulu? Namun, ia tidak tega. Sebab sejak di perjalanan tadi Cinta memang tampak sangat mengantuk. Raline terkejut saat melihat pintu di sebelahnya tiba-tiba terbuka. Kemudian, kepala Gara menyembul masuk dengan kedua lengan siap membopong Cinta yang masih terlelap di atas pangkuan Raline. Dengan sigap, Raline pun membantu Gara mempermudah pria itu mengambil alih Cinta darinya. Berhasil meraih Cinta, Gara kembali menegakkan tubuhnya. “Ayo turun dan bantu saya buka pintunya!” ajaknya. Raline mengangguk, kemudian dengan segera ia pun turun dan menyusul Gara dengan langkah terburu-buru. Sampai di depan pintu utama, Raline pun mendahului Gara untuk membukakan pintu itu. Namun, setelah Gara berjalan melewatinya, Raline malah terdiam. Ia mendadak ragu untuk masuk ke rumah itu begitu saja. Akhirnya, ia pun menunggu dengan berdiri di depan pintu, hingga Gara kembali menghampirinya setelah membawa Cinta ke kamarnya. “Kenapa masih di situ? Ayo masuk!” suruh Gara. Lelaki itu berjalan ke arah sofa, lalu duduk di sana. “Bapak sudah pulang? Eh, ada tamu. Mau minum apa, Non? Biar Bibi buatkan,” ujar seorang wanita paruh baya yang baru saja datang dari arah dapur. “Eh?” Seketika, Raline menjadi kikuk. Ia memperbaiki posisi duduknya beberapa kali sambil menatap Gara. “Kamu mau minum apa?” tanya Gara. “Ng- nggak usah,” tolak Raline, membuat Gara menyeritkan alisnya. “Kamu suka jus strawberi?” tanya Gara. Kemudian, Raline pun mengangguk. “Buatkan itu saja, Bi!” pinta Gara. Raline menelan salivanya dengan susah payah. Setelah asisten rumah tangga Gar aitu pergi, Raline jadi bingung harus melakukan apa. Sebenarnya, di dalam kepalanya ada sebuah ide gila yang muncul saat ia berada dalam perjalanan menuju ke sini tadi. Namun, ia ragu mengungkapkannya setelah ia tahu latar belakang Gara sejauh ini. “Soal kamu yang tiba-tiba ingin mampir ke sini, ada apa?” tanya Gara. “Memang nggak boleh, ya, Pak?” “Bukan nggak boleh. Saya cuma tanya alasan kamu, kan? Lagi pula kamu sudah janji akan menjelaskannya tadi,” ralat Gara. Raline mengepalkan kedua tangannya yang kini berada di atas pangkuannya. Ia menunduk, dan menghela napas panjang beberapa kali. “Raline, ada apa?” tegur Gara. Ia tidak tahu kalau pertanyaannya akan sesulit ini bagi Raline untuk menjawabnya. “Apa pertanyaan saya membuat kamu tidak nyaman? Kalau begitu, saya minta-“ “Tidak kok, Pak. Hanya saja saya sedikit ragu untuk mengatakannya sekarang. Saya …” Raline menggantungkan kalimatnya, menatap Gara ragu. “Apa kamu perlu bantuan dari saya? Kalau begitu, katakan saja!” “Dari pada bantuan, saya lebih suka menyebut ini dengan kerja sama tadinya. Tapi, melihat Anda yang seperti ini, saya jadi ragu,” ucap Raline. Gara menatap Raline dengan penuh selidik. Ia sama sekali tidak bisa membaca apa yang sebenarnya Raline pikirkan saat ini. Namun, ia merasa sepertinya itu memang cukup rumit. “Bisakah kamu mempermudahnya, Raline? Katakan saja apa yang ada di dalam kepalamu saat ini, dan sisanya, kita bisa bahas bersama nanti!” Raline tampak semakin gugup. Namun, lama kelamaan gadis itu sadar jika ia tidak punya banyak waktu, dan harus segera mengatakannya sekarang juga. ‘Persetan dia mau menganggapku gila atau apa. Tapi, kalau aku tidak mengatakannya, maka aku tidak akan pernah tahu pendapatnya, kan? Siapa tahu saja dia mau bekerja sama, mengingat sepertinya dia juga butuh,’ batin Raline. “Jadi?” “Pak, bagaimana kalau kita pura-pura berpacaran?” tanya Raline dalam satu tarikan napas. Hening … Seketika suasana menjadi hening, hingga asisten rumah tangga Gara kembali dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman di atasnya. “Silakan diminum, Non!” ujarnya. “I- iya. Terima kasih,” ungkap Raline. Raline menatap siaga ke arah Gara yang masih menatapnya tajam. Laki-laki itu belum juga buka suara, bahkan setelah mereka hanya berdua di ruangan ini. Hal itu membuat Raline semakin salah tingkah. Apa sebaiknya ia langsung berpamitan saja sekarang? Namun bahkan minumannya saja masih utuh. Rasanya sangat tidak sopan jika ia pergi begitu saja sebelum ia menikmati hidangan yang disajikan untuknya. “Pak, saya haus. Saya minum dulu, ya, jusnya,” ujar Raline, setelah ia berusaha memberanikan dirinya. Setelah itu, ia pun memberanikan diri untuk meraih segelas jus di atas meja dan meminumnya. Baru saja Raline meletakkan gelas itu kembali ke atas meja, terdengar suara kekehan yang membuat Raline sontak mendongak hingga tatapannya bertemu dengan manik gelap pria di hadapannya. “Muka saya cemong, ya, Pak? Kok Bapak tiba-tiba ketawa?” heran Raline. Ia segera mengelap sekeliling mulutnya, takut-takut ada noda jus stroberi yang tertinggal di sana. “Tidak. Saya hanya merasa benar-benar bodoh karena tidak bisa menebak apa yang ada di otak kamu sekarang,” ujar Gara. Setelah sekian lama Raline menunggu, akhirnya Gara mau mulai kembali bicara. “Maksud Bapak? Bapak mau menebak apa?” “Ucapan kamu sebelumnya. Soal kamu yang ingin kita berpura-pura pacarana. Saya sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya ada dalam otak kamu sampai kamu bisa tiba-tiba membicarakan itu,” terang Gara. “Saya serius, Pak. Saya mengatakan hal ini bukan tanpa alasan. Tapi, saya memang punya alasan yang jelas, dan menurut saya, kita sama-sama bisa diuntungkan dengan hal ini.” “Oh ya? Lalu apa untungnya bagi saya?” tanya Gara penasaran. “Cinta … dia butuh figure seorang ibu, kan? Saya bisa bantu Bapak merawat Cinta, berpura-pura menjadi ibunya sampai kita bisa menjelaskan padanya tentang kebenarannya. Dengan begitu, Cinta pasti akan sangat senang, dan Anda bisa merasa terbantu dalam mengurus Cinta,” ucap Raline. “Kamu mau tinggal di sini?” “Apa? Tidak. Maksud saya, saya bisa ke sini setiap hari kalau itu memang perlu. Saya bisa bantu antar-jemput Cinta sekolah, menemani dia bermain, mengajaknya makan di luar, lalu-“ “Kalau begitu, kenapa kamu tidak mendaftar menjadi pengasuh Cinta saja? Bukankah dengan begitu kamu justru bisa mendapat gaji dari saya?” potong Gara. Raline menghela napas panjang, berusaha menguatkan kembali mentalnya untuk melanjutkan penjelasannya tentang motifnya ingin berpura-pura menjalin hubungan dengan Gara. “Pak, saya memang suka dengan uang. Tapi, dibandingkan dengan uang, ada sesuatu yang jauh lebih penting bagi saya sekarang. Dan itulah yang menjadi alasan saya menawarkan kerjasama ini dengan Bapak,” ucap Raline. “Apa itu?” “Saya harus menunjukkan pada orangtua saya kalau saya sudah punya orang yang saya cintai, jadi saya bisa membatalkan perjodohan yang mereka atur,” jawab Raline. Raline menatap Gara dengan tatapan memelas. Di matanya, hanya Gara yang bisa membantunya saat ini. Namun, mengingat siapa Naga, Raline kembali merasa ragu untuk melanjutkan rencananya. Tampaknya orangtuanya juga tidak akan percaya kalau orang seperti Gara bisa jatuh cinta padad Raline. Lagi pula, dengan kondisi finansial dan paras Gara yang seperti itu, rasanya tidak mungkin laki-laki itu masih single. Mereka baru kenal hari ini. Pasti ada banyak hal yang belum Raline ketahui dari laki-laki itu, termasuk soal urusan asmaranya. Memang, Gara duda. Tapi, bukan berarti laki-laki itu sekarang tidak punya kekasih, kan? Raline menghela napas panjang sebelum kembali buka suara, “tapi, itu cuma apa yang sempat saya pikirkan selama di jalan tadi, kok, Pak. Kalau sekarang, saya tahu kalau rencana itu sepertinya memang terlalu gila untuk kita realisasikan. Hm … sepertinya sudah terlalu lama saya di sini. Kalau begitu, saya pamit saja, ya, Pak.” Raline segera bangkit dari duduknya. Namun, belum sempat ia melangkahkan kakinya, terdengar suara dari pria di hadapannya yang membuatnya mau tidak mau harus menunda kepergiannya. “Oke. Kalau begitu, ayo kita jalankan rencana kamu itu. Jadi, mulai sekarang, kamu adalah kekasih pura-pura saya, kan?” DUAARRRR Raline sama sekali tidak memprediksi hal seperti ini akan terjadi. Sejak beberapa menit yang lalu, ia seolah yakin jika Gara akan langsung menolak tawaran kerjasama itu. Namun, apa-apaan ini?***Bersambung ...Raline masih duduk tegang di ruang tamu rumah Gara. Sedangkan laki-laki itu berpamitan untuk mengangkat telepon beberapa saat yang lalu. Setelah sekian menit sendirian, akhirnya Gara kembali, membuat tubuh Raline kian menegang. Ia seakan masih tidak percaya jika laki-laki seperti Gara akan dengan mudah menerima tawarannya. Entah apa yang sebenarnya pria itu pikirkan hingga bisa-bisanya ia setuju dengan rencana gila Raline. Ia jadi sedikit menyesal karena telah berani meminta tolong untuk hal seperti itu pada Gara.“Raline, saya ada urusan mendadak di luar, masalah pekerjaan. Kamu mau tetap di sini, atau saya antar pulang?” tawar Gara.Raline mengejapkan matanya. Menyadari ia belum lama di sini, ia yakin Lucas masih ada di rumahnya. Atau bahkan jika dia sudah pulang pun, ia pasti akan datang kembali jika tahu Raline sudah pulang. Namun, jika ia mau menunggu di sini, ia juga sungkan karena sang tuan rumah yang akan pergi dan Cinta yang masih tidur.“Kalau ikut saja, nggak boleh mema
Raline berusaha tak memperdulikan ucapan ibunya siang tadi. Saat ini, ia hanya ingin bersantai dan menikmati sore di kamarnya dengan sebuah drama dan secangkir teh melati. Telinganya ia sumpal dengan headset yang tersambung di laptop. Ia begitu menikmati dramanya, hingga tidak sadar jika dari tadi ada nomor yang terus berusaha menghubunginya.Hari ini sudah terasa terlalu melelahkan bagi Raline. Dan ia hanya ingin menghabiskan sisa waktunya dengan bersantai. Tanpa ia sadari, sebuah bahaya kian mendekat karena ia yang tak kkunjung mengangkat telepon orang itu.“Astaga, Raline! Pantes Bunda panggil dari tadi nggak nyaut,” tegur ibu Raline saat menemukan putrinya masih sibuk menonton Drama Korea.Menyadari kedatangan ibunya, Raline pun segera melepas headset di telinganya. “Ada apa, Bun? Soal rencana aku daftar kerja di dekat kantor Ayah? Berkasnya sudah siap kok. Besok tinggal masukin aja.”Bu Arum – ibu dari Raline menggeleng-gelengkan kepalanya. Meski ia sudah hidup puluhan tahun deng
Raline sudah sangat yakin jika Gara pasti akan langsung mundur. Belum apa-apa saja, kedua orangtuanya sudah terang-teranagan menunjukkan ketidak tertarikan mereka pada Gara, karena sudah ada Lucas yang lebih mereka restui bersama Raline. Walau Raline pun tidak akan menerima Lucas, tetapi setidaknya itu akan membuat Raline bebas dari Gara setelah ini. Soal Lucas, bisa ia pikirkan lagi lain waktu. “Saya tahu kok, Om. Raline juga sudah bercerita pada saya, kalau dia dijodohkan dengan anak sahabat ibunya,” ucap Gara. Raline mengangguk membenarkan. “Dan kamu masih melanjutkan hubungan kalian meski tahu kamu dan Raline tidak akan bisa bersama?” heran Pak Edi. Gara tersenyum penuh arti. “Soalnya saya juga tahu, kalau Raline tidak setuju dengan perjodohan itu. Dan saya pun tidak mau menyerah begitu saja, melihat masih adanya peluang untuk saya dan Raline bisa bersama.” Pak Edi berdehem kaku. Sedangkan Bu Arum mulai menyapukan pandangannya ke segala penjuru ruangan, ke mana saja asal netra
Tawa Raline pecah saat ia teringat kembali ucapan Gara beberapa detik yang lalu. Tentu. Pria itu pasti hanya bercanda, kan? Tidak mungkin ada orang yang bisa memutuskan soal pernikahan secepat itu. “Kamu tertawa?” bingung Gara. “Ya iya lah, Pak. Habisnya bercanda Bapak lucu banget. Saya sampai sudah mau percaya loh, Pak. Untung saya masih waras, jadi-“ “Tapi saya serius, Raline. Saya mau menikahi kamu,” potong Gara, membuat tawa Raline terhenti seketika. “Bapak ini nggak bisa serius sedikit, ya? Saya nggak lagi ngajakin Bapak bercanda loh. Saya jauh-jauh bawa Bapak ke sini buat jelasin ke Bapak kalau nggak seharusnya Bapak bicara seperti itu pada orangtua saya. Gini deh. Pokoknya habis ini, Bapak ngantar saya pulang, lalu habis itu kita nggak usah ketemu lagi! Bapak lupain aja kalau Bapak pernah bertemu orang seperti saya dan saya pun akan melakukan hal yang sama. Lupakan saja permintaan bodoh saya sebelumnya. Saya sudah sadar kok kalau itu salah, dan saya bis acari jalan lain bua
Raline mengetukkan jarinya berkali-kali di atas meja. Gelas minuman dinginnya sudah mengembun sejak tadi, tapi isinya belum juga berkurang sedikit pun. Tampak sekali jika gadis itu sedang sangat gugup sekarang. Dan pria di hadapannya masih terdiam, membiarkan Raline hingga gadis itu siap untuk bicara. “Anda nggak punya kerjaan apa? Katanya punya jabatan tinggi di perusahaan. Kok mau-maunya aja saya ajak ketemu di sini?” tanya Raline. Gadis itu terlalu bingung untuk mengutarakan maksud kedatangannya, sehingga ia pun tiba-tiba saja mengatakan hal se-random itu. Gara – pria yang ada di hadapan Raline itu berdehem. “Karena saya pikir kamu akan mengatakan sesuatu yang penting. Lagi pula, kebetulan juga sebentar lagi jam pulang Cinta. Saya sekalian mau jemput dia.” Raline mengangguk-anggukkan kepalanya. Baiklah, sekarang ia tidak punya bahan bahasan yang lain lagi. Suasana canggung pun kembali terjadi selama beberapa saat. “Jadi, kamu mau bicara apa? Kalau kamu masih ragu untuk mengatak
Raline membalas pelukan erat Cinta yang kini berada di atas pangkuannya. Anak itu tampaknya mulai mengantuk. Intensitas obrolan di antara mereka sudah semakin berkurang, begitu pun gerakan-gerakan kecil pada jemari Cinta. “Cinta, jangan tidur dulu ya, sayang! Kamu kan belum makan siang,” ujar Gara, sambil sesekali melirik ke arah putrinya. “Sudahlah, Pak. Lagian kayaknya Cinta ngantuk banget. Dia pasti juga capek, habis main sama teman-temannya.” Raline menengahi. Cinta segera menegakkan tubuhnya, menatap wajah Raline yang ada di hadapannya. Anak itu tampak memaksakan matanya agar terus terbuka, membuat Raline yang menyadari hal itu menyeritkan alisnya. “Kenapa?” “Nggak. Cinta nggak ngantuk kok, Ma, Pa. Cinta nggak mau ketiduran lagi. Cinta nggak mau kayak waktu itu, saat Cinta bangun, tiba-tiba Mama udah nggak ada. Kali ini Cinta nggak akan tidur lagi, biar Cinta bisa selalu jagain Mama,” terang Cinta, sambil kembali memeluk Raline dengan begitu erat. “Tapi kamu kelihatan ngantu
Gara menekan tombol loadspeaker agar percakapannya dengan lawan bicaranya dapat didengar pula oleh Raline. “Saya Gara, calon suaminya Raline,” jawab Gara santai. Sepertinya, orang di seberang sana itu baru saja bertanya siapa Gara. ‘Calon suami? Jangan bercanda! Tolong berikan teleponnya pada Raline! Saya ingin bicara dengannya.’ Raline hendak merebut ponselnya dari Gara. Namun, pria itu segera menjauhkan benda pipih tersebut dari jangkauan Raline. “Saya bukan seorang pelawak, dan saya juga tidak suka bercanda. Bisa kamu katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan pada Raline? Kebetulan dia ada di sebelah saya sekarang,” ujar Gara. “Pak, jangan main-main! Siniin teleponnya!” pinta Raline. Namun Gara masih tidak mengindahkannya. ‘Sebenarnya siapa kamu? Kenapa lancang sekali mengaku sebagai calon suami Raline? Apa kamu tidak tahu siapa saya?’ “Apa itu penting?” balas Gara dengan nada meremehkan. “Lucas, kamu matiin aja teleponnya! Nanti kita bicara lagi saat-“ “Katakan saja apa
Raline mencengkram erat seatbelt yang ia kenakan. Mulutnya terkatup rapat bahkan ketika pria di sampingnya sudah keluar dari mobil. Raline sedikit terkejut. Pupil matanya membesar saat mengetahui pintu di sampingnya sudah terbuka dari luar. “Ayo cepat keluar!” ajak orang tersebut – Gara. Raline menggeleng ribut. Ia tidak mau. Ia bahkan sudah menolaknya sejak mereka masih dalam perjalanan tadi. Namun, lihatlah sekarang! Gara tetap keras kepala membawa Raline ke sebuah rumah mewah yang didominasi cat putih dan cokelat, tetapi bukan rumah Gara yang sudah beberapa kali Raline kunjungi. “Cepat, Raline! Mama saya sudah menunggu,” ucap Gara. Raline mendelik sebal. “Bapak udah ngomong ke orangtua Bapak kalau Bapak ngajak saya ke sini?” “Sudah. Kebetulan Papa juga lagi libur ngantor. Maka dari itu saya langsung ajak kamu ke sini. Oh iya, stop panggil saya ‘Bapak’!” tegas Gara. “Lah terus saya manggil apa dong? Kan memang Bapak lebih tua dari saya,” bingung Raline. “’Mas’.” “Hah?” “Kam