Anwar terkejut melihat kondisi Raga yang memakai tongkat ketika menyambutnya di teras rumah. Saat tatapannya tertuju ke bawah, pergelangan kaki kanan pria itu ternyata berbalut perban. “Kakimu kenapa, Ga?” tanya Anwar lalu mengajak Raga masuk ke dalam rumah, agar tidak terlalu lama berdiri di luar. Sesampainya di ruang tamu, Anwar segera meminta Raga untuk duduk agar pria itu bisa mengistirahatkan kakinya. “Kecelakaan.” Tatapan Raga berpindah pada Lintang yang baru memasuki ruang tamu dengan sweater hitam, dan ripped jeans dengan sobekan di banyak tempat. Benar-benar mencerminkan jati diri Lintang yang santai, dan bebas. Namun, meskipun seperti itu, Lintang termasuk gadis yang masih bisa diatur dan menuruti perintah Raga. “Kecelakaan?” Pasti hanya kecelakaan kecil, pikir Anwar. Karena jika kecelakaan yang terjadi pada Raga cukup besar, sudah pasti beritanya akan tersebar di berbagai media. “Ya, Pak. Di depan kantor siang tadi,” kata Raga masih menatap Lintang yang berjalan pela
Lintang mendesah kesal, saat membaca pesan yang dikirimkan oleh pengacara perceraiannya dengan Raga. Pengacara yang sudah ditunjuk Anwar untuk mendampingi Lintang, lagi-lagi mengatakan bahwa Raga bersikukuh untuk mempertahankan pernikahan mereka. Paling tidak, sampai Ario benar-benar sudah mendapatkan kursi di dalam pemerintahan setelah pemilihan legislatif selesai. Sudah sebulan berlalu, tapi semua stagnan dan tidak ada perkembangan berarti dalam proses perceraian mereka. Lintang yakin, semua ini karena ada uang yang kembali berkuasa. Sementara Lintang sendiri, tidak mungkin akan meminta uang lebih pada Anwar untuk mengurus perceraiannya dengan Raga. Karena itulah, Lintang sudah pasrah dan tinggal menunggu saja ke mana takdir membawanya. Lintang juga sudah mengganti nomor ponsel, hingga Raga tidak bisa “menerornya” sama sekali. Untuk sementara waktu, hanya ada tiga orang yang mengetahui nomor baru Lintang, yakni Anwar, Fajar, dan Yadi, pengacara yang saat ini menangani kasus percera
Lintang memejam erat, ketika mendengar suara yang sudah sebulan ini tidak mengganggunya. Ia mengumpat dalam hati, karena sudah tidak bisa pergi ke sudut mana pun. Sementara Rama yang kini ada di depannya, tetap berdiri di tempat tanpa berniat berlari menghampiri sang papa.“Lintang?”Geraman pelan seketika keluar dari mulut Lintang. Ia mendongak menatap Fajar yang sudah berdiri, dan tampak sedikit bingung.“Tante, ada papa,” kata Rama berbicara pelan, dan kembali mengalungkan satu tangannya di leher Lintang yang masih berjongkok.“Lintang.”Suara tersebut terdengar semakin dekat. Dengan terpaksa, Lintang melepas tangan Rama dari lehernya kemudian berdiri. Tidak ada senyum yang Lintang lempar ketika melihat Raga. Ia hanya menatap datar, seraya mengusap puncak kepala Rama yang berdiri di depannya hingga berulang-ulang.“Lintang,” panggil Raga sekali lagi dan kali ini lebih tegas. Tatapan Raga tertuju pada pria yang berdiri di samping gadis itu. “Jadi, karena ini kamu pergi dari rumah? M
“Mas Raga jahat, dan aku benci!” Saat Lintang tidak bisa menuruni eskalator karena Raga menghalanginya, dengan cepat ia mencari jalan lain. Lintang berbalik, tapi kakinya justru tidak bisa melangkah pergi ke mana pun. Di hadapannya kini, sudah ada Ario maupun Retno yang memandangnya dengan tatapan tidak terbaca. Lintang tahu ia salah, karena pergi tanpa berpamitan. Namun, tindakan yang sudah dilakukan Raga padanya juga tidak bisa dibenarkan. “Pa-pak Ario … Bu, Retno.” Kaki Lintang mundur satu langkah lalu punggungnya menabrak tubuh Raga, yang langsung menangkup kedua bahunya dari belakang. Hari ini, semua jadwalnya sudah berantakan, begitu pun dengan perasaan Lintang. “Bawa Lintang ke restoran, Ga,” titah Ario lalu beranjak pergi lebih dulu meninggalkan keduanya. Ada beberapa hal, yang memang harus dibicarakan dengan Lintang dan juga diselesaikan. Karena mereka akhirnya bertemu, maka sekaranglah waktu yang tepat untuk membahas semuanya. “Ayo!” Raga meraih pergelangan tangan Lintan
Berdamai. Lintang mulai melakukan hal tersebut saat ia kembali ke kediaman Sailendra. Melakukan kegiatan seperti biasa, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Rama dan Eni jika berada di rumah. Akan tetapi, pikiran Lintang saat ini tengah bercabang memikirkan Fajar. Pria itu, pasti sudah salah paham dan menganggap Lintang sebagai seorang pembohong. Sudah seminggu sejak status pernikahan Lintang terbongkar, Fajar tidak pernah lagi mengangkat panggilan telepon dari Lintang. Fajar juga tidak membuka dan membaca semua chat yang Lintang kirimkan. Rencananya, satu atau dua hari ini Lintang akan pergi ke kantor lamanya untuk menemui pria itu dan menjelaskan semua hal. “Lintang!” Raga yang baru saja masuk ke ruang keluarga segera memanggil gadis itu saat melihatnya baru saja menuruni tangga. Tidak banyak yang berubah dari hubungan mereka, masih tetap kaku seperti dulu, tapi aura permusuhan itu sudah tidak tampak lagi. Lintan berbalik. Tidak melangkah ke mana pun karena melihat Raga me
“Ke mana Safir?” tanya Retno masih belum melihat putra bungsunya, ketika semua orang sudah berada di meja makan. Tidak mungkin Idha belum memanggil putranya itu, karena Lintang saja sudah duduk manis di samping Rama.Ada perubahan formasi tempat duduk di meja makan malam ini. Rama yang biasanya duduk di antara Retno dan Ario, kini meminta berada di samping Lintang, juga Raga. Apa saja yang telah dilakukan kedua orang itu di siang hari sehingga Rama bisa menempel seperti itu dengan Lintang. Bahkan, Eni yang sudah mengasuh Rama sejak tiga tahun terakhir, tidak lengket seperti itu.“Safir mendadak ke luar kota,” terang Raga. “Tadi sore sempat nelpon Mama, tapi hape Mama nggak aktif.”“Keluar kota lagi?” Retno berdecak ketika mengingat Safir kerap pergi ke luar kota belakangan ini. “Memang nggak ada karyawan lain yang bisa disuruh?”“Justru Safir perginya sama karyawan lain,” kata Raga menoleh pada Rama yang sibuk saling suap dengan Lintang. Kalau biasanya bocah itu sibuk dengan Ario di m
“SAFIR.”Tidak lama setelah seruan keras itu terdengar, tubuh Safir tertarik paksa, dan terlempar jauh dari sofa yang diduduki oleh Lintang. Safir terjengkang dengan bokong yang lebih dulu menyentuh karpet yang tergelar luas di depan televisi.“MAS!” Jelas saja Safir balas menghardik. Ia tidak terima diperlakukan dengan kasar, apalagi sampai terjatuh seperti sekarang. Tidak hanya Lintang yang melihatnya, tapi ada Eni serta Rama yang terpekur di ujung tangga lantai dua.“Jaga sopan santunmu di depan Lintang,” kata Raga sudah berdiri di depan gadis itu. “Dia istriku. Jadi otomatis dia itu jadi kakak iparmu.”Safir berdecih seraya bangkit dan berdiri tegak. Ini kali pertama, Raga bersikap kasar padanya. “Istri? Kakak ipar? Bullshit!”“Jaga bicaramu, Fir,” tekan Raga sekali lagi. Raga menghabiskan jarak dengan sang adik dengan tatapan tajam. Menahan kedua tangannya agar tidak melayangkan satu pukulan ke tubuh sang adik. “Aku dan Lintang sudah menikah. Jadi aku nggak perlu lagi menjelaskan
“Kenapa harus pindah?” Lintang menghampiri Raga yang sedari tadi duduk di sofa kamar Lintang, guna menjelaskan beberapa hal. Ia duduk di ujung sofa, untuk memberi jarak dengan Raga. “Apa karena Safir tadi sore?”“Ya.” Raga tidak akan menyembunyikan hal tersebut dari Lintang. Gadis itu harus tahu, kalau perbuatan Safir sore tadi tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, untuk menghindari pergesekan yang mungkin bisa memanas, Raga memutuskan untuk pindah dari rumah orang tuanya. “Aku nggak mau kejadian sore tadi terulang lagi ke depannya.”“Yaaa, aku nggak papa kalau memang mau pindah,” kata Lintang tapi masih merasa ragu. “Tapi … kita tinggal di mana?”“Di rumah lamaku.” Benar dugaan Raga, untuk satu hal ini Lintang tidak akan menolak usulannya. Yang Raga perhatikan, selama ini Lintang tidak pernah merasa nyaman dengan kehadiran Safir. Gadis itu selalu punya alasan untuk pergi, jika ada safir di ruangan yang sama.Mungkin, Lintang tahu jika Safir kerap mencuri pandang padanya dan gadis i