“Sorry, mendadak aku harus lihat rumah karena aku ada rencana pindah.” Cukup sederet kalimat tersebut yang dikirimkan Lintang pada Maha, sesaat sebelum ia menaiki ojek online yang sudah dipesan. Lintang hampir saja lupa bahwasanya ia juga memiliki rumah dari mendiang ibunya. Untuk itu, sepertinya Lintang tidak perlu mencari rumah lain lagi karena ia tidak perlu lagi bersembunyi dari Raga. Namun, kali ini Lintang tidak langsung pergi menuju rumah tersebut. Lintang akan pergi ke kantor lamanya untuk menemui Eza. Rencananya, Lintang akan meminta bantuan pada pria untuk mencarikan orang sekaligus kendaraan untuk membantunya pindah rumah. Sesampainya di kantor, Lintang menunggu Eza di lobi karena pria itu masih melakukan stok opname di akhir bulan seperti sekarang. Biasanya, para sales dan bagian administrasinya akan pulang lebih larut untuk menyelesaikan pengecekan tersebut. “Lintang …” Suara yang sudah sangat Lintang hafal, membuatnya segera mendongak lalu berdiri dari tempatnya. Seny
Sejak kemarin, Lintang sudah menonaktifkan nomor ponselnya. Ia menghindari telepon dan pesan dari Fajar, Maha, maupun Raga. Tidak hanya itu, Lintang juga tidak berada di rumah kontrakannya. Ia memilih untuk menginap di rumah mendiang sang ibu dan membersihkan seluruh ruangan untuk ditempati dalam waktu dekat. Lintang sudah muak melihat Raga dan Maha yang selalu saja berada di rumah kontrakannya, karena itulah ia mencari ketenangan di tempat yang lain.Masalah rumah kontrakan saat ini, untuk sementara akan Lintang biarkan begitu saja sampai ada orang yang ingin mengambil alih. Jika tidak, Lintang juga tidak akan rugi apa-apa, karena uang yang ia gunakan adalah milik Raga.Saat sudah berada di pengadilan, barulah Lintang mengaktifkan ponselnya, tetapi tidak berminat untuk melihat semua notifikasi yang masuk ke dalamnya. Bahkan, Lintang menutup toko buku online yang yang berada di beberapa marketplace, agar tidak memiliki tanggung jawab bila ada orderan yang masuk.“Lintang, kenapa aku n
“Oh, aku lagi istirahat. Nggak enak badan,” ujar Lintang beralasan sambil memasukkan stok buku-buku yang masih berada di kamarnya ke kardus. “Makanya hape nggak aku aktifin. Toko di marketplace aja aku tutup, Za.”“Nggak enak badan? Sakit apa?” Eza jadi curiga dengan alasan yang diberikan Lintang. “Aku sampai ke sini sama pak Fajar, karena kamu nggak bisa dihubungi.”“Mas Fajar … ke sini?” Lintang menutup kardus yang sudah penuh dengan buku, lalu beristirahat sejenak. Mengingat Fajar, jelas saja Lintang juga mengingat seorang wanita yang menggandeng lengan pria itu, Celline. Ia pun tidak perlu menjelaskan terlalu panjang, mengenai alasan sakit yang diberikannya barusan. “Mau apa?”Eza mengendik. Menutup buku catatannya, lalu memasukkan ke dalam tas ransel. “Dia cuma bilang ada yang mau diobrolin sebelum balik ke Surabaya.”“Aku lagi di rumah almarhum ibu, yang mau aku pindahin sekarang ini.” Menurut Lintang, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan Fajar. Karena itulah, sampai det
Sebulan berlalu dari putusan sidang cerai antara Lintang dan Raga. Kehidupan Lintang kini lebih berwarna, karena semua beban sudah benar-benar ia lepas dari pundaknya. Dari masalah keluarga, Raga, Fajar, pun dengan Maha yang terkadang masih menelepon dan mengirimkan pesan yang bertanya mengenai tempat tinggal Lintang saat ini.Tentu saja Lintang tidak akan mau menggubrisnya, karena semua urusan di antara mereka sudah selesai.Lintang pun sudah kembali bekerja di bidang yang sama. Ia kembali menjadi sales buku di distributor berbeda, dan tetap menjalankan toko onlinenya sekaligus.Lelah? Tentu saja. Akan tetapi itulah harga yang harus dibayar bila ingin merubah masa depannya menjadi lebih baik lagi.“Kadang aku mikir, target omsetku tiap bulan terus naik, tapi, minat baca orang dengan buku cetak juga makin berkurang.” Lintang menghela panjang, ketika baru memasuki gedung diadakannya Nasional Book Fair tahunan siang itu. Salah satu event bazar buku terbesar, yang diselenggarakan setiap
“Masuk.”Lintang mengangguk mendengar perintah datar Indri. Melangkah masuk ke ruang VVIP rumah sakit, tempat Anwar di rawat. Andai pria itu tidak memintanya datang, Lintang tidak akan pergi ke rumah sakit meskipun mendengar pria itu jatuh sakit. Memang sekeras itulah, hati Lintang saat ini.Menurut sopir keluarga Dewantara yang menjemput Lintang di rumah, Anwar sudah berada di rumah sakit selama tiga hari. Sepulang dari luar kota, kesehatan Anwar menurun dan harus dilarikan ke rumah sakit dengan segera. Sepertinya, kelelahanlah yang menjadi pemicu hingga pria itu harus mendapatkan perawatan dengan segera.Lintang melihat Biya di sofa. Gadis yang tengah memandang ponselnya itu, melirik datar sekilas pada Lintang. Namun, Lintang tidak mau repot-repot menyapa, apalagi menggubrisnya.Yang jadi tujuan Lintang hanyalah Anwar. Setelah pria itu menyampaikan maksud hatinya, maka Lintang akan segera pulang. Pria itu masih terlihat pucat, tetapi Lintang rasa kondisinya sudah jauh lebih baik.“A
“Sandiwara selesai,” ucap Lintang tidak jauh dari pintu keluar ruang Anwar dirawat. Mempercepat langkahnya, walau terasa percuma karena Maha pasti dengan mudah sejajar dengannya. “Aku tahu, kamu begitu karena ada mas Raga, tapi, sekarang nggak usah akting buat manas-manasin dia. Kami udah cerai, dan nggak perlu yang begitu-begitu lagi.”“Siapa yang akting,” sanggah Maha setelah selesai memasukkan berkas ke tasnya dengan terburu. “Aku beneran mau ngantar kamu, Lin. Aku juga sudah tahu di mana kamu tinggal, dari om Anwar.”“Sekali aja kamu ke rumah, aku bakal pindah lagi.”Maha berhenti sambil meraih siku Lintang, agar gadis itu tidak meneruskan langkahnya. “Hei! Kamu ini kenapa? Semua kebaikan orang terus aja kamu tolak. Om Anwar ngasih saham lima persen karena dia peduli sama kamu, tapi apa balasanmu? Minta cash? Di mana adabmu sebagai anak?”“Sudah?” Lintang menarik tangannya dari cengkraman Maha. Semua yang dikatakan Maha barusan, tidak akan berpengaruh banyak bagi Lintang. Ia sudah
Lintang berdecak. Menutup pintu rumah dengan tendangan pelan. Menguncinya, kemudian berbalik. Ia bersandar pada daun pintu, lalu merosot jatuh. Mendudukkan dirinya di lantai. Seharusnya, hari ini ia tidak perlu bertemu dengan Raga. Namun … Yang membuatnya semakin kesal ialah, saat Lintang menyebutkan alamat tempat tinggalnya, Raga tetap memasang wajah datar. Pria itu berakting seolah-olah tidak pernah tahu di mana rumah Lintang. Padahal, Raga pernah mendatangi rumah Lintang satu kali. Tidak hanya itu, atas permintaan Rama, akhirnya Lintang memberi nomor telepon barunya pada Raga. Lintang benar-benar terjebak, dan kali ini ia tidak mungkin mengganti nomor ponselnya lagi. Seluruh customer barunya sudah mengetahui nomor Lintang, jadi, mau tidak mau ia harus tetap menghadapi kejadian yang tidak terduga di depan sana. Apapun itu. Akan tetapi, baru saja Lintang hendak menyingkirkan semua pikirannya mengenai Raga, ponselnya berdering. Sebuah nomor yang tidak ada dalam daftar kontaknya men
Kalau sudah begini, bagaimana bisa Lintang menghindari Raga? Pagi-pagi sekali, Lintang pergi ke rumah sakit karena sudah berjanji membawakan bubur ayam untuk sarapan bocah itu pagi ini. Sebelumnya, ia sudah meminta Raga menyuruh seseorang membelinya terlebih dahulu, karena hal tersebut termasuk kewajiban pria itu sebagai seorang ayah. Lintang hanya membantu dan selebihnya tidak ingin ikut campur. “Temui David di lobi, dia sudah beli bubur ayamnya.” Lintang membaca sebuah pesan dari Raga, setelah memarkirkan motornya. Pria itu menyuruh supir pribadinya, untuk membeli bubur ayam permintaan Rama tadi malam. Untuk itu, Lintang bergegas masuk ke lobi rumah sakit, dan mengambil bubur ayam yang berjumlah tiga porsi dari tangan David. “Kok, beli tiga?” tanya Lintang sambil mengangkat kantong kresek bening yang berisi tiga buah tempat bubur. “Disuruhnya tiga, Bu, sama bapak.” “Ya, udah, makasih.” Lintang bergegas pergi ke lantai tempat Rama di rawat, dan segera menuju ke ruang bocah itu.