Dean hanya tersenyum sinis menerima laporan dari adiknya itu, dalam pandangannya, Dina benar-benar seperti kerbau yang dicucuk hidungnya oleh Rengga. Adik perempuannya itu benar-benar dibutakan oleh rasa cintanya sendiri hingga tidak dapat membedakan antara sikap cekatan dengan ketakutan. Tanpa harus diberi tahu pun Dean dapat mengetahui mengapa Rengga terburu-buru membereskan masalah ini. Semua itu tidak lepas dari rasa takut Rengga terhadap ancaman Dean. Apalagi yang ditakutkan Rengga kalau bukan karena hal yang berkaitan dengan perusahaannya? "Dasar pecundang," gumam Dean sinis. " ... " semua staf yang sedang mengikuti rapat tampak saling pandang tidak mengerti siapa yang disebut pecundang oleh bos besar mereka. "Lanjutkan!" kata Dean memutuskan berbagai pikiran dan prasangka bawahannya terhadap sikap dan gumamnya tadi. Rapat pun berlanjut kembali hingga sore hari. Setelah semua bawahannya keluar dari ruangan, Dean tampak mengetuk mejanya seperti sedang memikirkan sesuatu.
Veny sedang menerima Rudi, ajudan ayahnya di dalam ruang kerjanya di perusahaan. Laki-laki muda berambut cepak berpakaian hitam-hitam dan berjaket hitam itu tampak duduk tegak di kursi yang ada di depan meja Veny. "Jadi ada yang telah mencoba mencari tahu di mana keberadaan Mirela saat ini?" tanya Veny memastikan apa yang baru saja dilaporkan oleh ajudan ayahnya kepadanya sambil tersenyum simpul. "Itu benar," sahut Rudi tegas. "Siapa? Apakah Rengga?" tanya Veny ingin tahu. "Bukan, ini orang suruhan Dean." "Dean ... Dean," Veny mengucapkan nama Dean berulang-ulang sambil mengingat si empunya nama. Samar terlintas bayangan seorang pria tampan dan cool yang kerap ditemuinya di acara perhimpunan pengusaha. Veny mengerutkan kening tidak suka mengingat bahwa Dean adalah kakak Dina yang merupakan istri Rengga dan orang yang telah memaksa Rengga meninggalkan acara pertunangannya dengan Mirela demi memenuhi keinginan adik perempuannya. "Mau apa lagi Dia mencari Mirela? Apakah Dia ti
Berita tentang Rengga yang mabuk di malam pernikahannya dan berlari ke depan rumahnya sambil berteriak-teriak meminta maaf itu benar-benar mengusik perasaan Mirela, kalau dia memang sudah memutuskan untuk menikahi wanita lain, mengapa dia melakukan hal yang sangat memalukan tersebut? Mirela benar-benar tidak dapat memahami apa yang ada di dalam pikiran Rengga saat itu, apakah hal tersebut terlahir dari rasa bersalah terhadap dirinya karena telah meninggalkannya di hari pertunangan mereka dan mempermalukannya? Ataukah memang karena pemuda itu sesungguhnya benar-benar mencintainya? 'Tidak! Kalau Dia sungguh mencintai Aku, Dia tidak akan mundur apa pun alasannya, toh Aku tidak menuntutnya harus menjadi orang sukses ataupun pengusaha untuk dapat menikahiku,' batin Mirela sambil menggelengkan kepalanya berusaha untuk menepis semua keraguan dan simpati yang mulai menguasai dirinya. Gadis itu melemparkan pandangannya pada jendela kantor, tiba-tiba ponselnya berdering, Mirela mengalihk
Pras tidak mengerti mengapa pengusaha besar seperti Dean mau ikut campur dalam urusan percintaan antara adiknya dan Rengga. Terakhir Pras juga mendengar kabar dari orang terpercayanya kalau Dean sedang mencari Mirela. 'Apa sebenarnya maksud Dean? Apakah semua yang Dia lakukan masih belum cukup? Apa salah Mirela hingga harus menanggung semua ini?' batin Pras bertanya-tanya tidak mengerti. Pras memutuskan untuk menghalangi pergerakan Dean dalam mencari Mirela, dia memang enggan berurusan dengan Dean, tapi dia tidak bisa tinggal diam melihat adiknya dikejar dan dicari sedemikian rupa seperti maling. Bukankah mereka yang telah mencuri kebahagiaan yang seharusnya menjadi milik Mirela? "Dean ... sepertinya persimpangan antara kita sudah tidak lagi dapat dihindari, jika Kamu bersikeras terus mengganggu adikku, Aku tidak akan tinggal diam," desis Pras sambil meremas kertas laporan dari anak buahnya tentang pergerakan Dean "Uhuk ... uhuk!" Dean yang sedang minum di kantornya terbatuk-b
Perhatian Rengga terpecah ketika mendengar suara panggilan dari ponselnya. Itu Dean! Kakak iparnya. "Ck! Mau ngapain lagi si brengsek itu meneleponku?" gumam Rengga cemberut. "Halo?!" sapa Rengga ketika mengangkat panggilan teleponnya. "Apakah adikku tidak cukup hingga Kamu masih saja memikirkan gadis lain?" todong Dean kesal tanpa basa basi. Rengga terdiam, apakah istrinya telah mengadu kepada kakaknya? "Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun, Kamu dan adikku sudah menikah, jadi jangan pikirkan wanita lain lagi siapa pun orangnya. Kamu tidak diizinkan untuk memikirkan wanita lain selain adikku," tegas Dean penuh penekanan. Rengga memutar bola matanya bosan mendengar larangan Dean yang tidak masuk akal. 'Cih! tidak boleh memikirkan wanita lain? Memangnya Dia bisa mengatur pikiranku juga?' cibir Rengga dalam hati sambil tersenyum sinis. "Kenapa Kamu diam?" tanya Dean kesal mendapati sikap Rengga yang sepi dan hening. "Apa yang Aku harus ucapkan? Apakah Aku harus berterim
"Oh ... Apakah suamimu mengeluh kepadamu?" cibir Dean sinis. "Dia tidak mengeluh! Dia mengancamku! Apakah Kamu ingin melihatku celaka? Apakah Kamu dapat melindungi Aku 24 jam non stop jika suamiku sampai gelap mata?!" tuntut Dina penuh keluhan. " ... " Dean terdiam mendengar keluhan adik perempuannya dan bertaya-tanya di dalam hatinya, apakah kali ini dia sudah bertidak sangat keterlaluan? "Aku tahu Kamu mengejar Mirela! Tapi Aku ini adik kandungmu. Kak! Apakah kakak lebih suka melihatku mati berkalang tanah gara-gara kelakuan konyol yang telah Kakak lakukan dengan mengintimidasi suamiku lagi dan lagi?" kata Dina lagi bertanya sedih kepada kakaknya. "Dia tidak akan berani!" kata Dean yakin. "Siapa yang bisa menjamin? Kalau Dia gelap mata dan tidak lagi memedulikan semua hal, apakah Kakak dapat menjamin keselamatanku?" tanya Dina. Dean terdiam. Kali ini adiknya memang benar, siapa yang bisa menjamin bahwa Rengga akan tetap diam saja menerima tekanan demi tekanan dari dirinya. Ba
Ketika Dina hendak membuka pintu dan ingin keluar dia mendengar suara ketukan di pintu tersebut. Dina mengerutkan kening heran dan merasa aneh memikirkan siapa gerangan tamu yang datang berkunjung semalam ini ke rumahnya. Saat dia membuka pintu rumahnya, Dina melihat seorang pria yang lebih tampan dari suaminya sedang berdiri di depan pintu rumahnya dengan wajah canggung. "Maaf, apakah Rengga ada? Perkenalkan Aku sepupunya, namaku Jimmy," kata pemuda yang mengaku bernama Jimmy itu gugup. Jimmy memang merasa canggung saat berhadapan dengan Dina yang saat ini berpenampilan seksi dan cantik. Dia memperkirakan kalau wanita mempesona di hadapannya saat ini pasti merupakan istri sepupunya. Pemuda itu merasa sepupunya Rengga sangatlah beruntung karena memiliki istri yang cantik, seksi, serta kaya raya seperti Dina. Entah kenapa sepertinya keberuntungan selalu berpihak kepada sepupunya itu. Terlepas dari pertunangannya yang gagal dengan Mirela yang merupakan anak pejabat dan adik seora
Mirela mulai menjalani aktivitas kesehariannya dengan penuh rasa bosan karena jadwal yang terus saja berulang itu dan itu lagi, sama sekali tidak ada perubahan. Dia menghela napas saat bangun pagi hari, lalu duduk di tepi tempat tidur dengan wajah murung. Dulu ketika bekerja di kantor yang sama dengan Rengga, Mirela tidak pernah merasakan kebosanan seperti yang saat ini melandanya. "Apa yang harus Aku lakukan?" keluhnya resah. Mirela tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana menghadapi kejenuhan ini, rasanya dia ingin pergi jauh, sejauh-jauhnya atau berkeliling dunia untuk sekedar menghibur hatinya yang masih juga tidak bisa melupakan Rengga. Walaupun di depan kakak dan sahabatnya dia bersikap seolah sudah bisa melupakan Rengga dan terlihat baik-baik saja namun, sebenarnya dibalik semua sikapnya itu, dia seperti memelihara api di dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat membuatnya sumpek dan akhirnya akan meledak. 'Apakah untuk bisa melupakannya Aku harus mencari cinta yang baru?' piki