Owen bingung akan penuturan Alyssa yang ingin investasi uang, sebab usahanya hanyalah jual-beli barang-barang online yang menggunakan aplikasi sosial media. Ia pun ingin memastikan kalau temannya sedang tidak bergurau. "Apa kamu yakin?"
Alyssa menganggukkan kepala dengan mantap, lalu berkata. "Jadi ... nanti aku akan memberikan uang padamu untuk membeli beberapa barang dan menyewa tempat."
"Menyewa tempat?" tanya Owen sambil mengerutkan kening.
"Iya," balas gadis itu.
"Untuk apa sampai menyewa tempat?" Ia kian bingung pada pemikiran temannya, tapi sejujurnya tertarik akan penawaran tersebut.
"Jadi nanti kita bisa sewa tempat untuk melebarkan usaha. Meskipun berbisnis secara online, tetapi harus tetap memiliki kantor," terang Alyssa.
Owen kagum dengan pola pikir temannya sekaligus merasa insecure, sebab Alyysa pernah bercerita tentang kuliah di lu
Anak laki-laki berusia tiga belas tahun duduk manis di teras rumah sambil melihat lalu-lalang kendaraan yang melintas di jalan depan rumahnya. Ia melamun tentang cara menghasilkan uang yang akan dipakai untuk membayar biaya administrasi sekolah. Namun, suara jeritan perempuan dari dalam rumah membuyarkan lamunannya, segera berdiri dan masuk tergesa-gesa ke dalam rumah."Ada apa Ibu?" tanyanya saat sudah ada di dalam rumah, akan tetapi, pertanyaan darinya tidak mendapatkan jawaban karena ibunya sedang menahan sakit atas siksaan dari ayah tiri Owen.Owen marah menyaksikan ibunya sedang dipukuli, lantas mendekat cepat dan menghentikan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. "Ayah ... jangan sakiti Ibu!" rengeknya sembari memegang tangan pria itu."Lepaksan!" hardik Banu sambil melotot tajam. Pria yang sedang mabuk itu kemudian mendorong tubuh anaknya hingga terjatuh.Bruukk!
Amara mengembuskan napas panjang tatkala masih tidak dapat menelepon Owen, bahkan chat darinya yang sejak tadi pagi tidak dibaca, padahal temannya itu sedang online. Ia berpikir jika laki-laki tersebut tengah sibuk sehingga tidak dapat membalas pesan dan menerima panggilan, tetapi, juga merasa kalau Owen sengaja menghindar. Lalu, meletakkan handphone dan memilih fokus pada layar televisi yang sedang menampilkan kartun dari Negara Malaysia."Permisi ....""Assalamualaikum ...."Tok.Tok.Tok.Sebuah suara salam serta bunyi ketukan pada pintu rumah mengalihkan fokusnya dari layar televisi. Amara mencoba berdiri dan melangkah ke pintu. Namun, sang bunda lebih dulu keluar kamar dan berjalan melewati dirinya. "Kamu duduk saja, biar Bunda yang buka!" titah Susi Astuti. Setela
23.40 WIB. Amara berbaring di tempat tidur sambil terus memandangi layar handphone, menunggu serta berharap menerima pesan balasan dari Owen. Namun, dia mulai dilanda gelisah, sebab temannya terus menolak panggilan dan sama tidak membalas pesan. "Aku salah apa ya?" pikir gadis berusia dua puluh tahun. Lalu, menghela napas sembari menatap sedih smartphone, sekali lagi berusaha menghubungi Owen lewat panggilan suara, tapi hasilnya tetap sama.Amara membanting benda pipih itu ke kasur seraya menghela napas panjang saat panggilan telepon darinya kembali ditolak. Ia mendesah sedih sambil menyibak rambut ke belakang, kemudian, tangannya kembali meraih handphone dan mengetik pesan dengan penuh emosi. Selepas itu, menekan layar untuk mengirim pesan ke nomor Owen. Gadis yang memiliki senyum manis itu menguap, mulai didera kantuk karena dirundung rasa bosan, sorot matanya seolah tak berk
00.00 WIB. Suasana tenang Rumah Sakit seketika berubah ramai tatkala menerima kedatangan pasien korban kecelakaan lalu lintas. Orang yang pingsan tersebut segera dilarikan ke unit gawat darurat guna mendapatkan pertolongan pertama. Dokter dan suster yang setengah mengantuk ketika jaga malam dengan sigap segera melaksanakan tugasnya. Ia meminta seorang perawat untuk mengambil obat dan memerintah dua perawat lain agar membersihkan luka pasien yang masih berdarah, lalu dengan cepat kedua tangannya membalut perban pada beberapa bagian tubuh pasien."Arrghh ...." Owen mengerang dan membuka mata saat pengobatan sedang berlangsung. Melihat orang-orang yang berpakaian serba putih sedang merawat luka-lukanya. Ia hendak bertanya, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. "Dok," lirihnya dengan sisa kekuatan yang ada pada tubuh.Pria yang memakai kacamata itu memandang sekilas sambil tersenyum kecil. Tangan kanannya
Owen membuka mata dan melihat Alyysa tertidur di sampingnya dalam posisi duduk,tangan kanannya lalu bergerak menyentuh kepala gadis itu sambil berkata pelan. "Alyssa." Membuat si pemilik nama terkejut sekaligus terbangun, kemudian segera melayangkan pertanyaan dengan nada panik."Owen, bagian mana yang sakit? Aku panggil Dokter sekarang!""Jangan," lirih pemuda itu, "aku baik-baik saja." Ia berbohong, padahal merasakan sakit pada kaki kiri juga tulang rusuk sebelah kanan. Saat memandang paras Alyssa, melihat kedua mata temannya itu bengkak seperti habis menangis. Owen menghela napas panjang, lalu meminta temannya kembali duduk."Alyssa, duduklah."Gadis berwajah cantik itu menurut, kembali duduk tenang sembari menatap sedih. Bibirnya menyimpulkan senyum manis sebelum bertanya tentang kronologis kecelakaan. Sedangkan Owen membuang napas panjang serta memejamkan mata mencoba mengingat kecelakaan yang dialami
"Amara!" panggil Alyssa sembari berjalan menghampiri. Sedangkan si empu nama berhenti melangkah seraya menoleh ke belakang. "Ada apa?" tanyanya.Gadis berambut sebahu itu tersenyum sejenak sambil memandang lekat-lekat wajah temannya. "Bisa kita bicara sebentar?" terang Alyssa. Diikuti gerakan kepala menoleh ke kanan juga kiri, memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan.Amara mengerutkan kening sambil menatap bingung, merasa ada hal penting yang ingin dibicarakan temannya. "Ada apa?" sahut perempuan berambut panjang."Bisa kita bicara di tempat lain," imbuh Alyssa. Lalu, mengajak pergi ke tempat yang nyaman untuk mengobrol. Amara setuju dengan ajakan Alyssa, kemudian melangkah bersama menuju kantin rumah sakit.***Walau sedikit merasa bersalah karena membuat dua teman gadisnya marah, tapi pemuda itu merasa nyaman juga damai. Jujur, dia tertekan dengan kehadiran Amara
Nicholas Right Kiehl duduk di ruang kerja dengan resah sesudah mendengar hal buruk yang menimpa teman dari putrinya. Ayah satu orang anak itu takut kalau nanti Alyssa akan menuduh dirinya yang melakukan hal tersebut. Ia lalu mengembuskan napas secara berat, diiringi iris mata menatap bingkai foto keluarga yang ada di atas meja. "Sekarang, apa yang harus aku lakukan, Sayang?" Nicholas bermonolog dalam hati seraya berharap mendapat jawaban dari masalah yang akan datang, apalagi takut jika putri semata wayangnya akan terseret arus permasalahan berbahaya. Sekali lagi dirinya membuang napas berat, kemudian berteriak memanggil satu anak buahnya yang ada di luar ruangan. "Bambang!" Tanpa menunggu lama si empu nama berjalan masuk dengan tergesa-gesa serta mimik wajah ketakutan. "I ... iyyaaa, Bos," jawabnya gugup. "Cari tahu penyebab kecelakaan yang dialami Owen!" tegas pria yang tengah duduk gelisah. "Aku tidak ingin
Amara duduk santai di ruang tamu, melepas lelah setelah hampir dua jam bersih-bersih rumah. Ia yang hari ini masih shift siang memilih menghabiskan waktu pagi dengan merapikan beberapa bagian sudut rumahnya yang terlihat kotor. Gadis itu tiba-tiba mengabaikan acara pada televisi saat mengingat pembicaraan dengan Alyssa tempo hari, jujur, dia tidak tahu maksud kawan barunya dengan berkata seperti itu, tetapi hal tersebut membuatnya resah."Aku menyukai Owen." Kalimat dari Alyssa itu seperti terukir pada benak Amara.Huft ....Gadis yang memilki senyum manis itu mengembuskan napas dan mencoba membuang pikiran tersebut, walau begitu, di lubuk hatinya terdapat ketakutan kalau Owen akan lebih memilih Alyssa dibanding dirinya. Tiba-tiba terdengar bunyi bel pada pintu rumah yang membuatnya tersadar dari lamunan, Amara segera beranjak dari bangku serta berjalan ke arah pintu."Pagi, Amar