Naya mengangguk mengerti saat mendengarkan penjelasan dari Raga. Seperti yang sudah disepakati, setelah makan siang Raga akan menjelaskan secara detail tentang humas perusahaan. Naya yang memang berminat tampak menyimak dengan seksama, sesekali dia juga bertanya jika ada sesuatu yang mengganjal di otaknya.
"Jadi kamu suka ngedit, Nay?" tanya Raga mematikan proyektor setelah mempresentasikan materi pada Naya.
"Iya, Mas. Masih belum pro banget sih, tapi bisa lah kalo sambil liat tutorial."
Raga mengangguk, "Itu Jedi juga jago ngeditnya. Kalo mau belajar, tanya-tanya aja langsung sama dia."
"Pasti, Mas. Mumpung bisa belajar gratis." Naya tertawa.
Mereka hanya berdua di ruangan rapat ini, sebenarnya ada Arman tadi. Namun, dia keluar terlebih dulu untuk menemui Rezal, manager humas.
Membicarakan manager, Naya kembali teringat dengan pria yang menyapanya tadi saat makan siang. Rezal terlihat biasa saja saat melihatnya, tapi kalimat yang dia lontarkan seolah menunjukkan akan ada sesuatu yang besar menanti Naya nanti.
"Mas?" panggil Naya hati-hati pada Raga. "Tadi yang di ruangan santai beneran manager humas?"
"Iya, namanya Pak Rezal."
"Tau kok, Mas. Dulu pernah ketemu di restoran. Aku nggak sengaja mecahin banyak piring di sana."
Raga tertawa, "Pantes Pak Rezal tadi bilang gitu."
"Pak Rezal nggak mungkin balas dendam kan, Mas? Aku masih sehari di sini tapi kok udah takut."
Raga membereskan kertasnya dan mulai berdiri, "Nggak tau juga ya, Nay. Pak Rezal orangnya serius, nggak pernah main-main sama ucapannya."
Naya ikut berdiri dengan resah, "Jangan nakutin dong, Mas."
"Aku nggak nakutin, Nay. Mending kamu hati-hati sama Pak Rezal." Raga tertawa karena berhasil membuat Naya takut. Yang dia ucapkan adalah kebohongan. Lagi pula untuk apa Bosnya mengerjai Naya yang hanya anak magang?
"Ganteng-ganteng kok nyeremin," celetuk Naya pelan.
"Jangan sampe Pak Rezal denger lo, Nay."
"Ya kalo gitu Mas Raga jangan bilang. Aku beneran takut sama dia."
Lagi-lagi Raga terkekeh dan berlalu keluar ruangan, "Nggak janji ya, Nay. Ini mulut kalo nggak ditutup sama pizza ya nggak bisa jaga rahasia."
***
Naya memeluk tas laptopnya erat saat angin dingin mulai menerpa tubuhnya. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan seharusnya dia sudah dalam perjalanan pulang sekarang. Namun yang ada, dia harus terjebak di lobi kantor karena hujan yang turun dengan deras. Dia tidak bisa menerobos hujan karena laptop yang dia bawa, selain itu dia juga tidak membawa jas hujan.
"Belum pulang?" tanya seseorang yang membuat Naya berbalik.
Rezal berdiri di belakang Naya dengan tas di tangannya. Pria itu masih terlihat tampan dan segar di jam rawan seperti ini. Naya hanya bisa mengulum bibirnya pelan. Dadanya bergemuruh, lagi-lagi antara terpesona dan takut. Takut dalam artian rasa sungkan dengan apa yang pernah terjadi pada mereka dulu di restoran.
"Belum, Pak. Nunggu ujannya reda."
Rezal berjalan mendekat dan berdiri di samping Naya. Matanya melihat ke langit dengan tatapan menerawang.
"Hujannya bakal lama." Rezal berbalik menatap Naya, "Mau saya antar?"
Naya dengan cepat menggeleng, hal itu membuat Rezal menaikkan alisnya bingung. Sedetik kemudian dia menyadari apa yang terjadi pada Naya. Dia teringat dengan ucapan Raga yang mengatakan jika mahasiswa magang itu takut padanya.
"Kenapa nggak mau?" tanya Rezal menatap manik mata Naya.
"Saya bawa motor, Pak." Naya menjawab pelan, seolah terhipnotis dengan wajah tampan Rezal yang menatapnya lekat.
"Kan bisa ditinggal."
Naya menggeleng dan mengalihkan pandangannya dari wajah Rezal. "Nggak usah, Pak. Saya nunggu ujannya reda aja."
"Nggak bawa jas hujan?" tanya Rezal lagi. Bukannya apa, tapi dia tidak tega melihat wajah naya yang memelas.
"Enggak, Pak."
Rezal mengangguk dan mulai memanggil satpam, "Kamu tunggu di sini dulu."
Setelah itu Rezal pergi ke tempat parkir dengan payung yang dia pinjam dari satpam. Dia membuka mobilnya dan mengambil jas hujan yang selalu tersedia. Tak lupa dia juga mengambil payung untuk dirinya sendiri. Naya menatap Rezal dengan dahi berkerut. Tak lama pria itu kembali dengan kantong di tangannya.
"Ini, pake dulu jas hujan saya."
Mata Naya membulat mendengar itu. Dia semakin ragu dengan ucapan Fira dan Raga yang mengatakan jika Rezal akan mempersulit kegiatan magangnya. Nyatanya pria itu malah membantunya.
"Ini nggak Bapak pake?" tanya Naya menerima jas hujan itu.
"Ngapain saya pake jas hujan di mobil?"
Tersadar akan sesuatu, Naya menggaruk lehernya pelan. Dia tersenyum konyol pada Rezal.
"Yakin, nggak mau dianter?"
Naya dengan mantap mengangguk. Dia mulai membuka jas hujan milik Rezal dan memakainya. Rezal masih berada di hadapan Naya dan menatap gadis itu lekat.
"Kalau gitu saya pulang dulu," ucap Rezal saat Naya sudah memakai jas hujannya dengan sempurna.
"Makasih ya, Pak. Besok jas hujannya saya balikin."
Rezal mengangguk dan berbalik pergi. Naya melihat punggung lebar itu dengan bibir yang berkedut. Entah ke mana rasa takut yang menyerangnya tadi siang. Saat ini Rezal terlihat berbeda dan tampak berwibawa. Membuat Naya mau tidak mau mulai terpesona.
Padahal cuma dipinjemin jas ujan, tapi kok bapernya beneran.
***
Rezal mengusap telinganya yang terasa panas karena omelan Ibunya. Lagi-lagi wanita yang dia sayangi itu membahas tentang kenyamanannya akan melajang. Bukannya tidak ingin menikah tapi Rezal masih belum menemukan yang cocok, itu saja.
"Masa ya, Pa. Sama Wulan nggak mau, sama Rana nggak mau, sama adiknya Rana juga nggak mau. Anakmu ini lo, Pa. Mama sampe bingung."
"Ya udah lah, Ma. Nanti juga Rezal bawa calonnya sendiri kalau udah waktunya."
"Mau sampe kapan, Pa? Mama udah pingin cucu!"
Rezal mendengkus dan melirik Ibunya kesal. Wanita itu membicarakannya seperti tidak ada dirinya di tempat ini.
"Kan udah ada Dita, Ma." Rezal mengambil lalapan sayur dan memakannya kesal.
"Cucu dari kamu kan belum, Zal." Fadil—kakak Rezal—ikut memperkeruh suasana.
"Diem lo!" Rezal menatap kakaknya tajam. Sedangkan Fadil hanya tertawa dan mencium pipi anaknya yang berada di pangkuannya.
"Mau dikenalin sama temen Mbak nggak, Zal?" tawar Safiya, kakak iparnya.
"Nggak usah ikut-ikutan deh, Mbak."
Ibu Rezal memukul lengan anaknya keras, "Lihat anakmu, Pa! Masa dia beneran suka sama Joko. Nggak rela Mama."
"Apaan sih, Ma. Jangan bahas ini lagi. Ayo makan." Rezal mengambilkan nasi untuk Ibunya sebagai pengalihan agar tidak membicarakan masalah yang sama.
Malam ini keluarga Mahesa sedang berada di restoran milik keluarga. Kebiasaan yang masih terus berlangsung hingga sekarang. Setidaknya seminggu sekali mereka harus menyempatkan diri untuk berkumpul dan saling bertukar cerita.
"Ini minumnya, Pak." Rezal mengangguk dan menerima minuman dari Nara.
Rezal menatap Nara dan berdehem. "Pacar kamu masih kuliah ya, Ra?" tanya Rezal membuat Nara mengurungkan niatnya untuk pergi.
"Pacar?"
"Kanaya, yang dulu buat kamu mecahin 7 piring sama 3 gelas?"
Nara meringis, "Kok diingetin sih, Pak." Dia merasa sungkan dengan orang tua Rezal di hadapannya. "Bapak kenal Naya?" tanya Nara bingung.
Rezal mengangguk dan mengelap bibirnya dengan tisu, "Dia magang di tempat saya."
"Serius?" tanya Nara terkejut. "Pak, tolong Bapak sabar ya sama Naya. Kelakuannya emang rada-rada tapi dia pinter kok, bisa diandelin."
"Saya belum liat kepintarannya, baru satu hari soalnya. Lagian kamu kok ngatain pacar kamu sendiri?"
Nara tertawa, "Naya itu sepupu saya, Pak. Masa Pak Rezal nggak peka, nama kita aja hampir mirip."
"Ya mana saya tau, emang sejak kapan sepupuan harus punya nama mirip?"
Nara meringis mendengar itu, "Iya, iya, Pak. Saya salah." Tangan Nara terulur untuk mengambil piring kosong yang kotor. "Kalau gitu saya lanjut kerja ya, Pak."
Rezal mengangguk dan kembali menikmati makanannya. Tanpa dia sadari jika Ibunya tengah mencuri dengar percakapannya dengan Nara sedari tadi.
"Jadi, gimana Zal?" tanya Ibunya dengan alis yang naik-turun.
"Gimana apanya?" tanya Rezal bingung.
"Naya si anak magang. Cantik, nggak?"
Rezal mengurungkan niatnya untuk makan dan menatap Ibunya tidak percaya. Kenapa jadi Naya? Rezal lebih yakin jika jodohnya masih disayang oleh orang lain dari pada gadis ingusan yang baru lahir seperti Naya.
***
Menjadi seorang istri di usia muda tidak pernah Naya pikirkan sebelumnya. Meskipun usianya sudah menginjak 21 tahun, tetap saja di jaman sekarang usia tersebut masih terbilang cukup muda untuk membina rumah tangga.Berbeda dengan kebanyakan anak muda lainnya, Naya memilih untuk mengambil jalannya sendiri. Dia rela mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan Rezal. Bersyukur pria itu juga mengerti dirinya.Selama empat bulan ini, Rezal berperan sebagai suami yang bijaksana. Dia sadar akan usia Naya yang masih muda.
Naya menatap pantulan dirinya di depan cermin dengan lekat.Dressselutut berwarna hitam yang dia pakai terlihat pas ditubuhnya. Rambutnya juga terurai indah dengan gelombang di bagian ujungnya. Naya melakukan semuanya sendiri, termasukmake-upsederhana di wajahnya.Malam ini Rezal mengajaknya
Hari yang panas membuat Naya ingin segera membersihkan diri. Setelah pulang dari kampus dia berniat untuk mengurung diri di kamar. Entah mengerjakan tugas, mengedit video, mengedit foto, atau yang lainnya. Naya hanya ingin bersantai mengingat jika akhir-akhir ini waktunya cukup terkuras untuk tugas kampus. Tentu saja, dia sudah semester atas. Naya tidak bisa lagi berleha-leha seperti saat menjadi mahasiswa baru dulu.Setelah menyalakan AC, Naya menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Tangannya meraih ponsel dan melihat pesan singkat dari Rezal. Hanya sebuah gambar, tidak ada tulisan sebagai penjelas. Begitu singkat dan tidak bisa berbasa-basi.Naya terkekeh saat
Rezal memasuki rumahnya sambil merenggangkan dasi yang terasa mencekik leher. Hari ini jadwalnya cukup padat tapi sebisa mungkin dia akan pulang tepat waktu. Entah kenapa setelah menikah, Rezal jarang lembur di kantor. Jika memang ada pekerjaan, dia lebih memilih untuk mengerjakannya di rumah sambil menikmati wajah ayu istrinya.Dengan bersiul, Rezal membuka pintu kamarnya. Di kamar, dia melihat Naya tengah mengambil beberapa baju dari lemari. Di sampingnya juga ada koper kecil berwarna hitam."Kamu ngapain?" tanya Rezal bingung.Naya menoleh dan tersenyum melihat kedatangan suaminya. Saat Rezal sudah berada di depannya, Naya segera mencium tangan suaminya. Sebagai tanda hormat, kebiasaan yang tidak pernah ia lupakan sejak masih pacaran."Ini lagi nyiapin baju buat Mas Rezal besok," ucap Naya kembali mem
Pernikahan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari sebuah kenyataan. Pada tahap ini, tiap pasangan dituntut untuk saling menerima satu sama lain. Baik itu sifat baik dan sifat buruk, baik itu kekurangan ataupun kelebihan.Seperti yang terjadi pada Rezal dan Naya setelah menikah. Masa pendekatan yang begitu singkat membuat mereka sama-sama terkejut dengan kebiasaan masing-masing. Naya yang masih muda cenderung santai dan apa adanya, berbeda dengan Rezal yang lebih disiplin dan bijaksana. Jarak usia juga bisa menjadi faktor perbedaan tersebut. Namun itu tidak mereka jadikan alasan untuk saling menarik diri, justru dengan adanya perbedaan itu mereka saling melengkapi dan jatuh cinta setiap harinya.Di sebuah kamar, Rezal tampak berbaring santai dengan laptop Naya di pangkuannya. Tidak ada yang dia lakukan, hanya melihat-lihat isi folder yang ada. Sedangkan istrinya tengah berada di kama
Cahaya kilat yang terang membuat Naya menutup matanya erat. Tak lama terdengar suara petir yang membuat semua orang, termasuk dirinya mulai membaca doa dalam hati. Entah kenapa cuaca akhir-akhir ini begitu menakutkan. Naya terpaksa meneduh di pinggir jalan saat hujan turun dengan derasnya.Hari ini memang Naya disibukkan dengan kegiatan kampus sampai malam. Saat dia akan pulang, ternyata Tuhan tidak mengabulkan doanya. Naya sudah berdoa agar hujan tidak turun tapi takdir berkata lain. Di sini lah dia sekarang, meneduh di pinggir jalan bersama dengan pengendara motor lainnya.Pada saat seperti ini Naya hanya bisa mengumpat dalam hati. Dia menyesal tidak siap sedia jas hujan di motornya. Sudah menjadi kebiasaannya melupakan benda penting itu.Saat akan menghubuhi Rezal pun, Naya berdecak kesal. Lagi-lagi dia mengumpati kebodoh