Share

Bab 6. Pinjamkan Aku Pakaian

Gadis itu menerima tatapan yang ditujukan ke arahnya dengan tajam, kedua mempelai saling bertukar pandangan dengan kilat cahaya yang berbeda. Tak ada yang tahu apa yang dipikirkan oleh kedua orang ini sama persis hanya saja mungkin perang dunia ketiga mungkin akan segera terjadi.

Suasana ruang makan yang ramai dan sesekali berdenting akibat alat makan yang diadu, sama sekali tidak menyurutkan niat keduanya untuk saling menunjukkan siapa yang telah melakukan kesalahan fatal hingga pernikahan yang tak diinginkan itu terjadi.

"Oh, jangan seperti itu Vickal." Andini bersuara, wajahnya terlihat khawatir saat kedua anaknya saling berpandangan tak biasa. "Kalian adalah pasangan baru, setidaknya ambil cuti dari pekerjaanmu dan ajak pasanganmu berwisata. Ya, meskipun tidak mewah seharusnya kamu membahagiakan Anggun."

Vickal menghela napas, ia memutus kontak mata dengan Anggun lalu kembali fokus pada makanan yang terhampar diatas piringnya. Tak ada komentar dari pria itu, ia terlihat tenang namun begitu berbahaya. Sungguh sebuah sikap yang mencerminkan dirinya memanglah cheetah yang berbahaya.

"Setidaknya pergi ke kampung juga tidak terlalu buruk Bu," sela Vicky membuka suara. Ia menatap Anggun dan Vickal bergantian lalu menoleh ke arah ibunya. "Rumah Kakek berada disekitaran pantai, aku rasa itu sudah termasuk bulan madu yang romantis. Kita tahu, rumah di sekitar pantai itu sangatlah indah dan nyaman. Aku yakin Anggun akan menyukai suasananya nanti."

Anggun menatap Vicky cukup lama seraya mengunyah makanannya. Ada perasaan kesal yang kini menyelinap di dalam dirinya. Jika pemuda yang berada di seberang sana mau menceritakan bahwa dirinya memiliki saudara kembar mungkin Anggun akan bersikap hati-hati dan tidak seceroboh ini hingga akhirnya kejadian yang tidak diinginkan ini bisa terjadi.

"Dan aku akan turut berlibur ke rumah Kakek, bagaimana Bu? Sepertinya kita juga perlu mengantar mereka pulang ke kampung dan sejenak melepas penat disana." Vicky terlalu banyak bicara membuat suasana ruang makan yang damai mulai sedikit gaduh karena percakapan tak penting ini.

Andini terdiam, masih mencoba memikirkan solusi apa yang terbaik untuk semuanya. "Baiklah, pulang kampung juga tidak buruk. Kami akan mengantarmu kesana, Vickal. Tolong beritahu kami kapan kamu berangkat agar kami bisa berkemas dengan cepat. Bukankah begitu Pak Hermawan?"

Pria yang tiba-tiba disapa di meja makan hanya mengangguk dengan pasrah. "Saya hanya memasrahkan hal ini pada Anggun Bu, terserah dia mau bagaimana keputusannya." Hermawan lalu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

"Aku sungguh berharap kalian akan menjadi pasangan yang serasi dan bahagia, Vickal." Andini menatap Vickal lalu tersenyum. Menoleh sekilas ke arah Vicky, Andini menaikkan sebelah alisnya. "Bukankah begitu Anakku Vicky? Kamu juga harus turut mendoakan kebahagiaan mereka, bukan?!"

****

Pernikahan impian itu kini hanyalah sebuah dongeng yang hanya didengungkan oleh mereka-mereka penebar harapan palsu. Setidaknya itulah yang dirasakan Anggun saat ini, jelas saja ia tidak mampu menutupi rasa kecewa yang membayang di dalam otaknya. Meskipun Vicky ataupun Vickal tidak jauh berbeda, hanya saja Anggun merasa tidak terbiasa dengan pria kembar itu di dalam rumahnya.

Berjalan masuk ke dalam kamar dengan langkah letih, Anggun berniat untuk melepas pakaian kebaya yang ia kenakan dan mulai membersihkan diri. Impian tentang pernikahan indah kini hanyalah dongeng semata dan Anggun tidak memiliki nasib baik untuk mendapatkannya.

Membuka pintu kamar, Anggun menatap kamarnya yang sudah didesain dengan begitu rapi dan indah. Sebuah sprei berwarna putih membentang diatas ranjangnya lengkap dengan taburan kelopak bunga mawar merah yang dibentuk tanda hati. Apa-apan ini? Pernikahannya gagal dan ia harus memandang ranjang seindah ini membuatnya gelap mata dan ingin membakar rumah.

Menghela napas, Anggun melangkah masuk dan mencoba mengabaikan pemandangan yang mencolok mata tersebut. Menatap ke arah meja, ia menemui ponselnya yang tergeletak dan sama sekali belum diisi daya. Anggun menghampirinya, ia sadar karena bangun kesiangan ia melupakan untuk mengisi daya baterai ponselnya.

Mencari kabel pengisi daya, Anggun bergegas mengisinya dan mulai membuka ponselnya. Berdiri menghadap tembok, Anggun dengan sabar menunggu ponselnya hidup.

Napas Anggun tertahan ketika beberapa laporan panggilan tak terjawab dari Vicky kini memenuhi W******p-nya. Beberapa pesan juga terkirim, dalam sekejap Anggun merasa bersalah dan menjadi makhluk bodoh sedunia. Ya, jika ia tidak mengabaikan perintah pamannya dan tidur lebih awal sebelumnya maka peristiwa buruk ini sudah pasti tidak akan pernah terjadi.

Derit pintu terdengar lirih, memecah perhatian Anggun ketika seseorang masuk ke dalam kamarnya dengan wajah dingin. Anggun tahu siapa dia, ya Vicky Rahmanto yang palsu.

Vickal menatap Anggun sekilas, ia menutup pintu hingga Anggun tiba-tiba menegurnya. "Jangan tutup pintunya, apa kau ingin orang-orang diluar sana berpikiran negatif tentang kita."

Alis Vickal naik sebelah, ia berdiri di depan pintu cukup lama. "Apa kau lupa kau sudah melamar saya lewat pamanmu, bukan?! Sekarang saya adalah suamimu, kenapa kamu bertingkah begitu jijik dengan saya?!"

Anggun memutar bola mata, ia meletakkan ponselnya di meja lalu berjalan mendekat ke arah Vickal. "Sebaiknya kamu jangan terlalu berharap dengan pernikahan ini karena aku akan memiliki segala cara supaya kamu mau melepaskan aku secepatnya."

Vickal menatap Anggun dengan tatapan dingin hingga akhirnya tangannya terangkat hendak menyentuh wajah Anggun. Gadis itu menolak, ia memalingkan wajah dengan cepat. Vickal tak bereaksi, ia justru mengambil taburan bunga yang menempel di rambut Anggun. "Kamu juga jangan berekspektasi sejauh itu, jika kamu ingin menghancurkan maka saya sendirilah yang akan merapikannya dengan baik."

Anggun menyipitkan mata, sedikit malu saat Vickal meraih tangannya dan menyerahkan kelopak bunga yang entah datang darimana, yang mengotori rambutnya. Vickal menghela napas, ia menatap Anggun dengan tatapan datar. "Dimana handuknya? Saya ingin segera mandi."

Anggun tak menjawab tapi tangannya menunjuk ke arah kamar mandi, menunjukkan bahwa disanalah handuk dan perangkat mandi tersedia. Vickal menatap Anggun sekilas lalu pergi meninggalkannya guna membersihkan diri.

Gadis itu menghela napas dengan berat, kembali berjalan menuju ke ponselnya ketika benda pipih itu berdering cukup lantang. Mata Anggun membulat saat tahu panggilan siapa yang telah menghampirinya, dengan cepat ia mengangkat telepon dan menyapanya. "Hallo Ratih?!"

"Ah, hallo kesayanganku Anggun, aku dengar kamu menikah hari ini ya?! Maafkan aku Sayang, aku tidak bisa hadir karena jadwal kuliahku di luar kota begitu padat. Aku tidak bisa pulang dan menghadiri hari bahagiamu," ucap Ratih dengan nada menyesal.

Anggun belum bicara, ia sendiri bingung harus memulai bercerita darimana. Menarik napas, Anggun berkacak pinggang sebelah seraya menatap pemandangan malam dari jendela kaca di dalam kamarnya.

"Ratih, ini bukan pernikahan impian bagiku. Tepatnya ini adalah pernikahan dari neraka," tukas Anggun dengan wajah kesal, ia memijit dahinya yang kini perlahan terasa pusing.

"Bagaimana bisa? Apa ada masalah?" Ratih ingin tahu, ia bertanya dengan nada lembut seolah ingin menentramkan hati Anggun yang mulai bergejolak dan panas.

"Aku salah suami, Ratih."

"Hah? Apa? Maksudnya bagaimana?" Ratih terlonjak kaget saat mendengar Anggun menjawabnya demikian.

"Iya, aku salah suami Ratih. Seharusnya aku menikahi Vicky tapi ternyata yang datang adalah Vickal, saudara kembarnya Vicky. Bodohnya aku, aku sama sekali tidak curiga dan kini—ya, pernikahan neraka itu akhirnya terjadi." Anggun menumpahkan kekesalannya dengan wajah memucat, sungguh ia ingin marah ketika teringat bagaimana Vickal tidak mau melepaskannya dan bersikukuh untuk mempertahankan pernikahan yang tak diharapkan ini.

"Kenapa bisa seperti itu? Bagaimana tanggapan Vicky? Apakah saudara kembarnya tidak mau melepaskanmu?" Ratih terus bertanya, merasa heran dengan nasib sial yang dialami Anggun, sahabat SMA-nya tersebut.

"Vicky hanya pasrah dan sialnya Vickal tidak mau mengalah pada kami. Ratih, aku harus bagaimana? Aku tidak menyukai pernikahan ini dan ingin melarikan diri darinya," curhat Anggun lalu duduk diatas ranjang dengan gelisah.

Ratih terdiam cukup lama hingga akhirnya terdengar helaan napas yang cukup panjang. "Menurutku kamu harus berusaha membuat Vickal membencimu, Anggun. Dengan begitu Vickal akan kesal padamu dan akhirnya mau melepaskan kamu."

Anggun terdiam, saran dari Ratih sepertinya masuk akal. Jika ia melakukan sesuatu yang dibenci Vickal, selalu membuatnya kesal maka lambat laun Vickal akan membencinya, bosan, dan akhirnya mau melepaskan begitu saja. Ah, kenapa ia tidak memikirkannya sedari awal?!

"Anggun? Kenapa diam? Apa aku salah kasih saran?" Ratih memanggil nama temannya dengan heran, sedikit takut jika saran yang ia lontarkan justru menambah masalah.

"Kamu sangat brilian, Ratih. Saranmu patut untuk dicoba," puji Anggun dengan bola mata berbinar setelah mendapatkan saran seperti itu. Sungguh ini adalah mukjizat paling diinginkan Anggun saat ini.

"Baiklah kalau begitu, tetap hati-hati dan jaga kesehatanmu ya?! Aku masih harus mengerjakan beberapa tugas dari dosen. Bye, Anggun." Ratih lalu mematikan ponselnya.

Anggun menarik napas, ada rasa lega yang kini menyusup dalam dadanya. Ya, mulai malam ini ia akan menjadi gadis paling menyebalkan dalam hidup Vickal. Membuat pria itu kesal setengah mati dan memilih untuk melepaskannya begitu saja. Hahaha..... Anggun tidak sabar menantikan hari bebas tersebut.

"Kamu tidak mandi?" Vickal menyapa Anggun yang sibuk senyum-senyum sendiri karena memikirkan rencana jitu yang mendadak memenuhi otaknya. Anggun menoleh ke arah kamar mandi, matanya mendadak membulat dan ia berteriak histeris.

"Aaaaaaa.... Kenapa kamu telanjang? Dasar tidak sopan! Pakai bajumu segera, dasar bodoh!" Anggun memaki Vickal ketika melihat pria itu keluar dari kamar mandi hanya dengan membalut handuk di pinggangnya.

Anggun berteriak histeris, ia menyambar bantal dan melemparkannya ke arah Vickal dengan cepat. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, terlihat jelas kini wajahnya memerah panas karena tanpa sengaja menatap dada bidang yang terbuka dan lekukan tubuh Vickal yang membentuk dengan sempurna. "Dasar bujang lapuk! Kau ingin memikat hatiku dengan tubuhmu ya?! Jangan harap! Aku tidak akan terpesona padamu. Cepat pakai pakaianmu atau aku akan mengusirmu dari kamar ini!"

Vickal terdiam beberapa saat, ia menggeleng dengan sikap Anggun yang menurutnya begitu berlebihan. "Kamu sangat aneh, mulai sekarang biasakanlah melihat suami telanjang agar kamu tidak terserang stroke dadakan."

Vickal berjalan menuju ke lemari hingga akhirnya ia sadar bahwa ia tidak memiliki baju ganti sama sekali. "Hei Nona Aneh, saya tidak membawa baju ganti. Dengan apa saya harus berganti?"

"Pakai kembali pakaianmu tadi," teriak Anggun masih menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, wajahnya kian memanas.

"Baju saya kotor, mana mungkin saya pakai lagi?!"

"Kalau begitu ambil saja pakaianku di dalam lemari, pilihlah sesukamu dan segera pakai." Anggun terus berteriak, sejenak panik takut terjadi apa-apa diantara mereka.

"Apa kau gila? Apa saya harus memakai kaos ketat dan celana panjang highwaist milikmu, hah?!" Vickal turut kesal dengan instruksi yang diberikan Anggun kepadanya.

"Didalam lemari ada beberapa kaos oblong besar, kamu bisa memakainya sementara waktu. Untuk celana, ada celana kolor yang bisa kamu pakai. Itupun jika kamu tidak merasa malu karena-karena warnanya pink dan juga ungu." Anggun menahan diri, tidak tahan lagi harus menutup mata lama-lama. "Sudah, pokoknya ambil saja dan pakai. Aku tidak ingin melihatmu telanjang lagi di kamar ini."

Vickal menggeleng, ia merasa heran bercampur kesal pada gadis ini. Dengan langkah berat Vickal membuka lemari kayu milik Anggun, berniat mencari kaos oblong serta celana kolor yang ditunjukkan gadis itu.

Lama mencari, Vickal mengerutkan dahi. Bukan kaos oblong atau pun celana kolor, ia justru mendapatkan beberapa beha aneka warna dan macam bentuknya. Wajah Vickal memanas saat mendapati beha-beha tersebut, fantasinya sebagai lelaki lantas membuncah tak keruan. Menutup lemari dengan napas naik turun, Vickal menatap Anggun yang masih menutup wajahnya rapat-rapat. "Saya akan pakai pakaian saya kembali. Melihat isi lemarimu, jujur saya mendadak jadi gerah."

"Apa maksudmu?"

Vickal berbalik badan, ia kembali ke kamar mandi dengan langkah gontai. "Sebaiknya tetaplah jadi rakun karena saya tidak pernah menyukainya dan berharap tidak akan pernah menyukainya."

****

Jangan lupa untuk masukkan ke library dan rate bintang lima ya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status