Ardan mengetuk pintu kamar dengan ringan, menunggu hingga terdengar suara sahutan dari dalam. Sesaat kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Ayunda yang kini mengenakan pakaian bersih.
“Dokter akan memeriksa keadaanmu dan juga .…” Ardan terdiam sejenak, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Apakah Ayunda akan mengizinkannya menyebut bahwa bayi yang dikandungnya adalah anaknya? Ayunda terkejut, refleks tangannya menyentuh perutnya yang masih datar. Tatapannya bertemu dengan Ardan, mencoba mencari kejujuran di matanya. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia mengangguk pelan, memberi izin. Ardan menghela napas lega. “Baiklah,” ucapnya singkat, lalu memberi isyarat kepada dokter yang sudah menunggu di belakangnya. Seorang dokter wanita melangkah masuk, diikuti beberapa perawat yang membawa perlengkapan medis. “Selamat malam, Nona Ayunda. Saya hanya akan melakukan pemeriksaan ringan untuk memastikan kondisi Anda dan kehamilan Anda dalam keadaan baik,” ujar sang dokter dengan suara lembut. Ayunda kembali mengangguk, lalu perlahan duduk di tepi ranjang. Salah satu perawat membantu memasang alat pemeriksa tekanan darah di lengannya, sementara dokter mulai menyiapkan alat USG portable. Ardan berdiri di dekat jendela, menyilangkan tangan di dada, mengamati proses pemeriksaan dengan ekspresi sulit ditebak. Ketika dokter mengoleskan gel dingin di perut Ayunda, tubuhnya sedikit menegang. Layar kecil di sampingnya mulai menampilkan gambar hitam putih yang berdenyut pelan. “Hm, ini perkembangan yang baik,” kata dokter, tersenyum kecil. “Kandungan Anda sekitar dua belas minggu, detak jantung janin terdengar stabil.” Ayunda menatap layar itu dengan mata berkaca-kaca. Meski masih samar, itu adalah kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Ardan melangkah mendekat, ikut melihat ke layar. Entah mengapa, dadanya terasa hangat melihat bukti nyata bahwa seorang bayi sedang berkembang di sana. Ia menatap Ayunda, lalu berkata dengan suara pelan, “Itu anak kita.” Ayunda tidak menjawab, hanya menggigit bibirnya, berusaha menahan gejolak emosinya. Sementara itu, dokter menyelesaikan pemeriksaan dan mulai membereskan alat-alatnya. “Secara keseluruhan, kondisi Anda cukup baik, tapi saya tetap menyarankan agar Anda lebih banyak beristirahat dan menghindari stres,” ucapnya. Ardan mengangguk. “Terima kasih, Dok.” Setelah dokter dan perawat pergi, keheningan menyelimuti ruangan. Ayunda masih menatap layar USG yang kini telah dimatikan. “Kamu bisa tenang di sini,” kata Ardan, memecah keheningan. “Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja.” Ayunda menoleh, menatap pria itu dengan mata yang penuh keraguan. “Kenapa?” Ardan mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” “Kenapa kamu melakukan semua ini untukku?” suaranya nyaris berbisik, tapi sarat dengan emosi. Ardan terdiam sesaat, lalu menjawab dengan jujur, “Karena aku ingin bertanggung jawab. Dan … mungkin lebih dari itu.” Ayunda tidak tahu apakah ia bisa mempercayai kata-kata itu. Tapi untuk saat ini, ia terlalu lelah untuk memikirkan semuanya. Yang ia tahu, bayi ini adalah satu-satunya harapan yang ia miliki. Dulu, Mahesa datang seperti seorang pahlawan. Ia menawarkan cinta, perlindungan, dan masa depan yang indah. Nyatanya, ia justru menjadi orang yang paling dalam menggoreskan luka di hati Ayunda. Sebagai seorang mahasiswi yang masih muda, Ayunda tidak pernah membayangkan akan menikah secepat itu. Tapi Mahesa meyakinkannya. Ia berkata bahwa cinta mereka lebih kuat dari segalanya, bahwa penolakan kedua orang tua Mahesa hanyalah rintangan sementara. Ayunda percaya. Ia menerima lamaran itu dengan harapan bahwa kelak ia akan memiliki kehidupan yang bahagia bersama pria yang dicintainya. Namun, harapan itu hancur dalam waktu kurang dari sehari. Tidak ada pesta pernikahan yang mewah, tidak ada kebahagiaan seperti yang ia bayangkan. Tapi Ayunda tidak masalah, selama ia bersama Mahesa. Hingga malam pertama tiba—dan Mahesa justru menghilang. Ia menunggu dalam diam di kamar pengantin mereka yang sunyi. Malam semakin larut, tetapi suaminya tak juga kembali. Hatinya mulai gelisah, tetapi ia mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa mungkin Mahesa hanya sedang memiliki urusan penting. Hingga akhirnya, tepat tengah malam, pintu terbuka. Mahesa masuk, tetapi tidak sendiri. Di sisinya, seorang wanita cantik mengenakan gaun pernikahan mewah, jauh lebih indah dari gaun sederhana yang Ayunda kenakan saat akad tadi pagi. Wanita itu tertawa pelan, tangannya melingkar di lengan Mahesa seolah menandakan kepemilikan. Ayunda membeku di tempatnya. Matanya mencari jawaban di wajah Mahesa, tetapi yang ia temukan hanyalah tatapan dingin tanpa rasa bersalah. "Jangan menatapku seperti itu," kata Mahesa santai. "Bukankah kau tahu sejak awal? Kau hanya pilihan kedua." Puing-puing kenangan itu berputar jelas di benaknya. Sakit di kepalanya semakin menjadi, seolah menekan ingatan itu semakin kuat ke dalam pikirannya. Ayunda meremas rambutnya, matanya terpejam erat. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak. Ia ingin melupakan, tapi kenangan itu terus mengejarnya. Sementara itu, Ardan yang berdiri di ambang pintu mengamati Ayunda dengan cemas. "Ayunda?" Ayunda membuka mata, tatapannya kosong. Ardan segera melangkah mendekat dan menyentuh bahunya dengan lembut. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya pelan. Ayunda menatapnya, lalu mengangguk lemah. "Aku ... hanya pusing." Ardan tidak percaya begitu saja. "Duduklah," katanya, membimbing Ayunda ke tepi ranjang. "Kamu tidak perlu menahan semuanya sendiri, Ayunda." Ayunda tertawa kecil, getir. "Aku sudah terbiasa." Ardan menatapnya lama. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin melindungi wanita ini lebih dari sekadar rasa tanggung jawab. Tapi ia tidak ingin terburu-buru, tidak ingin memaksakan sesuatu yang mungkin masih belum bisa diterima Ayunda . "Mulai sekarang, kamu tidak perlu terbiasa dengan itu lagi," kata Ardan dengan suara mantap. "Aku ada di sini." Ayunda menatapnya lama, seolah mencari kebenaran dalam kata-kata itu. Namun, apakah ia benar-benar bisa mempercayai seseorang lagi? “Wanita itu dan Mahesa … mereka mendorongku dari tangga ….” Suara Ayunda lirih, nyaris seperti bisikan. Tubuhnya gemetar, kenangan itu kembali menusuk kesadarannya dengan begitu kejam. Pengkhianatan yang ia alami bukan sekadar dikhianati dalam pernikahan, tetapi lebih dari itu—percobaan pembunuhan yang direncanakan oleh suaminya sendiri dan wanita yang ia bawa malam itu. Memang, malam itu mereka bertengkar hebat. Bagaimana mungkin seorang wanita menerima kenyataan bahwa suaminya membawa perempuan lain ke dalam rumah di malam pertama mereka? Hatinya masih penuh harapan saat itu, meski sedikit terkoyak. Ia hanya ingin penjelasan, ingin jawaban. Tetapi yang ia dapatkan adalah cemoohan dan ejekan. “Dasar bodoh,” Mahesa menertawakannya sinis. “Kau pikir aku menikahimu karena cinta? Kau hanya taruhan.” Wanita di sampingnya tertawa meremehkan. “Kasihan sekali. Gadis panti asuhan yang berharap terlalu tinggi.” Air mata Ayunda jatuh saat itu, tapi ia tidak ingin menyerah begitu saja. “Kalau begitu, ceraikan aku sekarang juga!” Namun, yang terjadi selanjutnya justru di luar dugaan. Mahesa mendekat, mencengkeram lengannya erat. “Sayang sekali, aku tidak bisa melakukannya,” bisiknya. “Karena aku butuh alasan untuk menyingkirkanmu … selamanya.” Sebelum Ayunda sempat bereaksi, tangan Mahesa bersama wanita itu mendorongnya dengan keras. Ia ingat bagaimana tubuhnya melayang ke belakang, bagaimana rasa sakit yang luar biasa menyelimuti tubuhnya saat jatuh menghantam anak tangga. Dunia terasa berputar, pandangannya mulai kabur, dan hal terakhir yang ia dengar adalah suara tawa mereka sebelum semuanya menjadi gelap. *** Ayunda tersentak, kembali ke realitas. Tangannya mengepal di atas lutut, berusaha mengendalikan getaran yang masih tersisa di tubuhnya. Ardan yang sedari tadi diam kini menatapnya dengan sorot tajam penuh amarah. Rahangnya mengeras, dan napasnya terdengar berat. “Jadi … mereka yang membuatmu koma?” Ayunda mengangguk lemah. “Mereka menginginkan aku mati.” Ardan mengepalkan tangannya, menahan emosi yang meluap dalam dadanya. Ia tahu Mahesa bukan orang baik, tapi ia tidak pernah menyangka adiknya akan jatuh serendah itu—menyingkirkan istrinya sendiri dengan cara sekeji itu. Ayunda menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku … aku tidak ingin mengingatnya lagi,” bisiknya. Ardan menatapnya dalam, lalu duduk di sampingnya. “Aku berjanji, Ayunda … aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi.” Ayunda menoleh, menatapnya ragu. “Apa maksudmu?” Mata Ardan berkilat tajam. “Aku akan memastikan mereka membayar atas apa yang telah mereka lakukan padamu.” Ayunda menelan ludah. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tapi untuk pertama kalinya sejak ia terbangun, ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa … sedikit lebih aman.Akhirnya, perjuangan selama 50 jam membuahkan hasil. Dengan tangan yang masih terpasang infus, Dipta berhasil membobol sistem milik Siren dan membekukan seluruh jaringan digital yang ia kendalikan. Siren, yang saat itu sedang berusaha mentransfer seluruh dana dari perusahaan Dipta ke rekening pribadinya, gagal total. Dana tersebut berhasil dikembalikan, dan semua jejak digitalnya diamankan.Dipta tidak berhenti sampai di situ. Ia sudah merencanakan segalanya. Setelah memastikan sistem kembali stabil, ia langsung mengirimkan tim polisi ke lokasi yang telah dilacak sebelumnya. Siren dan beberapa orang yang terlibat akhirnya berhasil dikepung.Melihat keberhasilan itu, Ayunda tak bisa menahan luapan emosinya. Dengan refleks, ia langsung memeluk Dipta yang masih duduk lemah di kursinya. Pelukan itu spontan, penuh rasa lega dan bahagia.Momen itu sempat membuat semua yang ada di ruangan terdiam. William dan beberapa staf yang melihatnya langsung salah tingkah. Mereka berpura-pura sibuk, me
Namun Dipta tetap tak bergeming. Matanya terpaku pada deretan kode yang terus bergerak di layar. Napasnya berat, seperti menahan beban tak kasat mata yang terus menindih.William menatap Ayunda sekilas, lalu memberi isyarat mata. Ia mengerti maksudnya.“Aku panggil dokter sekarang,” bisik William. “Kalau dia tidak mau istirahat dengan sadar, kita harus paksa.”Ayunda mengangguk pelan. Beberapa menit kemudian, dokter kantor datang dengan peralatan lengkap. Melihat itu, Dipta mengerutkan kening.“Kalian serius?” protesnya pelan.“Kalau kamu terus memaksa tubuhmu begini, kamu bisa kolaps. Kami butuh kamu tetap hidup, Dipta,” jawab Ayunda tanpa basa-basi.Setelah dicek, suhu tubuh Dipta mencapai 39 derajat Celsius. Dokter menyarankan agar ia diberi infus dan obat penurun demam. Tanpa menunggu izin lebih lanjut, William dan Ayunda langsung mengarahkan dokter membawa Dipta ke ruangan istirahat khusus.Di ruangan itu, Ayunda duduk di sisi tempat tidur sementara infus dipasang ke tangan Dipta
Melihat kelengahan Dipta dan Ayunda, Siren tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cepat, ia mendorong Dipta dengan sekuat tenaga hingga pria itu tersungkur keras ke lantai jembatan. Tak berhenti di situ, Siren juga mendorong Ayunda, membuat wanita itu terhuyung dan nyaris jatuh. Telapak tangannya terhempas ke permukaan jembatan yang penuh dengan serpihan kaca, membuatnya berdarah hebat."Aku akan menghancurkan perusahaanmu untuk kedua kalinya, Dipta! Dan kali ini aku pastikan, kau takkan bisa bangkit lagi selamanya!" teriak Siren dengan penuh dendam sebelum akhirnya melarikan diri ke arah hutan kecil di balik jembatan.Dipta yang sempat hendak mengejar langsung berhenti saat mendengar Ayunda menahan erangan kesakitan. Ia segera berbalik dan melihat wanita itu tengah berusaha bangkit sambil memegangi tangannya yang dipenuhi darah."Ya ampun, Ayunda maafkan aku. Semua ini karena aku. Kamu tak seharusnya terseret dalam kekacauan ini," ucap Dipta dengan panik.Ia segera membantu Ayunda ber
Dipta segera berdiri. "Kita harus ke rumah sakit sekarang. Kalau orang itu masih hidup, kita harus pastikan dia aman dan bisa bicara sebelum semuanya terlambat."Ayunda menggenggam tasnya erat-erat, menahan gemetar di ujung jarinya. "Aku ikut."Oma Ola mengangguk, memberi restu dengan sorot mata penuh keyakinan. "Pergilah. Aku akan tetap di sini, mengoordinasi tim hukum."Tanpa membuang waktu, Dipta dan Ayunda melesat keluar hotel. Di dalam mobil, udara terasa berat, seolah beban kebenaran itu sendiri menekan mereka."Kalau ini benar ulah Siren," kata Ayunda pelan, "dia sudah jauh lebih berbahaya dari yang kita kira."Dipta mengangguk sambil menatap lurus ke jalan. "Aku curiga, ini bukan hanya soal proyek atau dendam. Ini bisa melibatkan jaringan yang lebih besar. Ada sesuatu yang Siren lindungi dengan segala cara."Mereka tiba di rumah sakit. Lorong-lorongnya lengang, kecuali satu ruangan di ujung, dijaga dua orang polisi. Dipta menunjukkan tanda pengenalnya. Mereka diperbolehkan mas
Bahkan di tengah malam itu, Ayunda dan Dipta tetap mengadakan pertemuan terbuka dengan perwakilan warga, berusaha mencari titik temu demi meredam kekacauan yang terjadi.Namun, suasana pertemuan jauh dari kondusif. Ayunda menjadi sasaran makian dari beberapa warga. Mereka memojokkan dirinya, bahkan ada yang merendahkan, mengatakan bahwa seorang wanita tidak pantas menjadi pemimpin, apalagi setelah membuat banyak warga menderita.Dengan ketenangan luar biasa, Ayunda menjelaskan bahwa sebelum proyek ini dimulai, ia telah melakukan kerja sama resmi dengan para pihak terkait dan memberikan kompensasi yang nilainya tidak main-main. Ia menegaskan, "Siapa pun yang mengalami kerugian karena proyek ini, saya bertanggung jawab penuh. Kami siap mengganti semua kerugian dengan adil."Namun, sebagian besar warga hanya terdiam. Dari raut wajah mereka, terlihat jelas ada sesuatu yang disembunyikan. Seolah-olah mereka hanya mengikuti skenario yang diatur oleh pihak terten
Dipta, yang awalnya tampak malu-malu, akhirnya mau juga makan bersama Oma Ola dan Ayunda. Di sana, si kembar disuapi oleh sang babysitter, karena memang mereka sedang sangat sulit makan—mungkin memasuki fase GTM (Gerakan Tutup Mulut). Padahal, Ayunda sudah berusaha memberinya vitamin, tapi tetap saja tidak banyak membantu. Namun, Ayunda tidak menyerah. Ia terus saja merayu si kembar dengan penuh kesabaran, sampai akhirnya mereka mau menghabiskan makanan, dibantu oleh tangan-tangan penuh kasih yang menyuapi.Malam itu menjadi momen pertama kalinya Dipta makan bersama keluarga Ayunda. Suasana di meja makan terasa hangat dan penuh tawa ringan. Oma Ola tampak sangat tertarik dengan kehadiran Dipta, sebaliknya Ayunda justru lebih banyak diam. Pikirannya berkecamuk, mengingat kejadian siang tadi saat Siren—mantan istri Dipta—melabraknya di tempat umum.Meski begitu, Ayunda mencoba menepis semua kekhawatirannya. Ia tahu, antara dirinya dan Dipta tidak ada hubungan apa-apa