Share

Tanggung Jawab?

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-03-27 07:30:46

Di halaman itu seketika terasa mencekam. Wajah Mahesa memerah, matanya berkilat penuh emosi. Sementara itu, Ayunda menatap Ardan dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan.

“Kau bohong!” Mahesa menggeram, langkahnya maju dengan tangan terkepal. “Kau hanya ingin mempermalukanku!”

Ardan tidak mundur. Dia justru berdiri lebih tegap, menatap Mahesa tanpa gentar. “Aku tidak pernah berbicara tanpa bukti, Mahesa.” Suaranya dingin, nyaris berbisik, tapi penuh keyakinan.

Ayunda yang sejak tadi terpaku, akhirnya menggeleng lemah. “Ardan … apa maksud semua ini?” suaranya bergetar, antara bingung dan tidak percaya.

Ardan menoleh, menatapnya dengan penuh kelembutan. “Aku tidak bisa diam saja melihatmu diperlakukan seperti ini. Aku tahu kebenaran yang selama ini disembunyikan, dan aku bersumpah akan melindungimu.”

Mahesa mendengus, tertawa sinis. “Kau pikir aku akan membiarkanmu membawa wanita ini dan mempermalukanku?” Dia mengangkat dagu, menatap Ardan dengan penuh tantangan.

Ardan tersenyum miring. “Bukan aku yang mempermalukanmu, Mahesa. Kau yang melakukannya sendiri.”

Mahesa mengatupkan rahangnya, menahan gejolak emosi yang membakar dadanya. Sementara itu, Ayunda mulai menyadari sesuatu—bahwa selama ini ada rahasia besar yang ia tidak ketahui.

“Aku tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kebenaran yang sesungguhnya terungkap,” ucap Ayunda akhirnya, suaranya kali ini penuh tekad. “Aku ingin tahu, Mahesa … apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu?”

Mahesa terdiam. Rahangnya mengeras. Ada sesuatu dalam sorot matanya—entah kemarahan, kebencian, atau mungkin ketakutan.

Ardan meliriknya tajam. “Saatnya menghadapi kenyataan, Mahesa. Tidak ada lagi kebohongan.”

Di teras halaman itu terasa semakin sesak oleh ketegangan yang menggantung di udara. Mahesa menggeretakkan giginya, jelas tidak suka dengan arah pembicaraan ini. Sementara itu, Ayunda menatapnya penuh harap, ingin mendapatkan jawaban yang telah mengusik hidupnya selama lima tahun terakhir.

“Katakan, Mahesa,” suara Ayunda terdengar lebih mantap. “Apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?”

Mahesa menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangannya ke Ardan. “Jadi ini rencanamu? Memojokkanku dengan masa lalu yang seharusnya sudah mati?”

Ardan tidak menunjukkan reaksi apa pun. “Bukan aku yang memulai ini, Mahesa. Kau sendiri yang selalu melarikan diri dari kebenaran.”

Mahesa tertawa dingin, lalu melangkah mendekati Ayunda. “Baik, kau ingin tahu kebenarannya?” Suaranya rendah, tetapi penuh sindiran. “Kau mengalami insiden lima tahun lalu, koma selama bertahun-tahun, dan saat kau terbangun ... aku sudah tidak menginginkanmu lagi.”

Ayunda merasa dadanya sesak. “Kenapa? Apa aku seburuk itu di matamu?”

Mahesa menghela napas panjang, lalu menatap Ayunda dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Karena aku tidak pernah mencintaimu, Ayunda. Seleraku bukan, wanita miskin.”

Kata-kata itu menghantam Ayunda seperti badai. Napasnya tercekat, dan matanya mulai memanas. Lima tahun dia koma, berharap ada alasan lain di balik semua ini. Tapi ternyata jawabannya begitu kejam.

“Kau bohong,” bisik Ayunda lirih.

Mahesa tersenyum miring. “Percaya atau tidak, itu urusanmu. Tapi aku tidak akan mengubah kata-kataku.”

Ardan akhirnya angkat bicara. “Cukup, Mahesa. Kau pikir dengan berkata seperti itu kau bisa menyingkirkan Ayunda dengan mudah?”

Mahesa menoleh, wajahnya masih dipenuhi keangkuhan. “Dia bukan masalahku lagi.”

“Tapi dia masalahku sekarang,” potong Ardan cepat. “Dan aku tidak akan membiarkanmu melukainya lagi.”

Ayunda mengalihkan pandangannya ke Ardan, matanya berkaca-kaca. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merasa aman—sesuatu yang tidak pernah ia temukan dalam diri Mahesa.

“Kalau begitu, bawa dia pergi,” ujar Mahesa akhirnya, suaranya terdengar dingin. “Dan pastikan dia tidak pernah kembali.”

Ayunda menatapnya untuk terakhir kalinya, berharap bisa menemukan sedikit saja penyesalan dalam sorot matanya. Namun, yang ia temukan hanyalah kehampaan.

Tanpa berkata apa pun lagi, Ardan menggenggam tangan Ayunda, membawanya pergi meninggalkan rumah yang selama ini hanya memberinya luka.

Ayunda menangis dalam diam, tubuhnya yang baru saja terbangun dari koma lima tahun justru harus menghadapi kenyataan yang lebih menyakitkan daripada tidurnya yang panjang. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan, membasahi pipinya yang pucat.

Di sisi lain, Ardan tetap diam. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menghibur, tetapi bibirnya seolah terkunci. Tatapan penuh kebencian yang Ayunda arahkan pada Mahesa tadi membuatnya gentar. Terlebih lagi, ia tahu betul bahwa dirinya bukanlah pria suci—dia adalah orang yang telah menodai Ayunda, bahkan sampai membuatnya hamil.

Sesaat kemudian, Ardan menghentikan mobilnya di depan sebuah apartemen mewah. Dengan cepat, ia keluar dan membukakan pintu untuk Ayunda. “Kita sudah sampai,” ucapnya pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.

Ayunda menatap gedung tinggi itu dengan pandangan kosong. Ia tahu Ardan adalah pria sukses—seorang CEO muda yang namanya selalu terpampang di berbagai media bisnis. Tanpa bantuan orang tua, ia membangun semuanya sendiri. Tapi satu hal yang Ayunda tidak tahu, Ardan jarang sekali pulang ke rumah. Ia sudah terlalu muak dengan ulah Mahesa yang selalu membuat kepalanya sakit.

“Kenapa membawaku ke sini?” tanya Ayunda akhirnya, suaranya lemah.

Ardan terdiam sejenak sebelum menjawab, “Karena mulai sekarang, kau akan tinggal di sini bersamaku.”

Ayunda terkejut. “Apa maksudmu?”

Lelaki itu menghela napas panjang. “Kau butuh tempat untuk memulai kembali, dan aku ... aku ingin bertanggung jawab.”

Ayunda tertawa kecil, tetapi tanpa kebahagiaan. “Tanggung jawab? Ardan, kau hanya ingin menebus rasa bersalahmu, bukan?”

Ardan menatapnya dalam, ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan. “Mungkin awalnya begitu. Tapi sekarang ... aku ingin lebih dari sekadar menebus kesalahan.”

Ayunda mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Ardan menatapnya tanpa ragu. “Aku ingin kau menjadi istriku, Ayunda.”

Kata-kata itu membuat dunia Ayunda berhenti sejenak. Ia menatap pria di depannya dengan tatapan tak percaya. Apakah ini hanya caranya untuk memperbaiki segalanya, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam?

Ayunda tidak tahu. Yang jelas, hatinya belum siap menerima kenyataan lain yang bisa jadi lebih menyakitkan.

“Dan satu lagi, aku tidak mau kamu menyebutku dengan sebutan ‘kau.’ Aku bukan ‘kau,’ paham?”

Ayunda hanya terdiam. Ia mengikuti langkah gagah Ardan tanpa perlawanan. Dulu, sosok pria itu adalah kakak iparnya—seseorang yang hanya ia kenal dari kejauhan. Pernikahannya dengan Mahesa bahkan baru berusia sehari ketika ia mulai merasakan neraka. Rumah mewah keluarga suaminya yang seharusnya menjadi tempat penuh kebahagiaan justru menjadi awal penderitaannya.

Ayunda hanyalah seorang anak yatim piatu, tumbuh besar di panti asuhan dengan harapan suatu hari akan menemukan cinta dan kehangatan keluarga. Namun, harapan itu hancur. Yang ia dapatkan bukan kasih sayang, melainkan nestapa.

Tidak ada tempat untuk mengadu. Tidak ada tempat untuk berlindung. Jika ia menolak tawaran Ardan untuk tinggal di apartemennya, lalu ke mana ia harus pergi? Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Dunia sudah banyak berubah, dan ia telah kehilangan begitu banyak momen yang seharusnya menjadi bagian dari hidupnya.

Ayunda menunduk, menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk.

Ardan meliriknya sekilas sebelum membuka pintu apartemen. “Masuklah,” ucapnya, suaranya terdengar lebih lembut kali ini.

Ayunda melangkah masuk dengan ragu. Di dalam, apartemen itu terasa begitu luas, modern, tetapi juga sepi. Sama seperti hatinya saat ini—kosong.

Saat Ardan menutup pintu di belakang mereka, Ayunda sadar satu hal: mulai detik ini, hidupnya akan berubah. Ia hanya tidak tahu apakah perubahan itu akan membawa kebahagiaan atau justru luka yang lebih dalam.

“Di kamar atas, itu kamarmu. Silakan bersihkan diri. Aku akan menghubungi seseorang untuk mengurus semua keperluanmu.”

Ayunda hanya mengangguk pelan. Tanpa berkata apa pun, ia melangkah menaiki tangga menuju kamar yang dimaksud. Setiap langkahnya terasa berat, seolah membawa beban yang tak kasat mata.

Begitu memasuki kamar, ia mendapati ruangan luas dengan desain minimalis yang elegan. Cahaya lampu temaram menciptakan suasana hangat, tetapi tetap saja, hatinya terasa dingin. Ia berjalan ke arah cermin besar di sudut ruangan dan menatap bayangannya sendiri.

Wajahnya pucat, tubuhnya tampak lebih kurus dari yang ia ingat. Lima tahun koma telah merampas sebagian besar hidupnya. Dunia sudah banyak berubah, tapi ia merasa masih terjebak di masa lalu.

Dengan tangan gemetar, Ayunda membuka lemari, menemukan setumpuk pakaian yang masih bersegel. Ardan rupanya sudah mempersiapkan ini untuknya. Entah kenapa, perhatian itu justru membuat hatinya semakin sesak.

Tanpa pikir panjang, ia melangkah ke kamar mandi dan membiarkan air hangat membasahi tubuhnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh bersama aliran air, membawa semua luka yang masih mengendap di hatinya.

Sementara itu, di lantai bawah, Ardan duduk di sofa dengan ponsel di tangannya. Ia mengetik pesan singkat kepada asistennya, memerintahkan agar segala kebutuhan Ayunda segera disiapkan.

Setelah mengirim pesan, ia menghela napas panjang. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. Pikirannya penuh dengan berbagai hal—tentang Ayunda, tentang kesalahan masa lalu, dan tentang tanggung jawab yang kini harus ia pikul.

Lalu, tanpa sadar, bibirnya berbisik pelan, “Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi, Ayunda.”

Di lantai atas, Ayunda yang baru keluar dari kamar mandi berdiri di balkon, menatap langit malam dengan tatapan kosong. Hatinya bertanya-tanya—benarkah ada seseorang yang benar-benar ingin melindunginya? Atau ini hanya awal dari luka yang baru?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Usai Bangun dari Koma   Berhasil

    Akhirnya, perjuangan selama 50 jam membuahkan hasil. Dengan tangan yang masih terpasang infus, Dipta berhasil membobol sistem milik Siren dan membekukan seluruh jaringan digital yang ia kendalikan. Siren, yang saat itu sedang berusaha mentransfer seluruh dana dari perusahaan Dipta ke rekening pribadinya, gagal total. Dana tersebut berhasil dikembalikan, dan semua jejak digitalnya diamankan.Dipta tidak berhenti sampai di situ. Ia sudah merencanakan segalanya. Setelah memastikan sistem kembali stabil, ia langsung mengirimkan tim polisi ke lokasi yang telah dilacak sebelumnya. Siren dan beberapa orang yang terlibat akhirnya berhasil dikepung.Melihat keberhasilan itu, Ayunda tak bisa menahan luapan emosinya. Dengan refleks, ia langsung memeluk Dipta yang masih duduk lemah di kursinya. Pelukan itu spontan, penuh rasa lega dan bahagia.Momen itu sempat membuat semua yang ada di ruangan terdiam. William dan beberapa staf yang melihatnya langsung salah tingkah. Mereka berpura-pura sibuk, me

  • Usai Bangun dari Koma   Lanjut Hacker Siren

    Namun Dipta tetap tak bergeming. Matanya terpaku pada deretan kode yang terus bergerak di layar. Napasnya berat, seperti menahan beban tak kasat mata yang terus menindih.William menatap Ayunda sekilas, lalu memberi isyarat mata. Ia mengerti maksudnya.“Aku panggil dokter sekarang,” bisik William. “Kalau dia tidak mau istirahat dengan sadar, kita harus paksa.”Ayunda mengangguk pelan. Beberapa menit kemudian, dokter kantor datang dengan peralatan lengkap. Melihat itu, Dipta mengerutkan kening.“Kalian serius?” protesnya pelan.“Kalau kamu terus memaksa tubuhmu begini, kamu bisa kolaps. Kami butuh kamu tetap hidup, Dipta,” jawab Ayunda tanpa basa-basi.Setelah dicek, suhu tubuh Dipta mencapai 39 derajat Celsius. Dokter menyarankan agar ia diberi infus dan obat penurun demam. Tanpa menunggu izin lebih lanjut, William dan Ayunda langsung mengarahkan dokter membawa Dipta ke ruangan istirahat khusus.Di ruangan itu, Ayunda duduk di sisi tempat tidur sementara infus dipasang ke tangan Dipta

  • Usai Bangun dari Koma   Perjuangan

    Melihat kelengahan Dipta dan Ayunda, Siren tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cepat, ia mendorong Dipta dengan sekuat tenaga hingga pria itu tersungkur keras ke lantai jembatan. Tak berhenti di situ, Siren juga mendorong Ayunda, membuat wanita itu terhuyung dan nyaris jatuh. Telapak tangannya terhempas ke permukaan jembatan yang penuh dengan serpihan kaca, membuatnya berdarah hebat."Aku akan menghancurkan perusahaanmu untuk kedua kalinya, Dipta! Dan kali ini aku pastikan, kau takkan bisa bangkit lagi selamanya!" teriak Siren dengan penuh dendam sebelum akhirnya melarikan diri ke arah hutan kecil di balik jembatan.Dipta yang sempat hendak mengejar langsung berhenti saat mendengar Ayunda menahan erangan kesakitan. Ia segera berbalik dan melihat wanita itu tengah berusaha bangkit sambil memegangi tangannya yang dipenuhi darah."Ya ampun, Ayunda maafkan aku. Semua ini karena aku. Kamu tak seharusnya terseret dalam kekacauan ini," ucap Dipta dengan panik.Ia segera membantu Ayunda ber

  • Usai Bangun dari Koma   Siren Dalangnya

    Dipta segera berdiri. "Kita harus ke rumah sakit sekarang. Kalau orang itu masih hidup, kita harus pastikan dia aman dan bisa bicara sebelum semuanya terlambat."Ayunda menggenggam tasnya erat-erat, menahan gemetar di ujung jarinya. "Aku ikut."Oma Ola mengangguk, memberi restu dengan sorot mata penuh keyakinan. "Pergilah. Aku akan tetap di sini, mengoordinasi tim hukum."Tanpa membuang waktu, Dipta dan Ayunda melesat keluar hotel. Di dalam mobil, udara terasa berat, seolah beban kebenaran itu sendiri menekan mereka."Kalau ini benar ulah Siren," kata Ayunda pelan, "dia sudah jauh lebih berbahaya dari yang kita kira."Dipta mengangguk sambil menatap lurus ke jalan. "Aku curiga, ini bukan hanya soal proyek atau dendam. Ini bisa melibatkan jaringan yang lebih besar. Ada sesuatu yang Siren lindungi dengan segala cara."Mereka tiba di rumah sakit. Lorong-lorongnya lengang, kecuali satu ruangan di ujung, dijaga dua orang polisi. Dipta menunjukkan tanda pengenalnya. Mereka diperbolehkan mas

  • Usai Bangun dari Koma   Nikah?

    Bahkan di tengah malam itu, Ayunda dan Dipta tetap mengadakan pertemuan terbuka dengan perwakilan warga, berusaha mencari titik temu demi meredam kekacauan yang terjadi.Namun, suasana pertemuan jauh dari kondusif. Ayunda menjadi sasaran makian dari beberapa warga. Mereka memojokkan dirinya, bahkan ada yang merendahkan, mengatakan bahwa seorang wanita tidak pantas menjadi pemimpin, apalagi setelah membuat banyak warga menderita.Dengan ketenangan luar biasa, Ayunda menjelaskan bahwa sebelum proyek ini dimulai, ia telah melakukan kerja sama resmi dengan para pihak terkait dan memberikan kompensasi yang nilainya tidak main-main. Ia menegaskan, "Siapa pun yang mengalami kerugian karena proyek ini, saya bertanggung jawab penuh. Kami siap mengganti semua kerugian dengan adil."Namun, sebagian besar warga hanya terdiam. Dari raut wajah mereka, terlihat jelas ada sesuatu yang disembunyikan. Seolah-olah mereka hanya mengikuti skenario yang diatur oleh pihak terten

  • Usai Bangun dari Koma   Kerusuhan

    Dipta, yang awalnya tampak malu-malu, akhirnya mau juga makan bersama Oma Ola dan Ayunda. Di sana, si kembar disuapi oleh sang babysitter, karena memang mereka sedang sangat sulit makan—mungkin memasuki fase GTM (Gerakan Tutup Mulut). Padahal, Ayunda sudah berusaha memberinya vitamin, tapi tetap saja tidak banyak membantu. Namun, Ayunda tidak menyerah. Ia terus saja merayu si kembar dengan penuh kesabaran, sampai akhirnya mereka mau menghabiskan makanan, dibantu oleh tangan-tangan penuh kasih yang menyuapi.Malam itu menjadi momen pertama kalinya Dipta makan bersama keluarga Ayunda. Suasana di meja makan terasa hangat dan penuh tawa ringan. Oma Ola tampak sangat tertarik dengan kehadiran Dipta, sebaliknya Ayunda justru lebih banyak diam. Pikirannya berkecamuk, mengingat kejadian siang tadi saat Siren—mantan istri Dipta—melabraknya di tempat umum.Meski begitu, Ayunda mencoba menepis semua kekhawatirannya. Ia tahu, antara dirinya dan Dipta tidak ada hubungan apa-apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status