Di halaman itu seketika terasa mencekam. Wajah Mahesa memerah, matanya berkilat penuh emosi. Sementara itu, Ayunda menatap Ardan dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan.
“Kau bohong!” Mahesa menggeram, langkahnya maju dengan tangan terkepal. “Kau hanya ingin mempermalukanku!” Ardan tidak mundur. Dia justru berdiri lebih tegap, menatap Mahesa tanpa gentar. “Aku tidak pernah berbicara tanpa bukti, Mahesa.” Suaranya dingin, nyaris berbisik, tapi penuh keyakinan. Ayunda yang sejak tadi terpaku, akhirnya menggeleng lemah. “Ardan … apa maksud semua ini?” suaranya bergetar, antara bingung dan tidak percaya. Ardan menoleh, menatapnya dengan penuh kelembutan. “Aku tidak bisa diam saja melihatmu diperlakukan seperti ini. Aku tahu kebenaran yang selama ini disembunyikan, dan aku bersumpah akan melindungimu.” Mahesa mendengus, tertawa sinis. “Kau pikir aku akan membiarkanmu membawa wanita ini dan mempermalukanku?” Dia mengangkat dagu, menatap Ardan dengan penuh tantangan. Ardan tersenyum miring. “Bukan aku yang mempermalukanmu, Mahesa. Kau yang melakukannya sendiri.” Mahesa mengatupkan rahangnya, menahan gejolak emosi yang membakar dadanya. Sementara itu, Ayunda mulai menyadari sesuatu—bahwa selama ini ada rahasia besar yang ia tidak ketahui. “Aku tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kebenaran yang sesungguhnya terungkap,” ucap Ayunda akhirnya, suaranya kali ini penuh tekad. “Aku ingin tahu, Mahesa … apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu?” Mahesa terdiam. Rahangnya mengeras. Ada sesuatu dalam sorot matanya—entah kemarahan, kebencian, atau mungkin ketakutan. Ardan meliriknya tajam. “Saatnya menghadapi kenyataan, Mahesa. Tidak ada lagi kebohongan.” Di teras halaman itu terasa semakin sesak oleh ketegangan yang menggantung di udara. Mahesa menggeretakkan giginya, jelas tidak suka dengan arah pembicaraan ini. Sementara itu, Ayunda menatapnya penuh harap, ingin mendapatkan jawaban yang telah mengusik hidupnya selama lima tahun terakhir. “Katakan, Mahesa,” suara Ayunda terdengar lebih mantap. “Apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?” Mahesa menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangannya ke Ardan. “Jadi ini rencanamu? Memojokkanku dengan masa lalu yang seharusnya sudah mati?” Ardan tidak menunjukkan reaksi apa pun. “Bukan aku yang memulai ini, Mahesa. Kau sendiri yang selalu melarikan diri dari kebenaran.” Mahesa tertawa dingin, lalu melangkah mendekati Ayunda. “Baik, kau ingin tahu kebenarannya?” Suaranya rendah, tetapi penuh sindiran. “Kau mengalami insiden lima tahun lalu, koma selama bertahun-tahun, dan saat kau terbangun ... aku sudah tidak menginginkanmu lagi.” Ayunda merasa dadanya sesak. “Kenapa? Apa aku seburuk itu di matamu?” Mahesa menghela napas panjang, lalu menatap Ayunda dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Karena aku tidak pernah mencintaimu, Ayunda. Seleraku bukan, wanita miskin.” Kata-kata itu menghantam Ayunda seperti badai. Napasnya tercekat, dan matanya mulai memanas. Lima tahun dia koma, berharap ada alasan lain di balik semua ini. Tapi ternyata jawabannya begitu kejam. “Kau bohong,” bisik Ayunda lirih. Mahesa tersenyum miring. “Percaya atau tidak, itu urusanmu. Tapi aku tidak akan mengubah kata-kataku.” Ardan akhirnya angkat bicara. “Cukup, Mahesa. Kau pikir dengan berkata seperti itu kau bisa menyingkirkan Ayunda dengan mudah?” Mahesa menoleh, wajahnya masih dipenuhi keangkuhan. “Dia bukan masalahku lagi.” “Tapi dia masalahku sekarang,” potong Ardan cepat. “Dan aku tidak akan membiarkanmu melukainya lagi.” Ayunda mengalihkan pandangannya ke Ardan, matanya berkaca-kaca. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merasa aman—sesuatu yang tidak pernah ia temukan dalam diri Mahesa. “Kalau begitu, bawa dia pergi,” ujar Mahesa akhirnya, suaranya terdengar dingin. “Dan pastikan dia tidak pernah kembali.” Ayunda menatapnya untuk terakhir kalinya, berharap bisa menemukan sedikit saja penyesalan dalam sorot matanya. Namun, yang ia temukan hanyalah kehampaan. Tanpa berkata apa pun lagi, Ardan menggenggam tangan Ayunda, membawanya pergi meninggalkan rumah yang selama ini hanya memberinya luka. Ayunda menangis dalam diam, tubuhnya yang baru saja terbangun dari koma lima tahun justru harus menghadapi kenyataan yang lebih menyakitkan daripada tidurnya yang panjang. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan, membasahi pipinya yang pucat. Di sisi lain, Ardan tetap diam. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menghibur, tetapi bibirnya seolah terkunci. Tatapan penuh kebencian yang Ayunda arahkan pada Mahesa tadi membuatnya gentar. Terlebih lagi, ia tahu betul bahwa dirinya bukanlah pria suci—dia adalah orang yang telah menodai Ayunda, bahkan sampai membuatnya hamil. Sesaat kemudian, Ardan menghentikan mobilnya di depan sebuah apartemen mewah. Dengan cepat, ia keluar dan membukakan pintu untuk Ayunda. “Kita sudah sampai,” ucapnya pelan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Ayunda menatap gedung tinggi itu dengan pandangan kosong. Ia tahu Ardan adalah pria sukses—seorang CEO muda yang namanya selalu terpampang di berbagai media bisnis. Tanpa bantuan orang tua, ia membangun semuanya sendiri. Tapi satu hal yang Ayunda tidak tahu, Ardan jarang sekali pulang ke rumah. Ia sudah terlalu muak dengan ulah Mahesa yang selalu membuat kepalanya sakit. “Kenapa membawaku ke sini?” tanya Ayunda akhirnya, suaranya lemah. Ardan terdiam sejenak sebelum menjawab, “Karena mulai sekarang, kau akan tinggal di sini bersamaku.” Ayunda terkejut. “Apa maksudmu?” Lelaki itu menghela napas panjang. “Kau butuh tempat untuk memulai kembali, dan aku ... aku ingin bertanggung jawab.” Ayunda tertawa kecil, tetapi tanpa kebahagiaan. “Tanggung jawab? Ardan, kau hanya ingin menebus rasa bersalahmu, bukan?” Ardan menatapnya dalam, ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan. “Mungkin awalnya begitu. Tapi sekarang ... aku ingin lebih dari sekadar menebus kesalahan.” Ayunda mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Ardan menatapnya tanpa ragu. “Aku ingin kau menjadi istriku, Ayunda.” Kata-kata itu membuat dunia Ayunda berhenti sejenak. Ia menatap pria di depannya dengan tatapan tak percaya. Apakah ini hanya caranya untuk memperbaiki segalanya, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam? Ayunda tidak tahu. Yang jelas, hatinya belum siap menerima kenyataan lain yang bisa jadi lebih menyakitkan. “Dan satu lagi, aku tidak mau kamu menyebutku dengan sebutan ‘kau.’ Aku bukan ‘kau,’ paham?” Ayunda hanya terdiam. Ia mengikuti langkah gagah Ardan tanpa perlawanan. Dulu, sosok pria itu adalah kakak iparnya—seseorang yang hanya ia kenal dari kejauhan. Pernikahannya dengan Mahesa bahkan baru berusia sehari ketika ia mulai merasakan neraka. Rumah mewah keluarga suaminya yang seharusnya menjadi tempat penuh kebahagiaan justru menjadi awal penderitaannya. Ayunda hanyalah seorang anak yatim piatu, tumbuh besar di panti asuhan dengan harapan suatu hari akan menemukan cinta dan kehangatan keluarga. Namun, harapan itu hancur. Yang ia dapatkan bukan kasih sayang, melainkan nestapa. Tidak ada tempat untuk mengadu. Tidak ada tempat untuk berlindung. Jika ia menolak tawaran Ardan untuk tinggal di apartemennya, lalu ke mana ia harus pergi? Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Dunia sudah banyak berubah, dan ia telah kehilangan begitu banyak momen yang seharusnya menjadi bagian dari hidupnya. Ayunda menunduk, menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk. Ardan meliriknya sekilas sebelum membuka pintu apartemen. “Masuklah,” ucapnya, suaranya terdengar lebih lembut kali ini. Ayunda melangkah masuk dengan ragu. Di dalam, apartemen itu terasa begitu luas, modern, tetapi juga sepi. Sama seperti hatinya saat ini—kosong. Saat Ardan menutup pintu di belakang mereka, Ayunda sadar satu hal: mulai detik ini, hidupnya akan berubah. Ia hanya tidak tahu apakah perubahan itu akan membawa kebahagiaan atau justru luka yang lebih dalam. “Di kamar atas, itu kamarmu. Silakan bersihkan diri. Aku akan menghubungi seseorang untuk mengurus semua keperluanmu.” Ayunda hanya mengangguk pelan. Tanpa berkata apa pun, ia melangkah menaiki tangga menuju kamar yang dimaksud. Setiap langkahnya terasa berat, seolah membawa beban yang tak kasat mata. Begitu memasuki kamar, ia mendapati ruangan luas dengan desain minimalis yang elegan. Cahaya lampu temaram menciptakan suasana hangat, tetapi tetap saja, hatinya terasa dingin. Ia berjalan ke arah cermin besar di sudut ruangan dan menatap bayangannya sendiri. Wajahnya pucat, tubuhnya tampak lebih kurus dari yang ia ingat. Lima tahun koma telah merampas sebagian besar hidupnya. Dunia sudah banyak berubah, tapi ia merasa masih terjebak di masa lalu. Dengan tangan gemetar, Ayunda membuka lemari, menemukan setumpuk pakaian yang masih bersegel. Ardan rupanya sudah mempersiapkan ini untuknya. Entah kenapa, perhatian itu justru membuat hatinya semakin sesak. Tanpa pikir panjang, ia melangkah ke kamar mandi dan membiarkan air hangat membasahi tubuhnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh bersama aliran air, membawa semua luka yang masih mengendap di hatinya. Sementara itu, di lantai bawah, Ardan duduk di sofa dengan ponsel di tangannya. Ia mengetik pesan singkat kepada asistennya, memerintahkan agar segala kebutuhan Ayunda segera disiapkan. Setelah mengirim pesan, ia menghela napas panjang. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. Pikirannya penuh dengan berbagai hal—tentang Ayunda, tentang kesalahan masa lalu, dan tentang tanggung jawab yang kini harus ia pikul. Lalu, tanpa sadar, bibirnya berbisik pelan, “Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi, Ayunda.” Di lantai atas, Ayunda yang baru keluar dari kamar mandi berdiri di balkon, menatap langit malam dengan tatapan kosong. Hatinya bertanya-tanya—benarkah ada seseorang yang benar-benar ingin melindunginya? Atau ini hanya awal dari luka yang baru?Beberapa hari setelah liburan itu, tibalah waktunya Aluna dan Elvano mulai sekolah di tempat baru: sekolah internasional dengan program khusus bahasa Arab yang sudah didaftarkan oleh Dipta.Pagi itu, Aluna menyiapkan seragam barunya dengan tangan sedikit gemetar. Semua terasa asing: warna seragam, lambang sekolah, bahkan bau buku tulis barunya pun berbeda. Ia menatap bayangan dirinya di cermin, menarik napas panjang sambil berbisik, “Nuna pasti bisa.”Dipta dan Ayunda ikut mengantar sampai gerbang sekolah. Elvano berusaha tampak santai, meski dari sorot matanya, Aluna tahu kakaknya juga gugup. “Jangan takut, Nuna. Kita sama-sama kok,” katanya, mencoba menguatkan.Begitu masuk ke lingkungan sekolah, suasana benar-benar berbeda. Anak-anak dari berbagai negara berjalan tergesa sambil berbicara dengan campuran bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ada yang berkulit putih, sawo matang, hingga hitam legam—semua bercampur di satu tempat yang penuh warna.Guru-guru menyambut mereka dengan ramah, me
Keesokan paginya, mereka berangkat lebih awal menuju bandara. Matahari baru saja terbit, cahayanya masih lembut menyinari jalanan. Koper-koper besar sudah dimasukkan ke dalam mobil, dan semua anggota keluarga tampak sedikit canggung, menyembunyikan rasa haru di balik senyum.Aluna duduk di kursi mobil sambil memeluk boneka beruang kecil pemberian Adam. Tatapannya kosong memandang keluar jendela, berusaha merekam setiap sudut jalan yang sudah begitu akrab di matanya. Sementara itu, Ayunda sesekali menoleh ke belakang memastikan anak-anaknya baik-baik saja. Elea duduk di pangkuan William, tampak masih mengantuk.Sesampainya di bandara, suasana menjadi semakin emosional. Beberapa kerabat yang ikut mengantar menahan air mata. Pelukan, doa, dan ucapan hati-hati terdengar silih berganti. Dipta mengusap bahu Aluna dan Elvano sambil berbisik, “Kita mulai perjalanan baru, Nak. Jangan takut.”Tak lama kemudian, mereka pun naik pesawat. Aluna memandangi jendela, melihat Indonesia perlahan mengec
Mereka semua sudah sibuk mempacking barang-barang. Di sana, Dikta pun sudah mendapatkan tempat tinggal yang pas, nyaman, dan strategis untuk keluarganya. Ia tak mau jika sesampainya di Australia nanti keluarganya justru kesulitan. Dikta benar-benar memprioritaskan kenyamanan; menurutnya, itu adalah hal yang paling penting. Ia tak ingin anak-anak dan istrinya merasa tidak betah di tempat baru.“Anak-anak juga sudah aku daftarkan di sekolah internasional yang mengajarkan bahasa Arab. Semoga saja mereka bisa cepat beradaptasi dan belajar dengan baik,” ucap Dikta sambil menata dokumen penting di koper.Ayunda mempercayakan semua urusan itu kepada suaminya. Ia sendiri sibuk mengemas pakaian anak-anak, yang ternyata jumlahnya cukup banyak.Sementara itu, rumah mereka di Indonesia diserahkan kepada William untuk diurus. Bahkan, kalau William mau tinggal di sana pun tidak masalah, karena masih ada beberapa pembantu yang bertugas merawat rumah. Ayunda juga berpikir, mungkin suatu hari nanti si
Di detik-detik terakhir Aluna masih berada di Indonesia, Adam semakin berani mendekatinya. Bahkan sekarang Adam sudah memiliki nomor ponsel Aluna dan mereka kadang saling bertukar pesan singkat.Hari ini, Adam memberanikan diri untuk datang main ke rumah Aluna.Aluna tak menyangka saat melihat Adam muncul di depan pintu rumahnya. “Kak Adam? Kamu kok tiba-tiba ke sini?” tanyanya sedikit terkejut, tapi senyumnya tetap merekah.Adam menggaruk tengkuknya, sedikit gugup. “Hehe aku cuma mau ketemu sebelum kamu pindah. Boleh, kan?”Di ruang tamu, Ayunda juga ikut menyambut Adam. Dengan ramah, ia mengajak Adam duduk dan berbasa-basi menanyakan kabarnya.“Gimana keadaan Anggun sekarang, Dam?” tanya Ayunda hati-hati.Wajah Adam tampak sedikit suram. “Keadaannya masih sama, Tante Sepertinya kakak memang sudah benar-benar depresi. Kadang masih sering mengamuk. Sekarang masih dirawat intensif di rumah sakit jiwa,” jawabnya lirih.Ayunda mengangguk pelan, matanya memancarkan rasa prihatin yang mend
Sudah hampir satu minggu sejak kepergian Oma Ola, namun rasa kehilangan itu masih begitu terasa. Kadang, Elea masih sering menangis setiap kali ia masuk ke kamar Oma yang kini sunyi dan kosong.Aluna dan Elvano selalu berusaha menghiburnya, meski mereka sendiri juga masih merasakan duka yang sama.Ayunda yang juga masih diselimuti kesedihan, perlahan mencoba menguatkan diri. Ia merangkul bahu anak-anaknya, berusaha menanamkan keyakinan bahwa Oma Ola sekarang sudah bahagia di tempat yang lebih baik.Malam itu, mereka memilih duduk bersama di sofa panjang di ruang keluarga. Dipta duduk di sebelah Ayunda, menggenggam tangan istrinya erat, memberi isyarat bahwa ia selalu ada untuknya.Elea duduk di sebelah Aluna, sementara Elvano duduk di ujung, menatap keluarganya dalam diam. Suasana hening, tapi penuh kehangatan.Ayunda menghela napas panjang sebelum berkata dengan lembut, “Kalian harus ingat, ya kita ini keluarga, kita ini saudara. Jangan pernah ada yang saling menyakiti. Saudara itu h
Di rumah, Aluna, Elvano, dan Elea menyambut kedatangan ayah dan bunda mereka yang datang bersama Oma Ola.Akhirnya, seluruh drama itu selesai. Ayah mereka terbukti tidak berselingkuh dengan siapa pun, dan Anggun sudah ditemukan serta kini dirawat di rumah sakit. Hal tersebut membuat kakak beradik itu merasa sangat lega. Ketenangan yang sempat hilang akhirnya kembali menyelimuti keluarga mereka.Tadi, Adam juga sudah mengabari tentang kondisi Anggun yang benar-benar memprihatinkan. Elvano pun turut prihatin dengan apa yang menimpa kakak dari Adam tersebut.Begitu Ayunda dan Dipta sampai, ternyata mereka membawa kejutan untuk Elea. Sebuah kue tart cantik sudah disiapkan, lengkap dengan lilin bertuliskan angka 12.Elea tampak sangat senang. Matanya berbinar, senyumnya merekah lebar.Mereka langsung tersenyum dan kompak mengucapkan, “Selamat ulang tahun, Elea!”Elea menangkupkan tangan di dada, hampir tak percaya dengan kejutan kecil itu. “Makasih, Ayah, Bunda, Kakak-kakak,” ucapnya pela