Ayunda benar-benar kembali menata hidupnya. Perlahan namun pasti, ia mulai membenahi perusahaan Ardan yang sempat terabaikan saat hidupnya berada di titik terendah. Kini, dengan semangat dan keyakinan baru, ia ingin membuktikan bahwa dirinya mampu berdiri kembali, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.Malam itu, rumah sudah sunyi. Jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Ardan yang baru terbangun karena tidak mendapati istrinya di tempat tidur, mendorong kursi rodanya menuju ruang kerja."Ayunda, ini sudah malam. Kamu sedang apa?" tanyanya lembut, heran melihat sang istri masih duduk di depan laptop, dikelilingi kertas dan catatan.Ayunda menoleh dan tersenyum kecil. Wajahnya lelah tapi matanya berbinar penuh semangat. “Aku sedang menyusun strategi bisnis. Aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dan aku juga nggak mau kalau sampai Danu mengambil alih peluang ini.”Ardan menatapnya dalam diam. Di satu sisi, ia bangga melihat Ayunda yan
Hari ini adalah jadwal Ayunda untuk melakukan USG kandungan. Kehamilannya telah memasuki bulan kedelapan. Ayunda sudah tidak sabar menanti kelahiran buah hatinya, begitu pula Ardan dan Oma Ola yang sangat menantikan kehadiran cicit pertama mereka."Aku sudah nggak sabar ingin melihat si kembar," ujar Ardan dengan senyum kecil, matanya berbinar penuh harap.Ardan, yang kini duduk di kursi roda, telah berdamai dengan keadaannya. Dulu, ia sempat takut Ayunda akan meninggalkannya karena kondisinya yang tak lagi sempurna. Namun, ketakutannya itu tak terbukti. Ayunda tetap memilih bertahan, mendampinginya, dan kini tengah mengandung anak-anak mereka—sepasang bayi kembar yang menjadi simbol cinta mereka.Di ruang USG, Ayunda sudah berbaring di ranjang pemeriksaan. Perutnya yang besar telah diolesi gel bening, dan alat pemindai mulai digerakkan perlahan oleh sang dokter. Ia menggenggam tangan Ardan yang duduk di samping ranjang, jari-jarinya saling menguatkan.“Lihat ini…” ucap dokter sambil
Sidang kedua akhirnya digelar dengan suasana yang lebih tegang dari sebelumnya. Bukti-bukti yang dikumpulkan William, termasuk rekaman CCTV dan dokumen pendukung lainnya, telah diserahkan kepada pengacara Kayla. Di ruang sidang, semua fakta mulai terungkap satu per satu. Danu tidak bisa mengelak lagi, meskipun tetap mempertahankan wajah sombong dan senyum miringnya seolah semuanya masih berada dalam kendalinya.Hakim mengetuk palu, menyatakan Kayla tidak bersalah. Suara itu menggema di ruang sidang, disambut haru oleh Kayla dan pengacaranya. William yang duduk di barisan belakang tersenyum lega, sementara Ayunda menggenggam erat tangan Ardan.Namun, kelegaan itu tak sepenuhnya lengkap. Ardan dan Ayunda tahu—Danu memang licik. Bukti kejahatan lainnya, yang seharusnya bisa menyeret Danu ke penjara, lenyap tanpa jejak. Data yang sempat dikumpulkan hilang misterius, saksi kunci menghilang begitu saja. Danu pandai bermain di wilayah abu-abu hukum, membuat dirinya selalu
Danu berjalan mondar-mandir di dalam ruangan dengan dinding berwarna putih. Nafasnya memburu, gerakannya gelisah. Di dinding, foto-foto Ayunda dari masa remaja hingga dewasa terbingkai rapi, seolah ruangan itu adalah kuil obsesinya. Wajah Ayunda terpampang di mana-mana—senyumnya, tatapannya, bahkan potret candid yang seharusnya tidak dimiliki oleh sembarang orang.Wajah Danu memerah karena amarah yang ia pendam terlalu lama. Semua rencananya berantakan. Ia gagal memenjarakan Keyla, padahal ia yakin wanita itu adalah kunci untuk menekan Ayunda dan Ardan.Kini Mahesa pun memutuskan hubungan. Mantan sekutunya itu menolak mentah-mentah setiap tawaran yang ia berikan. Bahkan Mahesa menyebut Danu sebagai “orang gila yang terjebak dalam obsesinya sendiri.”“Sialan kamu, Mahesa!” teriak Danu sambil membanting gelas ke dinding. Pecahan kaca berserakan, tapi ia tidak peduli.Ia menatap kembali salah satu foto Ayunda yang tergantung di hadapannya—Ayunda ters
Ayunda baru saja meneguk air putih yang diberikan oleh Oma Ola ketika tiba-tiba perutnya terasa sangat nyeri. Kontraksi datang begitu cepat dan kuat, membuat tubuhnya refleks membungkuk menahan sakit."Oma, ini rasanya sakit sekali," ucap Ayunda dengan wajah yang mulai pucat. Napasnya memburu, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.Keyla yang saat itu berdiri tak jauh langsung menghampiri dengan panik. Ia melihat cairan bening merembes dari bagian bawah tubuh Ayunda, membasahi lantai."Oma! Ini ketubannya pecah! Sepertinya Ayunda akan melahirkan!" serunya kaget.Ardan yang duduk tak jauh langsung panik. Ia ingin berdiri, tapi kesulitannya membuat semuanya terasa lebih tegang. Dengan cepat, ia berteriak memanggil sopir."Pak Rudi! Cepat siapkan mobil! Kita ke rumah sakit sekarang!"Dalam waktu singkat, suasana rumah berubah jadi penuh kecemasan. Oma Ola membantu menopang tubuh Ayunda, sementara Keyla mengambil tas perlengkapa
Dua minggu berlalu sejak kepulangan dari rumah sakit. Rumah itu kini tak pernah sepi. Tangisan kecil, suara tawa, dan obrolan lembut jadi pengisi setiap sudut ruang. Kehadiran Elvano dan Aluna seperti menyulap segalanya—lelah jadi bahagia, tangis jadi syukur.Hari itu, Ayunda sedang duduk di ruang tengah, mengayun pelan kursi goyangnya sambil menyusui Aluna. Wajah mungil anak perempuannya itu begitu tenang, dan entah kenapa, tiba-tiba Aluna mengangkat sedikit bibirnya seolah tersenyum.Ayunda membeku sejenak, lalu air matanya menetes.“Ardan … Ardan, dia tersenyum,” bisiknya dengan suara bergetar.Ardan yang sedang mengganti popok Elvano di dekat sana langsung menoleh. “Apa? Senyum? Serius?”Ayunda mengangguk cepat, menahan isak. “Dia kayaknya dia kenal aku dia tahu aku ibunya.”Ardan mendekat dan mencium kening istrinya. “Tentu dia tahu. Mana mungkin dia nggak kenal cinta pertama dalam hidupnya?”Malam itu juga, mereka
Beberapa bulan setelah Ayunda mulai menjalani hidup barunya sebagai ibu sekaligus CEO, badai baru mulai muncul di balik ketenangan yang ia ciptakan dengan susah payah.Blue Cooperation, yang kini dikenal sebagai perusahaan visioner dan progresif, mulai menjadi incaran para pesaing. Beberapa perusahaan baru yang didirikan oleh tokoh-tokoh lama yang dulu tersingkir karena strategi Blue Cooperation, mulai bangkit kembali. Mereka membentuk aliansi diam-diam, bersatu dengan satu tujuan: menjatuhkan Ayunda.Salah satu dari mereka adalah Dipta Santosa, mantan direktur dari perusahaan lawas yang bangkrut karena kalah bersaing. Ia membentuk perusahaan rintisan baru bernama Natura Corp, yang bergerak di bidang yang hampir serupa dengan Blue Cooperation. Namun cara yang digunakan Dipta berbeda, ia tak bermain bersih.William masuk dengan raut wajah serius sambil melemparkan map ke meja Ayunda. “Ini laporan dari tim intel bisnis kita. Mereka sengaja menurunkan harga p
Ayunda telah menyelesaikan persoalan Reno. Baginya, tidak ada ruang bagi pengkhianat di Blue Cooperation. Ia percaya bahwa kepercayaan adalah fondasi, dan sekali itu dilanggar, tidak ada kompromi. Reno langsung dipecat tanpa kompensasi apa pun. Itu prinsip yang Ayunda pegang teguh—tegas dan tanpa celah.Sambil merapikan berkas terakhir di mejanya, Ayunda melirik ponsel. Ada satu janji penting yang menunggunya: makan malam keluarga, tempat di mana mereka akan membahas pernikahan Kayla dan William secara serius.“Iya, tunggu sebentar lagi. Aku akan datang,” katanya di telepon dengan suara hangat. Setelah menutup sambungan, ia segera beranjak keluar dari ruangannya.Gedung tempat Blue Cooperation berkantor memang megah. Dalam satu menara itu, terdapat tiga perusahaan besar, dan Blue Cooperation menempati dua lantai teratas.Saat hendak masuk ke lift, langkah Ayunda terhenti.“Eh!”Ia tak sengaja menabrak seorang pria bertubuh tegap.
Melihat kelengahan Dipta dan Ayunda, Siren tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cepat, ia mendorong Dipta dengan sekuat tenaga hingga pria itu tersungkur keras ke lantai jembatan. Tak berhenti di situ, Siren juga mendorong Ayunda, membuat wanita itu terhuyung dan nyaris jatuh. Telapak tangannya terhempas ke permukaan jembatan yang penuh dengan serpihan kaca, membuatnya berdarah hebat."Aku akan menghancurkan perusahaanmu untuk kedua kalinya, Dipta! Dan kali ini aku pastikan, kau takkan bisa bangkit lagi selamanya!" teriak Siren dengan penuh dendam sebelum akhirnya melarikan diri ke arah hutan kecil di balik jembatan.Dipta yang sempat hendak mengejar langsung berhenti saat mendengar Ayunda menahan erangan kesakitan. Ia segera berbalik dan melihat wanita itu tengah berusaha bangkit sambil memegangi tangannya yang dipenuhi darah."Ya ampun, Ayunda maafkan aku. Semua ini karena aku. Kamu tak seharusnya terseret dalam kekacauan ini," ucap Dipta dengan panik.Ia segera membantu Ayunda ber
Dipta segera berdiri. "Kita harus ke rumah sakit sekarang. Kalau orang itu masih hidup, kita harus pastikan dia aman dan bisa bicara sebelum semuanya terlambat."Ayunda menggenggam tasnya erat-erat, menahan gemetar di ujung jarinya. "Aku ikut."Oma Ola mengangguk, memberi restu dengan sorot mata penuh keyakinan. "Pergilah. Aku akan tetap di sini, mengoordinasi tim hukum."Tanpa membuang waktu, Dipta dan Ayunda melesat keluar hotel. Di dalam mobil, udara terasa berat, seolah beban kebenaran itu sendiri menekan mereka."Kalau ini benar ulah Siren," kata Ayunda pelan, "dia sudah jauh lebih berbahaya dari yang kita kira."Dipta mengangguk sambil menatap lurus ke jalan. "Aku curiga, ini bukan hanya soal proyek atau dendam. Ini bisa melibatkan jaringan yang lebih besar. Ada sesuatu yang Siren lindungi dengan segala cara."Mereka tiba di rumah sakit. Lorong-lorongnya lengang, kecuali satu ruangan di ujung, dijaga dua orang polisi. Dipta menunjukkan tanda pengenalnya. Mereka diperbolehkan mas
Bahkan di tengah malam itu, Ayunda dan Dipta tetap mengadakan pertemuan terbuka dengan perwakilan warga, berusaha mencari titik temu demi meredam kekacauan yang terjadi.Namun, suasana pertemuan jauh dari kondusif. Ayunda menjadi sasaran makian dari beberapa warga. Mereka memojokkan dirinya, bahkan ada yang merendahkan, mengatakan bahwa seorang wanita tidak pantas menjadi pemimpin, apalagi setelah membuat banyak warga menderita.Dengan ketenangan luar biasa, Ayunda menjelaskan bahwa sebelum proyek ini dimulai, ia telah melakukan kerja sama resmi dengan para pihak terkait dan memberikan kompensasi yang nilainya tidak main-main. Ia menegaskan, "Siapa pun yang mengalami kerugian karena proyek ini, saya bertanggung jawab penuh. Kami siap mengganti semua kerugian dengan adil."Namun, sebagian besar warga hanya terdiam. Dari raut wajah mereka, terlihat jelas ada sesuatu yang disembunyikan. Seolah-olah mereka hanya mengikuti skenario yang diatur oleh pihak terten
Dipta, yang awalnya tampak malu-malu, akhirnya mau juga makan bersama Oma Ola dan Ayunda. Di sana, si kembar disuapi oleh sang babysitter, karena memang mereka sedang sangat sulit makan—mungkin memasuki fase GTM (Gerakan Tutup Mulut). Padahal, Ayunda sudah berusaha memberinya vitamin, tapi tetap saja tidak banyak membantu. Namun, Ayunda tidak menyerah. Ia terus saja merayu si kembar dengan penuh kesabaran, sampai akhirnya mereka mau menghabiskan makanan, dibantu oleh tangan-tangan penuh kasih yang menyuapi.Malam itu menjadi momen pertama kalinya Dipta makan bersama keluarga Ayunda. Suasana di meja makan terasa hangat dan penuh tawa ringan. Oma Ola tampak sangat tertarik dengan kehadiran Dipta, sebaliknya Ayunda justru lebih banyak diam. Pikirannya berkecamuk, mengingat kejadian siang tadi saat Siren—mantan istri Dipta—melabraknya di tempat umum.Meski begitu, Ayunda mencoba menepis semua kekhawatirannya. Ia tahu, antara dirinya dan Dipta tidak ada hubungan apa-apa
Dipta memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. Suaranya terdengar berat, seperti mengaduk kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh.“Aku tumbuh dari keluarga yang kaya, semua orang pikir hidupku mudah. Tapi, waktu aku mulai mandiri dan bangun Skylar Group dari nol, aku sengaja nggak banyak ambil bantuan keluarga. Aku ingin semuanya berdiri atas kakiku sendiri.”Ia diam sejenak, menatap kosong ke depan.“Waktu itu, aku menikah dengan Siren. Cantik, cerdas, dan kelihatannya sangat mendukung. Tapi ternyata, gaya hidupnya jauh di luar batas. Boros bukan main. Aku masih bisa terima kalau cuma soal belanja—tapi saat perusahaanku mulai goyah, dia justru makin jauh. Dan yang paling menyakitkan, dia selingkuh dengan partner kerjaku sendiri.”Ayunda menelan ludah, kaget mendengarnya. Tapi ia memilih tetap diam, membiarkan Dipta melanjutkan.“Bayangin di tengah usaha mati-matian buat nyelametin perusahaan, aku malah dapet surat panggilan dari pengadilan agama. Tan
Ayunda dan Dipta yang baru saja selesai meeting dengan klien memutuskan untuk duduk santai dan mengobrol sejenak.Lagi pula, hari itu jadwal mereka cukup longgar. Tidak ada pekerjaan mendesak yang menanti, dan momen santai seperti ini jarang terjadi.Awalnya, Ayunda masih terlihat kaku—gaya bicaranya formal dan sikapnya cenderung menjaga jarak. Tapi seiring waktu berlalu, percakapan mereka mulai mengalir lebih bebas. Candaan kecil pun terlontar, disambut tawa ringan yang perlahan mencairkan suasana.Dipta diam-diam terpesona. Ada sesuatu dalam tawa Ayunda yang membuatnya terhenti sejenak—tulus, hangat, dan sangat berbeda dari kesan dingin yang biasa ia tunjukkan di kantor. Tawa itu seperti membuka sisi lain dari Ayunda yang selama ini tersembunyi di balik ekspresi seriusnya."Kayaknya aku baru pertama kali denger kamu ketawa segitu lepasnya," ujar Dipta sambil tersenyum heran.Ayunda melirik sekilas, lalu mengangkat alis. "Masa sih? Mungkin karena biasanya kamu ngajak ngobrolnya pas a
Hari-hari Ayunda kini sepenuhnya dipenuhi oleh pekerjaan. Ia tenggelam dalam tumpukan berkas, rapat, dan tanggung jawab sebagai CEO. Beberapa kali ia hampir menekan nomor William di ponselnya—ingin memintanya pulang lebih cepat, ingin sekadar berbagi beban. Namun setiap kali jari-jarinya mendekati tombol panggil, ia menarik napas panjang dan mengurungkan niat itu.Ia tidak boleh egois. William juga punya keluarga. Ia tahu betapa Keyla dan Kenan berharga bagi William, dan ia tidak ingin menjadi orang yang merusak kebahagiaan itu.Kadang-kadang, Ayunda hanya ingin menyerah. Ingin hidup sederhana. Menjadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya hadir untuk Aluna dan Elvano. Tapi ia tahu, dirinya tak bisa. Masa depan anak-anaknya bergantung padanya. Ia harus tetap kuat—demi mereka.Malam itu, Ayunda duduk di ruang kerjanya di rumah. Lampu redup menyelimuti ruangan, sementara matanya terpaku pada sebuah bingkai foto yang berdiri di meja—foto Ardan. Suaminya. Lelaki yang pernah menjadi seluruh hid
Ayunda merasa heran dengan keputusan mendadak William yang tiba-tiba mengajukan cuti. Padahal sejak meninggalnya Ardan, bahkan di hari libur pun William masih sering terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaan.“Kok dadakan, Wil? Memangnya ada apa?” tanya Ayunda, mencoba menahan nada khawatir di suaranya.William tersenyum tipis, sedikit canggung. “Sepertinya aku dan Kayla ingin program adik untuk Kenan. Jadi kami berencana liburan ... mungkin ke luar negeri selama satu minggu.”Ayunda mengangguk pelan, mencoba mencerna. Ia tahu betul bahwa Keyla memang belum hamil lagi, dan beberapa kali sempat curhat padanya soal keinginannya untuk memberikan seorang adik bagi Kenan. Tapi tetap saja, keputusan ini terlalu tiba-tiba.“Tapi Wil, perusahaan kita sedang menjalin kerja sama penting dengan Skylar Group, dan kamu tahu sendiri hanya kamu atau aku yang bisa handle meeting dengan Dipta. Kita nggak bisa asal lempar ke tim lain.”William menatap Ayunda dengan tatapan memohon. “Tolonglah, Ay. Ken
William kembali datang dengan ide spontan yang seperti biasa sulit ditolak."Gimana kalau akhir pekan ini kita ajak anak-anak piknik? Biar mereka nggak bosan terus-terusan di rumah," usulnya santai saat mereka duduk di ruang tamu Ayunda.Ayunda sempat mengernyitkan dahi. "Piknik? Aku nggak yakin, Will. Aluna baru sembuh, dan Elvano belum tentu nyaman di tempat ramai."Namun belum sempat William menjawab, Keyla langsung menyambar pembicaraan, menarik tangan Ayunda dan merengek manja, "Aunty Yunda, ikut yaa, Kenan juga mau ikut, tapi aku nggak mau kalau nggak ada temen cewek."Ayunda menatap wajah polos Keyla yang memelas. Sulit baginya untuk menolak. Apalagi, Elvano dan Aluna memang jarang sekali pergi ke luar rumah.Ia pun akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi cuma sebentar, dan jangan terlalu ramai ya.”Hari piknik pun tiba. Mereka berangkat bersama—Ayunda, William dan keluarganya, serta Dipta yang sejak pagi sudah terlihat