Begitu Meira keluar, Arfan ikut keluar. Tak mungkin ia membiarkan Aleta hanya demi Meira. Hanya saja Arfan berusaha bersikap baik juga pada Meira, agar perasaan Meira tidak terlalu terluka.Saat dilihat Meira sudah berada di dapur, Arfan bergegas menuju kamar Alya. Ia khawatir putrinya itu terbangun dari tidurnya. Dan yang pasti ia juga ingin melihat Alya, memastikan bahwa bidadarinya itu baik-baik saja.Benar saja, begitu membuka pintu, Arfan melihat mata Aleta masih terbuka lebar."Aleta belum tidur?" tanya Arfan."Belum, Papa. Aleta pingin tidur sama Papa," rengek balita itu sembari beringsut duduk.Arfan langsung mendekat dan mencium puncak kepala putrinya. "Iya, Sayang. Sebentar, ya? Papa keluar dulu mau bikin kopi. Habis itu Papa balik ke sini lagi.""Bener?""Iya, Sayang."Arfan kemudian menatap Alya. "Sebentar, ya, Al. Aku pasti balik ke sini." Diraihnya dagu Alya. Ingin sebenarnya ia mengecup bibir istrinya itu. Namun, Arfan merasa sungkan karena Aleta memperhatikan mereka. A
Sementara Alya di kamarnya sedang video call dengan Bu Fania. Bu Fania bilang, kalau sebenarnya sore tadi ingin datang. Hanya saja ada acara mendadak, sehingga terpaksa menundanya."Aleta tapi betah, kan, di rumah Papa?" tanya Bu Fania pada cucu kesayangannya itu.Aleta yang sedang cemberut karena papanya belum juga kembali ke kamarnya hanya mengangguk."Syukurlah. Besok mau Eyang bawain apa?"Lagi-lagi balita itu menjawab dengan gerakan. Kali ini ia menggelengkan kepala. "Aleta kenapa cemberut gitu?" tanya Bu Fania yang bisa melihat wajah cemberut cucunya di layar ponsel."Papa dari tadi sibuk kerja. Enggak datang-datang ke kamar Aleta," jawabnya."Oh. Habis ini Eyang bilangin Papa." Bu Fania yakin kalau Arfan bukan sedang kerja melainkan sedang bersama Meira."Perempuan itu pasti sengaja membuat Arfan tidak bisa bersama anaknya!" geram Bu Fania dalam hati."Ya udah, Eyang telepon Papa dulu, ya?""Iya, Eyang.""Aleta sekarang tidur, ya! Udah malam ini."Aleta mengangguk lagi."Ya ud
"Fan, jangan, nanti Aleta bangun!" Alya masih berusaha menolak saat Arfan terus menyentuhnya."Enggak," bantah Arfan dengan suara parau."Bukannya udah dikasih sama Meira?"Mendengar itu, Arfan langsung membalik tubuh Alya yang sebelumnya menghadap ke arah Aleta sehingga kini menghadapnya. Lelaki itu menatap mata istrinya dalam-dalam."Apa kamu pikir aku ... seserakah itu?"Alya mengedikkan bahu sembari tersenyum sinis. Api cemburu membuat pikirannya kacau. "Meira istrimu.""Kalau kamu ingin aku enggak nyentuh Meira, aku pastiin enggak akan nyentuh dia, Al."Alya menatap kedua bola mata suaminya. Terlihat Arfan sungguh-sungguh mengatakan itu. Jika Alya menuruti egonya, tentu ia ingin melarang Arfan menyentuh Meira. Hanya saja, bagaimanapun nyerinya hati Alya, kini Meira juga istri Arfan. Dia bukan lagi wanita satu-satunya untuk Arfan."Kamu mau itu?" tanya Arfan saat melihat Alya hanya terdiam menatapnya."Aku ... ingin kamu jadi suami yang baik.""Termasuk pada Meira?"Alya tersenyum
Aroma olahan seafood menguar memenuhi indra penciuman begitu Alya memasuki dapur. Wanita bermata sayu itu tersenyum simpul. Ia ingat betul kalau dulu dirinya dan Arfan memang penyuka makanan ini dan dapur mereka sering dipenuhi aroma ini. Hanya saja, dulu Alya yang memasaknya sendiri. Bukan ART seperti sekarang ini."Eh, Ibu. Selamat pagi," sapa ART dengan rambut dicepol asal tersebut."Pagi, Mbak," sapa Alya. "Masak apa?" tanya Alya basa-basi meski ia bisa melihat ART tersebut sedang memasak udang."Udang, Bu. Tapi Pak Arfan minta dimasakin seafood buat sarapan.""Oh.""Padahal selama ini, Pak Arfan hampir enggak pernah minta dimasakin seafood, loh, Bu. Apa ini makanan kesukaan Ibu?"Alya jadi serba salah mau menjawab apa. Karena ia yakin kalau ART itu pasti punya pikiran buruk terhadap dirinya. Apalagi ART yang belum Alya tahu namanya itu tidak mengetahui kisahnya dengan Arfan dan Meira. Pasti yang ada dalam pikiran ART itu, Alya adalah orang ketiga di antara Arfan dan Meira.ART te
Suasana di ruang makan begitu hening. Hanya terdengar dentingan sendok beradu dengan piring. Arfan, Meira, dan Alya tak satu pun yang berbicara. Ketiganya merasa canggung dan tidak nyaman. Padahal dulu sebelum kondisi seperti ini, mereka bertiga sering makan bersama dengan asyiknya. Namun, sekarang dunia seperti terbalik untuk ketiganya.Dulu mereka akan bercerita apapun saat makan bersama. Terkadang berkeluh-kesah, bercanda, dan apapun yang sedang ada di kepala mereka. Bahkan Alya tidak pernah memedulikan nasehat beberapa teman tentang kedekatan dirinya dan Arfan dengan Meira.Saat ada yang berkata, "Al, enggak ada pertemanan yang benar-benar tulus antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya pasti punya perasaan lebih." Alya selalu membantah itu dengan mengatakan Meira dan Arfan berbeda. Sayangnya, ucapan teman-temannya terbukti. Kini Alya sadar bahwa dulu ia terlalu percaya diri. Ia lupa bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Terlebih hati manusia. Terkadang sekarang se
Getaran ponsel di saku Arfan membuatnya terpaksa melepas tubuh Alya. Dilihatnya layar ponsel yang menyala, ternyata Meira yang menelepon."Meira," ucap Arfan sembari menunjukkan layar ponselnya pada Alya.Alya mengangguk, mempersilakan Arfan mengangkat telepon tersebut. Meski senyum dan wajah Alya terlihat baik-baik saja, tetapi tetap saja jantungnya serasa teremas dengan kuat saat melihat perhatian Arfan harus terbagi dengan Meira."Iya, Mei." "Ya."Cuma tiga kata itu yang terucap dari bibir Arfan. Alya menghela napas sembari menatap wajah Arfan yang kembali mendekatinya."Udah, sana! Kasian Meira."Arfan menatap Alya dengan sendu. Rasanya sungguh ia tidak ingin keluar dari rumah ini untuk menemui Meira. Ia hanya ingin berlama-lama menghabiskan waktu dengan wanita yang teramat dicintainya ini.Saat Arfan hendak kembali merengkuhnya, Arfan langsung mendorong lembut dada Arfan. "Jangan buat Meira marah. Dia istri kamu juga."Akhirnya dengan berat hati Arfan pergi ke rumah Meira.Alya
Kedua orang tua Meira terkejut melihat kedatangan putri semata wayangnya. Mereka yang sedang sarapan sampai menaruh sendok dan garpunya. Apalagi mama Meira, wanita itu sampai berdiri dan berjalan menyambut putrinya."Sudah sarapan, Mei?" tanya wanita yang pagi itu mengenakan blouse berwarna hitam. Meski sebenarnya ia sangat ingin bertanya mengapa putrinya datang sepagi ini, tetapi mama Meira berusaha menahan diri. Ia ingin putrinya sarapan terlebih dahulu baru bertanya-tanya."Udah, Ma." Meira berusaha bersikap tegar. Meski hatinya serasa hendak meledak, menyampaikan semua kesedihannya pada sang mama."Sarapan lagi, ya? Mumpung di sini!" ajak mama Meira.Meira mengangguk lemah. Ia hanya ingin bersama kedua orang tuanya saat ini. Orang-orang yang masih mendukungnya, menyayanginya bagaimanapun kondisinya.Mama Meira kemudian meminta ART mereka untuk mengambilkan piring untuk Meira. Setelahnya wanita itu mengambilkan nasi putih untuk putrinya."Mau lauk apa?" tawar mama Meira."Biar Meir
Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di