Share

Usai Keputusan Cerai
Usai Keputusan Cerai
Author: Lis Susanawati

1. Usai

last update Last Updated: 2025-02-04 21:03:58

USAI KEPUTUSAN CERAI

- Usai

"Jauhi suamiku!" Seorang perempuan melempar asbak kayu tepat di hadapanku. Aku sempat terkejut, tapi sejenak kemudian aku memandangnya dengan tenang.

Kulihat dua orang telah siap dengan kamera ponselnya untuk mengabadikan kejadian ini yang sebentar lagi bisa jadi akan viral. Tapi aku tidak peduli. Sepertinya hal ini sudah direncanakan. Dia hendak mempermalukanku.

"Jauhi bagaimana maksudnya?" tanyaku menentang sorot matanya. "Sedangkan saya tidak pernah dekat dengan suamimu selain urusan pekerjaan, Mbak. Jangan menuduh tanpa bukti, saya bisa melaporkan Anda kembali."

Aruna terkejut. Mungkin dia tidak mengira aku seberani ini melawannya. Yang hanya seorang staf biasa di kantor suaminya.

"Sekalipun Anda menantu big bos saya, jangan Anda kira saya tidak berani. Mana buktinya kalau saya menggoda suami Anda?"

Wanita itu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Menunjukkan screenshot sebuah percakapan. Aku tersenyum samar. "Apa di sini saya membalas chat Pak Tristan?"

Diam.

"Mbak Aruna, Anda hanya cemburu buta. Saya nggak pernah tertarik dengan suami orang. Bahkan suami saya sendiri saja, saya lepaskan ketika dia bilang sudah tidak menginginkan saya lagi.

"Saya nggak gila cinta atau pun harta. Saya bisa bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan anak saya. Saya nggak percaya dengan cinta sekarang. Jadi jangan mempermalukan diri dengan menuduh tanpa bukti. Saya bukan perempuan murahan yang suka menggoda suami orang." Aku meraih tas dan mengajak Eni, teman yang makan denganku, pergi dari kafe.

Kami menyusuri trotoar. Saat itu lalu lintas sangat padat, karena akhir pekan. Aku tidak melihat lagi ke belakang. Entah apa yang terjadi di sana.

"Bagaimana kalau video tadi di upload ke media sosial, Hilya?" tanya Eni tampak cemas.

"Nggak apa-apa. Dia hanya akan mempermalukan diri sendiri dan keluarga suaminya," jawabku sambil menatap semburat jingga di langit barat.

"Sepertinya Pak Tristan memang ada rasa sama kamu."

Aku tersenyum simpul. Tidak ada yang menarik dalam hal ini. Aku pernah berada di posisi Aruna, di mana lelaki yang kucintai pada akhirnya kembali pada mantan kekasihnya. Ternyata dulu, aku hanya tempat pelariannya saja.

Kami duduk di halte bus. Tatapanku jauh ke ujung jalan yang semakin ramai. Kembali teringat peristiwa tiga tahun yang lalu.

----

"Kita cerai saja," ujarnya di akhir perdebatan kami. Tiga kata yang benar-benar membuatku hancur. Meski sebenarnya isyarat ini sudah dia tunjukkan setahun belakangan ini. Bahkan mungkin, dia sudah menginginkan perpisahan semenjak bertemu lagi dengan mantan kekasihnya.

Kutatap lelaki yang duduk di hadapanku dengan perasaan campur aduk. Marah, kecewa, dan begitu berat sekali rasanya. Tapi akhirnya kujawab juga dengan singkat. "Ya."

Mas Arham termangu untuk beberapa lama. Gesturnya terlihat gelisah. Kenapa gelisah, bukankah aku tidak menghalangi lagi apa yang dia kehendaki? Mungkin dia terkejut, karena aku tidak meneteskan air mata dan merayu seperti biasanya.

Kemudian pria itu mengelap tangannya menggunakan serbet. "Maafkan aku, Hilya. Akan kurusi secepatnya," ujarnya lantas beranjak pergi meninggalkan meja makan dan langsung masuk ke ruang kerjanya.

Aku juga bangkit untuk memberesi meja. Sesak sekali dalam dada. Tapi ini yang harus kuterima. Setidaknya aku sudah berjuang untuk mempertahankan pernikahan ini, berulang kali merendahkan diri sendiri agar tidak kehilangannya. Lelaki yang menikahiku empat tahun yang lalu.

Pernah aku sangat memohon supaya pernikahan ini bertahan. Menjalani rumah tangga sebaik-baiknya. Karena pernikahan adalah hal paling sakral bagiku. Aku tidak ingin gagal seperti ibu, tidak ingin gagal seperti kakakku.

Dalam doa aku selalu menangis, memohon agar jodoh kami berkelanjutan. Namun enam bulan belakangan ini aku benar-benar disadarkan, kalau hatinya memang bukan untukku. Aku hanya pelariannya saja. Sekarang dia sudah merencanakan pernikahan dengan kekasih yang dulu pernah meninggalkannya.

Empat tahun aku membersamainya bangkit setelah ditinggalkan, menemani membangun karir hingga bisa seperti sekarang ini. Dua kali juga aku merasakan hancur karena keguguran anak kami. Namun sekarang, semua apa yang kulakukan ternyata tiada arti baginya.

Baiklah. Aku terima.

Sambil membereskan meja makan dan dapur, kutarik napas berulang kali supaya air mata tidak luruh ke pipi.

Sekuat apa genggamanku, yang ingin pergi pasti akan tetap pergi. Terlebih dia lelaki, yang punya kuasa dengan talaknya.

Sekarang aku tidak akan memaksanya untuk bertahan. Karena cinta bukan tentang paksaan, tapi kerelaan dan keikhlasan. Ya, kali ini aku benar-benar sudah rela melepaskan.

"Kamu mau ke mana?" tanya Mas Arham saat masuk kamar dan melihatku berkemas-kemas.

"Persyaratan perceraian sekarang, harus pisah rumah selama enam bulan, baru bisa diproses, Mas. Kecuali KDRT. Makanya biar aku keluar rumah, supaya bisa mempercepat proses di pengadilan agama," jawabku setenang mungkin.

"Tapi mungkin Mas punya pengacara yang bisa mempercepat proses ini tanpa mengikuti aturan yang ada."

"Biar aku saja yang keluar. Rumah ini akan menjadi milikmu," ujarnya dengan nada rendah.

"Nggak usah. Ini rumah yang sebenarnya Mas bangun untuk kekasihmu," jawabku seraya mengunci koper.

Lelaki itu tampak termenung. Ia pasti khawatir kalau aku pulang, malam ini juga keadaan akan kisruh. Tak terbayangkan bagaimana marahnya mama mertuaku.

"Hilya, kasih aku waktu untuk memberitahu mamaku, juga menemui ibu untuk meminta maaf. Kalau kamu pulang sekarang, orang tua kita pasti kaget."

Aku tersenyum simpul. Bahkan aku sudah tidak peduli segala bentuk kemarahan atau kekisruhan seperti apapun. Aku sudah siap menghadapi semuanya. Aku lelah berjuang sendiri, mencintai sendiri, tanpa ada feedback dari lelaki yang kucintai.

***L***

Tiga bulan kemudian ....

"Mbak, apa perutku kentara kalau aku pakai baju ini?" tanyaku pada Mbak Asmi. Saudaraku satu-satunya.

"Kalau kentara memangnya kenapa? Biar saja Arham dan mamanya tahu kalau sebenarnya kamu hamil. Sidang ikrar talak bisa digagalkan."

Ya, hari ini sidang ikrar talak kami. Cepat bukan? Tidak butuh waktu untuk pisah rumah enam bulan. Mas Arham pasti punya cara supaya proses ini dipercepat.

"Hilya."

"Andai tahu pun nggak akan merubah keadaan, Mbak. Mas Arham sudah menikah siri dengan perempuan itu sebulan yang lalu."

Mbak Asmi memandangku lekat. Rona terkejut tampak di wajahnya. "Kamu bisa menuntut mereka dengan kasus perselingkuhan."

Aku tersenyum getir. Jujur aku tidak ingin ribet dengan hal-hal begini. Lebih baik aku fokus pada karir dan calon bayiku.

"Hilya, kita bisa menuntut mereka." Mbak Asmi tidak putus asa untuk membujukku.

"Nggak usah, Mbak. Jangan halangi kebahagiaan orang, biar kita pun mendapatkan kebahagiaan juga. Yuk, Mbak. Kita berangkat sekarang," ujarku dengan tenang. Meski dalam dada sudah hancur lebur jadi debu.

Kami berangkat naik taksi dan sampai di Pengadilan Agama, Mas Arham yang duduk di depan gedung bangkit menghampiri. "Hilya, kenapa kamu nggak bilang kalau hamil?"

Aku terkejut. Dari mana dia tahu aku hamil. "Kukasih tahu atau pun nggak, nggak akan merubah keputusan hari ini. Ayo, Mbak!" Kuraih lengan Mbak Asmi untuk masuk ke ruang sidang.

Next ....

Selamat datang di cerita Hilya. Perempuan tangguh kesekian yang lahir dari kehaluan authornya. Selamat membaca. Semoga suka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (36)
goodnovel comment avatar
Evi Citra
masih fokus baca
goodnovel comment avatar
An
guensuka cwe model gini..smoga ttp kuat ya
goodnovel comment avatar
Radit Mma
Kurang bm menarik sedikit ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Usai Keputusan Cerai   219. Extra Part 3

    Pak Umar benar-benar terharu pada orang-orang muda yang sungguh bijaksana menyikapi kenyataan. Berpuluh tahun terakhir ini, dia tidak pernah merasakan kebahagiaan sedalam itu. Mungkinkah ini kebahagiaan terakhir yang ia kecap. Usia makin senja, tidak tahu kapan akan kembali ke haribaan-Nya.Setidaknya dia sudah pernah merasa sebahagia ini dan merasa sangat dihargai. Bisa bertemu kembali dengan anak-anak yang dulu dikhianati.đź–¤LSđź–¤"Hai, Baby Cantik." Aruna menyentuh lembut pipi Aurora yang digendong oleh Hilya. Malam itu dari rumah Mbak Asmi, Bre langsung mengajak istri dan anak perempuannya ke sebuah kafe, di mana ia janji ketemuan dengan Tristan. Mak As tidak ikut. Dia akan menjaga anak-anak di rumah Mbak Asmi. Khawatir Mbak Asmi dan Ustadz Izam kewalahan.Ganti Hilya mengusap pelan lengan Hasby. "Tambah gemoy aja Hasby.""Iya. Kuat banget nyemilnya.""Adek." Hasby yang berusia dua tahun berusaha menggapai Aurora. Sejak tadi todler itu memang memperhatikan Aurora yang digendong bu

  • Usai Keputusan Cerai   218. Extra Part 2

    Begitu Hilya mengajak putrinya keluar ruangan, Bre merebahkan diri di karpet yang sudah kosong oleh mainan. Tiba-tiba Rifky dan Rafka kembali menubruk dan memeluknya. Bre pura-pura mengerang, "Aduh ... dua raksasa kecil menyerang Papa!"Dua bocah terbahak-bahak. Malah tambah antusias menggoda papanya. Mereka kembali bercanda dan berebut perhatian.Suara di ruang bermain menarik perhatian Hilya yang duduk di sofa sambil menyusui Aurora. Ada kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, sebuah kebahagiaan yang mahal harganya.Dan di pagi yang dingin itu, di tengah kesibukan mengurus suami dan anak-anak, Hilya merasa menjadi manusia paling kaya di dunia karena memiliki mereka.đź–¤LSđź–¤Jam sebelas siang, Bre sekeluarga berangkat ke Malang. Mak As juga ikut. Dalam perjalanan anak-anak tertidur semua karena kecapekan bermain tadi.Mereka langsung ke bandara untuk menjemput Pak Umar. Sudah hampir dua tahun tidak bertemu. Bre bolak-balik menawari membelikan tiket, tapi Pak Umar yang tid

  • Usai Keputusan Cerai   217. Extra Part 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Extra PartMalang, di bulan Juli.Kabut tipis dan hawa dingin masih memeluk kota, menyusup hingga ke sela-sela jendela di pagi itu. Harum kopi yang baru saja diseduh, menebar aromanya ke seluruh penjuru rumah. Di ruang bermain berukuran lima kali empat meter, kekacauan kecil berlangsung. Mainan warna-warni berserakan seolah baru saja diterjang badai. Robot-robot berbaring terlentang karena habis dicampakkan pemiliknya, mobil-mobilan terguling, balok-balok kayu berhamburan, dan lego berserakan. Namun tawa dua bocah laki-laki, Rifky dan Rafka, membuat segala kekacauan itu terasa lebih sempurna."Rafka, ayo dorong mobil balapmu lebih kenceng!" teriak Rifky, matanya berbinar penuh semangat."Iya," jawab Rafka seraya mendorong mobil yang dipegangnya lebih kuat. Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal, berlomba mendorong mobil-mobilan sepanjang karpet warna pastel yang penuh oleh mainan yang berserak.Sementara itu di sudut ruangan, baby Aurora duduk manis di atas

  • Usai Keputusan Cerai   216. Perawan 3

    Pak Umar tambah terkejut, tapi ada binar di matanya. Apa tamunya itu tetangga anaknya. "Apa kamu tetangganya Asmi?""Bukan, Pak. Kenalkan nama saya Arham. Saya papa kandungnya Rifky."Kali ini Pak Umar terkesiap. Memandang Arham lekat-lekat, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. Jadi, dialah lelaki yang pernah menjadi suami putrinya. Yang mengkhianati Hilya seperti yang telah dilakukannya dulu.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling diam, membiarkan angin pagi menjadi saksi ketegangan yang merayap di antara mereka."Jadi, kamu ayah kandungnya Rifky?"Arham mengangguk. "Saya dulu suami Hilya, Pak. Kami berpisah sebelum Rifky lahir."Pak Umar menyandarkan tubuh ke kursi. Akhirnya dia bertemu juga dengan mantan menantu yang tidak pernah dikenalnya. Hilya tidak pernah cerita atau menunjukkan foto mantan suaminya. Padahal dua tahun yang lalu mereka juga bertemu. Bre mengirimkan tiket supaya dia bisa ke Surabaya bertemu keluarganya.Arham menyalami Pak Umar dan mencium tangannya.

  • Usai Keputusan Cerai   215. Perawan 2

    Arham terhenti sejenak. Satu kejutan ia dapatkan ketika beberapa saat memulai hubungan. Sekat itu terasa. Persis ketika malam pertamanya dengan Hilya. Namun Agatha terlihat biasa, sedangkan Hilya menunjukkan rasa tidak nyaman karena rasa sakit.Hal mengejutkan itu Arham simpan sampai mereka selesai melakukannya. Benarkah istrinya masih perawan? Yang dia nikahi padahal seorang janda. Memang tidak ada darah yang keluar seperti halnya Hilya dulu. Tapi Arham tidak mungkin salah merasakannya. Lelaki itu mengecup istrinya sambil berkata, "Boleh aku tanya sesuatu?"Agatha memandang sang suami dengan wajah lelah. Keringat membasahi pelipis. Baru kali ini dia merasakan bagaimana berhubungan suami istri yang dulu hanya sekedar angan, akhirnya pupus setelah Bre memutuskan untuk bercerai. "Tanya apa, Mas?""Yang kunikahi perawan atau janda?""Janda yang masih perawan," jawab Agatha dengan cepat. "Kamu kaget, Mas?""Ada apa dengan pernikahanmu bersama Bre waktu itu?" tanya Arham dengan nada pelan

  • Usai Keputusan Cerai   214. Perawan 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Perawan Author's POV Arham masih memperhatikan Pak Umar yang tengah membaca surat kabar. Di zaman canggih begini, lelaki itu tetap setia dengan media cetak. Beberapa menit kemudian, dari dalam rumah muncul seorang wanita dengan kursi rodanya. Menghampiri Pak Umar yang akhirnya meletakkan koran di atas meja. Kemudian mereka berbincang. Entah bicara apa, Arham tidak bisa mendengarnya.Mungkin bukan sekarang. Nanti saja kalau ada kesempatan, ia akan bicara dengan Pak Umar. Sepertinya lelaki itu pemilik rumah makan ini. Gampang untuk mencarinya nanti. Dia juga harus memberitahu Agatha terlebih dulu. Biar istrinya tidak kaget.Jika sekarang menghindar pun, bisa jadi suatu hari nanti mereka akan bertemu kembali. Kemungkinan itu sangat besar. Sebab cucu Pak Umar adalah anaknya."Kenapa, Mas?" Agatha heran melihat Arham terdiam."Nggak apa-apa. Nanti kalau sudah sampai di hotel, ada yang ingin kuceritakan.""Ya." Agatha mengangguk dengan perasaan penasaran. Arham yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status