USAI KEPUTUSAN CERAI
- Bimbang "Jangan lanjut perceraian ini kalau kamu hamil." Mama mertuaku bicara disaat usai kusalami. Wajahnya begitu memohon. Aku tersenyum getir seraya mengelus lengannya. Mataku sudah berkabut. Beliau adalah ibu mertua yang sangat baik menurutku. Wanita yang duduk di kursi roda itu mengusap air matanya. "Maafkan saya, Ma," ujarku lantas beranjak dan duduk di kursi yang disediakan untukku di depan majelis hakim. Seumur hidup, sekali saja aku duduk di sini. "Kita bisa membatalkan pernikahan ini, Hilya." Mas Arham kembali menghampiriku. Aku tidak tahu arti dari sorot matanya. Penyesalan atau apa aku tidak bisa menebak. Aku takut salah. Sebab aku pernah membuat kesalahan besar dengan begitu percaya bahwa lelaki yang mengajakku menikah empat tahun yang lalu itu, kupikir sangat mencintaiku. Ternyata tidak. Dia hanya ingin mencari pelampiasan atas rasa kecewa ditinggal kekasihnya. Jika alasan menggagalkan perceraian ini karena aku sedang hamil, ah tidak. Aku bisa mencintai anakku sendiri. "Menunda maksud, Mas?" tanyaku menentang matanya. "Menunda sampai aku melahirkan? Nggak perlu, Mas. Sekarang atau nanti, tetap saja kita akan bercerai. "Tinggal selangkah lagi, nggak usah menoleh lagi ke belakang," ujarku pelan. Wajahnya menunjukkan kebimbangan. Dan aku tidak ingin tahu akan hal itu. Aku sudah mantap untuk mengabulkan permintaannya yang menggebu tiga bulan lalu. "Kamu sudah menikahi kekasihmu kan, Mas? Aku nggak ingin hidup dimadu. Jalani hidupmu. Aku akan menjalani hidupku." Mas Arham tercekat. Pasti dia kaget dari mana aku tahu tentang pernikahan rahasianya. "Sudah berapa bulan?" Pertanyaan yang kujawab dengan senyum datar. Dia memandang blouse yang menyembunyikan perut yang mulai berbentuk. Mas Arham terpaksa harus duduk karena sidang di mulai. Suasana hening menjelang ikrar talak. Lelaki di sebelahku tampak gelisah. Berulang kali ia memandangku yang tak sekali pun menoleh ke arahnya. Jujur, dadaku bergemuruh dan sesak rasanya. Tak kusangka begini akhir dari cerita kami. Majelis hakim, seorang pria paruh baya dengan sorot mata tajam memandang ke arah Mas Arham. "Saudara Arham, apakah Anda sudah mantap untuk mengucapkan ikrar talak?" Aku bisa merasakan napas Mas Arham tertahan. Dia menoleh ke arahku sesaat, lalu mengalihkan pandangan. Majelis hakim menunggu sejenak sebelum mengulangi pertanyaannya. "Saudara Arham?" "Ya, saya siap," ucapnya terdengar berat. Aku menahan napas. Kemudian kudengar dia mengucapkan ikrar talak. "Saya Arham Adiputra bin Citro Wiryono dengan ini menjatuhkan talak satu kepada istri saya, Hilya Afifa Binti Umar." Setelah kata-kata itu meluncur, ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Aku menutup mata, meresapi perih yang mendadak mengoyak dada. Selesai. Begitu mudahnya. Begitu sederhananya mengakhiri sesuatu yang pernah kuperjuangkan dengan segenap jiwa. Majelis hakim mengetukkan palu. "Baik, ikrar talak telah diucapkan. Sidang selesai." Perlahan aku bangkit dari kursi, lalu membungkukkan sedikit badan ke arah majelis hakim sebagai sikap hormat. "Terima kasih, Yang Mulia," ucapku dengan suara agak serak. Mbak Asmi menghampiri dan merangkul pundakku. Membimbingku pergi dari kursi paling menyakitkan di dunia ini. Kuhampiri lelaki yang pernah kupanggil suami dengan sorot mata tenang. Matanya memerah memandangku. Untuk terakhir kali aku menyalaminya. "Hilya, kuantar kamu pulang." Aku tersenyum tipis. "Nggak perlu. Terima kasih." Lantas aku menghampiri mama mertua, wanita yang dibantu berdiri oleh ART-nya itu memelukku erat sambil terisak. Kulepaskan rengkuhannya. Tanpa kata-kata, aku melangkah meninggalkannya. Saat sudah keluar dari ruang sidang, Mas Arham tergesa mengejar dan menahan langkahku. "Aku ingin bicara sebentar saja." "Apa lagi yang mau kamu katakan, Mas? Kamu sudah menjatuhkan talak. Ini sudah selesai." Mas Arham tampak tersentak. Rahangnya mengatup erat. "Baru tadi malam aku tahu kamu hamil. Aku akan bertanggungjawab terhadap anak kita." Tanpa menjawab, aku kembali melangkah bersama Mbak Asmi menuju ke arah taksi yang memang kuminta menunggu sampai sidang selesai. "Kenapa kamu nggak bilang kalau sedang hamil di depan hakim?" Mbak Asmi bicara di perjalanan. "Nggak perlu, Mbak." "Kamu benar-benar nggak mau menuntut? Dia menceraikanmu dalam keadaan hamil, Hilya. Masa iddahmu selesai setelah kamu melahirkan." Aku tersenyum hambar. "Aku nggak mau berurusan lagi dengannya, Mbak. Jangan khawatir, aku masih punya tabungan untuk persiapan persalinan. Aku juga masih bekerja." "Masalahnya bukan itu. Bagaimana pandangan rekan kerjamu, pandangan orang terhadapmu. Kamu janda dan tiba-tiba hamil. Mereka akan tahu setelah perutmu membesar, sedangkan yang mereka tahu kamu sudah bercerai. Kamu nggak takut dikira hamil dengan lelaki lain." Mbak Asmi terlihat sangat khawatir. "Nggak, Mbak. Aku nggak berzina. Apapun omongan orang, aku siap menghadapinya." Netra Mbak Asmi berkaca-kaca memandangku. Mbak Asmi bisa kuat karena dia pun pernah menjalani proses yang sama. Tapi bagaimana dengan ibu? ---- "Hei, melamun!" Tegur Ani seraya menyenggol tanganku. Aku menoleh dan tersenyum samar. Biasanya kami bekerja naik motor, tapi kebetulan sekali motor kami rusak bersamaan sudah dua hari ini. "Kamu nggak khawatir kalau Mbak Aruna akan memperumit kejadian di kafe tadi, Hil?" "Takut apa, aku nggak punya hubungan sama suaminya. Biar saja dia kepanasan sendiri." "Sebenarnya apa sih isi chat Pak Tristan ke kamu." "Biasa saja. Tanya sudah makan apa belum? Sedang apa? Selebihnya ngobrol tentang pekerjaan di lapangan. Ada beberapa yang mengajakku makan di luar setelah urusan bertemu klien selesai. Tapi aku nggak pernah mau, kecuali kami makan bersama dengan tim." Ani menatapku lekat. "Begitu kuatnya kamu, Hil." "Aku memang harus kuat, An. Ada Rifki yang bersandar padaku, ada Mbak Asmi dan Yazid juga. Mbak Asmi sudah nggak bisa bekerja lagi karena jagain anakku." Aku kembali menerawang menatap senja yang hampir tenggelam. Mbak Asmi sudah lima tahun lalu bercerai dari suaminya. Setelah aku melahirkan, dia berhenti kerja di pabrik dan membuka toko kecil-kecilan di depan rumah peninggalan ibu. Ya, ibu tiada waktu aku hamil delapan bulan. Beliau mulai jatuh sakit setelah aku bercerai. Rasanya kian sakit kalau mengingat kegagalan itu, karenanya juga aku kehilangan ibu. "Perceraian dan kehilangan ibu jauh lebih menyakitkan dari apapun. Makanya kalau hanya sekedar dilabrak Aruna karena cemburu buta, itu bukan apa-apa bagiku." "Kalau aku jadi kamu, aku nggak akan sekuat itu, Hil." "Aku mampu karena belajar dari keadaan. Pada akhirnya apa yang terjadi membuatku kuat sendirian, tanpa ada bahu untuk bersandar. Kamu beruntung An, punya suami Mas Puji. Walaupun hanya kuli bangunan, tapi dia lelaki yang baik. "Kamu nggak salah pilih suami. Dia baik, tulus, dan setia. Uang bisa dicari, fisik bisa diubah. Namun tidak dengan kejujuran dan kesetiaan." Ani tersenyum bangga. Ya, dia sebahagia itu hidupnya. "Yuk, kita pulang." Aku berdiri dan melambaikan tangan saat angkot mendekat. Suasana malam kian membayang. Kami tidak lagi berbincang hingga sampai di tujuan masing-masing. Langkahku melambat saat kulihat mobil putih berhenti di depan rumah. Next ....Pak Umar benar-benar terharu pada orang-orang muda yang sungguh bijaksana menyikapi kenyataan. Berpuluh tahun terakhir ini, dia tidak pernah merasakan kebahagiaan sedalam itu. Mungkinkah ini kebahagiaan terakhir yang ia kecap. Usia makin senja, tidak tahu kapan akan kembali ke haribaan-Nya.Setidaknya dia sudah pernah merasa sebahagia ini dan merasa sangat dihargai. Bisa bertemu kembali dengan anak-anak yang dulu dikhianati.🖤LS🖤"Hai, Baby Cantik." Aruna menyentuh lembut pipi Aurora yang digendong oleh Hilya. Malam itu dari rumah Mbak Asmi, Bre langsung mengajak istri dan anak perempuannya ke sebuah kafe, di mana ia janji ketemuan dengan Tristan. Mak As tidak ikut. Dia akan menjaga anak-anak di rumah Mbak Asmi. Khawatir Mbak Asmi dan Ustadz Izam kewalahan.Ganti Hilya mengusap pelan lengan Hasby. "Tambah gemoy aja Hasby.""Iya. Kuat banget nyemilnya.""Adek." Hasby yang berusia dua tahun berusaha menggapai Aurora. Sejak tadi todler itu memang memperhatikan Aurora yang digendong bu
Begitu Hilya mengajak putrinya keluar ruangan, Bre merebahkan diri di karpet yang sudah kosong oleh mainan. Tiba-tiba Rifky dan Rafka kembali menubruk dan memeluknya. Bre pura-pura mengerang, "Aduh ... dua raksasa kecil menyerang Papa!"Dua bocah terbahak-bahak. Malah tambah antusias menggoda papanya. Mereka kembali bercanda dan berebut perhatian.Suara di ruang bermain menarik perhatian Hilya yang duduk di sofa sambil menyusui Aurora. Ada kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, sebuah kebahagiaan yang mahal harganya.Dan di pagi yang dingin itu, di tengah kesibukan mengurus suami dan anak-anak, Hilya merasa menjadi manusia paling kaya di dunia karena memiliki mereka.🖤LS🖤Jam sebelas siang, Bre sekeluarga berangkat ke Malang. Mak As juga ikut. Dalam perjalanan anak-anak tertidur semua karena kecapekan bermain tadi.Mereka langsung ke bandara untuk menjemput Pak Umar. Sudah hampir dua tahun tidak bertemu. Bre bolak-balik menawari membelikan tiket, tapi Pak Umar yang tid
USAI KEPUTUSAN CERAI - Extra PartMalang, di bulan Juli.Kabut tipis dan hawa dingin masih memeluk kota, menyusup hingga ke sela-sela jendela di pagi itu. Harum kopi yang baru saja diseduh, menebar aromanya ke seluruh penjuru rumah. Di ruang bermain berukuran lima kali empat meter, kekacauan kecil berlangsung. Mainan warna-warni berserakan seolah baru saja diterjang badai. Robot-robot berbaring terlentang karena habis dicampakkan pemiliknya, mobil-mobilan terguling, balok-balok kayu berhamburan, dan lego berserakan. Namun tawa dua bocah laki-laki, Rifky dan Rafka, membuat segala kekacauan itu terasa lebih sempurna."Rafka, ayo dorong mobil balapmu lebih kenceng!" teriak Rifky, matanya berbinar penuh semangat."Iya," jawab Rafka seraya mendorong mobil yang dipegangnya lebih kuat. Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal, berlomba mendorong mobil-mobilan sepanjang karpet warna pastel yang penuh oleh mainan yang berserak.Sementara itu di sudut ruangan, baby Aurora duduk manis di atas
Pak Umar tambah terkejut, tapi ada binar di matanya. Apa tamunya itu tetangga anaknya. "Apa kamu tetangganya Asmi?""Bukan, Pak. Kenalkan nama saya Arham. Saya papa kandungnya Rifky."Kali ini Pak Umar terkesiap. Memandang Arham lekat-lekat, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. Jadi, dialah lelaki yang pernah menjadi suami putrinya. Yang mengkhianati Hilya seperti yang telah dilakukannya dulu.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling diam, membiarkan angin pagi menjadi saksi ketegangan yang merayap di antara mereka."Jadi, kamu ayah kandungnya Rifky?"Arham mengangguk. "Saya dulu suami Hilya, Pak. Kami berpisah sebelum Rifky lahir."Pak Umar menyandarkan tubuh ke kursi. Akhirnya dia bertemu juga dengan mantan menantu yang tidak pernah dikenalnya. Hilya tidak pernah cerita atau menunjukkan foto mantan suaminya. Padahal dua tahun yang lalu mereka juga bertemu. Bre mengirimkan tiket supaya dia bisa ke Surabaya bertemu keluarganya.Arham menyalami Pak Umar dan mencium tangannya.
Arham terhenti sejenak. Satu kejutan ia dapatkan ketika beberapa saat memulai hubungan. Sekat itu terasa. Persis ketika malam pertamanya dengan Hilya. Namun Agatha terlihat biasa, sedangkan Hilya menunjukkan rasa tidak nyaman karena rasa sakit.Hal mengejutkan itu Arham simpan sampai mereka selesai melakukannya. Benarkah istrinya masih perawan? Yang dia nikahi padahal seorang janda. Memang tidak ada darah yang keluar seperti halnya Hilya dulu. Tapi Arham tidak mungkin salah merasakannya. Lelaki itu mengecup istrinya sambil berkata, "Boleh aku tanya sesuatu?"Agatha memandang sang suami dengan wajah lelah. Keringat membasahi pelipis. Baru kali ini dia merasakan bagaimana berhubungan suami istri yang dulu hanya sekedar angan, akhirnya pupus setelah Bre memutuskan untuk bercerai. "Tanya apa, Mas?""Yang kunikahi perawan atau janda?""Janda yang masih perawan," jawab Agatha dengan cepat. "Kamu kaget, Mas?""Ada apa dengan pernikahanmu bersama Bre waktu itu?" tanya Arham dengan nada pelan
USAI KEPUTUSAN CERAI- Perawan Author's POV Arham masih memperhatikan Pak Umar yang tengah membaca surat kabar. Di zaman canggih begini, lelaki itu tetap setia dengan media cetak. Beberapa menit kemudian, dari dalam rumah muncul seorang wanita dengan kursi rodanya. Menghampiri Pak Umar yang akhirnya meletakkan koran di atas meja. Kemudian mereka berbincang. Entah bicara apa, Arham tidak bisa mendengarnya.Mungkin bukan sekarang. Nanti saja kalau ada kesempatan, ia akan bicara dengan Pak Umar. Sepertinya lelaki itu pemilik rumah makan ini. Gampang untuk mencarinya nanti. Dia juga harus memberitahu Agatha terlebih dulu. Biar istrinya tidak kaget.Jika sekarang menghindar pun, bisa jadi suatu hari nanti mereka akan bertemu kembali. Kemungkinan itu sangat besar. Sebab cucu Pak Umar adalah anaknya."Kenapa, Mas?" Agatha heran melihat Arham terdiam."Nggak apa-apa. Nanti kalau sudah sampai di hotel, ada yang ingin kuceritakan.""Ya." Agatha mengangguk dengan perasaan penasaran. Arham yan