Share

BAB 7 Pengantin Yang Tak Rida

Sufian menuruni anak tangga sekolah untuk sekadar melihat-lihat suasana sebelum pergi. Tanpa sengaja ia melihat seorang perempuan duduk berdua dengan temannya di bangku dan tampak asyik bercerita. Senyum yang dilihat oleh Sufian semakin menambah tempo debaran jantungnya dan juga tanpa sadar dia sudah merekahkan senyumnya.

"Ustaz Sufi?"

Panggilan itu memaksa Sufian memalingkan pandang. Ia melihat Azam berdiri tak jauh dari tempatnya lalu perlahan mendekat. Sekarang keduanya sudah saling berdekatan.

"Ada apa, Azam?"

Azam memberikan sepucuk surat yang diterimanya beberapa hari lalu perihal Sifa yang akan dijodohkan. Saat ini dia ingin bertanya langsung mengenai isu yang belakangan terdengar di telinganya.

"Hubungannya dengan saya, apa?" tanya Sufian. Memang, kabar perjodohannya tidak diketahui siapapun juga di pondok sebab keluarganya menutup kabar tersebut.

"Ustaz merebut perempuan pilihan saya, kenapa Ustaz malah memilihnya? Masih banyak gadis lain di sini, bukan?" tanya Azam dengan nada bicara masih terdengar tenang.

Sufian mengerutkan dahi bukan sebab heran Azam mengeluh padanya sebab ia sendiri tahu bahwa Sifa memang memiliki hubungan khusus dengan santriwan itu. Akan tetapi ia tak menyangka Azam akan seberani itu mengeluh di hadapannya.

"Apa maksud kamu ini?"

"Saya marah, Ustaz, saya tahu semuanya," lirih Azam sembari menunduk tenang.

Sufian menepuk kedua bahu Azam kemudian memeluknya sebentar. Ia tahu akan yang dilakukannya itu menyakiti hati Azam, tetapi ia tak bisa menyakiti dua keluarga hanya demi santrinya yang belum tentu takdir Sifa.

"Ini bukan soal siapa cepat dia dapat, tapi ini soal siapa yang dipilihkan Allah untuknya."

"Kenapa Ustaz gak nolak perjodohannya?" tanya Azam menuntut jawaban.

"Saya gak punya pilihan."

"Ustaz gak cinta padanya, Ustaz akan menyakiti hatinya, aku beranikan diri datang dan bicara secara nggak sopan begini bukan apa-apa, Ustaz. Sebelum waktunya terlambat saya minta Ustaz jangan nikahi Sifa," cegah Azam dengan raut memohon.

Sufian menggeleng singkat. "Semua sudah terlambat, saya sudah jadi suaminya."

***

Sifa membuka matanya perlahan yang rasanya sangat sakit dan perih karena kebanyakan menangis. Ia menggosok-gosok kedua matanya itu sampai kemudian remang-remang terlihat seisi kamar. Pandangannya memutari seluruh ruang tetapi terhenti di hadapan cermin yang tampak sesosok lelaki bersarung dan berkaus putih polos tengah berdiri membelakanginya.

"Kang Taufik? Sekarang jam berapa aku belum shalat deh," tanya Sifa segera mendudukan tubuhnya sambil menatap ke arah lelaki itu yang masih terlihat remang-remang. Sifa kembali menggosok kedua matanya.

"Jam setengah dua. Kamu sudah bangun, Fa?"

Sifa membulatkan matanya bahkan nyaris berteriak ketakutan melihat sosok yang berdiri di kamarnya itu. Sufian, spontan mendekat lalu membungkam mulut Sifa dengan tangannya agar tak berteriak yang takutnya menimbulkan keributan di seisi rumah.

"A–apa yang Ustaz lakuin di kamarku? Ini kamarku! Siapa kamu!" teriak Sifa begitu gemetar. Suaranya tercekat.

"Saya akan apa-apakan kamu kalau kamu berteriak, jadi tolong diam! Kendalikan dirimu, Fa."

Sifa semakin ketakutan. Ia tidak percaya dengan sosok yang sedang menatapnya itu. Sifa mencubit lengannya dengan keras berharap semua hanya mimpi dan ia akan terbangun secepatnya. Namun sayangnya tidak.

"U–Ustaz Sufi ...."

Sufian melepas kedua tangannya dari kedua lengan Sifa. Persekian detik kemudian ia beranikan diri untuk duduk di samping gadis itu yang berpenampilan acak-acakan karena ketakutan. Sungguh hal mengerikan jika itu benar-benar bukan mimpi dari tidurnya Sifa.

"Ini ... kamarku, Ustaz," lirih Sifa.

"Ini kamar kita."

Sifa menoleh cepat. "Tolong pergi dari kamar ini, nanti jadi fitnah, aku gak mau Ustaz difitnah yang enggak-enggak," pinta Sifa masih membendung air mata bersiap menangis kapan saja.

"Saya minta maaf."

"Kenapa Ustaz ada di sini?"

"Saya suami kamu sekarang."

"Apa?! Kamu sudah gila! Gak mungkin! Jangan ngaku-ngaku jadi suami aku!" Sifa merasakan sekujur tubuhnya gemetar.

Sufian merasa kasihan karena sudah mengerjai gadis itu habis-habisan. Ia bergegas keluar dari kamar meninggalkan keraguan dalam diri Sifa.

Tangisnya pecah setelah kepergian Sufian dari kamarnya. Ia takut sekaligus tidak percaya atas apa yang sudah menimpanya. Beberapa kali ia sakiti diri sendiri berharap semua itu hanya mimpi.

Sifa memutuskan keluar dari kamar untuk meminta penjelasan orangtuanya.

"Sifa, kamu sudah bangun ternyata," sapa Ibu yang sadar akan kehadiran gadis itu kemudian mendekat.

Kepala Sifa yang tertutupi jilbab dielus lembut sebelum keduanya berpelukan. Sifa melepas pelukan itu dan menatap sang ibu dengan penuh pertanyaan.

"Ini apa, Bu?" tanya Sifa begitu sesak.

"Fa, kamu kan sudah janji akan ikhlas menerima semuanya," bisik Ibu segera meraih lengan putrinya.

"Aku bahkan gak ada saat akad nikah diriku sendiri? Aku bahkan gak tahu siapa lelaki yang akan aku nikahi? Kalian jahat!" Sifa lantas berlari kembali memasuki kamar lalu menangis sepuasnya di sana sebelum akhirnya memutuskan mandi dan melanjutkan tangisan di saat shalat. Hatinya serasa hancur, tidak bisa menerima yang sudah terjadi pada hidupnya apalagi menerima Sufian sebagai suaminya.

***

Ketukan pintu tiga kali tak dapat membuat gadis di dalam beranjak dari kasurnya. Tidak kehabisan ide, orang itu berpindah untuk mengetuk pintu jendela kamar Sifa dari luar. Waktu menunjukkan pukul 22. 00 tetapi Sufian tidak bisa melihat istri kecilnya sebab masih saja Sifa murung tanpa keluar dari kamar.

"Fa, saya ini suami kamu loh, kalo kamu gak nurut sama suami sendiri maka kamu tahu bukan hukumnya gimana?" Suara Sufian terdengar tegas.

Sifa membuka tirai jendela. Ia melihat Sufian berdiri dengan membawa sebuah mangkuk di tangannya. Tatapan lelaki itu sangat datar sehingga Sifa langsung segan dan membuka pintu mempersilakan lelaki itu masuk.

Kini, Sufian duduk di tepian ranjang sedangkan Sifa duduk di ujung ranjang. Keduanya saling terdiam memandangi mangkuk berisi makanan yang hampir dingin.

"Makan, Fa," titah Sufian untuk yang ke sekian kalinya.

Sifa masih terdiam tanpa berniat menyentuh mangkuk di depannya. Sungguh, rasa marah bercampur sedih membuat perasaannya kacau sekali. Ia tak mampu berpikir jernih untuk sekarang karena dirinya ada dalam pengaruh emosional.

"Beritahu saya alasan kamu mengurung diri seharian tanpa mau makan apapun?" tanya Sufian.

"Apa yang akan Ustaz lakukan saat dijodohkan dengan orang yang Ustaz benci?" Sifa membalik bertanya.

"Kamu benci saya? Sejak kapan?" Sufian menautkan alisnya keheranan.

Sifa tidak pernah berniat membenci siapapun orang atas kesalahan apapun. Namun kali ini, untuk pertama kalinya dia merasa benci terhadap semua orang termasuk Sufian. Tidak ada yang bisa mengerti perasaan gadis itu makanya ia benci pada orangtuanya, pada keluarganya, pada dirinya sendiri.

"Sifa, tolong tenang dulu," pinta Sufian.

"Sejak kapan Ustaz tahu akan menikahiku?"

Kali ini Sufian diam. Seketika itu juga mangkuk yang terbuat dari kaca di hadapan Sifa melayang begitu saja menyebabkan bunyi bising sebab pecah. Puing-puingnya berserakan di lantai. Sifa benar-benar dikuasai amarah.

"Sifa, saya hanya melakukan hal yang saya anggap benar."

"Memangnya Ustaz mencintai aku? Nggak, kan?" Sifa balas berteriak.

"Saya memang nggak mencintai kamu, bahkan saya nggak kenal kamu saat orangtua saya bilang kita akan dijodohkan. Selama itu saya sudah berusaha mengulur-ulur waktu bahkan membatalkan perjodohan, tapi hasilnya nihil." Sufian coba menjelaskan.

Sifa segera beringsut dari ranjang dan hendak keluar kamar. Langkahnya terhenti ketika Sufian memanggil nama lengkapnya dengan nada bicara meninggi.

"Kamu akan pergi kemana tanpa seizin saya?" Sufian benar-benar tak habis pikir dengan perilaku santriwati yang selama ini ia kenal sopan.

Sifa tak menghiraukan ucapan ustaz yang sudah menjadi suaminya itu. Ia keluar dari kamar bahkan pergi dari rumah. Marahnya gadis itu sampai membuatnya gelap mata sehingga tak banyak waktu untuk menyadari jika suaminya tak rida terhadap apa yang ia lakukan maka dirinya berada dalam celaka besar.

Sufian memungut puing-puing pecahan kaca di lantai. Ia berpikir bahwa Sifa hanya ingin waktu sendiri untuk sementara waktu supaya bisa memulihkan pikirannya. Ia tak sampai beranggapan liar bahwa Sifa akan pergi dari rumah apalagi mengingat waktu yang tidak lagi siang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status