Sufian masuk dengan begitu tergesa-gesa ke dalam rumah dan langsung duduk di sofa yang berhadapan dengan sang abi yang tengah sendirian sembari di tangannya terus berputar tasbih. Mata pria tersebut terpejam dengan mulut bergerak membaca zikir. Meski ragu, Sufian memaksa dirinya untuk mengganggu. Dirinya berharap Abi mengetahui keberadaannya tanpa dipanggil.
"Abi," panggil Sufian dengan nadanya yang terdengar ragu. Ia akhirnya memutuskan angkat suara.Menyadari kehadiran putranya, Abi menyudahi aktivitas zikir berpindah mengamati raut gelisah di wajah Sufian. Beliau tersenyum melihat itu."Kenapa, Yan?"Sufian menunduk sejenak sebelum mengungkap isi hatinya yang berantakan. Dari raut wajahnya saja sudah kelihatan kalau masalah itu sangat mengganggu."Ada masalah soal Sifa lagi? Dia nakal lagi di kelas?" Abi mencoba menebak."Bukan begitu, Abi. Ini lebih parah dari itu. Sebenarnya ... Sifa akhir-akhir ini murung di kelas, selama pelajaran dia tidak fokus dan jarang memperhatikan apa yang aku sampaikan. Parahnya lagi hal itu hanya terjadi selama aku yang mengajar, saat guru-guru lain mengajar dia bersikap biasa," ungkap Sufian.Seperti biasa Abi hanya tersenyum. "Jadi ...."Sufian menelan ludahnya dengan susah payah. Ia ingin mengutarakan isi hatinya sejak hari di mana Taufik menemui Sifa. Akan tetapi sudah seminggu belum juga ia berani menyampaikan keinginan pembatalan itu."Abi ....""Baguslah kalau di pelajaranmu dia kurang fokus, biar nanti selama kalian menikah kamu terus membimbingnya ilmu yang tertinggal sekarang," ejek abi membuat raut wajah sufian semakin bingung. "Hitungan hari dia akan sah jadi istrimu, kamu seharusnya latihan akad supaya nikahnya lancar. Memang mau gagal nikah gara-gara gak lancar akad? Coba abi tanya siapa nama lengkap Sifa?""Sifa Nurul Azizah, Abi." Sufian menjawab dengan wajah tertunduk."Binti siapa?""Hermawan.""Lah? Belum jadi menantu saja sudah belagu ya putra Abi ini?"Sufian menatap sang abi dengan heran lalu tergelak saat menyadari kesalahannya. "Bapak Hermawan, Abi!"Abi sukses tertawa melihat kepanikan di wajah putranya. Umi yang baru juga turun dari tangga pun ikut tertawa kecil serta menggeleng-gelengkan kepala."Hayo putra Umi sudah gak sabar mau nikah ya ... sampai belajar akad langsung sama abinya!"Sufian menunduk dengan wajah yang sedikit memerah karena berhasil terjebak oleh perbincangan sang abi. Ia seharusnya lebih waspada saat mengatakan masalah dengan Sifa. Karena gadis itu begitu ajaib, saat belum apa-apa ia sudah begitu lengket serta akrab diperbincangan orang tuanya. Lagi, tak bisa diganggu gugat dari keinginan dijadikan menantu."Yan, dengarkan abi agar kamu gak salah paham soal semua yang akan terjadi pada kehidupanmu nantinya," pinta Abi segera menatap lekat putranya.Sufian mengangguk patuh."Kakakmu Hasan dulunya menikah karena Abi jodohkan, lihat kehidupannya sekarang baik-baik saja dan bahkan kamu sudah punya keponakan. Kakakmu Zainal juga Abi dan umi yang carikan jodoh, kehidupannya sekarang alhamdulillah baik-baik saja. Kita gak pernah tahu masalah dalam rumah tangganya, contohlah mereka.""Masing-masing dari mereka Abi gak suruh tetap di sini karena yakin mereka akan lelah harus pulang pergi. Tapi kamu, mau tidak mau harus tetap ada di lingkungan sini untuk mengajar. Hasan juga dulunya mengajar di sini tapi dia lebih sibuk saat pindah ke kota istrinya dan mulai mengajar di sana, Zainal juga sekarang sibuk dengan profesinya sebagai guru MA, abi sangat berharap kamu tetap di sini dan menemani Abi dalam mengajar santri, kalau bukan kamu maka siapa lagi?" tutur kiai begitu serius."Umi sudah beli rumah sebagai hadiah pernikahan kamu, rumah supaya kamu gak terlalu jauh dengan kami," tutur Umi tak terduga."Rumah? Bukannya itu terlalu cepat, Umi?" Sufian mengernyit heran. "Menikahnya saja kan belum," imbuh Sufian mulai serius menyampaikan pendapat."Pernikahannya gak akan digelar seperti pernikahan mewah pada umumnya, maka dari itu kami hadiahkan rumah untuk kalian menumbuhkan cinta dan keberkahan pernikahan," kilah Umi."Kamu gak apa-apa kan nikahnya diam-diam?" tanya Abi.Sufian memandang abinya tidak mengerti mengenai pertanyaan barusan. Beralih memandang ke arah Umi untuk meminta dijelaskan."Sifa sudah cantik tanpa dijadikan ratu sehari pun, jadi Hmi rasa Iyan setuju." Umi segera menjawab pertanyaan Sufian. "Kamu tau, Yan, Sifa sangat sopan dan mengerti bagaimana pekerjaan di dapur. Umi gak pernah sangka kalau dia akan lihai dalam segala hal, pasti dia juga pintar kan di kelasnya?" puji Umi lagi-lagi membuat Sufian mengeluh dalam hati. Niatnya ingin meminta dibatalkan pernikahan merasa tertinggal jauh di belakang."Umi begitu menyukainya maka dari itu dia kelihatan sempurna di pandangan Umi, beda lagi dengan pandanganku," kilah Sufian.Abi menggeleng singkat atas sikap putranya yang lagi-lagi tak terima. "Jangan khawatir, Yan, nanti saat kamu mencintainya perkataan umimu sekarang akan kamu benarkan!" bela Abi.Sufian menyerah dan memilih kalah dalam perdebatan kali itu. Sifa amat dibangga-banggakan oleh orangtuanya tetapi ia tak bangga akan menikahinya. Sufian ragu apakah benar pernikahan mereka akan berlangsung baik-baik saja. Namun, semuanya pasti sudah ditakdirkan oleh sebaik-baiknya pembuat takdir. Jadi tidak penting lagi akan mengeluh atau menolak dengan segala cara pun."Kalau seandainya Allah nanya ke kamu, apakah kamu setuju dengan semua yang akan terjadi, apa yang akan kamu jawab?" tanya Abi."Iya Ya Allah aku setuju.""Kalau Abi yang bertanya begitu, kamu mau jawab apa?" ulang Abi."Iya, atas izin Allah aku akan setuju juga, Abi.""Belajarlah, Yan, dunia ini adalah pelajaran." Umi menimpali."Abi, bisakah pernikahannya diundur sampai beberapa tahun lagi?"Kali ini raut wajah orangtua Sufian berubah. Keceriaan dari obrolan baru saja mendadak terenggut oleh pertanyaan Sufian yang singkat."Apa masalahnya, Yan?""Sifa masih kecil, dia ... pasti butuh waktu lama untuk mendewasakan diri. Abi, Umi, aku janji akan menikahinya tapi ... kalau tidak tahun sekarang, boleh?"Sekejap Abi dan Umi saling pandang, bertukar persepsi mengenai permintaan Sufian yang menurut mereka ada-ada saja."Kalau tidak tahun sekarang maka kami tidak menjamin dia akan jadi milikmu." Abi beranjak dari sofa untuk mencari udara segar dengan duduk memandangi aktivitas para santri dari teras rumah.Umi menepuk bahu Sufian pelan, "Umi akan buatkan kopi dulu untuk abimu. Kamu mau?""Nggak, Umi, aku mau istirahat sekarang."Dengan berat hati Sufian berusaha mengistirahatkan dirinya supaya terlelap. Sebentar lagi azan ashar berkumandang, tapi rasanya kehidupan Sufian adalah sepanjang malam tanpa bulan. Semuanya terasa gelap tanpa penerangan."Maafkan aku, Sifa, aku gak bisa menghentikan semua ini."***Sifa mendapati Taufik sudah menjemputnya saat ini. Kertas kelulusan sudah diberikan kepada masing-masing murid dan kebanyakan merasa bahagia mendapat tanda itu karena akan mengaji dengan fokus tanpa berlibat dengan pelajaran sekolah, atau karena akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun bagi Sifa itu tak ada bedanya hanya selembaran kertas yang membuatnya murung karena akan segera berpisah dengan teman-teman dan juga masa lajangnya."Kamu sudah pamitan sama kiai?" tanya Taufik saat adiknya sudah berdiri di gerbang."Tadi sudah," jawab Sifa tak bersemangat. Matanya sembab mengatakan bahwa semalaman dia menangis karena berpisah dengan teman-teman di pondoknya terutama dengan Vina."Ya sudah ayo, pulang! Senyum dong ah gimana sih ini tuan puteri!"Sifa segera naik ke motor kakaknya yang perlahan membawanya menjauh dari area pesantren. Di lantai dua rumah kiai, Sufian memandangi kepergian gadis itu dengan senyum kecil. Jantungnya berdebar tak biasa menyadari ia akan segera mengakadnya menjadi seorang istri.Perjalanan yang cukup jauh membuat Sifa lelah. Saat ia sampai di rumah dan disambut oleh orang tuanya maka tangisan kembali pecah. Sifa sangat banyak menangis hari itu sehingga matanya semakin terlihat sembab dan hidung merah. Untuk itu ia diminta beristirahat di kamar setelah shalat zuhur.Melihat-lihat sekeliling kamarnya, Sifa kembali menangis. Ia tak rela kamarnya yang selalu jadi tempat privasi maka nanti akan ada seseorang yang ikut tinggal. Sifa tidak ingin berbagi kamar dengan siapapun!"Aku yang salah, aku yang salah, Sifa ... aku yang salah!" Azam menunduk dengan kedua tangan memegangi kepala. Betapa menyesal Azam sudah berusaha mempercayakan kehidupan perempuan tercintanya kepada seorang yang ternyata justru tidak berniat sungguh-sungguh membangun rumah tangga dengan baik. Azam kira Sufian ingin menjadi panutan terbaik tapi nyatanya harapan itu tiada."Seharusnya aku ikuti apa kata hatiku dulu, Sifa, seharusnya aku berusaha keras merebutmu dari tangan Ustaz Sufi, seharusnya aku percaya pada hatiku, seharusnya begitu!" Kedua mata laki-laki itu menyorot tajam ke arah meja, tiada objek yang ia sedang pandang sebab pandangannya ialah kosong. Amarah begitu tampak di kedua bola matanya.Azam tidak ingin mendengar Sifa bicara walau sebuah pembelaan atas pernikahan yang terjadi. Perempuan itu masih ada dalam hatinya, masih menjadi belahan jiwanya, maka saat ini yang diinginkan Azam hanya mencarikan jalan keluar agar masalah yang sedang menerpa Sifa segera menemukan akhir.
Sifa menunduk selama turun dari tangga, ia sangat sadar kalau sekarang dirinya sedang dijadikan satu-satunya objek pandang bagi laki-laki bukan mahram yang sedang duduk di sofa. Tak perlu waktu lama, Sifa segera berdiri dan menatap laki-laki itu dengan berani. Sebenarnya ia terpaksa memberanikan diri.Azam ikut berdiri kala itu lantas menyerahkan sebuah amplop putih yang tak Sifa ketahui isinya. Namun, dalam benaknya langsung terpikir bahwa sepertinya ia dapat undangan pernikahan yang spesial. Ekslusif khusus untuknya seorang. "Aku tidak akan banyak bicara di sini, aku cukup tahu diri, aku juga tidak yakin kamu akan datang memenuhi undanganku itu, tapi aku harap kamu tidak terburu-buru dan melihatnya secara dengan pandangan yang baik. Jangan buang surat itu, aku mohon, sekali ini saja penuhi keinginanku walau untuk yang terakhir kalinya atau walau kamu tidak ikhlas. Sekali ini. Aku pamit sekarang, sudah terlanjur malam, istirahatlah."Ketika langkah laki-laki itu sudah memunggungi Si
Azam. Laki-laki itu mengerti akhirnya bahwa apa yang dikatakan Sufian itu bukan semata canda. Permata yang dipinjam sudah dikembalikan ialah Sifa. Sifa yang pernah menjadi permatanya dan tak disangka akan diijab kabul oleh guru sendiri. Azam hendak melangsungkan pernikahan karena keinginannya untuk melupakan Sifa. Deretan nama perempuan yang disuguhkan oleh orang tuanya di rumah membuat Azam bingung memilih karena yang dicari bukan lagi soal cantik tapi soal seberapa pandai ia membuatnya tertarik.Ketika seorang perempuan yang dikiranya akan mampu membuat hati Azam tertarik telah hadir, yang didapat justru adalah peluang untuk mendapatkan kembali versi asli dari yang diinginkan. Sifa Nurul Azizah. Sejak lama Azam dan Sifa selalu berbalas surat karena amat tertarik satu sama lain. Namun, surat yang terbalas rupanya tak menjamin akan membawa mereka ke pernikahan. Keduanya terpisah oleh perjodohan kala itu.Azam sebenarnya pernah beranikan diri meminta Sifa pada kiai, tapi belum sempat m
Abi dan Umi setuju untuk menyembunyikan status Sifa yang sebenarnya dari publik. Mereka akan berupaya bersikap seolah menganggap Sifa sebagai menantu saja terutama di hadapan para santri yang mana tak ada yang tahu kebenaran bahwa Sifa adalah putri kandung mereka. Hari itu bahkan dua kakaknya datang untuk mendengarkan apa yang ingin kiai sampaikan tentang Sifa dan masalah yang menerpa. Dua kakaknya yang semula tidak percaya pun segera bergantian memberikan kalimat penguat untuk adik kecil mereka yang di usia belia sudah menjadi perempuan yang berpisah dari suami.Rutinitas Sifa di sana kian bertambah menyesuaikan seperti ikut membantu mengajar atau membantu para pengurus membuat dan menyiapkan suatu acara jika waktu kuliahnya sedang senggang. Sifa pun kian menjadi dekat dengan Halima yang mana tak tahu soal Sufian sebab sudah lama tak juga saling berhubungan. Halima percaya saja saat Sifa mengatakan kalau suaminya melanjutkan kuliah di luar negeri karena beberapa alasan dan masih seri
"Jangan pergi, Aa ...."Umi tiba-tiba mendorong tubuh Sufian yang mendekapnya hingga tubuh pemuda itu terdorong sepenuhnya ke belakang. Ia juga menarik Sifa agar tak mendekat pada laki-laki yang sudah bukan suaminya lagi. Sufian segera berdiri mengikuti Umi yang kini memandangnya marah. Sifa berusaha menenangkan Umi untuk tidak menyakiti Sufian, meski dirinya sangat hancur karena diceraikan tapi ternyata hati Umi jauh lebih hancur melihat putrinya disakiti oleh orang yang dianggap putranya sendiri."Dia tidak seperti orang berhati!" tegas Umi begitu marah."Jangan mengutuk apapun untuknya, Umi, jangan, aku mohon ...."Syukur momen menegangkan itu berakhir segera oleh hadirnya Abi yang menarik Sufian dari para perempuan di kamar itu yang terus saja menuntut. Abi meminta Sufian untuk segera berangkat saja meninggalkan tempat itu karena jika tetap tinggal maka semuanya tak akan pernah selesai. Setelah keluar dari kediaman kiai lantas baru beberapa langkah Sufian menjauh, sebuah derap lan
Sufian melangkah lebih dahulu dengan agak tergesa-gesa, di belakangnya Sifa mengikuti dengan kepala yang menunduk tak wajar seolah sepanjang jalan yang terpenting berada di bawah. Bekas tangis di matanya masih terlihat jelas sehingga Sufian lah yang meminta perempuan itu menunduk selama perjalanan agar tak ada siapapun yang menyadari lalu beranggapan aneh. Perih sekali hatinya ketika diminta berbohong seperti itu padahal Sifa ingin berteriak menjerit mengeluarkan bahwa apa yang sesungguhnya ia terima dari sang suami itu sangat menyakitkan.Kiai dan istri sedang sarapan di meja makan, sesekali terselip canda sehingga tawa pun pecah. Saat pintu terbuka dan melihat Sufian bersama putri mereka datang dengan raut wajah tak mengenakan, Umi beranjak menghampiri mereka di ruang tengah. Pun dengan Abi, dibantu tongkatnya yang kuat, kakinya ikut dilangkahkan meninggalkan meja makan. Dilihatnya Sufian yang sudah duduk itu berdiri sejenak karena kedatangan sang kiai."Ada apa ini, Yan?" Kiai men