Share

BAB 6 Belajar Akad

Sufian masuk dengan begitu tergesa-gesa ke dalam rumah dan langsung duduk di sofa yang berhadapan dengan sang abi yang tengah sendirian sembari di tangannya terus berputar tasbih. Mata pria tersebut terpejam dengan mulut bergerak membaca zikir. Meski ragu, Sufian memaksa dirinya untuk mengganggu. Dirinya berharap Abi mengetahui keberadaannya tanpa dipanggil.

"Abi," panggil Sufian dengan nadanya yang terdengar ragu. Ia akhirnya memutuskan angkat suara.

Menyadari kehadiran putranya, Abi menyudahi aktivitas zikir berpindah mengamati raut gelisah di wajah Sufian. Beliau tersenyum melihat itu.

"Kenapa, Yan?"

Sufian menunduk sejenak sebelum mengungkap isi hatinya yang berantakan. Dari raut wajahnya saja sudah kelihatan kalau masalah itu sangat mengganggu.

"Ada masalah soal Sifa lagi? Dia nakal lagi di kelas?" Abi mencoba menebak.

"Bukan begitu, Abi. Ini lebih parah dari itu. Sebenarnya ... Sifa akhir-akhir ini murung di kelas, selama pelajaran dia tidak fokus dan jarang memperhatikan apa yang aku sampaikan. Parahnya lagi hal itu hanya terjadi selama aku yang mengajar, saat guru-guru lain mengajar dia bersikap biasa," ungkap Sufian.

Seperti biasa Abi hanya tersenyum. "Jadi ...."

Sufian menelan ludahnya dengan susah payah. Ia ingin mengutarakan isi hatinya sejak hari di mana Taufik menemui Sifa. Akan tetapi sudah seminggu belum juga ia berani menyampaikan keinginan pembatalan itu.

"Abi ...."

"Baguslah kalau di pelajaranmu dia kurang fokus, biar nanti selama kalian menikah kamu terus membimbingnya ilmu yang tertinggal sekarang," ejek abi membuat raut wajah sufian semakin bingung. "Hitungan hari dia akan sah jadi istrimu, kamu seharusnya latihan akad supaya nikahnya lancar. Memang mau gagal nikah gara-gara gak lancar akad? Coba abi tanya siapa nama lengkap Sifa?"

"Sifa Nurul Azizah, Abi." Sufian menjawab dengan wajah tertunduk.

"Binti siapa?"

"Hermawan."

"Lah? Belum jadi menantu saja sudah belagu ya putra Abi ini?"

Sufian menatap sang abi dengan heran lalu tergelak saat menyadari kesalahannya. "Bapak Hermawan, Abi!"

Abi sukses tertawa melihat kepanikan di wajah putranya. Umi yang baru juga turun dari tangga pun ikut tertawa kecil serta menggeleng-gelengkan kepala.

"Hayo putra Umi sudah gak sabar mau nikah ya ... sampai belajar akad langsung sama abinya!"

Sufian menunduk dengan wajah yang sedikit memerah karena berhasil terjebak oleh perbincangan sang abi. Ia seharusnya lebih waspada saat mengatakan masalah dengan Sifa. Karena gadis itu begitu ajaib, saat belum apa-apa ia sudah begitu lengket serta akrab diperbincangan orang tuanya. Lagi, tak bisa diganggu gugat dari keinginan dijadikan menantu.

"Yan, dengarkan abi agar kamu gak salah paham soal semua yang akan terjadi pada kehidupanmu nantinya," pinta Abi segera menatap lekat putranya.

Sufian mengangguk patuh.

"Kakakmu Hasan dulunya menikah karena Abi jodohkan, lihat kehidupannya sekarang baik-baik saja dan bahkan kamu sudah punya keponakan. Kakakmu Zainal juga Abi dan umi yang carikan jodoh, kehidupannya sekarang alhamdulillah baik-baik saja. Kita gak pernah tahu masalah dalam rumah tangganya, contohlah mereka."

"Masing-masing dari mereka Abi gak suruh tetap di sini karena yakin mereka akan lelah harus pulang pergi. Tapi kamu, mau tidak mau harus tetap ada di lingkungan sini untuk mengajar. Hasan juga dulunya mengajar di sini tapi dia lebih sibuk saat pindah ke kota istrinya dan mulai mengajar di sana, Zainal juga sekarang sibuk dengan profesinya sebagai guru MA, abi sangat berharap kamu tetap di sini dan menemani Abi dalam mengajar santri, kalau bukan kamu maka siapa lagi?" tutur kiai begitu serius.

"Umi sudah beli rumah sebagai hadiah pernikahan kamu, rumah supaya kamu gak terlalu jauh dengan kami," tutur Umi tak terduga.

"Rumah? Bukannya itu terlalu cepat, Umi?" Sufian mengernyit heran. "Menikahnya saja kan belum," imbuh Sufian mulai serius menyampaikan pendapat.

"Pernikahannya gak akan digelar seperti pernikahan mewah pada umumnya, maka dari itu kami hadiahkan rumah untuk kalian menumbuhkan cinta dan keberkahan pernikahan," kilah Umi.

"Kamu gak apa-apa kan nikahnya diam-diam?" tanya Abi.

Sufian memandang abinya tidak mengerti mengenai pertanyaan barusan. Beralih memandang ke arah Umi untuk meminta dijelaskan.

"Sifa sudah cantik tanpa dijadikan ratu sehari pun, jadi Hmi rasa Iyan setuju." Umi segera menjawab pertanyaan Sufian. "Kamu tau, Yan, Sifa sangat sopan dan mengerti bagaimana pekerjaan di dapur. Umi gak pernah sangka kalau dia akan lihai dalam segala hal, pasti dia juga pintar kan di kelasnya?" puji Umi lagi-lagi membuat Sufian mengeluh dalam hati. Niatnya ingin meminta dibatalkan pernikahan merasa tertinggal jauh di belakang.

"Umi begitu menyukainya maka dari itu dia kelihatan sempurna di pandangan Umi, beda lagi dengan pandanganku," kilah Sufian.

Abi menggeleng singkat atas sikap putranya yang lagi-lagi tak terima. "Jangan khawatir, Yan, nanti saat kamu mencintainya perkataan umimu sekarang akan kamu benarkan!" bela Abi.

Sufian menyerah dan memilih kalah dalam perdebatan kali itu. Sifa amat dibangga-banggakan oleh orangtuanya tetapi ia tak bangga akan menikahinya. Sufian ragu apakah benar pernikahan mereka akan berlangsung baik-baik saja. Namun, semuanya pasti sudah ditakdirkan oleh sebaik-baiknya pembuat takdir. Jadi tidak penting lagi akan mengeluh atau menolak dengan segala cara pun.

"Kalau seandainya Allah nanya ke kamu, apakah kamu setuju dengan semua yang akan terjadi, apa yang akan kamu jawab?" tanya Abi.

"Iya Ya Allah aku setuju."

"Kalau Abi yang bertanya begitu, kamu mau jawab apa?" ulang Abi.

"Iya, atas izin Allah aku akan setuju juga, Abi."

"Belajarlah, Yan, dunia ini adalah pelajaran." Umi menimpali.

"Abi, bisakah pernikahannya diundur sampai beberapa tahun lagi?"

Kali ini raut wajah orangtua Sufian berubah. Keceriaan dari obrolan baru saja mendadak terenggut oleh pertanyaan Sufian yang singkat.

"Apa masalahnya, Yan?"

"Sifa masih kecil, dia ... pasti butuh waktu lama untuk mendewasakan diri. Abi, Umi, aku janji akan menikahinya tapi ... kalau tidak tahun sekarang, boleh?"

Sekejap Abi dan Umi saling pandang, bertukar persepsi mengenai permintaan Sufian yang menurut mereka ada-ada saja.

"Kalau tidak tahun sekarang maka kami tidak menjamin dia akan jadi milikmu." Abi beranjak dari sofa untuk mencari udara segar dengan duduk memandangi aktivitas para santri dari teras rumah.

Umi menepuk bahu Sufian pelan, "Umi akan buatkan kopi dulu untuk abimu. Kamu mau?"

"Nggak, Umi, aku mau istirahat sekarang."

Dengan berat hati Sufian berusaha mengistirahatkan dirinya supaya terlelap. Sebentar lagi azan ashar berkumandang, tapi rasanya kehidupan Sufian adalah sepanjang malam tanpa bulan. Semuanya terasa gelap tanpa penerangan.

"Maafkan aku, Sifa, aku gak bisa menghentikan semua ini."

***

Sifa mendapati Taufik sudah menjemputnya saat ini. Kertas kelulusan sudah diberikan kepada masing-masing murid dan kebanyakan merasa bahagia mendapat tanda itu karena akan mengaji dengan fokus tanpa berlibat dengan pelajaran sekolah, atau karena akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun bagi Sifa itu tak ada bedanya hanya selembaran kertas yang membuatnya murung karena akan segera berpisah dengan teman-teman dan juga masa lajangnya.

"Kamu sudah pamitan sama kiai?" tanya Taufik saat adiknya sudah berdiri di gerbang.

"Tadi sudah," jawab Sifa tak bersemangat. Matanya sembab mengatakan bahwa semalaman dia menangis karena berpisah dengan teman-teman di pondoknya terutama dengan Vina.

"Ya sudah ayo, pulang! Senyum dong ah gimana sih ini tuan puteri!"

Sifa segera naik ke motor kakaknya yang perlahan membawanya menjauh dari area pesantren. Di lantai dua rumah kiai, Sufian memandangi kepergian gadis itu dengan senyum kecil. Jantungnya berdebar tak biasa menyadari ia akan segera mengakadnya menjadi seorang istri.

Perjalanan yang cukup jauh membuat Sifa lelah. Saat ia sampai di rumah dan disambut oleh orang tuanya maka tangisan kembali pecah. Sifa sangat banyak menangis hari itu sehingga matanya semakin terlihat sembab dan hidung merah. Untuk itu ia diminta beristirahat di kamar setelah shalat zuhur.

Melihat-lihat sekeliling kamarnya, Sifa kembali menangis. Ia tak rela kamarnya yang selalu jadi tempat privasi maka nanti akan ada seseorang yang ikut tinggal. Sifa tidak ingin berbagi kamar dengan siapapun!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status