Share

BAB 8 Sekamar

"Dia masih kecil, bimbing dia dengan kelembutan dan jangan dengan cara kasar. Kamu ingat bagaimana Rasulullah mendidik istri kecilnya Sayyidah Aisyah, bukan? Anggaplah sekarang ini kamu sedang berusaha meneladani Baginda Rasulullah sehingga itu menjadi ladang pahala untuk kamu."

Sufian tertegun sebelum akhirnya menutup sambungan telepon dengan abinya. Ia sadar akan sikap ia yang begitu keras terhadap Sifa. Bahkan api pun tidak dapat dipakai untuk memadamkan api, kan? Maka Sufian segera meletakkan ponsel di meja lantas keluar dari kamar untuk mencari keberadaan Sifa. Sudah tengah malam tetapi gadis itu belum juga kembali.

"Dia ada di mana sekarang?" gumamnya mulai mencari.

Sufian sudah memutari hampir seluruh ruangan rumah demi mencari istrinya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Sifa. Sufian melangkah ke teras sembari terus mencari-cari barangkali Sifa menenangkan dirinya dalam kegelapan di sana, tapi tak juga ditemukan gadis itu di sekitaran rumah.

Sufian terlonjak ketika pundaknya ditepuk oleh seseorang. Taufik menatapnya dengan penuh arti sebab kakak Sifa itu mengetahui masalah yang dialami teman sekaligus adik iparnya dan ia sempat melihat Sifa keluar dari rumah saat pertama kali keluar kamar. Dalihnya, Sifa hendak ke warung sebelah.

"Aku akan susul dia, terima kasih, Fik. Hm, maksudnya terima kasih, Kakak Ipar!" Sufian meralat ucapan sebelum bergegas.

Langkah Sufian berubah menjadi lari kecil. Ia menyusuri jalanan gelap untuk sampai di masjid terdekat. Instingnya mengatakan bahwa gadis itu tidak mungkin pergi ke tempat jauh terlebih dahulu karena Sufian pun tak yakin Sifa seberani itu. Bibirnya membentuk senyum kecil saat melihat sebuah sandal perempuan di batas suci masjid. Sufian hendak masuk tetapi ia urungkan langkahnya saat mendengar isak tangis dari dalam. Benar, Sifa ada di sana.

"Ya Allah, aku memang selalu berdoa padamu jika aku mau jodoh yang paham agama, tapi kali ini aku merasa gak pantas ... aku marah Ya Allah ... yang aku mau itu muridnya, bukan gurunya Ya Allah ... kenapa?"

Sufian memilih berdiri di batas pemisah antara laki-laki dan perempuan. Ia mendengarkan setiap ucapan yang Sifa lontarkan di sela tangisannya.

"Aku bukan perempuan baik, aku juga malu Ya Allah ...." Selanjutnya ucapan Sifa tak dapat terdengar jelas karena tangisnya memuncak.

Sufian mengerti mengapa gadis itu sangat marah padanya—bahkan pada keluarga. Sifa mencintai Azam dan ingin hidup bahagia dengan lelaki pujaannya. Namun mau bagaimanapun, pernikahan mereka bukan atas dasar cinta melainkan atas dasar saling mematuhi keinginan orang tua. Sufian sendiri rela mengorbankan hidupnya demi mempertahankan senyum di wajah kedua orangtuanya. Sekarang bukan hanya Sifa yang tersakiti tapi juga Sufian.

"Ya Allah, aku juga kabur dari rumah," lirih suara Sifa kembali terdengar.

Sufian tersenyum mendengar kalimat itu. Bisa-bisanya Sifa mengadu bahwa dia sedang kabur.

"Maaf." Sufian sengaja menampakkan dirinya sehingga Sifa cepat menghapus air matanya dengan jilbab. "Kamu terlalu banyak menangis, Sifa, sudah jangan menangis lagi!"

Sifa menunduk penuh rasa bersalah. Dirinya sekarang sadar bahwa yang ia lakukan tidak lebih dari sikap yang kekanak-kanakan. Ia pergi dari rumah saat tengah malam dan tanpa izin orangtua maupun lelaki yang sudah sah menjadi suaminya. Namun tetap saja tak dapat dipungkiri bahwa ia marah.

"Ayo pulang?" ajak Sufian.

Gadis itu menggeleng cepat. "Aku gak mau pulang, Ustaz."

"Alasannya?"

"Aku ... aku gak mau marah sama bapak sama ibu, aku gak mau mereka cemas dengan kemarahanku, aku gak bisa tenang tiap lihat mereka. Aku marah!" Sifa terus memandang sejadah di bawahnya setiap menjawab Sufian.

"Besok kamu gak akan bertemu mereka lagi, jadi ayo pulang?"

Sifa menangkap bola mata suaminya itu dengan terkejut seolah ingin berteriak mengatakan 'apa maksudmu bilang begitu?'

Sufian mengangguk. "Besok kita akan pulang ke rumah kita. Kamu bisa tenangkan diri di sana selama yang kamu mau," jelas Sufian.

Sifa menunduk kembali, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Setelah semua yang terjadi rasanya Sifa belum bisa menerima jika itu bukan mimpi. Sifa ingin segera bangun dari mimpi buruknya.

Sekarang Sifa telah duduk kembali di tempat tidurnya dengan lesu. Sufian datang membawakan makanan karena tahu jika gadis itu belum kunjung mengisi perutnya sejak tadi siang.

"Kenapa Ustaz peduli padaku?"

Sufian mengangkat bahu. "Jangan beranggapan lebih. Saya gak mau kamu sakit karena besok kamu akan saya bawa pulang. Saya gak mau repot di sana."

Sifa mulai menyentuh makanannya meski tak ada selera sama sekali. Sufian yang masih berdiri di tempat segera mengambil karpet dan bantal lantas menggelarnya di lantai karena memang di kamar tersebut tidak ada sofa.

"Ustaz kenapa tidur di sana? Di sini saja!" tegur Sifa sebab tak bisa melihat gurunya tidur hanya beralaskan karpet sementara dirinya di atas kasur.

"Memangnya kamu mau tidur dengan saya?"

"Eh, bu-bukan begitu, Ustaz. Ustaz bisa tidur di sini dan biar aku yang tidur di sana," ralat Sifa mendadak gugup.

"Habiskan saja makanannya dan tidur, besok kita akan pulang pagi-pagi." Sufian segera meringkuk di bawah sana meninggalkan Sifa yang masih dengan raut terkejut.

Sifa tidak bisa tidur semalaman. Ia terus melihat ke arah Sufian karena cemas. Sifa juga merasakan situasi tidak biasa karena di kamarnya terdapat seorang laki-laki asing yang lebih tepatnya gurunya sendiri. Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Daripada hanya tiduran, Sifa memilih beranjak untuk melaksanakan shalat malam.

Sufian pun tak dapat tidur semalaman dan hanya berzikir dalam diam. Ia menyadari saat ranjang berdecit karena Sifa beranjak dan membuka pintu kamar untuk keluar. Ia ikut beranjak untuk memastikan kepergian gadis itu bukanlah tanda bahaya.

Sifa berteriak saat keluar dari kamar mandi yang terletak di luar rumah, mendapati Sufian berdiri di samping pintu dengan wajah yang datar. Untung saja Sufian segera membungkam mulutnya sehingga teriakan itu tak berujung keributan warga sekitar.

"Ma-maaf, Ustaz." Sifa bergegas hendak masuk ke rumah.

"Kamu wudhu, Fa?" Menyadari tangannya basah, Sufian baru mengangguk saat Sifa membenarkan tebakannya. "Wudhu lagi dong, barusan kan kena saya," tegur Sufian.

"Oh iya." Sifa berkata pelan lalu kembali ke kamar mandi.

Seolah sedang bermain akting di film horor atau justru mereka ditakdirkan untuk melakukan adegan seperti di film romantis, seluruh lampu padam dan tentu saja hal itu membuat Sifa sangat terkejut. Dengan spontan Sifa menggandeng lengan Ustaz Sufian begitu erat dengan matanya terpejam.

"Sudah, Fa, ini saya bawa HP, kamu wudu dan saya senter dari sini," usul Sufian.

"Aku takut!" tolak Sifa.

"Kamu mau nempel terus begini di sini sampe subuh? Apa kata orang?"

Sifa menyadari kesalahannya. Ia menyanggupi saran Sufian sehingga kembali masuk untuk mengambil wudhu. Ketika jilbabnya akan dilepas, ketika itu pula Sifa menatap lagi kepada lelaki di luar dengan ragu.

"Saya suami kamu, kamu lupa juga?" Lama-lama Sufian harus jadi alarm pengingat untuk Sifa tampaknya. "Saya juga mau wudhu, kamu keluar dulu sini!" Sufian memberikan ponselnya dan hendak menutup pintu toilet selepas ia masuk.

"Eh kenapa ditutup?"

"Saya mau buang hajat, kamu mau tetap di sana nontonin saya, gitu?"

"Eng-nggak gitu, Ustaz," lirih Sifa menunduk dalam.

Sifa menunggu Sufian selesai sembari sesekali memandang ke atas, ke langit malam yang dipenuhi taburan bintang. Sifa terus menunggu sampai tangannya sengaja menekan tombol on-off pada ponsel tersebut. Alhasil ia melihat foto seorang perempuan yang selama ini dipakai sebagai walpaper di layar kunci ponsel Sufian.

"Ustazah Halima," gumam Sifa kemudian secepatnya menutup kembali ponsel itu karena Sufian sudah membuka pintu.

"Ayo!"

Lamunan Sifa langsung pecah dan seketika tangannya menjadi gemetar. "Bagaimana bisa Ustaz Sufi menikahi aku sedangkan di hatinya sendiri ada perempuan yang dia cintai? Perempuan yang lebih baik dibanding dengan aku?" batin Sifa selama melangkah bersama Sufian memasuki rumah.

Selesai shalat malam, keduanya kembali pada tempat tidur masing-masing. Sifa semakin tak dapat tidur apalagi dalam gelapnya ruangan, sedangkan Sufian mulai dapat merangkul kenyenyakan sebab ia terbiasa tidur dengan lampu dimatikan. Mereka persatuan antara tim tidur dengan lampu padam dan tim tidur dengan lampu menyala.

Sekitar pukul 03.30 lampu kembali menyala. Secepat mungkin Sifa menekan stop kontak di kamarnya agar tidur Sufian tidak terganggu. Itu dilakukan sebagai bentuk taatnya kepada seorang guru, bukan kepada seorang suami.

"Bangun, shalat subuh!"

Sifa membuka matanya kemudian menggeliat meregangkan otot-otot tangan. Ketika ia benar-benar membuka mata, Sufian ternyata sedang berdiri di depan cermin sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. Tampaknya lelaki itu suka sekali mematut diri di cermin kamar Sifa.

"Ustaz habis mandi?" tanya Sifa yang masih berusaha mengumpulkan nyawa.

"Kamu juga belum mandi dari kemarin, kan? Sana mandi!"

Sifa mengangguk setuju. Sejak kemarin ia memang belum mandi. Ketika baru saja keluar kamar hendak ke kamar mandi ia berpapasan dengan Taufik yang sudah siap menuju masjid menunggu azan subuh. Melihat adiknya membawa handuk, Taufik tersenyum.

"Kakang mau ke masjid kok, pengantin baru emang harus mandi pagi ya biar seger!" ejek Taufik sengaja.

Sifa tak menghiraukan ucapan kakaknya. Ia langsung melengos begitu saja untuk segera mandi sebelum semua keluarga mencurigainya yang tidak-tidak. Taufik mengetuk pintu kamar Sifa untuk mengajak Sufian ke masjid bersama. Saat pintu dibuka menampakkan Sufian dengan rambut yang klimis, Taufik tersenyum lagi sama seperti senyum yang ia tampakkan kepada Sifa.

"Habis mandi subuh-subuh, seger ya?" Basa-basi yang terlampau basi bagi pendengaran Sufian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status