LOGINElvian langsung maju dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Cahaya biru meledak ke udara. Tak lama, sebuah kubus energi menyelimuti tubuhku.
Aku meraung. Bayangan-bayangan itu mulai membentuk sosok-sosok yang tak asing. Wajah-wajah samar, seperti roh penasaran yang tertangkap dalam darahku sendiri. Aku masih berusaha melepaskan diri dari ini semua. Menyakitkan. Ini sungguh menyakitkan. Darahku. Darahku seperti mendidih didalam sana. Dan yang lebih membuat aku frustasi adalah, ketika aku bisa mendengar semua bisikan itu dengan sangat jelas. “Kematian,” “Balas dendam,” “Kenapa kau meninggalkan mereka,” “BERHENTI! AKHHHH!” teriakku frustasi. “Kae! Liat gue Kae!!” Elvian berteriak dari luar zona, membuat aku langsung mendongak, dengan napas yang semakin tersengal. Jelas, aku bisa melihat Elvian yang sudah berdiri kokoh. Cahaya di tubuhnya bersinar perak terangAku duduk di tengah lingkaran simbol kuno yang dipahat langsung diatas batu. Udara lumayan pekat. Aku sampai harus menarik napas dalam untuk bisa menyesuaikan diri dengan ruangan itu. Aku kembali menatap pedang yang sudah tergeletak disamping ku. “Dia bukan tipe pedang yang mudah bersahabat dengan pemiliknya.” Ucapan Yuzi tempo hari, kembali terngiang. Dengan tangan yang sudah terulur, aku menyentuh pedang naga hitam. Menatapnya dalam-dalam. Sudah bersama dengannya selama hampir satu bulan, membuat aku bisa merasakan, kalau didalam pedang itu, ada sosok yang terus tersenyum padaku. Bukan senyum persahabatan, melainkan senyum cibiran. Aku tahu, kalau naga hitam sedang menertawakan kebodohanku. Tapi lihat saja. Aku sudah bersumpah akan mengendalikannya. Dia pedang, dan aku pemiliknya. Sudah kewajibannya untuk menuruti semua yang kuinginkan. Termasuk hancur, kalau memang itu dibutuhkan. “Gue gak yakin, tapi gue bakal berusaha buat ngendaliin lo.” Ujar ku dengan suara yang s
Aku langsung bangkit seketika. Dada sudah turun naik, karena napas yang mulai tersengal. Suara itu benar-benar datang dari dalam dadaku, dalam pikiranku, seolah seperti gema dari darahku yang mulai mendidih. “Kamu adalah keturunan terakhir dari keluarga Atala. Garis darah pertama yang dahulu menutup Gerbang Hitam dengan mengorbankan jiwanya.” “A-apa maksudnya?” tanyaku. Tiba-tiba air danau itu menyembur ke atas, membentuk bayangan siluet seseorang yang tinggi, berjubah putih, dan membawa tombak emas ditangannya. “Kekuatanmu bukan hanya untuk menyerang. Tapi untuk menyegel, menenangkan, dan memutus kontrak kutukan.” “Tapi ingat Caesar, kekuatan ini bukan hadiah. Melainkan sebuah tanggung jawab besar.” “Dan musuhmu bukan hanya monster. Tapi penyihir darah sendiri. Yang pernah bersumpah melindungi dunia..,” Air itu langsung jatuh kembali ke danau. Aku terduduk lemas dengan dada yang masih sesak, dan keringat dingin mulai membanjiri punggungku. “Penyihir darah sendiri? Pen
Elvian langsung maju dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Cahaya biru meledak ke udara. Tak lama, sebuah kubus energi menyelimuti tubuhku. Aku meraung. Bayangan-bayangan itu mulai membentuk sosok-sosok yang tak asing. Wajah-wajah samar, seperti roh penasaran yang tertangkap dalam darahku sendiri. Aku masih berusaha melepaskan diri dari ini semua. Menyakitkan. Ini sungguh menyakitkan. Darahku. Darahku seperti mendidih didalam sana. Dan yang lebih membuat aku frustasi adalah, ketika aku bisa mendengar semua bisikan itu dengan sangat jelas. “Kematian,” “Balas dendam,” “Kenapa kau meninggalkan mereka,” “BERHENTI! AKHHHH!” teriakku frustasi. “Kae! Liat gue Kae!!” Elvian berteriak dari luar zona, membuat aku langsung mendongak, dengan napas yang semakin tersengal. Jelas, aku bisa melihat Elvian yang sudah berdiri kokoh. Cahaya di tubuhnya bersinar perak terang
Hari telah berganti, Hutan Fuchigami kembali hening, seolah menyimpan ribuan rahasia yang belum ada yang bisa mengungkapnya. Firasat buruk masih menggantung di udara. Mengoyakku hingga tak ada satupun celah untuk menghirup napas lega barang sejenak. Pagi itu, saat siswa lain kembali belajar teori sihir di kelas, aku dan Elvian diseret ke tempat latihan rahasia oleh Yuzi. Entah latihan apa lagi yang akan dia berikan pada kami, di pagi buta seperti ini. Sebelumnya, kami memang sudah menceritakan pengalaman kami ketika bertemu dengan makhluk yang menyerupai dirinya. Tapi Yuzi hanya tersenyum dan hanya berkata kalau ini baru permulaan. Lalu dia tidak lagi membahas masalah itu sampai sekarang. Tapi dengan melihat perubahannya saja, sudah membuat aku percaya, kalau ini ada yang tidak beres. Wajah Yuzi juga tidak terlihat santai, layaknya seseorang yang sedang menyiapkan diri untuk menghadapi bahaya bersar yang mungkin akan segra terjdi. Aku masih menatap Yuzi. Jujur saja, semenjak w
Tugas kami, menjelajahi Hutan Fuchigami adalah untuk mencari kristal energi sihir yang tersembunyi, dan kembali sebelum matahari tergelincir. Sederhana? Mata lo jebol. Aku sampai keringat dingin sepanjang latihan. Kalian tahu, Hutan Fuchigami, ternyata benar-benar seperti dunia lain. Akar menggantung seperti tali-tali makhluk hidup yang siap menjerat siapapun yang lewat. Kabut hitam samar membelai tanah, udara terasa seperti merayap menyapa permukaan kulit dan berbisik di telinga, membuat bulu kuduk berdiri sempurna. Kami berjalan pelan. Elvian di depan, Alana dan Samuel di tengah, sedangkan aku di belakang sambil sesekali menatap ke segala arah seperti anak hilang yang sedang mencari sinyal ditengah hutan. “Lo oke, Caesar?” bisik Alana tanpa menoleh. “Masih bisa napas, sih,” jawabku pelan, “walau kaki gue kayak jalan di kuburan raksasa.” Celoteh ku. "BZZZZTT!" Suara tajam dari balik semak, membuat Elvian langsung ber
Keesokan paginya, suasana SMA Senin sudah seperti arena gladiator. Kami semua mengenakan jubah tempur khusus yang sudah disiapkan. Btw bukan sekadar seragam sihir biasa, ini semacam pakaian taktis yang bisa menyesuaikan dengan elemen sihir masing-masing. Bahkan gelang sihir yang melingkar di pergelangan kami juga berbeda. Bukan hanya itu, tongkat yang biasa kami gunakan, lambat laut berubah mejadi sebilah pedang. Aku sampai terkejut ketika melihat pedangku yang berukuran besar dengan cahaya hitam mengelilingi setiap bagiannya. “Wah! Serius ini punya gue? Kenapa kayak di film-film?” aku terus berdecak kagum melihat keistimewaan pedang ku sendiri. Pedang ku berbeda dari yang lain. Aku melihat pedang yang lain tidak sebesar milik ku. Dan cahaya mereka juga tidak sepekat punyaku. “Itu pedang Naga Hitam,” kata Samuel membuat aku terlonjak kaget. Karena entah sejak kapan dia ada dibelakangku. Mendengar ucapan Samuel, teman-teman







