Share

Part 7. Rumput tetangga lebih menggoda.

POV. Abi

Hingga akhirnya ada kejadian yang terlihat begitu menyedihkan. Perempuan itu pingsan berkali-kali.

Melihat keadaan yang sangat menyedihkan seperti itu, aku pun memutuskan untuk tetap berada di sini.

Apalagi jika melihat anaknya yang masih kecil. Sungguh, aku merasa tidak tega. Anak yang seumuran dengan Raya, namun sudah menjadi yatim, ditinggal mati oleh ayahnya.

Anaknya terus-terusan menangis, sementara mamanya terbaring tidak sadarkan diri.

Mau tidak mau, akulah yang menenangkan anak itu. Menggendongnya sepanjang malam hingga pagi.

Pagi-pagi sekali, Anjani sudah menelponku, menanyakan tentang kepulanganku. Kujawab saja, bahwa jenasah belum dikebumikan, dan aku belum bisa pulang.

Namun tidak berselang lama kemudian, dia justru melakukan panggilan video.

Aku yang sedang menggendong sambil menyuapi Dita anaknya Pak Arman, pun langsung mengangkat panggilan video itu.

Ternyata Raya yang menelpon. Raya terlihat sangat marah. Dan telpon pun langsung dimatikan.

Sudahlah, biar saja. Hanya anak kecil. Nanti bisa kubujuk dengan membelikan boneka baru.

Setelah itu, telpon pun kembali berdering. Namun kubiarkan saja. Aku khawatir, jika Raya mengadu kepada mamanya, dan kemudian istriku itu akan mengomeliku, aku akan malu. Masih ada banyak orang di sini.

Kuteruskan saja kegiatanku menyuapi anak kecil itu, tanpa kuhiraukan suara dering ponselku.

Hingga akhirnya jenazah pun dibawa ke pemakaman, dan dikebumikan.

Saat pemakaman itulah, Reina kembali pingsan. Sehingga dia harus dipapah, dan kemudian dimasukkan ke dalam mobil. Melihatnya, aku semakin merasa tidak tega. Kasihan sekali, dia.

Usai jenazah dikebumikan, para pelayat pun kemudian pulang ke rumah masing-masing.

Sementara, aku justru masih merasa ragu. Ingin langsung pulang, aku tidak tega dengan anak istrinya Pak Arman, sementara jika ingin tetap di rumah mereka, aku takut akan timbul fitnah. Entahlah. Biar saja nanti aku melihat situasi dan kondisi.

Masih dalam gendonganku, aku kembali membawa Dita pulang ke rumahnya.

Rumah sudah sepi, karena semua pelayat sudah pergi. Hanya menyisakan aku, Reina, Dita, dan juga adiknya Reina, yang baru saja datang dari luar kota.

"Dita, Om pulang dulu, ya?" Aku menurunkan anak kecil itu dari gendonganku.

"Jangan pulang, Om. Dita mau sama Om ...." Anak kecil itu mengerjabkan matanya, membuat aku menjadi lebih tidak tega.

Akhirnya aku mengulur waktuku. Mengajaknya bermain di teras depan. Kuajak dia bermain boneka, hingga anak itu kembali ceria, dan tidak lagi menanyakan papanya.

Anak itu kini terlihat begitu ceria. Dia terlihat begitu nyaman bersamaku. Tidak mau lepas dari pangkuanku.

"Maaf, Mas, jika anakku merepotkanmu ...."

Perempuan yang matanya tampak sembab itu, menatap dengan rasa bersalah ke arahku.

"Oh, tidak kok. Tidak apa-apa. Tidak merepotkan sama sekali," jawabku.

"Terimakasih banyak, Mas. Aku tidak tahu lagi, jika tidak ada Mas Abi. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya harus berterimakasih kepada Mas Abi. Semenjak Mas Arman sakit, Mas Abi lah, yang paling rajin menengoknya ...." Perempuan itu kembali menangis.

"Sudah, jangan dipikirkan. Aku ikhlas melakukannya ...."

"Aku tidak tahu, bagaimana caranya membalas budi baikmu, Mas ...." Lelehan air matanya terlihat semakin deras.

"Aku tidak meminta balasan apa-apa. Pak Arman adalah atasan yang baik. Setelah beliau meninggal pun, aku ingin tetap menjalin silaturahmi kepada kalian. Kamu jangan pernah berfikir bahwa kamu itu merepotkan. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Sudah jangan menangis. Tataplah hidupmu ke depan. Bersemangatlah. Suatu hari nanti, kebahagiaan itu pasti akan datang." Aku menghiburnya.

Dia pun kemudian masuk ke dalam. Sementara aku masih bermain boneka bersama anaknya.

Saat aku dan anak kecil itu sedang sibuk bermain-main, tiba-tiba saja aku mendengar ada suara teriakan dari dalam.

Spontan, aku pun segera berlari ke arah datangnya suara.

"Mbak Reina kakinya terkena air panas!" teriak adiknya.

Aku melihat, Reina sudah berpegangan pada meja. Dia sepertinya tidak bisa lagi berdiri dengan tegak.

"Kamu kenapa bisa terkena air panas?" tanyaku penasaran.

"Aku rencananya mau membuatkan kopi untuk Mas Abi." Dia menundukkan wajahnya.

"Ya Allah, kenapa kamu repot-repot?" Aku mendadak merasa bersalah.

"Dina, tolong kamu belikan obat untuk Mbak. Ada apotik di perempatan sebelah sana."

"Apotiknya di mana, Mbak? Aku tidak tahu daerah sini," jawab adiknya.

"Kamu ajaklah Dita. Dita sudah tahu tempatnya. Nanti kalau apotik yang sebelah barat tutup, kamu pergilah ke apotik sebelah utara. Anggap saja jalan-jalan sambil momong. Ini uangnya. Jajanlah sepuasnya!" Reina memberikan beberapa lembar uang merah kepada adiknya.

Adiknya yang dipanggil Dina itu kemudian langsung bergegas ke luar dari rumah, mengajak keponakannya.

Sementara aku hanya bisa terpaku, menatap Reina yang terlihat kesakitan.

"Mas, aku tidak bisa berjalan ...." keluh perempuan cantik itu.

"Terus, aku harus bagaimana?" tanyaku bingung.

"Tolong, bantu aku sampai ke kamar. Aku mau ganti pakaian yang lebih nyaman. Yang ini sudah basah, terkena air panas ...." Dia berbicara dengan begitu lirih, seperti orang yang tidak berdaya.

"Lihatlah yang terkena air panas ...." Dia menatapku dengan tatapan memelas.

Kemudian dia menyibak pakaian panjangnya, dan tampaklah ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
laki klu sdh konslet yg haram indah yg indah jelek ntar juga nyungsep
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status