Share

Part 6. Ucapan belasungkawa.

POV. Abi

[Mas, aku sudah tidak kuat ....]

Sebuah pesan masuk, di aplikasi berlogo gagang telpon berwarna hijau. Pesan dari Reina, istrinya Pak Arman, rekan kerja sekantorku.

Pak Arman adalah atasanku. Namun semenjak dia sakit-sakitan, dia sudah tidak bisa lagi bekerja. Dan aku adalah salah satu rekan kerjanya yang paling sering menjenguknya.

Menjenguk ketika dia dirawat di rumah sakit, juga menjenguk ketika dia menjalani rawat jalan di rumah.

Setiap menjenguk Pak Arman, otomatis aku akan bertemu dengan istrinya. Istrinya yang selalu berpenampilan cantik dan seksi layaknya selebriti.

Karena seringnya aku menjenguk Pak Arman, aku pun menjadi akrab dengan istrinya. Dia menjadi sering mengungkapkan keluh kesahnya kepadaku. Dan aku pun tidak bisa untuk tidak membalasnya, jika perempuan cantik itu sudah mengirimkan pesan-pesannya.

[Tidak kuat bagaimana, maksudnya?]

Sambil menengok ke kanan dan ke kiri, aku membalas pesannya. Aku takut istriku akan mengetahuinya.

Ya, meskipun aku dan Reina tidak sedang terlibat perselingkuhan, tetap saja ada kekhawatiran, saat aku dan dia sedang berbalas chat seperti ini. Aku takut istriku akan salah paham dan menuduh yang bukan-bukan.

[Bebanku terlalu berat.] Sebuah emotikon menangis banjir air mata, pun menyertai kalimat yang ditulisnya.

[Sabar, semua akan indah pada waktunya.]

Begitulah kalimat yang sering kutuliskan, setiap kali dia mulai berkeluh kesah tentang suaminya.

[Bagaimana mau indah? Sedang suamiku sudah tidak mampu memberikan nafkah. Aku wanita normal, Mas ....]

Deg. Apa maksudnya coba, dia berkata seperti itu. Apakah itu artinya, dia mau meminta nafkah dariku?

Apakah yang dikatakan itu adalah semacam lampu hijau untukku?

[Maksudnya bagaimana?] Aku bertanya, karena takut salah sangka.

[Kamu memang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?] Dia justru balik bertanya. Membuat aku kian gemas saja.

[Aku takut salah menafsirkan.] balasku.

[Kita sudah sama-sama dewasa. Sudah sama-sama berumah tangga. Tentunya kamu tahu, apa maksudku.] balasnya kemudian.

[Berceritalah kepadaku. Tumpahkan segala perasaanmu. Aku siap mendengarnya.]

[Kamu tahu kan, Mas. Suamiku itu sudah tua. Apalagi sekarang sudah sakit-sakitan. Sebelum sakit-sakitan pun, bahkan nafkahku sering terabaikan. Aku masih muda, Mas. Tidak munafik, aku butuh ....]

Ya, aku semakin paham. Dia memang masih muda, seumuran dengan istriku. Mungkin usianya baru sekitar dua puluh lima tahun. Sementara, suaminya sudah tujuh puluh tahun. Aku mengerti.

*****

Witing tresno jalaran seka kulina. Mungkin itu adalah pepatah yang paling cocok untuk menggambarkan keadaan kami berdua. Semenjak saat itu, dia sering bercerita tentang banyak hal. Bahkan, tidak segan-segan, dia juga bercerita tentang hubungan ranjangnya dengan suaminya itu kepadaku.

Aku yang semula tidak begitu mengenalnya, kemudian mulai bersimpati, melihat bagaimana dia merawat suaminya. Dan karena seringnya kami bertemu, akhirnya diam-diam aku pun mengaguminya.

Mengagumi cara berpikirnya yang terkesan cerdas dan terbuka. Mengagumi penampilannya yang selalu tampak segar dipandang mata.

Dia terlihat begitu sempurna sebagai seorang istri. Pandai dalam hal merawat diri, dan juga pandai merawat suami.

Diam-diam, aku bahkan mulai membanding-bandingkan dengan istriku yang ada di rumah.

Istriku memang cantik, namun istrinya Pak Arman terlihat jauh lebih cetar. Mungkin karena istriku yang selalu berpakaian longgar, sedangkan istrinya Pak Arman selalu berpakaian ketat dan seksi, dengan belahan dada yang begitu rendah.

Sebagai laki-laki normal, tentu saja aku sering membayangkannya. Membayangkan, jika aku memiliki Reina.

Pepatah tentang rumput tetangga lebih hijau, kini mulai ada di pikiranku. Istriku yang dulu tampak cantik sempurna, kini telah mulai kalah pesonanya, dibanding dengan istri atasanku.

Apalagi dengan melihat keadaannya yang memprihatinkan seperti ini. Aku menjadi semakin bersimpati.

Dia sungguh-sungguh wanita yang mandiri. Berbeda dengan istriku, yang apa-apa selalu meminta tolong kepadaku.

*****

[Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un. Telah berpulang rejan kerja kita Pak Arman Maulana Yusuf, karena sakit yang dideritanya. Semoga almarhum Husnul khatimah, mendapatkan tempat yang terbaik di sisinya. Keluarga yang ditinggalkan, semoga diberikan kesabaran.]

Baru saja aku membaca sebuah chat yang masuk di wa grup kantor, tiba-tiba ponselku berdering.

Sebuah kontak bernama Pak Arman, memanggilku. Ya, semenjak suaminya sakit, memang istrinya selalu menggunakan ponsel suaminya itu, untuk menghubungiku.

Lekas aku mengangkatnya. Satu detik kemudian, sudah terdengar suara tangis seorang perempuan.

"Mas, suamiku sudah meninggal ...."

"Tenang, kamu tenang, ya? Aku akan segera datang." Aku menenangkannya dengan gusar.

Istriku yang tampak curiga, kubiarkan saja. Alasan anak yang sedang sakit, tidak mampu menghalangi niatku untuk mendatangi perempuan yang sedang berduka itu.

Bagiku, saat ini Reina sangatlah penting. Bagaimanapun juga, suaminya adalah dulu atasanku.

Kulajukan mobilku menembus hujan yang turun dengan deras. Jangankan hujan biasa. Bahkan jika ada hujan badai atau hujan batu pun, aku pasti akan menembusnya, demi bisa sampai ke sana secepatnya.

Seperempat jam kemudian, aku sudah sampai ke rumah duka. Jenasah sudah disemayamkan. Istrinya duduk di sampingnya, larut dalam tangisan.

Perempuan yang hebat. Perempuan yang kuat. Setelah beberapa bulan merawat suaminya dengan begitu telatennya, saat suaminya meninggal, dia masih saja merasa berduka dan begitu kehilangan. Bukan malah merasa lega karena sudah tidak ada beban.

Lekas, aku duduk di sampingnya. Ikut melafalkan doa-doa. Beberapa orang mulai berdatangan. Ucapan belasungkawa pun terucap dari rekan-rekannya.

Hingga akhirnya ada kejadian yang ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status