Alat sihir adalah materi yang diberikan runic alphabet pada permukaan benda yang memiliki makna tersendiri, tergantung si pemberi runenya. Artefak mirip dengan alat sihir. Bedanya, ini jatuh dari tubuh monster di Gerbang Monster, sedangkan pembuatnya adalah sosok yang misterius. Tapi, satu hal yang pasti. Di permukaan semua artefak juga terdapat satu atau dua runic alphabet yang nampak rumit. Kontrak darah adalah salah satu cara penyatuan jiwa dengan benda maupun makhluk hidup. Sebenarnya ini beresiko. Saat benda atau makhluk hidup yang dikontrak hancur, umur pemberi kontrak akan berkurang secara signifikan.
Ini adalah hari kedua setelah Alina mulai berjualan cemilan di Jalan Ambarkasih yang menjadi kemunculan Gerbang Monster terbaru. Belum ada yang dapat menyelesaikannya sejauh ini. Dari pembicaraan orang-orang, katanya telah ada dua kelompok kecil pemburu yang masuk-keluar dengan penampilan yang berantakan. Tak ada yang melihat dari mereka membawa satupun artefak yang selalu menjadi hal yang lumrah untuk dipamerkan saat keluar. Tak peduli artefak yang didapat itu hal yang umum sekalipun, seperti halnya cincin penyimpanan. Hal itu dilakukan adalah sebagai promosi bagi mereka yang ingin membeli artefak yang didapat. Agar, setelah didaftarkan ke Serikat Pemburu, artefaknya akan laku secepatnya. “Apakah itu suatu pertanda?” gumam Nathan di kala tak ada pembeli yang datang ke dagangan Alina. “Mungkin saja begitu ada sesuatu di dalam sana?” Alina yang baru saja selesai melayani seorang pelanggan menyahuti gumaman Nathan. Dia sendiri memang tak begitu tahu situasi yang biasanya dialami oleh
Sebuah kejadian yang mengejutkan! Tim Mata Bintang telah melakukan ekspedisinya tak sampai memakan waktu seharian, lebih tepatnya lebih dari setengah hari. Tapi yang mengejutkannya adalah hanya ada seorang saja yang keluar dari sana. Orang-orang segera dapat mengenalinya. Dialah pemimpin Tim Mata Bintang, seorang pemburu berperingkat A. Penampilannya saat ini sungguh berantakan dengan sekujur tubuh dan perlengkapannya dipenuhi warna merah yang berbau amis. Dia berjalan tartatih-tatih dan memandang sekitar dengan tatapan bengis, seolah dia menyalahkan orang-orang yang ia lihat saat ini. “Kalian, bantu aku!” serunya dengan tegas yang bercampur nada ancaman kepada sekelompok kecil orang yang berada di dekatnya. Sudah jelas dia berada dalam situasi yang tak memungkinkannya untuk bersikap seperti itu kepada orang lain. Enggan sebenarnya meminta bantuan kepada orang lain, apalagi di hadapan publik seperti ini. Tapi, dia tak memiliki pilihan lain dan berpasrah menggunakan popularitasnya un
“Salah pengukuran? Bukankah kalian sengaja menipu mereka?” Yang berani berbicara seperti itu secara terang-terang tidak lain adalah Jeremy Rainbownose. Dia adalah pemimpin Serikat Maung Bodas generasi ini. Perawakannya yang kekar dan tinggi, dia terlihat seperti seorang raksasa. Terlebih, tempramennya yang kasar dan selalu terlihat penuh amarah itu menjadi momok yang sangat ditakuti oleh kebanyakan orang. Dia memang adalah seorang pemimpin dari sebuah serikat, tapi dia tak tampak memiliki sikap dari seorang pemimpin seperti yang seharusnya. Bisa dibilang, dia termasuk pakar kejahatan yang tak teridentifikasi oleh para penyidik karena memiliki topeng yang tebal dari serikat yang dipimpinnya. Sedangkan, sebuah serikat yang memiliki visi dan misi yang sama seperti yang lain seharusnya menjadi perisai bagi masyarakat. Tapi, dia melanggar lalu lintas yang telah dibuat dan menyelewengkan kekuasannya. Topengnya sungguh tebal untuk menutupi semua kejahatannya. “Maaf. Saya selaku komandan p
“Saat situasi menjadi bahaya, segeralah kabur secepat mungkin!” Begitulah rencana sederhana yang telah diperintahkan oleh Jeremy kepada seluruh anak buahnya beberapa waktu sebelumnya. Meski terbilang sederhana, tampaknya rencana itu akan berjalan dengan lancar. Terlihat, masing-masing dari mereka berada di baris pinggir setelah lapisan terluar formasi. Sebuah posisi yang aman dan mendukung untuk kabur pada saat situasi yang membahayakan terjadi. Entah bagaimana mereka dapat melakukannya tanpa ada yang menaruh kecurigaan. Semua orang tampaknya sedang berkonsentrasi penuh memperhatikan sekitar, takut bila sewaktu-waktu mendapat serangan kejutan. Langkah kaki semua orang senada, cukup untuk mengurangi kebisingan dan ada celah untuk mendengar kondisi sekitar dengan jelas. Formasi yang sedang digunakan adalah formasi yang cukup umum. Hal itu, karena formasi ini cukup baik untuk digunakan oleh semua pemburu dari semua spesialis. Para penyidik yang ikut bersama beberapa pemburu yang bersp
Aisyah seperti biasa menunggu kepulangan anaknya di depan pintu rumahnya. Tampaknya, dia akan selalu melakukan itu, bila anaknya belum pulang setelah matahari terbenam. Sungguh, dia adalah ibu yang hebat. Tak peduli tubuhnya yang telah cukup tua itu masih kelelahan setelah bekerja, dia tetap melakukannya. Nathan menyesal untuk yang kedua kalinya, karena dia tak dapat mengajak Alina untuk segera pulang sebelumnya. Dia tak tega melihatnya. Apalagi, keduanya sama-sama kelelahan dan terlalu memaksakan diri. “Saya akan lebih tegas nanti...” “Kami pulang, Nyonya...” “Ya ampun, lihatlah putriku ini...” Aisyah segera mengajak Nathan masih dan menyuruhnya untuk langsung ditempatkan di kamarnya. Nathan sebenarnya sedang terburu-buru, tapi dia tak enak hati untuk memontong curahan hati seorang ibu. Dia mendengarkan dengan sabar dan berharap tak terjadi sesuatu yang berakibat pada korban jiwa di Gerbang Monster itu. “Apa Tuan Nathan bisa membujuk Alina untuk tak pulang terlalu larut. Setidakn
Sebuah pemandangan yang aneh bagi semua orang. Mereka melihat monster aul itu sedang tertunduk dengan hormat kepada seseorang yang mengenakan jas hitam rapi. Pria berjas hitam itu nampak biasa saja dalam pandangan mereka. Karena, kekuatannya memang takkan pernah dapat mereka ukur atau bahkan hanya sekedar merasakannya. Sebuah entitas pada tingkatan yang berada di dunia yang berbeda sungguh membuat mereka merasa konyol.“Apa-apaan!?” Seseorang tampaknya tak terima melihat makhluk yang mereka takuti itu merendahkan diri dengan konyolnya. Tentu saja siapapun akan merasa seperti sampah atau bahkan lebih rendah dari itu saat sesuatu yang lebih tinggi darinya ternyata merendahkan diri di hadapan sosok yang bahkan tak terasa adanya energi kacau terpancar darinya seperti, hey tidakkah aku lebih jelek dari seekor keledai.“Eh? Aku sepertinya pernah melihat bentukan wajah menawan itu dan mata merah gelapnya...” seorang perempuan tentunya takkan melupakan pesona Nathan begitu saja. Kalaupun bisa
Awan disinari matahari pagi, tampak begitu indah dipandang dari atas dahan pohon. Nathan duduk berdampingan dengan seekor burung yang terbujur kaku tak berani untuk bergerak sembarangan. Nathan tak menghiraukan tingkah burung itu atau mungkin dia tak mengerti akan ketakutan yang burung itu rasakan, dia malah mengelus bulu-bulunya dengan pelan. “Waktunya telah tiba, saya harus pergi ke tempat Nona Alina untuk menemaninya berjualan lagi...” Nathan beranjak pergi setelah berpamitan dengan seekor burung dan tak mempedulikan, apakah perpisahannya itu ditanggapi atau tidak. Sebenarnya, Nathan bisa saja mencari pihak lain yang membantunya memperkenalkan dunia ini lebih cepat dan rinci. Tapi, dia adalah makhluk abadi. Tak ada kata bosan atau terlalu lama, seperti waktu tidak berlaku baginya. Sedangkan, dia telah hidup selama 50 abad lebih yang melewati banyak generasi kehidupan di dunia sebelumnya. Membantu seorang gadis kecil yang memiliki tekad dan niat yang baik tentunya membuat Nathan
Hampir memakan waktu dua jam sampai akhirnya, keduanya tiba di pertigaan jalan. Yang satu menuju wilayah terpelosok lainnya, yang satu lagi menuju ke Pusat Kota Mutiara. Sedangkan yang satunya lagi, tentu saja adalah jalan di mana Alina dan Nathan datang dari sana. Tertera pada papan kecil di samping jalan, ada pemberitahuan bahwa setengah kilometer lagi mereka akan sampai di kota yang hendak dituju. Nathan cukup merasa penasaran dengan pemandangan tempat yang disebut Kota Mutiara ini. Di dunianya dahulu, kotanya masih berupa perumahan yang mirip di sekitaran Jalan Ambarkasih. Masih sederhana, karena di sana lebih terfokus pada kekayaan alam dan peperangan. Tempat tinggal Alina yang berada di pinggiran kota saja telah dapat dibandingkan dengan perkotaan di dunia dahulunya, lalu bagaimana dengan keadaan di pusat kota? Memikirkannya saja membuat Nathan tak dapat membayangkannya sedikitpun. Setengah dari jarak yang telah ditempuh pada pertigaan sebelumnya, keramaian mulai terasa. Di p