Emma mendorong Victor menjauh, sehingga dia bisa masuk ke dalam rumah.
Victor terdiam, merasa kecewa. Setelah apa yang sudah dia lalui dan persiapkan untuk ulang tahun pernikahan mereka, justru hinaan yang tiba di wajahnya. Meski begitu, ia berusaha menahan diri, karena ia tahu Emma hanya sedang mabuk saat ini.
Begitu sampai di dalam, Emma terdiam melihat apa yang telah disiapkan Victor untuknya. Semuanya tampak dipersiapkan dengan sangat sempurna. Tapi entah kenapa, dia justru terlihat jijik.
Victor, yang berdiri di belakangnya, tersenyum dengan sebuah kesalahpahaman. Ia tidak sabar menunggu reaksi istrinya, berpikir bahwa Emma pasti sangat terharu dengan kejutan yang ia siapkan.
Tanpa Victor sadari, Emma baru saja menghabiskan makan malam bersama pria lain di sebuah restoran mewah. Betapapun baiknya meja itu ditata oleh Victor, Emma tidak bisa membayangkan meja itu sebanding dengan apa yang baru saja dia dapatkan dari pria kaya yang baru saja menemaninya di luar.
Dia melihat segala sesuatu dengan tatapan hina. Ketika dia berbalik, di sana dia menemukan Victor tersenyum menunjukkan hadiah berkilauan tepat di di depan wajahnya.
Tanpa pikir panjang, dia memukul tangan Victor, membuat cincin itu terjatuh.
“Jangan bawa perhiasan palsu itu ke wajahku!” bentaknya.
Victor kaget melihat cincin seharga 1 juta dolar telah dibuang begitu saja. Ini bukan hanya tentang cincin itu, tapi juga soal perasaannya yang sudah mempersiapkan segalanya untuk Emma, hancur berkeping-keping.
“Palsu? Apa yang kau maksud dengan…”
“Lihat ini!” ucap Emma menghentikan Victor dengan menunjukkan kalung yang dikenakannya. “Inilah yang kamu sebut perhiasan, barang seharga $5,000 yang tidak akan pernah bisa kau berikan padaku, tidak peduli seberapa keras kau bekerja di toko pizza itu.”
Tatapan Victor berubah begitu dingin setelah melihat apa yang Emma tunjukkan padanya. Dia memang belum pernah membelikan kalung seperti itu sebelumnya, dan dia tidak yakin Emma akan menggunakan uangnya sendiri untuk membeli kalung itu sendiri.
“Bagaimana kau mendapatkan kalung itu? Siapa yang memberikan itu padamu?”
“Asal kamu tahu! Aku baru saja menghabiskan makan malam mewah dengan seorang pria kaya, di sebuah restoran yang tidak akan pernah bisa kau bawa aku ke sana. Dan ini, kalung ini, ini bukan satu-satunya hal yang dia berikan kepadaku.”
“Kau? Kau telah selingkuh dariku?” tanya Victor dengan perasaan kecewa.
Air matanya sudah menggenang. Namun sebagai seorang laki-laki, dia menahannya, kemudian berjalan menuju meja makan yang telah dia siapkan.
“Aku telah bekerja sangat keras untuk mempersiapkan segalanya bagi kita. Dan kau malah makan malam dengan pria lain? Dan kau, tak sedikitpun ada rasa malu untuk mengatakannya dengan lantang di hadapanku?”
Seolah belum cukup, Emma melempar semua yang ada di atas meja itu. Kue ulang tahun pernikahan, makanan yang dimasak sendiri oleh Victor, dan anggur vintage yang mewah…
“Tidak, tidak, tidak! Jangan anggurnya!”
Emma memegang botol anggur itu, terlihat bingung dengan reaksi Victor yang nampak berlebihan.
“Apa masalahnya dengan anggur ini? Ini hanyalah anggur murahan!”
"Prang!!!"
Victor hanya bisa memegangi kepalanya, melihat anggur vintage itu telah terbuang sia-sia.
Kini ia mendapati Emma tampak begitu marah dengan mata memerah. Saat itulah Victor yakin Emma mabuk dalam kekecewaannya.
Dia akui bahwa dia memang belum menjadi suami yang baik selama ini. Emma juga telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk hidup bersama.
Victor mengerti bahwa Emma punya alasan untuk marah dan kecewa. Tapi semua itu sudah berlalu. Ia kini mampu berbuat lebih banyak dan memberi lebih banyak, sehingga Emma tidak perlu lagi bekerja. Karena dalam beberapa hari ke depan, hidup mereka akan berubah.
Kenyataannya, Victor adalah anak seorang pengusaha kaya raya. Ia memilih hidup sederhana hanya untuk menunjukkan kepada ayahnya bahwa ia bukanlah anak yang manja, untuk membuktikan bahwa ia layak menerima tanggung jawab yang besar.
Kini ia telah berhasil mendapatkan kepercayaan itu dari ayahnya, dan baru saja dipercaya untuk mengelola sebuah cabang perusahaan yang kebetulan berada di kota tempat mereka tinggal.
Panggilan terakhir yang ia terima dari gadis bernama Viona itu, adalah sebuah pesan yang dikirimkan oleh sang ayah, tentang pengangkatannya menjadi pimpinan perusahaan cabang itu.
Ayahnya juga telah mencabut larangan untuk menggunakan uang tabungan yang dia simpan sejak kecil. Begitulah cara dia mempersiapkan segalanya untuk ulang tahun pernikahan tersebut dan membelikan cincin seharga 1 juta dolar untuk Emma.
“Emma, aku tahu kamu kesal. Kamu pasti mengalami hari yang berat di tempat kerja. Tak perlu lah mengarang cerita tentang selingkuh hanya untuk menunjukkan betapa kecewanya dirimu saat ini. Aku tahu ini pasti sulit bagimu. Kita sudah bersama selama hampir lima tahun sejak kita berdua masih kuliah, dan sejauh ini semuanya tampak begitu bahagia.”
Victor memungut kembali cincin 1 juta dolar itu, dan menunjukkannya kepada Emma.
“Tolong, bersabarlah denganku. Segalanya akan berbeda besok,” pintanya sambil menunjukkan permata berkilauan itu kepada istrinya.
Emma memasang wajah dingin dan tatapan hina saat menerima cincin itu. Memang benar cincin itu terlihat begitu indah dan mahal. Tapi dia masih melihatnya dengan ekspresi tidak puas.
“Berbuat sejauh ini untuk membeli barang palsu? Apa kau sudah sebegitu putus asa sampai tak bisa menerima kenyataan?”
Emma melempar cincin itu keluar, ke arah pintu depan yang masih terbuka.
“Emma, jangan kau…”
Victor bergegas keluar mencari cincin itu. Emma menunjukkan seringai jelek, mendapati betapa menyedihkannya Victor saat ini di matanya. Lagi pula, dia sudah mendapatkan pria lain dan tidak lagi berencana untuk tinggal lama bersama Victor.
Beruntung bagi Victor, dia masih menemukan cincin 1 Juta dolar itu. Namun, ketika dia kembali ke dalam, Emma sudah tidak ada lagi di sana. Sang istri telah pergi ke kamarnya.
Victor mencoba menjelaskan segala sesuatu tentang dirinya kepada istrinya. Tapi sang istri sudah mengunci pintu dari dalam.
“Emma, buka pintunya! Aku perlu memberitahumu sesuatu!”
“Ya, aku juga perlu memberitahumu sesuatu. Tapi melihatmu membawa cincin palsu itu hanya membuatku muak. Sekarang berhentilah merengek. Biarkan aku sendirian malam ini. Tidur saja di luar.”
Emma hanya membentaknya dari dalam kamar tanpa memberi kesempatan pada Victor untuk berbicara tatap muka. Victor tidak punya pilihan selain pergi.
Melihat semua yang telah dia persiapkan berserakan di lantai, membuat hatinya hancur. Dia mungkin percaya bahwa Emma bertindak seperti itu hanya karena mabuk. Tapi tetap saja, dia masih merasakan pilu yang teramat perih di dadanya, sampai membuatnya begitu sulit untuk bernafas dengan tenang.
Semakin Victor menunjukkan wajah serba salahnya, pria itu semakin yakin bahwa Victor benar-benar seorang pencuri. Dalam benaknya, ketakutan Victor adalah ketakutan pencuri yang baru saja tertangkap.“Pencuri mana mau mengaku kalau dia adalah seorang pencuri?” kata seorang laki-laki dari kerumunan.“Logika macam apa itu?” bantah Victor pada orang yang baru saja menuduhnya. “Mereka yang bukan pencuri pun, tidak mau mengakui dirinya sebagai pencuri? Dasar bodoh!”“Kamu benar-benar pandai berkilah! Aku yakin kau pasti sudah berlatih berkilah setiap hari,” kata pria bernama Andrew itu sambil masih memegang kerah baju Victor.“Sudah kubilang, aku tidak mencoba mencuri tasnya!”“Oh, benar juga! Kenapa tak kau katakana saja itu pada polisi nanti. Tapi untuk saat ini, aku perlu…”Andrew menarik tangannya ke belakang, hendak melayangkan pukulan. Namun tiba-tiba seorang lelaki tua memukul punggung Andrew dengan tongkat.“Dia mengatakan yang sebenarnya! Kau dan gadismu itu perlu berterima kasih p
Hari Sabtu pun datang, sama seperti hari-hari Sabtu lainnya bagi sebagian orang. Tapi itu berbeda untuk Emma. Dia masih tertidur meski sudah lewat tengah hari.Dia masih mengenakan pakaian yang sama yang dia kenakan untuk bekerja tadi malam. Tempat tidurnya berantakan dengan salah satu sepatunya di atas bantal. Ada juga beberapa kaleng bir kosong di mana-mana.Sejak bekerja paruh waktu sebagai operator drive thru di “Peccato Legale”, bar milik pria bernama Robert itu, Emma harus bekerja lembur hingga lewat tengah malam.Meskipun dia kembali ke motel sebelum jam 3 pagi, dia baru tertidur sebelum fajar. Bahkan itu hanya setelah dia menghabiskan beberapa kaleng bir. Tapi sekarang, minuman keras itu masih mempermainkan pikirannya.Alkohol itu begitu efektif dalam menghentikan otaknya menghasilkan hormon kecemasan sejak tadi malam. Itu juga efektif membuatnya melupakan semua masalahnya.Namun, ketika efek minuman kerasnya mereda, kecemasannya justru meningkat. Sekarang dia mengalami sesuat
Jimmy menyajikan kopi untuk mereka. Setelah itu, dia sedikit menykamurkan bokongnya di atas meja, dan mulai berbicara untuk memancing perhatian mereka ke arahnya.“Aku tahu kamu adalah Viona Emery, wakil presiden di Counterbrand. Aku tidak akan menyembunyikan siapa diriku di depan orang sepertimu. Jadi, apakah kamu sudah selesai menghakimi diriku?” dia bertanya dengan percaya diri.Viona tersenyum dengan sedikit berceletuk. “Aku tidak datang ke sini untuk memintamu bekerja untukku, tapi hanya untuk menemani orang di sebelahku ini, pemimpin di perusahaan Counterbrand,” jelas Viona.“Eh?!” Jimmy menjawab dengan sedikit terkejut dan senyuman yang tidak pasti, tak menyangka bahwa klien barunya adalah seorang presiden sebuah perusahaan besar.Melihat betapa tenangnya Victor saat ini, Jimmy langsung mengubah sikapnya. Dia merapikan rambut dan pakaiannya sedikit, dan duduk di kursinya dengan memulai sikap profesionalnya.“Jimmy Farion siap melayani anda, menyelesaikan masalah tanpa masalah!
Ia mulai ragu dengan niatnya untuk berbuat sesuatu di lelang tersebut. Sepertinya dia harus menerima tawaran apapun yang akan datang pada cincin yang akan dia jual.“Sudah, suruh mereka pergi,” kata Victor kepada Emma.Kedua orang itu pun pergi begitu saja bahkan sebelum Emma menyuruh mereka pergi.“Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Viona.“Kita bicarakan saja nanti. Kita temui saja pengacara itu dulu!” Jawab Victor sambil bangkit dari sofa dengan wajah lelah.Pada akhirnya, mereka meninggalkan rumah dengan Viona yang mengendarai Ferrari untuknya. Victor sama sekali tak membuat wajah tak bersemangatnya, tak menyembunyikan betapa kecewanya ia pada Viona.Meski begitu, dia tahu bahwa tak bisa juga menyalahkannya. Viona sudah mengatakan bahwa dia tidak akan mengasuhnya lagi. Bagaimana pun, tentu dia menyadari bahwa sebagian besar masalah ini disebabkan oleh kesalahannya sendiri, perselisihan pribadinya dengan Emma.Tapi tetap saja…“Bagaimana kamu bisa kepikiran menggunaka
Victor berdiri di sana sambil memalingkan wajahnya, terlihat sangat sulit menerima apa yang disampaikan Viona kepadanya.Seperti kekhawatiran Viona sebelumnya, jelas perkataannya telah melukai harga diri Victor karena kebaikannya dianggap kenaifan.Victor memang tidak pernah menerima setiap kali ayahnya mengatakan bahwa kebaikannya itu adalah sebuah kesalahan. Dia merasa nyaman dengan dirinya, tapi ayahnya melihatnya sebagai sebuah kelemahan dalam dunia bisnis.Viona tidak mengatakan sepatah kata pun setelah itu dan membiarkannya. Dia duduk di sofa dan menyalakan TV. Tidak ada yang ingin dia tonton, hanya berusaha mengalihkan perhatiannya dari Victor, sambil membiarkan Victor tenggelam dalam pikirannya.Tanpa memberikan jawaban pada Viona, Victor langsung memesan taksi, berniat keluar rumah tersebut dan pulang ke rumahnya sendiri. Tapi tiba-tiba, Viona memanggilnya dari ruang tamu dan bergegas menghampirinya.“Apa lagi?” Victor bertanya.“Aku sudah bertanya sebelumnya. Apakah kamu jad
Dia memang tidak tahu apa-apa tentang identitas asli Victor, selain apa yang dia ketahui tentang dirinya sebagai pengantar pizza.Motif awalnya memberi tahu orang-orang ini tentang Victor hanyalah agar mereka merampok Victor, atau mungkin membuatnya ketakutan setengah mati dengan kemunculan mereka. Dia hanya ingin mengerjai Victor untuk membalaskan kekesalannya, tak lebih.“Tolong, kasihani aku! Niatku hanya ingin memberi pelajaran pada bocah itu, dan membiarkan anak buahmu bersenang-senang dengan apa pun yang ingin mereka lakukan padanya,” pinta Benigno sambil menangis lirih.Marco menjadi semakin tidak sabaran, dan kemudian mengokang pistolnya, seolah-olah akan menembak mati pria gendut itu. Namun salah satu temannya segera menghentikannya dengan dingin.“Tunggu sebentar, Marco!” kata pria itu sebelum menepuk bahu Marco dua kali. “Ikutlah denganku sebentar!”Marco mengikuti pria itu ke ruangan lain, masih di dalam toko pizza. Dilihat dari tingkah laku Marco saat ini, sepertinya pria